17. Jalan Akhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semburat matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai yang tak tertutup rapat. Riuh kicau burung masih terdengar nyaring di luar sana. Suasana pagi di rumah itu terlihat hening setelah tadi malam mengalami perdebatan sengit antara Adit dan pihak keluarga. Kejadian itu membuat Adit tak tenang untuk memejamkan mata. Sibuk mencari cara agar keluarganya berhenti mencari masalah, dan terutama keamanan wanita yang membantunya selama ini sedang terancam. Tak ingin gadis itu terancam keselamatannya. Apa dia terlalu berlebihan memikirkan keselamatan gadis itu, atau memang karena ada rasa lain yang singgah di hatinya?

Adit mengembuskan napas kasar, lalu memijit pelipis karena pikirannya tak menentu. Tubuhnya beranjak dari tepi ranjang untuk keluar kamar, mencari udara segar dan suasana untuk mencairkan pikirannya yang terasa beku. Terdengar suara perkakas dapur mengusik indra pendengarannya saat keluar dari kamar. Tatapannya mengarah pada jam dinding, memastikan waktu karena tak biasanya gadis itu sudah ada di dapur saat hari libur, terutama tugas memasak bukan tanggung jawabnya. Waktu menunjukkan pukul 06.15
Adit bergeges menuruni anak tangga untuk memastikan. Entah kenapa rasa khawatir pada gadis itu kembali muncul. Teringat akan jejadian semalam jika kakinya mengalami luka.

Gadis yang dia khawatirkan terlihat sedang berkutat di dapur. Perhatiannya tertuju pada kaki gadis itu. Terlihat tengkuk kakinya berhiaskan plaster.

"Apa kakimu masih sakit?"

Perhatian Risa teralih saat mendengar pertanyaan itu. Dia menoleh ke sumber suara. Terlihat sang empunya rumah berjalan menghampirinya.

"Hanya lecet." Pandangan Risa kembali pada semula.

"Kamu duduk saja. Aku yang akan melanjutkan."

"Terlambat. Pancakeku sudah jadi." Risa mematikan kompor, meletakkan pancake buatannya yang kedua di atas piring. "Kamu masak sendiri untuk sarapanmu. Aku sudah lapar karena semalam tidak makan," lanjutnya sambil membalikkan tubuh, berniat membawa piring berisi pancake ke ruang makan. Tapi sosok Adit di depannya saat ini membuat seluruh tubuhnya mati sesaat.

Bagaimana mungkin sosok laki-laki di depannya tak pernah berkurang ketampanannya? Bahkan semakin hari kian bertambah tampan.

"Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Adit.

Kesadaran Risa sepenuhnya kembali. "Aku tunggu di meja makan." Risa beranjak meninggalkan dapur setelah mengatakan hal itu.

Adit menoleh ke arah Risa yang sedang berjalan mendekati meja makan, berharap gadis itu setuju dengan rencananya. Dia kembali fokus pada dapur untuk membuat sarapan. Adonan pancake sudah tersedia di dekat kompor. Tugasnya hanya tinggal memasak adonan tersebut di atas teflon.

Masalah apalagi yang akan dia bicarakan? Apa masalah semalam? Atau masalah lain? Risa membatin sambil meletakkan piring berisi pancake di atas meja.

Risa beranjak duduk di kursi. Mengusir pikiran buruk dalam kepalanya mengenai kejadian semalam. Sudah menjadi konsekuensi jika dia akan mengalami hal tersebut. Lagipula dia yakin jika Adit akan melindunginya, walaupun ada rasa takut, tapi setidaknya ada jaminan dari Adit bahwa tidak akan ada yang menyentuhnya selama bersama laki-laki itu.

Sesekali Risa menoleh ke arah dapur, memastikan laki-laki yang sedang berdiri di sana sambil berkutat dengan alat dapur. Pemandangan yang jarang dilihat olehnya di rumah itu.  Pandangannya kembali pada piring karena Adit telah selesai membuat sarapan dan secangkir kopi. Adit meninggalkan dapur untuk bergabung dengan Risa di ruang makan.

"Tumben tidak olahraga?" tanya Risa saat Adit tiba di dekatnya.

"Lagi malas saja," balas Adit sambil meletakkan piring berisi pancake dan secangkir kopi di atas meja.

"Sepertinya bukan karena itu."

Senyum miring menghiasi wajah Adit. Ucapan gadis itu dibenarkan olehnya. "Seperti yang kamu tau." Adit menuang saus buah di atas makanannya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan? Apa masalah semalam? Atau masalah lain?" tanya Risa tanpa ingin basa-basi panjang.

Adit masih berkutat pada makanannya, menunda jawaban untuk gadis di hadapannya. Khawatir selera makan mereka hancur karena perkataannya.

"Apa semuanya baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?" Risa memastikan karena tak ada jawaban dari Adit.

"Habiskan saja dulu makanannya," timpal Adit tanpa menatapnya.

"Kenapa harus menunggu makananku habis? Kita bisa membahasnya sekarang."

Sejenak, gerakan tubuh Adit terjeda. Dia meletakkan garpu dan pisau di sisi piring. Diraihnya cangkir berisi kopi, menyesapnya beberapa kali.

"Apa kamu masih ingin membantuku?" tanya Adit.

"Jangan bilang jika masalahmu semakin rumit?" Risa memastikan.

"Belum. Maka dari itu aku ingin memastikan, apa kamu masih ingin membantuku atau tidak, karena ini rencana terakhirku."

"Apa?"

Adit menatap seksama wajah gadis di hadapannya. "Pura-pura menikah," ungkapnya.

"Tidak! Aku tidak setuju!" tolak Risa keras. "Masih banyak cara lain. Aku tidak setuju jika kita pura-pura menikah," lanjutnya kemudian.

"Jika kamu memiliki cara lain selain itu, silakan diungkapkan. Hanya cara itu yang aku punya saat ini."

Pura-pura menikah dengannya? Apa tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalahnya selain pura-pura menikah? Sama saja bohong jika menerima permintaan dia. Lagipula aku masih memiliki kesempatan untuk menolak usul itu. Aku tidak akan menikah dengannya.

"Nggak masalah kalau kamu menolak. Ini memang pilihan sulit. Aku nggak akan maksa." Adit berusaha memahami dan tidak ingin memaksa.

"Kamu tidak ingin pikir-pikir lagi untuk menerima wanita itu? Daripada membuatmu seperti ini, mungkin lebih baik menerima wanita itu."

"Dan kenapa kamu tidak menerima laki-laki itu daripada membuat hidupmu susah seperti ini sampai harus tinggal di rumah orang lain." Adit menyindir telak.

"Aku tidak merasa susah, dan aku bisa mencari tempat tinggal sendiri. Kamu yang menyuruhku tinggal di sini karena membutuhkan bantuanku."

Senyum hambar terukir jelas di bibir Adit. Dia beranjak dari kursi. "Keputusan ada di tanganmu. Aku tunggu sampai lusa."

"Tidak perlu menunggu lusa. Sekarang, aku akan mencari tempat tinggal baru."

"Dan aku tidak akan ikut campur lagi dengan masalahmu. Apapun yang akan terjadi padamu, aku tidak akan peduli. Termasuk niat laki-laki itu untuk menculikmu." Adit meninggalkan ruang makan untuk menuju kamarnya.

Marcel ingin menculikku? Apa dia hanya menakut-makutiku saja?

***

Posisinya saat ini terasa sulit. Posisi yang membuatnya harus memilih dua hal: menikah pura-pura dan tetap tinggal di sana, atau keluar dari rumah itu dan dia harus mencari tempat ringgal baru. Risa mengembuskan napas kasar, memejamkan mata sesaat untuk menghalau rasa lelah karena sudah beberapa tempat didatangi tapi belum ada yang cocok untuk menjadi rumah barunya.

Minuman yang dia pesan tiba. Risa bergegas menyambar minumannya setelah disajikan oleh pramusaji kafe. Aktivitas melelahkan dan terik panas yang menyengat membuat tenggorokannya terasa kering.

Setelah dahaga dan lelahnya hilang, Risa kembali melanjutkan pencarian. Mencari tempat tinggal baru yang dekat dengan tempat kerjanya. Deringan ponsel membuat langkah Risa terhenti. Dia bergegas meraih ponsel di dalam tas, memastikan sang penelepon. Dahinya berkerut saat nomor baru menghubunginya. Risa mengabaikan panggilan itu karena tahu siapa yang menghubunginya. Jika bukan sang mama, bisa saja Marcel. Bisa ditebak dari kode negara nomor yang menghubungi. Risa memastikan beberapa pesan yang masuk, dan salah satunya dari nomor yang baru saja menghubunginya.

Nomor tak dikenal:
Ternyata hubunganmu dengan laki-laki itu hanya pura-pura?
Aku akan menjemputmu segera.

Risa membulatkan mata setelah membaca pesan itu. Dugaannya benar. Marcel yang mengirim pesan itu. Pandangan Risa sontak beralih ke arah sekitar, memastikan jika pesan itu salah. Suasana terlihat biasa tanpa ada orang yang mencurigakan. Dia bergegas mengayun langkah untuk pulang.

Jadi ucapan Adit benar? Dia tidak sedang menakut-nakutiku. Aku harus bagaimana?

Tatapan Risa sesekali ke sekitar. Waspada. Khawatir jika ada orang yang mengikutinya sesuai pesan Marcel. Risa mempercepat langkah saat merasa tak aman. Terlebih setelah menerima pesan itu. Langkah cepatnya berubah menjadi lari. Takut. Risa menoleh ke arah belakang untuk memastikan. Terlihat dua orang laki-laki berbadan tinggi dan bertato mengejarnya. Dugaannya benar. Dia sedang diikuti oleh orang suruhan Marcel. Tapi bisa jadi dua orang itu suruhan Fanya atau keluarga Adit.

Pada akhirnya dia tiba di depan gerbang rumah Adit. Napasnya tersengal karena berlari sejauh 500 meter. Risa kembali menatap sekitar. Dua orang yang mengikutinya tiba-tiba menghilang. Dia bergegas masuk ke dalam agar aman.  Niatnya untuk keluar dari rumah itu justru menjadi pertimbangan. Darimana Marcel tahu jika hubungannya dengan Adit hanya pura-pura? Apa Adit memberitahu laki-laki itu jika dia sudah tidak peduli pada Risa?

Risa meraih ponsel untuk menghubungi Adit. Pandangannya mengitari rumah untuk memastikan sambil menunggu teleponnya diangkat oleh laki-laki itu. Sepatu yang biasa Adit kenakan masih di dalam rak. Mobil pun masih ada di halaman. Risa menjauhkan ponsel dari telinga karena tidak ada jawaban. Langkahnya terayun menuju tangga, menaiki satu per satu anak tangga dengan gerakan cepat. Dia menduga jika Adit masih berada di kamarnya.

Setelah tiba di depan pintu kamar, Risa menyentuh gagang pintu untuk memastikan. Dahinya berkerut karena pintu kamar Adit tak terkunci. Risa mendorong pintu perlahan, memastikan jika sang empunya kamar ada di dalam. Dugaannya benar. AC masih menyala. Suasana kamar masih gelap. Adit masih di rumah. Pandangan Risa terlempar ke arah ranjang. Sosok tang dia cari sedang terbujur di atas tempat tidur bergelung dengan selimut.

"Sedang apa kamu di sini?"

Pertanyaan itu membuat Risa terkejut. "Ti-tidak. A-aku hanya ..." Risa menggantungkan kalimat.

"Keluar," perintah Adit.

"Aku ingin berbicara padamu."

Adit membuka mata, menyibak selimut, lalu beranjak duduk dengan gerakan malas.

Dari mana dia bisa mengenali jika aku yang masuk ke kamarnya?

"Ada apa?" tanya Adit malas.

"Apa semalam kamu tidak tidur?"

"Jangan basa-basi."

Satu hal yang tak Risa sukai dari laki-laki di depannya saat ini. Sifat juteknya Adit. Risa menelan saliva. Dia tahu jika keadaan hati Adit sedang tidak baik.

"Kenapa Marcel bisa tahu jika hubungan kita hanya pura-pura?"

Adit menatap wanita di hadapannya. "Kamu menuduhku?"

"Siapa lagi jika bukan kamu? Hanya kita yang tahu rahasia ini."

"Sebelum menuduhku berpikir lebih dulu. Selama ini kamu aku melindungimu dari mata-mata mantan pacarmu itu. Sekarang kamu menuduhku membocorkan rahasia kita?" Adit menajamkan pandangan.

Ucapan Adit sontak membuat Risa bergeming. Mencerna apa yang baru saja dia dengar. Jadi, selama ini Marcel memata-matainya?

"Keputusan itu aku ambil demi kebaikan kamu. Jika kamu menolak, maka aku akan lepas tangan mengenai keamananmu, dan membiarkanmu memilih kehidupanmu sendiri. Jika kamu setuju, aku menjamin keamananmu sampai masalah kita selesai. Dan keputusanku karena dukungan Ken," jelas Adit.

"Apa Kak Ken tahu jika hubungan kita-"

"Tidak." Adit memotong. "Dia hanya tahu jika aku benar-benar serius berhubungan denganmu, dan dia mendukung keputusanku untuk menikahimu," lanjutnya.

Risa memberanikan diri menatap laki-laki yang masih duduk di atas ranjang. Menatap seksama untuk mencari kebenaran. Sialnya dalam bola mata Adit tak pernah ada kebohongan dan kenyataan selalu terjadi sesuai perkataan laki-laki itu.

"Keputusan ada di tanganmu. Aku tahu masalahmu, dan kamu tahu masalahku. Kita sama-sama terjebak dalam situasi ini. Hanya berpura-pura menikah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah kita."

Kenapa pilihannya sesulit ini?

"Jika keperluanmu sudah selesai, silakan keluar. Aku mau tidur lagi." Adit mengusir halus.

Keperluannya memang sudah selesai, tapi tidak dengan masalah mereka. Masalah yang semakin bertambah dari pihak keduanya. Risa maaih belum bisa menentukan pilihan antara menolak atau menerima. Kedua pilihan itu terasa berat untuk dijatuhkan.

Risa mengayun langkah untuk keluar dari kamar itu. Tatapannya kembali pada sosok Adit yang sudah bergelung dengan selimut. Menanamkan keyakinan pada ucapan laki-laki itu. Pintu kamar pun tertutup. Adit membuka mata, membalikkan tubuh, menatap ke arah pintu.

Sudah waktunya kamu tahu dan berpikir jika keputusanku demi kebaikan bersama. Semoga kamu mengerti dan setuju mengenai keputusan ini.

***

Nah, kan, Risa.
Adit itu diem-diem jagain kamu.
Kamu malah ngeyel mau pergi dari rumah itu.
Gimana, Gaes? Bener nggak?

*Typo masih bertebaran. Abaikan! Lagi malas ngedit. Wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro