27. Surprise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sinar matahari menyusup masuk melalui celah-celah tirai yang tak tertutup rapat, membunuh kegelapan di apartemen itu, serta membuat tidur nyaman Risa terganggu. Gadis itu mengerjapkan mata, mengusap kelopak dengan punggung jari telunjuk, lalu menoleh ke samping. Kosong. Dia beranjak duduk, mengedarkan pandangan untuk mencari sosok sang suami. Senyum menghiasi parasnya kala mendengar suara gemercik air dari arah kamar mandi. Rambut segera dikuncir, menyibak selimut, lalu turun dari ranjang. Langkahnya terayun untuk keluar dari kamar, berniat membuat sarapan untuk sang suami.

Sesuai permintaan pengacara, Risa diminta hadir pada persidangan yang akan dilaksanakan pada hari itu sebagai penggugat. Adit mendukung penuh gugatan itu dan akan terus ada di samping sang istri apa pun hasilnya. Mereka yakin jika persidangan itu akan dimenangkan oleh Risa.

Suara pintu terbuka membuat perhatian Risa teralih, menatap sumber suara, lalu tersenyum hangat. "Selamat pagi," sapanya.

Raut Adit berubah tersenyum hangat yang sebelumnya tersirat khawatir karena tak mendapati sang istri di dalam kamar. "Pagi, Sunsine. Ternyata kamu di sini."

"Kamu pasti lapar karena semalam hanya makan sedikit, jadi aku sengaja membuat sarapan sekaligus menantimu selesai bersiap."

Adit melingkarkan tangan di pinggang sang istri, memeluknya dari belakang, membuat Risa menoleh ke samping. Saat Adit akan mendaratkan ciuman, Risa menghalangi bibirnya dengan punggung tangan. Kedua alis Adit seketika terangkat, meminta jawaban atas penolakan sang istri.

"Aku belum gosok gigi," ungkap Risa.

Tangan yang menghalangi segera disingkirkan, lalu terjadi ciuman pagi yang tak bisa dihindari oleh Risa. Meski tak nyaman, tetapi Risa justru menikmati. Deringan ponsel menggema di ruangan itu, membuat ciuman mereka berakhir. Adit menghela napas, meraih benda pipih itu dari dalam saku, menatap layar ponsel untuk memastikan sang penelepon. Layar benda pipih itu ditunjukkan pada Risa setelah tahu siapa yang menghubungi Adit.

"Kak Alex," ucap Risa lirih.

Penasaran akan maksud Alex menghubungi Adit, layar ponsel segera digeser, menyusul pengeras suara ditekan. Keduanya siap untuk mendengarkan. Bisa saja bendera putih atau bendera merah yang akan Alex kibarkan.

"Ternyata tujuanmu menikahi dia karena ingin menguasai kekayaannya." Suara Alex terdengar sinis. Menuduh.

Senyum tawar menghiasi wajah Adit, melempar pandangan pada wanita di hadapannya. Risa langsung menggeleng dengan tatapan tak percaya. Dia sepenuhnya yakin pada sang suami.

"Apa aku tidak salah dengar? Bagaimana denganmu, Alex? Bukankah kamu yang sudah memanfaatkan aku untuk mendapatkan semua peninggalan Papa? Aku tidak menyangka jika kamu akan sejahat ini sampai ingin mencelakai aku." Risa angkat suara, menepis tuduhan yang dilontarkan pada Adit.

"Kalian akan menyesal karena sudah melawanku."

Telepon terputus sepihak karena Alex merasa terpancing. Hal itu tidak membuat tekad Risa dan Adit gentar. Bukti yang mereka miliki cukup kuat. Ponsel Adit kembali berdering, menampilkan nama seorang lelaki pada layar benda itu. Risa merasa tak asing dengan nama lelaki itu. Tak ingin berpikir terlalu dalam, Risa kembali melanjutkan aktivitas, membiarkan Adit berbicara dengan seseorang mengenai persidangan yang akan digelar beberapa jam kemudian.

"Terima kasih untuk kerja keras Anda. Kami akan bersiap untuk segera ke sana."

Kalimat itu mengusik konsentrasi Risa, menatap ke arah sang suami yang sedang berdiri tak jauh dari posisinya. Adit masih terlihat fokus menanggapi sang penelepon. Aktivitas yang terjeda kembali Risa lakukan.

"Kita nggak banyak waktu. Kalau bisa, kamu siap-siap sekarang. Kita harus bertemu orang penting sebelum ke pengadilan," terang Adit sambil meletakkan ponsel di atas meja setelah sambungan telepon terputus.

"Orang penting? Siapa?" tanya Risa ingin tahu, berjalan mendekati Adit, lalu meletakkan secangkir kopi di hadapan sang suami.

Adit meraih cangkir yang tersaji, lalu menyesapnya perlahan. "Kamu akan tahu di tempat pertemuan. Sudah lama aku mencari info keberadaan orang ini." Meletakkan cangkir ke tempat semula.

"Baiklah, aku akan siap-siap. Tapi bagaimana dengan sarapan kita?"

"Kita masih memiliki waktu untuk sarapan di dalam mobil. Kamu siap-siap, aku yang akan menyiapkan sarapan ke dalam kotak makan."

Setelah membagi tugas, keduanya bergegas melakukan tugas masing-masing. Hari ini akan menjadi perjalanan melelahkan bagi mereka karena harus menghadapi persidangan. Terlebih lawan mereka adalah alex. Segala cara pasti akan dilakukan Alex untuk menang dalam persidangan.

***

"Apa ada masalah? Aku lihat, sejak dari rumah kamu hanya diam. Apa yang terjadi? Kamu tidak ingin berbagi cerita denganku?" tanya Risa beruntun karena sang suami hanya diam setelah selesai bersiap.

Saat ini, mereka sedang di jalan untuk menemui seseorang yang masih menjadi rahasia karena bersangkutan dengan masa lalu Risa. Setelah mendapat instruksi dari orang itu, Adit berpikir keras mengenai permintaannya.

Adit menepikan mobil ke bahu jalan, menghela napas dalam untuk menyiapkan kata yang akan disampaikan pada sang istri. Sedangkan Risa masih terlihat bingung akan perubahan sang suami, menanti jawaban dari pertanyaannya.

"Kamu masih ingat dengan lelaki yang pernah menjadi pengacara papamu?" tanya Adit setelah cukup tenang.

"Om Indra?" tebak Risa.

"Apa kamu percaya padanya?"

"Dia yang kamu maksud akan kita temui?"

"Iya. Orang suruhanku berhasil melacaknya. Dia menghubungiku saat kamu masih siap-siap. Tadinya, aku berniat mempertemukanmu dengannya, tetapi aku memikirkan lagi setelah mendengar permintaannya. Dia baru pulang dari Belanda beberapa hari yang lalu. Aku berniat mencari bukti tambahan atau informasi penting, tapi sepertinya aku salah ingin meminta bantuan pada dia."

"Memangnya Om Indra minta apa? Bukankah dia masih jadi pengacara Kak alex?"

"Dia meminta kita untuk mencabut gugatan itu, dan dia sudah dipecat Alex setahun setelah kepergianmu ke Rusia."

Mata Risa sontak membelalak. "Apa kamu tidak salah dengar? Aku tidak yakin Om Indra meminta kita untuk mencabut gugatan itu karena Papa sangat percaya padanya dalam masalah hukum. Apalagi dia sudah tidak berpihak pada Kak Alex."

"Kamu meragukan pendengaranku?"

"Bukan begitu. Aku hanya-"

"Kita buktikan saja saat kamu di hadapnnya." Adit memotong ucapan sang istri, lalu melajukan mobil untuk menemui orang yang membuat mereka berselisih.

Keadaan menjadi tak menentu setelah perselisihan menyangkut orang itu. Risa menatap ke arah suami yang terlihat tanpa ekspresi dan fokus pada kemudi, merasa bersalah karena sudah meragukannya.

"Maafkan aku. Bukan maksudku tidak percaya padamu." Risa memeluk lengan sang suami, menyandarkan kepala pada bahunya.

"Ingat, kamu harus bisa jeli dalam menilai," balas Adit tanpa menoleh.

"Kamu masih marah padaku?"

"Semua keputusan ada di kamu. Aku nggak berhak marah."

"Kita temui dia terlebih dahulu untuk meminta penjelasan, nanti setelah itu, aku akan ambil keputusan. Bagaimana?"

Adit memilih diam, melajukan mobil menuju tempat bertemuan dengan lelaki itu. Bagaimana pun mereka memang butuh penjelasan serta alasan akurat mengenai permintaan mencabut tuntutan. Entah keputusan Risa akan melanjutkan atau dicabut, itu tergantung dari penjelasan yang akan mereka dengar.

***

Risa masih terlihat murung setelah mendengar penjelasan dan melihat bukti dari orang kepercayaan sang papa. Masih tidak menyangka jika selama ini sang papa menyimpan rahasia besar, menikahi mantan kekasihnya dalam keadaan hamil, tetapi bukan darah dagingnya. Lalu semua harta yang dimiliki adalah peninggalan sang istri yang notabene anak tunggal keturunan orang kaya, dan sudah tentu Risa tidak memiliki bagian di dalamnya. Pantas saja Alex sangat yakin akan menang dan membecinya selama ini, ternyata dia sudah mengetahui terlebih dahulu akar masalah yang terjadi. Hati Risa seakan dipalu sampai akar bumi. Terasa amat sakit.

Melihat keadaan sang istri yang sedih, Adit berjalan menghampirinya, duduk di belakang tubuh sang istri setelah meletakkan map di sisi tempat tidur, merengkuh tubuhnya dari belakang. Risa memutar tubuh, memeluk erat sang suami, lalu memecahkan tangis. Suasana hati Risa sedang tidak menentu, membuat Adit membiarkan sang istri meluapkan emosi dalam dekapnya.

"Aku minta maaf," ucap Risa di sela isak.

"Kenapa kamu minta maaf?" tanya Adit sambil mengusap lembut kepala sang istri.

"Aku sudah membuatmu susah selama ini, membuang tenaga dan uangmu, lalu tidak bisa membuktikan pada orang tuamu karena ternyata aku tidak memiliki apa-apa."

Ungkapan sang istri membuat Adit tersenyum. "Aku menikahimu bukan karena itu atau ingin memanfaatkanmu," balasnya menenagkan. "Jadi karena itu kamu sedih? Kata siapa kamu nggak punya apa-apa?" lanjutnya dengan pertanyaan.

"Bukankah kamu dengar dan lihat sendiri buktinya dari Om Indra."

Adit melepas pelukan, mengusap air mata sang istri. "Makanya kalau orang lain belum selesai menjelaskan jangan langsung pergi," peringatnya. Map di sisi tempat tidur diraih, lalu disodorkan pada Risa. "Dia menitipkan ini padaku agar diberikan padamu," imbuhnya.

"Aku kesal karena ternyata usaha kita sia-sia."

"Terima ini dan baca baik-baik biar kesalmu hilang."

"Ini apa?" tanya Risa memastikan sambil menerima map itu.

"Buka saja."

Merasa penasaran, Risa segera membuka map di tangannya. Mata Risa melebar saat melihat lembar pertama adalah surat wasiat, sesuai kalimat awal dan ditulis tebal.

Surat Wasiat untuk Clarissa Morino

Untuk putri semata wayangku, Clarissa Morino. Papa minta maaf karena kamu mengetahui hal ini setelah Papa pergi. Kamu tahu, Papa sangat menyayangimu lebih dari apa pun karena kamu adalah anak semata wayang Papa. Maafkan Papa jika pernah berbuat tidak adil padamu dalam hal kasih sayang. Maafkan Papa, Sayang. Saat kamu baca surat ini, kamu pasti sudah tidak berasama mamamu atau sudah memiliki suami. Papa sengaja menitipkan surat ini pada Om Indra agar diberikan saat kamu sudah dewasa dan memiliki suami agar tidak berselisih dengan Alex setelah kepergian Papa. Sekali lagi Papa minta maaf karena sudah membuat kamu dan Alex salah paham. Semoga hubungan kalian tetap baik-baik saja setelah kepergian Papa. Papa tinggalkan untukmu beberapa aset dan properti ini:

2 saham aktif pada PT. Candrakarya dan PT. Indojaya
2 vila di Bali
1 apartemen di Javier Recidency
1 buku tabungan atas nama putriku

Surat wasiat ini Papa percayakan padamu Om Indra Kurniawan. Hanya dia orang yang Papa percaya dari kita di bangku kuliah sampai saat surat ini di tanganmu. Semoga kamu selalu bahagia dan hidup berkecukupan. Hanya ini yang bisa Papa berikan untukmu. Selamat tinggal putri semata wayang Papa.

"Apa aku mimpi?" tanya Risa tak percaya setelah membaca surat wasiat itu.

Adit mencubit pelan pipi sang istri. "Tidak."

Wajah yang tadinya sedih langsung berubah ceria. Risa kembali memeluk sang suami. "Aku bisa membuktikan pada keluargamu-"

"Aku nggak mau mereka tahu semua ini," potong Adit. "Kita harus ingat dengan pesan Om Indra bahwa wasiat dari papamu hanya kita bertiga yang tahu."

"Oh, begitu." Risa memasang wajah pasrah.

Deringan ponsel menjeda obrolan mereka. Suara bersumber dari saku celana Adit. Benda pipih itu segera dirogoh, menatap layar ponsel untuk memastikan. Layar segera diusap, menempelkan ponsel pada telinga. Sambil menanti Adit menerima telepon, Risa kembali fokus pada isi map. Walaupun kalah dalam melawan Alex, tetapi mereka tidak rugi, justru mendapat untung karena bertemu Indra. Setidaknya, Risa tahu alasan sang papa menutupi identitas Alex. Jika sang papa tidak menikahi wanita itu, tentu Risa tak akan mungkin mendapat wasiat yang diberikan sang papa padanya.

"Kamu akan mendapat kejutan," ucap Adit setelah meletakkan ponsel di atas nakas.

Perhatian Risa teralih ke arah sang suami. "Kejutan?" tanyanya memastikan.

"Buka saja ponselmu dan pastikan sendiri."

Risa segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, memastikan ucapan sang suami. Beberapa pesan WhatsApp masuk dari beberapa orang, termasuk Indra. Dia segera membuka pesan dari orang yang menurutnya penting.

From: Om Indra
Kamu sudah tahu jika Alex ditangkap polisi karena kasus narkoba?

Tatapan Risa beralih pada suami yang masih duduk di sampingnya. Dia menduga jika Adit uang telah melakukan hal itu.

"Aku sudah menduga kalau kamu bakal nuduh aku," ungkap Adit.

"Aku hanya ingin meminta kepastian." Risa meminta penjelasan.

"Bukan aku. Kalau aku ingin menjebloskannya ke dalam penjara, kenapa nggak aku lakuin dari saat dia ingin mencelakai kamu?"

"Lalu siapa?"

"Sekarang dia bukan siapa-siapa kamu, kenapa kamu masih peduli? Dia saja sudah nggak peduli sama kamu. Mungkin itu karma buat dia karena pernah mencelakai kita atau orang lain."

Risa hanya bisa mengangguk lemah, membenarkan ucapan sang suami. Jika Alex sudah tidak peduli padanya, lalu untuk apa Risa masih peduli pada orang yang hampir mencelakainya. Biarkan Alex menanggung apa yang sudah dia perbuat. Tuhan selalu adil dalam menentukan segala hal untuk umatNya.

***

Lama ya ga update. Ga ada yang  nagih dan nyemangatin, sih.
Bintang aja ga tembus 100 di part sebelumnya, gimana mau semangat nulis. Hehehe ...

Yuk ... semangatin aku lagi biar rajin nulis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro