26. Dia Berhak Bahagia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemandangan gadis yang sedang bermain air di bibir pantai masih menjadi pusat perhatian Adit. Bulan madu yang Adit janjikan terealisasi meski sempat mengalami kendala karena Risa menginginkan agar dia sembuh terlebih dahulu. Walaupun belum sepenuhnya sembuh, Adit tetap ingin segera menunaikan janji. Minimal, saat ini dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan benda. Dia pulih lebih cepat karena Risa merawatnya dengan sabar dan sepenuh hati.

Pandangan Adit beralih ke arah map yang tergeletak di atas meja, meraih benda itu, lalu beranjak dari sofa untuk mendekat ke arah Risa. Gadis itu masih duduk di bibir pantai sambil menikmati sunset yang terlihat indah di langit barat. Adit segera duduk di samping Risa, melepas kacamata yang menghiasi wajahnya, lalu menyampirkan pada kerah pakaian. Kedatangan Adit membuat Risa menoleh sekilas, lalu kembali menatap pemandangan di ujung barat.

"Aku sangat rindu suasana ini, menikmati sunset sampai matahari benar-benar tenggelam." Risa membuka obrolan tanpa menatap lawan bicara.

"Nikmati sepuasmu selagi bisa," balas Adit sambil ikut menikmati sunset dan deburan ombak yang membuat hatinya tenang.

Keduanya sibuk menikmati pemandangan yang ada tanpa ingin melanjutkan obrolan. Adit sengaja menjeda waktu, membiarkan Risa tenang menikmati pemandangan yang jarang dia lihat, menyiapkan kata untuk diungkapkan. Pandangan Adit beralih pada gadis di sampingnya yang terlihat tenang dengan senyum tipis. Wajah polos Risa selalu membuatnya betah untuk lama menatap. Matahari mulai terbenam, meninggalkan langit yang kini berubah gelap.

"Ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu."

Kalimat itu membuat Risa menoleh ke arah laki-laki di sampingnya. Tatapan mereka bertemu. Wajah Adit terlihat tanpa ekspresi. Risa mengerutkan dahi.

"Kamu percaya padaku?" tanya Adit memastikan.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Risa balik. "Aku selalu percaya padamu," lanjutnya.

Bibir Adit mengembang tipis. "Sebelumnya, aku minta maaf kalau sudah menutupi masalah ini darimu. Aku hanya khawatir hubunganmu dan Rino semakin berantakan."

"Apa ada masalah lagi? Apa dia kembali membuat masalah?"

Adit meraih map yang sudah disiapkan, lalu mengulurkannya pada Risa. "Kamu akan tahu semuanya di sini."

"Ini apa?" tanya Risa sambil menerima map tersebut.

"Kamu akan tahu setelah membacanya."

Map segera dibuka untuk memastikan isi di dalamnya yang akan memecah rasa penasaran Risa. Lembar pertama yang dia lihat adalah test DNA atas namanya dan Alex. Tatapan Risa seketika beralih pada laki-laki di sampingnya. Meminta kepastian.

"Kamu memang bukan adik kandung Rino," ungkap Adit.

"Ini tidak mungkin."

"Mungkin Rino sudah tahu sejak lama. Dia menutupi rahasia ini dari semua orang. Termasuk mama kamu. Tapi aku nggak bodoh. Karena merasa ganjal, diam-diam aku melakukan test itu tanpa kalian tahu," lanjut Adit.

Risa bergeming. Masih tak percaya dengan bukti yang ada di tangannya. Bagaimana mungkin mereka tidak sedarah, sedangkan sejak kecil mereka bersama? Mereka mendapat kasih sayang yang sama dari sang ayah. Adit masih membiarkan gadis di sampingnya sibuk dengan pikiran sendiri. Kepingan masa lalu yang membuat hubungan mereka retak akan menjadi jawaban.

"Itu kalau kamu percaya padaku. Kalau nggak, terserah kamu mau melanjutkan apa yang sudah aku usahakan atau mau cari tahu sendiri. Aku sudah kasih petunjuk dan sudah merencanakan untukmu ke depannya."

"Apa ini alasan dia benci padaku? Alasan tidak mengizinkan aku kembali ke Indonesia? Alasan tidak mau mengakuiku sebagai adiknya lagi?"

Tatapan Adit berubah sendu karena mata gadis di hadapannya berkaca. "Dia juga dalang tabrak lari yang aku alami."

Air mata Risa mengalir. "Kenapa kamu baru cerita sekarang?"

Adit menghapus jarak, memeluk gadis di hadapannya. "Aku cuma nggak mau kamu kepikiran dan sedih. Sekarang, kamu punya aku yang bisa membantumu kapan saja. Kamu berhak bahagia dan mendapatkan apa yang seharusnya jadi milikmu."

"Aku tidak menyangka jika Kak Alex akan melakukan hal itu padaku. Maafkan aku karena sudah membuatmu terluka parah dan melakukan semua ini."

"Karena aku mencintaimu."

Pelukan terurai. Risa menatap wajah lelaki di hadapannya untuk mencari kebenaran kalimat itu. Tangan Adit terangkat, mengusap pipi Risa dengan lembut sambil tersenyum. Risa kembali memeluk sang suami.

"Sebenarnya, aku juga mulai mencintaimu, tapi aku ragu kalau kamu masih menganggap pernikahan kita hanya pura-pura."

"Aku sudah tahu."

"Dari mana?"

"Dari pertama kali menerima bantuanku."

Senyum mengembang di bibir Risa, menenggelamkan wajahnya di dada bidang Adit. Sudah cukup perasaan satu sama lain terpendam. Kini, semua telah tersingkap, termasuk rahasia yang sudah cukup lama Adit pendam. Risa berhak mengetahui agar dia bisa bertindak dan mengambil alih apa yang seharunya jadi milik sang istri. Walaupun masih penasaran mengenai identitasnya, Risa meminta sang suami untuk mencari informasi tentang masa lalu Alex. Kenapa sang ayah bisa menyayangi Alex seperti anak sendiri dan menyembunyikan identitas sang kakak?

***

"Good morning," sapa Risa saat laki-laki yang memeluknya membuka mata. Cukup lama dia mengamati sang suami yang tertidur pulas dengan raut polos.

Bibir Adit menyungging senyum tipis. "Pagi," balasnya serak khas bangun tidur, lalu mengeratkan pelukan yang sempat longgar. Matanya kembali terpejam untuk menikmati kenyamanan memeluk wanita tercinta.

Suasana kembali hening. Keduanya menikmati pelukan pagi yang seakan tak ingin terlepas. Bahkan kejadian semalam tak ingin berlalu, karena kali pertama mereka melakukannya. Aroma tubuh Adit seakan menjadi candu untuk Risa.

"Apa rencana kita hari ini?" tanya Risa setelah cukup lama hening.

"Menghabiskan waktu bersamamu," balas Adit tanpa membuka mata.

"Bukankah setiap hari kita selalu bersama?"

"Dimulai hari ini akan berbeda."

Deringan ponsel menjeda obrolan mereka. Suara bersumber dari ponsel milik Adit. Pelukan terurai karena Adit ingin memastikan seseorang yang sudah mengganggu kebahagiaannya di pagi hari. Dia beranjak duduk, menempelkan ponsel pada telinga. Orang penting menghubunginya. Risa hanya menatap punggung polos Adit karena tak ada sehelai benang pun yang menghalangi. Bekas luka memanjang seperti sayatan menjadi pusat perhatian Risa.

"Atur waktu untuk bertemu dengannya. Kita akan ke Jakarta jika kehadiran Risa dibutuhkan."

Mendapati namanya disebut, Risa mengalihkan perhatian. Apa ini mengenai peninggalan Papa? tanya Risa dalam hati.

"Kabari aku jika terjadi masalah."

Adit kembali meletakkan ponsel di atas nakas setelah obrolan berakhir, lalu menatap Risa yang masih memerhatikannya. Dia kembali membaringkan tubuh.

"Apa kita akan ke Jakarta?" tanya Risa memastikan.

"Jika kehadiranmu dibutuhkan."

"Apa kita akan tinggal di sana jika menang dalam persidangan."

"Itu kalau kamu mau. Kalau nggak, kita masih bisa tinggal di sini."

"Bagaimana dengan perusahaan yang ditinggalkan Papa?"

"Kamu bisa percayakan pada orang lain."

"Tapi aku tidak bisa percaya pada orang lain. Hanya kamu satu-satunya orang yang aku percaya. Kamu tidak ingin membantu mengelola perusahaan peninggalan Papaku?"

"Kita bahas nanti saja. Sekarang aku lapar. Kamu mau sarapan apa?"

"Kamu bisa membuktikan pada orang tuamu jika pilihanmu tidak salah dengan ikut mengelola perusahaan peninggalan Papaku."

Tangan Adit terangkat, mengusap lembut pipi Risa. "Mereka akan tahu dengan sendirinya tanpa aku harus pamer. Lebih baik sekarang kamu pakai baju dan kita akan masak bersama di dapur. Aku ingin belajar memasak darimu."

Mereka beranjak dari ranjang, memungut pakaian yang berserakan di atas lantai. Adit hanya memilih celana untuk dikenakan, memberikan kaus miliknya pada Risa karena semalam pakaian sang istri tak sengaja tersiram minuman. Risa segera menerima kaus itu, lalu mengenakannya. Kaus itu terlihat kebesaran di tubuhnya dan hanya sebatas paha. Tidak menjadi masalah bagi Risa, karena di dalam rumah itu hanya Adit, dan mereka sudah sah menjadi pasangan. Keduanya keluar dari kamar untuk menuju dapur, membuat sarapan bersama.

"Bahan apa saja yang kamu bawa?" tanya Adit saat tiba di dapur.

"Ikan salmon, ayam, telur, beberapa sayur, dan beberapa bumbu." Risa memilih duduk di atas meja granit yang ada di dapur.

Adit terlihat berpikir ingin memasak apa, membuat Risa tersenyum simpul memerhatikan lelaki di hadapannya yang telanjang dada. Kali pertama melihat Adit di dapur tanpa mengenakan kaus. Tubuhnya terlihat padat dan berisi karena tahu Adit sangat menjaga olahraga. Risa terkesiap saat lelaki di hadapannya terlihat menyilang tangan di dada, menatapnya dengan ekspresi susah ditebak. Tertangkap basah. Adit melangkah maju, membuat Risa menelan saliva, mengurung sang istri dengan kedua tangan menekan sisi meja. Wajah keduanya hanya berjarak satu jengkal.

"Aku hanya penasaran dengan bekas luka di punggungmu," ungkap Risa mencari alasan. Masuk akal.

Ungkapan itu membuat Adit menoleh ke pundak, mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu, kemudian senyum tipis menghiasi parasnya. "Bekas luka atau tubuhku tanpa baju?"

"Untuk apa aku mencari alasan?"

"Kejadiannya sudah lama. Kecelakaan saat bertugas di hutan Kalimantan."

"Lukanya terlihat parah."

"Demi pengabdian pada negara luka separah apapun tidak seberapa."

Kedua tangan Risa terangkat, melingkarkan di leher Adit. "Aku bangga padamu." Kecupan mendarat di bibir Adit setelah kalimat itu terucap.

"Terima kasih karena sudah percaya padaku," ucap Adit saat ciuman berakhir.

"Bagaimana jika aku yang memasak? Aku lebih tahu untuk memasak apa dengan bahan-bahan itu. Lain waktu aku akan mengajarimu di rumah dan bahan tidak terbatas. Kamu hanya perlu menjadi asistenku di dapur hari ini," usul Risa.

"Baiklah. Aku akan mengeluarkan bahan dari kulkas. Apa saja yang kamu butuhkan?" Adit menegakkan tubuh, mengayun langkah menuju kulkas.

Risa mengikat rambut menjadi cepol, lalu turun dari meja. "Kamu mau sarapan apa pagi ini?" tanyanya sambil menghampiri dapur.

"Apa yang menurutmu cocok dimakan pagi ini?"

"Potato wedges, salad dan telur rebus menurutku cocok."

"Okay. Aku akan menyiapkan bahannya."

Keduanya mulai berkutat dengan tugas masing-masing, saling membantu aktivitas satu sama lain. Risa terampil memotong sayuran yang sudah tersaji dan dibersihkan, sedangkan Adit membuat minuman dan menyiapkan alat makan. Mereka terlihat kompak dan serasi.

Setelah semua menu siap, keduanya duduk berdampingan. Risa menyendokkan salad ke atas piring sang suami, lalu meletakkan potongan telur rebus di sisi piring. Gerakan Risa membuat sang suami bergeming, hanya fokus memerhatikan sang istri yang sibuk menyiapkan makanan untuknya.

Seumur hidup, baru sekarang aku merasa bahagia seperti ini. Walaupun dia bukan target yang ingin kunikahi, tapi Risa membuktikan jika menikahinya adalah jalan terbaik dan menyelamatkan aku. Tuhan nggak pernah salah menghadirkan dia dalam kehidupanku. Sekarang, aku sudah lebih tenang dan bahagia setelah menikah dengannya. Pilihanku nggak salah.

Tepukan di bahu membuat pikiran Adit buyar, segera menatap wanita di sampingnya. Tatapan Risa terlihat khawatir. Senyum tersungging di bibirnya untuk menenangkan sang istri.

"Apa yang kamu pikirkan? Apa itu mengenai aku?"

Diraihnya tangan Risa, lalu menggenggamnya erat. "Aku memang mikirin kamu, tapi bukan karena masalah yang sedang kita hadapi. Yang aku pikirin adalah bagaimana menyampaikan supaya kita cepat memiliki anak."

Ungkapan itu membuat Risa melebarkan mata, lalu disusul senyum merona. Tidak mampu berkata untuk membalas ungkapan Adit.

"Itu kalau kamu nggak keberatan," lanjut Adit sambil melepas genggaman, mulai menyantap makanan yang tersaji di piringnya.

"Kamu tidak ingin memberiku kesempatan untuk menikmati waktu berdua bersamamu?"

"Jangan diambil serius. Aku hanya bercanda. Kamu berhak menikmati waktu selama bersamaku sampai siap untuk memiliki anak." Berusaha menenangkan agar Risa tidak merasa tertekan.

Risa terlihat bernapas lega setelah mendengar kalimat itu. Pernikahan mereka belum genap satu bulan, belum ada pikiran untuk segera memiliki anak. Risa tidak menolak memiliki anak, tetapi belum siap jika dalam waktu dekat. Mungkin satu tahun ke depan, atau dua tahun ke depan. Dia masih ingin menikmati waktu berdua dengan Adit.

***

Adit menatap tajam ke arah Risa yang mengenakan terusan pendek warna putih tulanf hanya sebatas paha. Penampilan sang istri akan mengundang mata lelaki buaya. Adit tak ingin sang istri menjadi pusat perhatian lelaki mata keranjang.

"Ganti bajumu. Aku nggak mau kamu pakai baju itu," perintah Adit.

"Kenapa? Pakaian ini bagus dan serasi dengan kemejamu,"

"Hanya aku yang boleh menikmati tubuh indahmu."

Tatapan Risa langsung beralih pada tubuhnya. Dia meneliti apa yang salah, dan pandangannya berhenti pada tubuh bagian bawah yang tak tertutupi.

"Kalau kamu nggak ganti baju, kita nggak akan makan malam di luar. Aku lebih senang kalau kita makan di rumah dari pada kamu harus jadi tontonan laki-laki mata keranjang."

Walaupun kecewa dengan penilaian Adit, tapi Risa senang karena mendapat perhatian yang sebelumnya tak dia dapati dari sang suami, mengoreksi penampilannya. Dia menuruti permintaan Adit, mengganti pakaian sesuai keinginan sang suami. Sambil menunggu sang istri, Adit duduk di sudut ruang keluarga, melanjutkan bacaan buku yang sempat tertunda.

"Hanya pakaian ini yang tersisa karena hampir semua yang aku bawa tidak menutupi paha. Semoga kamu tidak kembali komplain."

Pandangan Adit beralih pada sumber suara sambil menutup buku. Rambut Risa saat ini tergerai, berbeda dengan sebelumnya yang dikuncir. Kemeja putih lengan pendek bercorak bunga lili dan celana jin warna hitam menghiasi tubuh Risa. Bibir Adit menyungging senyum, lalu mengangguk tanda suka. Mereka segera keluar dari vila untuk memasuki mobil, menikmati dan menghabiskan malam itu di luar. Tangan keduanya saling menggenggam erat saat di dalam mobil seakan tak ingin terlepas. Pasangan yang sedang dimabuk cinta akan membuat kaum jomlo iri.

***

Ada yang kangen aku?
Eh, maksudku pak polisi dan Risa. 🤭
Akhirnya mereka pecah telor, ya. Xixixi ...

Udah follow dan tap bintang belum?
Koment jangan lupa, biar aku ngerumpi ma kalian. 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro