16. Problem Again

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tetap di sampingku, dan jangan ke mana-mana." Adit mengingatkan Risa saat mobil yang mereka naiki tiba di halaman tujuan.

Risa masih terpaku pada bangunan di depan sana. "Kenapa harus naik mobil jika tempatnya tak jauh dari rumah?" tanya Risa bingung. Dia tak tahu sama sekali mengenai bangunan itu, padahal lokasinya di depan kafe tempat Risa bekerja. Adit pun tak pernah bercerita jika bangunan itu akan menjadi tempat usahanya.

"Hanya untuk formalitas," balasnya sambil membuka pintu mobil. "Tetap di posisimu," lanjutnya menginstruksi.

Lalu, kenapa dia mengenakan pakaian formal, sedangkan usaha yang akan dia  buka adalah tempat gym?

Pintu di samping Risa terbuka membuat pikirannya buyar. Sebuah tangan terulur di hadapannya. Sesaat menghela napas, meraih tangan Adit, lalu turun dari mobil. Mereka terlihat serasi layaknya pasangan pada umumnya. Adit terlihat sempurna dengan setelan jas warna hitam, sedangkan Risa terlihat anggun dengan gaun asimetris warna peach yang dibeli dari butik siang tadi. Sayang, hubungan mereka hanya sebatas simbiosis mutualisme saja. Keduanya jalan berdampingan menuju pintu masuk.

"Apa kamu tidak salah mengenakan pakaian ini untuk launching usaha barumu? Kenapa tidak mengenakan pakaian-"

Ucapan Risa terpotong karena Adit menghentikan langkah, membuatnya ikut menghentikan langkah, menatap ke arah depan. Seorang wanita berdiri persis di hadapan mereka. Risa sontak bertanya-tanya mengenai sosok wanita di hadapannya saat ini. Belum pernah melihat wanita itu sebelumnya. Pun bukan Fanya. Tatapan wanita itu mengarah pada Risa, meneliti penampilannya dari rambut hingga kaki. Risa merasa tak nyaman saat wanita itu seakan menelanjanginya.

"Sampai kapan kamu akan memanfaatkan wanita ini untuk menghindari pernikahan dengan Fanya? Berapa wanita lagi yang akan kamu manfaatkan?" tanya Wanita itu setelah puas menelanjangi gadis di hadapannya.

"Memanfaatkannya?" Adit tersenyum hambar setelah melontarkan pertanyaan itu. "Aku sudah mengenalnya lama, bahkan sebelum mengenal Fanya," lanjutnya.

Wanita di hadapan mereka saat ini adalah Anita, kakak Adit satu-satunya. Dia ikut membantu orang tuanya untuk membujuk Adit menerima perjodohan itu, karena tak ingin melihat orang tuanyabmenanggung malu dan dia bisa mendapat untung jika berhasil membujuk adiknya.

"Berhenti main-main, Adit. Cepat pulang dan minta maaf dengan Ayah sebelum kesabaran beliau habis."

"Keputusanku sudah bulat. Aku berhak menentukan pilihan sendiri. Ayah tidak berhak mengaturku, terlebih masalah jodoh."

"Kamu lupa kalau saat ini sedang mempertaruhkan keluargamu sendiri dan jabatanmu?"

"Jika kedatangan Kakak ke sini hanya untuk membahas masalah ini, lebih baik sekarang Kakak pergi. Aku nggak akan pulang sebelum Papa membatalkan perjodohan itu. Aku ingin memilih sendiri wanita yang nantinya akan menjadi istriku, dan terutama bukan dari kalangan kepolisian. Dan aku sudah siap melepas jabatan dan nggak diakui anak oleh mereka." Adit menarik tangan Risa agar mengikutinya, meninggalkan sang kakak yang masih berdiri pada posisinya.

"Mas Adit!"

Adit mengabaikan seruan itu. Mengenali suara yang menyerukan namanya. Siapa lagi jika bukan Fanya, wanita yang terobsesi akannya?

Langkah Adit terhenti ketika merasakan genggaman tangannya bersama Risa terasa berat. Dia sontak menoleh ke arah gadis di sampingnya. Risa terlihat menahan sakit. "Kamu kenapa?" tanyanya khawatir.

"Kaki aku sakit," eluh Risa sambil menjinjitkan salah satu kakinya yang lecet. Sudah cukup lama dia tak mengenakan hels, membuatnya kurang berhati-hati dalam melangkah. Terlebih mengimbangi langkah Adit yang lebar.

"Kita cari tempat duduk." Adit mengajak Risa ke arah sebuah kursi di samping pintu.

Risa mendaratkan tubuhnya di atas kursi. Tubuhnya bergerak akan menunduk untuk memastikan luka di kaki, tapi gerakannya terhenti saat cekalan mendarat di lengannya. Dia sontak menatap Adit.

"Kamu diam saja," tutur Adit. Khawatir belahan dadanya terlihat saat akan menunduk dan menjadi pusat perhatian pengunjung.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Risa panik saat melihat Adit merendahkan tubuh di depannya.

Tak ada jawaban. Adit mengabaikan pertanyaan Risa, meraih lengan kaki gadis itu untuk memastikan luka kakinya. Risa tak menolak karena melakukannya pun percuma. Tumit Risa terlihat lecet setelah Adit melepas hels dan mengamati kaki gadis di hadapannya. Senyum tipis tersungging di raut Adit saat mengingat kejadian tempo hari di mana Risa menginjak paku.

"Pak Adit."

Panggilan seseorang membuat Adit mengalihkan perhatian. Risa segera menarik kakinya dari tangan Adit. Seorang laki-laki berdiri tak jauh dari mereka.

"Sudah ditunggu Pak Genta di dalam." Laki-laki itu menyampaikan.

"Iya, sebentar lagi."

Laki-laki itu beranjak dari posisinya untuk pergi. Pandangan Adit kembali pada gadis di depannya. Risa sudah kembali mengenakan hels.

"Kaki kamu luka, kenapa dipakai lagi?" tanyanya.

"Tidak masalah. Aku masih bisa bertahan asal tidak berjalan terlalu cepat," balas Risa menenangkan.

"Kita pulang saja."

"Jangan seperti itu. Ini acaramu dan aku tidak ingin merusaknya. Percayalah. Aku masih bisa bertahan."

"Kamu yakin?" Adit memastikan.

Untuk meyakinkan Adit, Risa beranjak dari kursi. Terpaksa menggerakkan kakinya yang masih terasa sakit. Senyum pun dia sungging untuk menambah keyakinan pada laki-laki di hadapannya.

"Baiklah. Tapi jika sudah tak kuat, kamu harus bilang padaku." Adit melingkarkan lengan di pinggang agar Risa merangkulnya.

Risa mengalungkan lengannya pada lengan Adit, lalu mereka jalan beriringan menuju ke dalam. Tamu undangan sudah memenuhi ruangan itu. Beberapa orang menyapa Adit, lalu pandangan mereka mengarah pada wanita di sampingnya. Risa hanya tersenyum hangat pada tamu yang hadir, menutupi rasa sakit yang mendera tumit kakinya.

"Aku ingin duduk," bisik Risa pada Adit.

"Akan aku antar."

"Tidak usah. Aku bisa jalan sendiri. Kamu fokus saja pada tamu. Aku akan duduk di sana." Risa menunjuk kursi yang tak jauh dari posisi mereka saat ini.

Tanpa menunggu balasan, Risa beranjak dari posisinya untuk menuju kursi. Sudah tidak kuat menahan rasa perih yang mendera tumitnya. Dia bernapas lega karena bisa duduk dan mengistirahatkan kakinya. Perhatiannya teralih saat mendapati sosok wanita berdiri di depannya. Helaan napas keluar dari mulutnya saat tahu siapa wanita tersebut. Risa mengangkat kepala.

"Aku nggak butuh basa-basi panjang. Kamu pasti sudah tau alasan aku menemuimu."

Again.

Diam adalah pilihan yang Risa ambil. Tak ingin merusak suasana di acara tersebut. Ditambah keadaannya yang kurang baik.

"Berhenti jadi wanita murahan."

Risa sontak menatap wanita di hadapannya. Dia beranjak dari kursi karena merasa terusik dengan ucapannya. Anita tersenyum mengejek. Sebenarnya, Risa enggan menanggapi, tapi dia tak ingin harga dirinya diinjak oleh orang lain.

"Apa keluarga Adit tidak lebih murahan menjual anaknya untuk kepentingan pribadi?" Risa bertanya balik. Pertanyaan telak untuk Anita.

Tangan Anita bergerak untuk menampar Risa, tapi tangan lain mencekal lengannya. Terlihat Adit berdiri di belakang tubuh kakaknya sambil mencekal lengan sang kakak. Dia mengempaskan tangan Anita.

"Jika sampai dia terluka karena Kakak atau Fanya, aku nggak akan maafin kalian." Adit mengancam sang kakak sambil mendekati Risa.

"Jadi kamu lebih pilih dia daripada Kakak, Mama, dan Papa?" Anita mendorong tubuh Risa.

Adit sigap melingkarkan tangan pada bahu gadis di sampingnya. Mereka menjadi pusat perhatian tamu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Adit memastikan sambil membantu Risa berdiri tegak.

"Aku mau pulang," pinta Risa.

"Kamu benar-benar ya, Dit! Kamu-"

Risa terkesiap saat Adit menggendong tubuhnya di saat sang kakak masih berbicara padanya. Laki-laki membawa tubuh Risa melewati tamu-tamu yang hadir untuk meninggalkan acara itu. Tak ada penolakan dari Risa karena posisinya tersudut. Menolak sama saja membuka salah satu kartu kebohongannya bersama Adit. Anita terlihat murka saat sang adik tak menggubris ucapannya, dan memilih wanita itu daripada keluarga.

"Kenapa kamu melakukan ini? Acaramu belum selesai? Bagaimana dengan tamu-tamunya?" tanya Risa bingung pada perlakuan laki-laki yang menggendongnya saat ini.

Mendapati Adit tak menjawab pertanyaannya membuat Risa menatap ke atas. Adit terlihat tenang berjalan sambil menggendong tubuhnya. Tanpa disadari Risa menyungging senyum. Adit  mengeluarkan dehaman saat tahu gadis dalam gendongan memerhatikannya. Senyum di bibir Risa memudar.

"Turunkan aku," pinta Risa.

"Sedikit lagi sampai di dekat mobil."

"Aku akan pulang sendiri. Kamu lebih baik kembali ke dalam karena acaranya belum selesai. Aku tak mau jadi perusak acaramu."

"Perusak acaraku bukan kamu, tapi kakakku. Aku sudah nggak selera di dalam sana. Lagian di dalam sudah ada Hans. Dia yang akan mengatur semuanya. Aku hanya akan memantau di balik layar." Adit menurunkan tubuh Risa saat mereka tiba di samping mobil.

"Seharusnya aku tak perlu datang ke sini," timpal Risa.

Adit membuka pintu mobil untuknya. "Malah akan jadi tanda tanya besar kalau kamu nggak datang."

Posisi Risa memang serba salah. Datang menjadi masalah, tak datang pun menjadi masalah. Dia bergegas masuk ke dalam mobil, lalu disusul Adit. Mereka meninggalkan tempat itu untuk pulang.

"Apa kamu tidak malu melakukan hal tadi di depan semua tamu?" tanya Risa membuka obrolan di dalam mobil.

"Akan lebih malu kalau membiarkan kamu jalan dalam kondisi kaki terluka," balas Adit santai.

Tak butuh waktu lama, mereka tiba di depan gerbang rumah. Terlihat seorang laki-laki berdiri di depan sana. Adit mengembuskan napas kasar. Pandangannya beralih ke spion karena mendapati sebuah mobil berhenti di belakang mobilnya. Adit mengeratkan gigi-giginya. Geram dengan perlakuan mereka.

"Aku akan keluar. Kamu tetap di dalam mobil dan kunci semua pintu. Jangan pernah keluar, apa pun yang terjadi," tutur Adit pada Risa.

"Tapi ..."

Adit bergegas membuka pintu mobil, beranjak turun lalu menutup pintu dengan kasar. Laki-laki di depan pintu gerbang rumahnya adalah sang kakak ipar. Untuk apalagi mereka membujuknya jika bukan mengenai keuntungan jabatan.

"Jangan ikut campur dengan masalahku." Adit mengingatkan pada sang kakak ipar.

"Kakak nggak akan ikut campur kalau nggak bersangkutan dengan keluarga." Anita angkat suara. Posisinya saat ini sudah di belakang tubuh sang adik.

"Apa? Bersangkutan dengan keluarga? Apa aku nggak salah dengar?" tanya Adit tanpa membalikkan tubuh.

"Buka pintunya."

Perhatian Adit beralih pada mobilnya. "Jangan ganggu dia, atau kamu akan menyesal seumur hidup." Adit mengancam Fanya yang sedang berusaha agar Risa keluar dari mobilnya.

"Ikut kami pulang ke Jakarta."

Adit kembali menatap sang kakak ipar. Terlihat laki-laki itu mengarahkan pistol ke arahnya. Senyum menghiasi wajahnya seolah tak takut akan ancaman sang kakak ipar. Bukan dirinya jika takut pada ancaman.

"Lakukan saja jika berani." Adit menantang balik.

Dari balik kaca, Risa hanya menatap pemandangan di luar sana yang terlihat tegang. Masalah yang sedang Adit hadapi tak sekecil pikirannya. Dia sudah mengirim pesan pada Ken, tapi belum ada balasan. Tidak ada yang bisa dia mintai tolong kecuali bosnya, karena Adit bersahabat baik dengan sang boss. Siapa tahu Ken bisa membantu Adit. Khawatir jika keadaan semakin tak terkendali.

Keadaan mencair saat segerombolan orang menghampiri mereka. Risa bernapas lega karena Ken ada dalam gerombolan itu. Setidaknya kedatangan mereka menjadi penolong untuk Adit. Risa menoleh ke arah samping, memastikan Fanya sudah beranjak dari posisinya. Wanita itu masih ada di posisinya.

Anita, suaminya, dan Fanya pun beranjak dari posisi masing-masing setelah kalah negosiasi. Menggunakan cara kasar pun akan merugikan mereka. Risa bergegas turun dari mobil setelah kepergian tiga orang itu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Risa saat tiba di dekat Adit.

Perhatian Adit teralih, menoleh ke sumber suara. Terlihat Risa berdiri di dekatnya. "Aku baik-baik saja," balasnya sambil mengangguk. "Kamu langsung masuk saja. Aku ada perlu sama Ken," lanjutnya.

Risa hanya mengangguk, menuruti perintah Adit untuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan Adit bersama Ken di luar gerbang. Mungkin ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Penyesalan kembali menghantuinya karena sudah membantu Adit. Bagaimana jika Fanya atau Anita melukainya karena masih kukuh berada di samping Adit?

Tidak, tidak, tidak! Aku tidak boleh berpikiran buruk. Mereka hanya mengancam, dan tidak mungkin akan melukai orang lain. Aku tidak boleh takut. Rencana aku dan dia sudah berjalan jauh. Jangan sampai rencananya berantakan karena aku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro