28. Permintaan Tersembunyi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah keperluan di Jakarta selesai, Adit dan Risa langsung kembali ke Bali karena sudah cukup bagi mereka singgah di ibukota. Risa mantap dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Bali, sedangkan dia masih memiliki tanggung jawab menjalankan bisni dari mendiang sang ayah. Keputusan yang dia ambil untuk kebaikan bersama. Adit tidak masalah jika Risa ingin tinggal di sana, tetapi sang istri tetap kukuh dengan pendiriannya. Bagi Risa, Bali adalah tempat ternyaman untuknya. Di sana dia merasa tenang dan aman, jauh dari gangguan Alex atau keluarga Adit.

"Bagaimana jika aku menjual apartemen itu untuk mengembangkan bisnismu?" ungkap Risa.

Kalimat itu sontak membuat Adit menjeda aktivitas, menatap wanita yang sedang menyiapkan pakaian untuknya. "Aku nggak setuju," tolaknya.

"Kenapa? Bukankah kamu sudah tahu keputusan aku bahwa kita tidak akan tinggal di Jakarta? Lalu kenapa kamu melarangku untuk menjual apartemen itu?"

Adit terlihat sudah kembali melanjutkan aktivitas, membersihkan bulu halus yang mulai tumbuh di area mulut. "Kamu lupa dengan tuduhan Alex padaku?"

Tuduhan Kak Alex?

"Biarkan apartemen ini tetap ada sebagai rumah singgah kalau kita ke Jalarta. Atau kamu ingin menyewakan apartemen ini pada orang lain. Kamu pasti akan sering ke Jakarta untuk bisnis," terang Adit.

"Aku tidak ada keinginan-"

Suara deringan ponsel menjeda obrolan mereka. Risa beranjal dari posisi karena deringan itu bersumber dari ponsel miliknya, sedangkan Adit masih sibuk dengan aktivitasnya. Layar ponsel menunjukkan satu panggilan telepon tak terjawab dan beberapa pesan yang belum dibuka. Perhatian Risa tertuju pada nomor baru yang mengirim pesan.

From: +628***********
Bisa kita bicara?
Saya mamanya Adit.

Seketika Risa terdiam, memastikan kebenaran pesan itu. Menurutnya, bisa saja pesan ini jebakan. Pesan itu mengusik pikiran Risa. Antara percaya dan tidak mengenai pengirim pesan itu. Antara ingin membalas dan mengabaikan.

Deringan ponsel kembali menggema, membuat Risa terkesiap, menatap layar ponsel yang masih ada dalam genggaman. Nomor itu kembali menghubunginya.

Angkat, tidak. Angkat tidak.

Jari Risa menggeser layar perlahan, memberanikan diri menerima telepon itu. Sejenak, suasana terasa hening.

"Aku tahu sudah mengganggumu pagi-pagi seperti ini." Kalimat itu terdengar dari seberang sana.

Hanya satu kali Risa bertatap muka dengan wanita yang telah melahirkan suaminya saat meminta restu. Ini kali kedua mendengar suara wanita itu.

"Maaf. Apa yang ingin Anda bicarakan? Apa mengenai Mas Adit?" tanyanya to the poin.

"Apa kamu bisa mempertemukanku dengan Adit? Hari ini adalah ulang tahunku dan keinginanku pada Tuhan hanya ingin bertemu dengannya."

Hari ini ulang tahun beliau? Apa aku harus menuruti permintaan beliau? Tapi bagaimana jika Adit menolak?

"Apa kamu bisa melakukan itu untukku?"

Pikiran Risa buyar. Di saat yang sama Adit berjalan menghampirinya dengan pakaian yang sudah dia siapkan. Risa menjauhkan ponsel dari telinga, memaksa senyum saat Adit mulai mendekat.

"Kamu mau sarapan apa? Aku belum masak karena setelah bangun tidur langsung menyiapkan pakaianmu." Risa membuka obrolan, memasukkan ponsel ke dalam saku piama.

"Kamu siap-siap saja. Aku yang akan bikin sarapan. Kita ke vila sekarang buat mastiin keadaan tempat itu."

Adit berlalu dari hadapan sang istri, sedangkan Risa menghela napas lega. Ponsel di dalam saku segera diraih untuk memastikan jika panggilan masih tersambung. Dia segera menempelkan benda pipih itu pada telinga karena sambungan telepon masih berjalan.

"Maaf," ucap Risa karena merasa tidak sopan telah mengabaikan obrolan bersama orang tua, terlebih orang itu adalah ibu mertuanya.

"Kalian akan honeymoon?" tanyanya mengabaikan ucapan Risa.

"Ah, itu. Kami hanya akan survei ke sana untuk memastikan karena tempat itu ..." Risa menggantungkan kalimat karena hampir saja keceplosan. "Karena tempat itu belum sesuai dengan keinginan Mas Adit," lanjutnya.

"Ah, dia memang cermat jika memilih tempat. Dia mau tempat yang nyaman dan sepi."

Risa hanya tersenyum getir menutupi kebohongannya tanpa bisa dilihat. Sebenarnya, dia ingin sekali menunjukkan bahwa Adit tidak salah menikahinya, tetapi keadaan memaksanya untuk bungkam.

"Bagaimana dengan permintaanku? Aku harap, kamu bisa melakukannya untukku."

"Akan saya usahakan karena akan sulit mencari alasan untuk mengajaknya ke Jakarta."

"Kamu nggak usah khawatir mengenai itu karena saat ini aku berada di Bali. Tinggal kamu atur saja tempat di mana aku bisa bertemu dengan anak laki-lakiku satu-satunya. Waktumu hanya sampai besok, karena  lusa aku sudah kembali ke Jakarta."

"Aku akan mengusahakannya untuk Anda secepat mungkin." Risa menjanjikan.

"Aku tunggu kabar darimu secepatnya."

Setelah mengakhiri obrolan, Risa menatap layar ponsel, mengembuskan napas kasar untuk menimbang permintaan sang ibu mertua. Dia tidak mungkin berterus terang pada Adit jika sang mama ingin bertemu, tetapi dia juga tidak ingin berbohong untuk mempertemukan mereka karena sudah tentu Adit akan menolak keras.

Ponsel dilempar ke atas ranjang, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk segera bersiap. Sudah cukup dia bergelut dengan pikiran mengenai permintaan sang ibu mertua, membuat suasana hatinya terasa kacau.

Tunik hijau tosca bermotif bunga menghiasi tubuh Risa, membuat penampilannya terlihat menawan. Rambut panjangnya sengaja digerai untuk menyempurnakan penampilan. Tak lupa polesan wajah natural melapisi kulit mulusnya. Perfect.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Risa dari pantulam cermin. Adit terlihat masuk ke dalam kamar itu untuk memastikan kondisi sang istri, karena sudah hampir satu jam sang istri masih belum keluar dari kamar. Melihat Risa baik-baik saja dan sudah berpenampilan rapi, dia merasa lega.

"Maafkan aku jika sudah membuatmu menunggu lama." Risa beranjak dari bangku yang ia duduki.

"Lebih lama lagi juga nggak masalah kalau kamu akan cantik seperti ini," puji Adit saat tiba di hadapan sang istri yang terlihat memesona dengan pakaian sederhana, tetapi mampu memyihir mata laki-laki yang memandang.

"Apa itu pujian untukku? Atau rasa kesalmu karena sudah menungguku cukup lama?"

Senyum menghiasi wajah Adit mendengar pertanyaan itu. Dia salah menata kata. Langkahnya terayun maju, menghapus jarak dengan Risa, melingkarkan lengan pada pinggang sang istri. Tatapan keduanya menyelami bola mata satu sama lain.

Apa Adit harus tahu jika mamanya ingin bertemu? Tidak. Aku yakin jika Adit tahu ini hari ulang tahun mamanya, tapi karena hubungan mereka sedang tidak baik, Adit memilih diam. Atau aku diam-diam saja pertemukan mereka? Mengenai kemarahan dia, aku bisa tangani nanti. Saat ini, aku hanya tidak ingin membuat hubungan mereka semakin keruh, apalagi ini permintaan mamanya di hari ulang tahun beliau.

"Aku serius. Kamu sangat cantik saat ini." Adit mengulang dengan nada rendah.

Risa masih bergeming, mengabaikan ucapan Adit, sibuk dengan pikiran sendiri. Melihat sang istri masih bergeming, Adit mendaratkan ciuman singkat untuk mengalihkan perhatian sang istri. Berhasil. Risa terkesiap dengan perlakuannya, lalu memaksa senyum.

"Bagaimana jika nanti siang kita makan di restoran dekat vila? Di sana ada restoran yang sudah lama tidak aku kunjungi," ungkap Risa.

"Baiklah. Hari ini, kamu bebas melakukan apa pun."

Ciuman singkat mendarat di bibir Adit, membekap mulut sang suami agar tidak melakukan serangan. "Jangan merusak penampilanku karena akan kembali membuthkan waktu."

Senyum lebar menghiasi wajah Adit, menyingkirkan tangan dari pinggang sang istri. Keduanya berlalu dari kamar untuk menuju ruang makan, menyantap sarapan buatan Adit.

***

Di luar dugaan, vila peninggalan sang papa sangat mewah walaupun lokasinya cukup jauh dari kota, dan hanya satu-satunya vila di kawasan itu. Jarak rumah warga cukup jauh dan sekitar vila di kelilingi pohon tinggi. Adit dan Risa sempat tercengang saat masuk ke dalam vila itu. Posisi belakang vila langsung mengarah pada pantai, membuat pemandangan semakin menakjubkan. Cocok untuk honeymoon bagi pasangan yang baru saja menikah seperti mereka.

"Bagaimana jika nanti kita menginap di sini untuk beberapa hari? Anggap saja ini hadiah dari Papa untuk pernikahan kita?" ungkap Risa setelah puas menyusuri vila itu.

"Sekarang juga bisa kalau kamu mau," timpal Adit sambil melepas kacamata hitam yang menghiasi wajah tampannya.

"Ah, tidak untuk sekarang. Lagi pula rencana awal kita hanya untuk memastikan tempat ini, dan kita belum ada persiapan untuk menginap di sini."

Adit hanya bisa menuruti permintaan sang istri, karena .ereka memang belum ada persiapan untuk menginap di tempat itu walaupun baginya semua bisa diatur jika Risa mau. Ada alasan lain perihal Risa menolak, padahal dia ingin sekali menginap di tempat itu, tetapi janjinya pada orang penting harus ditepati.

Pemandangan pantai lepas di seberang sana masih menjadi pusat perhatian Risa. Terasa tenang dan nyaman. Walaupun matahari di atas sana membuat terik, tetapi angin yang berembus terasa sejuk. Arsitek vila itu sangat teliti dengan desain, kondisi, dan posisi. Ditata sedemikian rupa agar nyaman, mewah, dan memuaskan.

"Bagaimana kalau kita-" ucapan Risa terpotong karena saat menoleh ke arah sang suami, ternyata Adit sudah berbaring di atas tempat tidur dalam keadaan mata terpejam.

Posel segera Risa raih untuk menghubungi seseorang jika makan siang akan tertunda karena Adit tertidur saat ini. Dia tidak mungkin membangunkan sang suami karena khawatir mengganggu istirahatnya.

***

Restoran dengan pemandangan kolam yang mengelilingi menjadi tempat tujuan makan siang Risa dan Adit. Tempat itu mengingatkan Risa saat sang papa masih ada. Bukan hanya kenangan yang dia sukai dari tempat itu, namun makanan pun membuat rindu itu kembali hadir. Risa tak salah pilih karena Adit percaya pada selera istrinya.

Buku menu sudah ada di hadapan masing-masing dan pelayan siap mencatat pesanan mereka. Sesekali Risa melirik ke arah ponsel, memastikan balasan pesan dari seseorang.

Kenapa beliau masih belum balas pesanku?

"Kamu jadi pesan apa?"

Pertanyaan itu membuat pikiran Risa buyar, menatap sumber suara. Tatapannya kembali pada buku menu, lalu menyampaikan apa yang dia pesan. Adit merasa jika sang istri tidak seperti biasanya, terlihat gelisah.

"Adit."

Adit menatap seseorang yang memanggil namanya karena sangat mengenal suara itu. Suara wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya. Risa memberanikan diri menatap sang ibu mertua. Sejenak, suasana terasa hening. Dua orang didekatnya masih saling memandang, membuat rasa khawatir dalam hati Risa bertambah. Farida mengulas senyum hangat, beranjak duduk di tempat kosong samping sang putra.

"Kita cari tempat makan lain." Adit akan beranjak dari posisi,  tetapi lengannya dicekal seseorang.

Risa menggelengkan kepala saat Adit menatapnya, menolak untuk pergi dari tempat itu. Usahanya akan sia-sia jika menuruti permintaan Adit.

"Mama cuma mau makan bersama kalian, nggak ada maksud lain, sekaligus merayakan ulang tahun Mama."

Cekalan di tangan Adit terlepas. Risa percaya jika maksud tujuan ibu mertuanya baik. Tidak mungkin seorang ibu akan berbuat jahat pada anaknya. Suasana masih terasa kaku. Pada akhirnya Adit melunak, kembali pada posisi saat melihat Risa duduk di tempat sebelumnya.

"Selamat ulang tahun," ucap Risa memberanikam diri, memberi selamat pada ibu mertua.

Farida memaksa senyum tanpa ingin membalas ucapan sang menantu. "Kamu nggak kasih Mama selamat?" tanyanya kemudian. Pertanyaan untuk sang putra.

"Memangnya aku siapa?" tanya Adit balik. Datar.

"Kamu tetap anak Mama. Anak laki-laki Mama satu-satunya."

Obrolan mereka terjeda saat pelayan tiba membawa pesanan Adit dan Risa, lalu menyajikan di atas meja. Pesanan lain pun menyusul, menambah sajian di atas meja.

"Waktu kita hanya sepuluh menit, habis itu kita pulang." Adit menginstruksi sang istri.

"Ini hari ulang tahun Mamamu, apa kamu-"

"Apa dia menganggapmu ada?"

Lebih baik aku diam. Keadaan hati Adit sedang tidak stabil. Seharusnya aku bersyukur karena dia sedikit melunak, mau menuruti permintaan mama mertua. Risa membatin.

"Mama beli makanan kesukaan kamu. Sengaja beli karena kamu pasti sudah lama nggak makan ini." Farida meletakkan tas karton di atas meja. "Yang ini buat istri kamu," lanjutnya.

Adit memilih diam tanpa ada keinginan menjawab ucapan sang mama, fokus pada makanan yang dia pesan. Keadaan terasa kaku dan hambar. Risa bisa merasakan dengan jelas keadaan itu. Makanan pun terasa susah untuk ditelan. Dia tak bisa membayangkan jika Adit bertemu dengan sang ayah.

"Kalau sudah selesai, kita pergi sekarang." Adit beranjak dari kursi setelah meneguk minumannya sampai tandas, meletakkan beberapa lembar uang di atas meja.

Sendok dan garpu di tangan Risa terlepas, meraih gelas berisi air putih, lalu meneguknya. Setelah meraih tas, dia beranjak dari kursi, lalu mengangguk pada Farida sebagai tanda pamit.

"Bawa ini," perintah Farida saat sang menantu akan beranjak pergi.

Langkah Risa terhenti, menoleh ke arah sang ibu mertua.

"Kalau kamu terima, sama saja kamu terima sogokan." Adit angkat suara.

"Maaf, saya tidak bisa." Risa melanjutkan langkah, mengikuti sang suami yang sudah lebih dulu berjalan untuk keluar dari restoran itu.

Apa dia tahu jika aku membantu mamanya agar mereka bertemu? Tapi beliau tidak menyebut namaku dalam perbincangan. Semoga saja Adit tidak tahu. Dia pasti akan marah besar jika tahu aku membantu mamanya untuk mempertemukan mereka.

***

Bersambung ...

Kangen aku, ga?
Eh, aku PD banget. Wkwkwk ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro