18. Bendera Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan lupa tap bintang, ya.
Kalau kamu pelit bintang,
Aku juga bisa pelit update. Hahaha ...
#Canda

♡♡♡

Adit membuka mata perlahan, mengarahkan pandangan ke pintu karena ketukan di sana masih terus mengalun disertai seruan namanya. Tidur nyamannya terganggu karena ulah gadis yang tinggal satu rumah dengannya. Gadis yang selama ini dia tolong dan menolongnya. Adit menyibak selimut, menurunkan kedua kaki, lalu beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu.

Pintu kamar terbuka. Sosok Risa berdiri persis di depan pintu kamar. Gadis itu seketika bergeming saat menatap raut Adit yang khas bangun tidur.

Demi apa pun meski dia baru bangun tidur tapi masih tetap tampan!

"Ada apa?"

Pertanyaan Adit membuat gadis di hadapannya terkesiap. "Tidak," balas Risa cepat. Lebih terdengar gugup.

Adit menyipitkan mata. Bisa menduga jika Risa sedang mengalami takut. "Lalu?" tanya Adit memastikan.

Risa tersenyum getir. Gigi kelincinya terlihat rapi dan bersih. "Aku takut," ucapnya kemudian.

"Itu bukan urusanku lagi," balas Adit datar, lalu menutup pintu.

"Tunggu!" Risa menahan pintu agar tidak tertutup.

Suasana seketika hening. Keduanya saling menatap ekspresi satu sama lain. Risa tak memiliki waktu banyak untuk berpikir karena keamanannya terancam saat ini. Hanya Adit yang bisa membantunya. Dia tak memiliki siapa-siapa yang membantu. Bahkan Alex pun sudah tak menganggapnya sebagai adik. Siapa lagi yang akan membantunya jika bukan Adit?

"Imbalan apa yang akan aku dapat jika menerima permintaanmu?" tanya Risa membuka obrolan serius.

Apa dia setuju dengan caraku? tanya Adit membatin.

"Bukankah kamu pernah bilang, semua tidak ada yang gratis?"

"Apa yang kamu inginkan?" Adit menanggapi dengan pertanyaan.

"Aku tidak meminta apa-apa darimu. Aku hanya butuh bantuanmu untuk membujuk Kak Rino agar memaafkan kesalahanku."

Seketika Adit terdiam. Permintaan Risa membuatnya berpikir ganda. Dia tahu benar bagaimana karakter Alex. Laki-laki itu tidak mudah dibujuk apalagi dirayu. Tak heran jika sampai saat ini dia tak memiliki kekasih.

"Aku nggak bisa menjanjikan dia maafin kamu atau nggak, tapi aku akan berusaha bantu kamu agar dia memaafkan kesalahanmu. Kamu pasti tau karakter dia yang susah dibujuk apalagi dirayu."

"Setidaknya aku dan kamu sudah berusaha." Risa menimpali.

Dugaan Adit salah. Ternyata gadis itu tak meminta imbalan material jika setuju dengan rencananya. Hanya minta bantuan untuk membujuk Alex. Meski memiliki harapan tipis, setidaknya Risa sudah setuju dengan rencananya.

Adit melangkah mundur, membuka pintu. "Masuk," perintahnya.

"Untuk?" tanya Risa memastikan. Melangkah mundur karena takut.

Apa yang Risa lakukan sudah sewajarnya sebagai wanita. Hati-hati pada laki-laki yang tiba-tiba mengajaknya masuk ke dalam kamar tanpa maksud.

"Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan."

"Kita bisa bicara di sana." Risa menunjuk sofa dekat tangga.

Hanya anggukan yang Adit berikan. Menyadari bahwa Risa khawatir terjadi sesuatu jika mereka berduaan di dalam sana. Dia mengikuti Risa dari belakang menuju sofa. Gadis itu sudah duduk di sofa, sedangkan Adit masih berdiri tak jauh dari posisinya.

"Aku mau bikin kopi dulu. Barangkali mau sekalian." Adit manawari.

"Terima kasih." Risa menolak halus.

Adit beranjak dari posisinya meninggalkan ruangan itu untuk menuju dapur. Terasa jelas jika dia masih mengantuk karena baru beberapa menit tertidur. Hanya kopi yang bisa menahan atau menghilangkan kantuknya.

Secangkir kopi hitam sudah ada di tangan Adit. Dia bergegas dari dapur untuk menemui Risa di atas. Khawatir jika gadis itu menunggunya terlalu lama. Dahi Adit berkerut saat melihat Risa sudah memejamkan mata dalam keadaan tubuh bersandar pada sofa. Baru beberapa menit ditinggal rupanya gadis itu sudah terlelap.

Apa dia belum tidur karena memikirkan tawaranku?

Cangkir berisi kopi diletakkan di atas meja. Niat untuk membangunkan gadis itu diurungkan karena kasihan. Dia membiarkan gadis itu tertidur di sofa, memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk mengambil bantal dan selimut agar tidurnya nyaman.

Adit meletakkan bantal di ujung sofa. Pandangannya beralih pada wajah gadis yang ada di hadapannya saat ini. Wajah polosnya terlihat cantik, natural, dan menggemaskan. Tanpa disadari Adit menyungging senyum. Ada rasa kagum yang menyelinap masuk ke dalam hatinya. Adit menggelengkan kepala saat tersadar karena sudah menatap Risa terlalu lama. Dia bergegas merebahkan tubuh gadis itu dengan perlahan agar tidak mengganggu tidurnya. Gerakan Adit sesaat terhenti, kembali menatap wajah Risa yang terlihat damai. Tangannya perlahan bergerak ke arah wajah gadis itu, menyingkirkan anak rambut yang masih menempel di pipinya. Adit menarik tangan setelah menyingkirkan anak rambut, lalu menegakkan tubuh. Dia akan meraih selimut, tapi gerakannya terhenti saat sebuah tangan mencekal lengannya. Tatapan Adit sontak mengarah pada lengan, dan terlihat Risa menggenggam tangannya erat. Sejenak Adit terdiam, membiarkan gadis itu kembali pulas, lalu dia akan melepas genggaman itu. Baru kali ini dia merasa nyaman tangannya digenggang seorang wanita. Setelah Risa pulas, dia mengurai genggaman tangan, lalu menyelimuti tubuh gadis itu agar tidak kedinginan. Setelah itu, dia duduk di sofa lain untuk menikmati secangkir teh yang sudah mulai dingin.

***

Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai yang tak tertutup rapat. Kicauan burung pun terdengar saling bersautan. Adit dan Risa masih terpejam dalam posisi masing-masing. Risa tidur di atas sofa panjang, sedangkan Adit tidur di sofa lain tanpa bantal dan selimut. Keduanya tertidur di ruangan yang sama.

Risa membuka mata perlahan, mengusap kelopak matanya yang masih terasa berat, mengedarkan pandangan ke sekitar. Matanya membulat saat menatap ke arah tirai karena matahari sudah terbit dan dia baru bangun. Selimut segera disibak, beranjak dari sofa karena panik. Gerakan tak seimbang dan pandangan yang tak fokus membuat tubuhnya tersungkur di atas lantai. Risa sontak mengaduh karena tangan kanannya membentur kaki meja.

"Jangan panik. Aku sudah bilang sama Ken kalau kamu nggak masuk kerja hari ini."

Pandangan Risa mengarah pada sumber suara. Dia bergegas dari posisinya. "Kenapa kamu tidak membangunkan aku?" tanya Risa kesal sambil duduk di sofa.

"Kamu nggak ninggalin pesan sebelum tidur. Yang salah siapa?" Adit beranjak duduk.

"Kamu sudah tahu jika aku harus kerja pagi."

"Apa izinku masih belum cukup?" Adit menatap Risa yang masih berdiri tak jauh dari posisinya. "Sudah ingat jika seharusnya kita diskusi mengenai rencana kita selanjutnya? Tentang kesetujuanmu untuk menikah pura-pura denganku?"

Sejenak suasana hening. Risa mengangguk lemah setelah mengingat apa yang sudah dia ucapkan semalam. Tidak ada pilihan lain yang harus dia ambil. Dua kubu sedang menyerangnya saat ini. Jika Risa menolak rencana itu, maka dia harus menghadapi Marcel. Setidaknya, pilihan yang dia ambil membuatnya aman karena dalam lindungan Adit. Dia harus bertahan agar hidupnya tidak berantakan.

"Aku cuci muka dulu." Risa beranjak dari posisinya setelah mengatakan hal itu.

Adit hanya memandang kepergian gadis itu. Tubuhnya beranjak dari sofa, meregangkan tangan ke atas untuk melemaskan ototnya yang terasa kaku. Tidur di sofa membuat tubuhnya pegal. Dia bergegas masuk ke dalam kamar untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

Setelah keperluannya selesai, Adit kembali keluar untuk merapikan sofa bekas Risa tidur. Dia bergegas turun setelah pekerjaannya selesai. Lantai bawah masih terlihat sepi. Risa masih belum keluar dari kamarnya. Adit mengayun langkah menuju dapur untuk membuat teh. Perhatiannya teralih saat mendengar suara pintu terbuka. Dia membalikkan tubuh untuk memastikan. Terlihat Risa berjalan menuju ke arahnya dengan raut sulit ditebak.

"Kamu tahu jika semalam ada orang masuk ke dalam rumah ini melalui jendela kamarku? Saat aku membuka tirai, jendela kamarku sudah terbuka," ucap Risa dengan nada khawatir.

Tanpa membalas, Adit beranjak dari posisinya untuk menuju kamar Risa, meninggalkan teh yang baru saja dia buat. Jika benar ada seseorang yang ingin mencelakai mereka, maka Adit tidak akan tinggal diam. Orang itu sudah berani memasuki zona merah.

Tatapan Adit langsung tertuju pada jendela saat tiba di ambang pintu kamar yang dihuni Risa. Tangannya terangkat, menginstruksi Risa agar tidak ikut masuk. Tatapan Adit beralih pada sekitar. Tidak ada kecurigaan yang terlihat.

"Kamu sudah merapikan kamar?" tanya Adit.

"Belum. Saat tiba di kamar, aku langsung ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat aku membuka tirai, jendela sudah terbuka seperti itu," ungkap Risa.

Adit melangkah maju, menyisir setiap benda di kamar itu. "Apa ada barang yang hilang?"

"Tidak ada. Tapi ... ponselku tidak terlihat dari tadi. Terakhir, aku meletakannya di atas tempat tidur."

Tak ada jawaban. Adit mendekati jendela, mengedarkan pandangan ke sekitar. Terlihat benda mencurigakan terjatuh di bawah jendela. Adit segera meraih benda itu. Ditatapnya lekat benda yang ada di tangannya saat ini. Risa bergegas menghampiri Adit untuk memastikan benda apa yang ada di tangan laki-laki itu.

"Itu-"

Ucapan Risa terpotong karena Adit menempelkan teluntuknya di bibir gadis itu. Pandangan Adit kembali mengitari sekitar, mencari alat yang dia curigai. Dia yakin jika kamar Risa disadap oleh pelaku.

"Ada apa?" tanya Risa tanpa mengeluarkan suara.

Adit meraih lengan gadis itu agar ikut bersamanya. Sudah tidak ada banyak waktu untuk mengulur rencana. Dia harus segera menikahi Risa agar masalah keduanya selesai, dan parasit yang mengganggu mereka segera berhenti. Adit merasa muak dengan orang yang sudah mengganggu kenyamanannya.

"Sebenarnya, apa yang terjadi? Siapa yang sudah masuk ke dalam rumah ini?" Risa kembali bertanya saat mereka sudah keluar dari kamar.

"Kita harus segera siap-siap dan berangkat ke Jakarta. Waktu kita sudah nggak banyak."

"Apa?! Ke-"

Ucapan Risa terpotong karena Adit dengan cepat membekap mulutnya. Dia mendekati gadis itu. "Kamar kamu sedang disadap. Ikut aku ke kamar atas. Ada yang harus aku sampaikan sama kamu." Adit menurunkan tangannya setelah mengatakan hal itu.

Mata Risa seketika melebar. Dia mengayun langkah untuk mengikuti Adit ke lantai atas. Pagi hari, mereka disambut dengan kejadian penyusup.

"Apa kamu nggak mastiin kunci jendela sebelum tidur? Jendela kamar kamu nggak dibobol, tapi kamu lupa mengunci." Adit membuka suara saat mereka tiba di dalam kamar.

"Sepertinya aku lupa." Risa tersenyum hambar.

Syukur dia semalam tidur di atas bersamaku. Aku nggak bisa bayangin kalau tadi malam dia tidur di kamarnya. Mereka akan menyesal karena sudah mengusik kenyamanan rumah ini.

"Apa yang akan kamu sampai mengenai ..." Risa menggantungkan kalimatnya.

"Aku akan menikahimu secara resmi," ungkap Adit.

"Tidak. Aku tidak setuju." Risa menolak cepat.

"Mereka akan semakin curiga kalau nggak ada bukti, dan apalagi secara tiba-tiba kita bilang sudah menikah. Mana buktinya? Mereka pasti menanyakan masalah itu."

Risa seketika terdiam, mengurai kalimat yang Adit lontarkan. Jelas mereka akan curiga jika tanpa bukti. Terlebih, saat ini mereka sedang dimata-matai.

"Sudah nggak ada waktu buat kita berpikir. Semuanya sudah aku siapkan. Kita tinggal ke Jakarta untuk menemui orang tuaku dan kakakmu supaya mereka percaya. Percayalah padamu." Adit meyakinkan.

Tak ada balasan dari Risa. Gadis itu hanya diam memikirkan ucapan Adit. Menimbang keputusan yang harus dia ambil. Tapi tak ada alasan selain menerima rencana Adit. Hatinya galau.

Adit beranjak dari tepi ranjang, berjalan untuk menuju tempat pakaian. "Satu langkah lagi," ucapnya tanpa menoleh.

"Harus berapa lama lagi?" Risa membuka pertanyaan.

"Satu bulan. Aku akan mengurus semuanya tanpa kamu ikut turun tangan. Kamu hanya terima beres saja. Bagaimana?" Adit menatap ke arah Risa.

Satu bulan? Apa tidak terlalu lama? Tapi terlalu cepat juga jika hanya satu bulan. Aku khawatir Marcel akan kembali mengusikku jika tahu pernikahan kami hanya pura-pura. Dan bagaimana masalah dia bersama wanita itu dan orang tuanya?

"Setidaknya sampai kamu mendapat perlindungan dari Alex jika kita berhasil membujuknya."

Risa mengangguk lemah. Pasrah. Jika itu keputusan terbaik agar masalah satu sama lain terselesaikan, maka tidak ada jalan yang harus dia tempuh selain mengikuti Adit. Hanya Adit yang dia percaya saat ini.

♡♡♡

Bendera tanda perang sudah berkibar.
Malam minggu jangan sampai ambyar.

😂😂😂
Selamat malam minggu kaum jomblo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro