6. Memanfaatkan Risa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Demi menerima tantangan dari Risa, Adit terpaksa mendatangi rumah Rino. Helaan napas keluar dari mulut Adit ketika tiba di halaman rumah yang dituju. Bisa saja Adit membelikan bahan-bahan baru untuk Risa, tapi dia perlu kembali mengingatkan Rino agar membantu adiknya. Risa butuh perlindungan dari Rino dan hanya Rino harapan adiknya.

"Mas Adit."

Kepala Adit menoleh pada sumber suara. Terlihat Pak Bli berdiri tak jauh dari posisinya. Senyum menghiasi wajah Adit ketika laki-laki itu menghampirinya.

"Apa Rino masih ada di sini?" tanya Adit pada Pak Bli.

"Den Rino pergi dari tadi siang," balas Pak Bli. "Apa benar Non Risa ada di Bali dan pernah tinggal di sini bersama Mas Adit?" lanjut Pak Bli dengan pertanyaan.

"Iya, Pak Bli." Adit mengangguk.

"Sudah lama saya nggak ketemu Non Risa sejak bertengkar dengan Den Rino. Apa mereka kembali bertengkar?"

Kepala Adit mengangguk. "Saya ke sini mau ambil bahan-bahan di kulkas dan lainnya. Pak Bli bisa bantu saya?" tanya Adit.

"Iya, Mas Adit. Mari saya bantu." Pak Bli menyilakan Adit masuk ke dalam rumah.

Syukur Rino tak ada di sana, jadi Adit bisa leluasa bergerak. Tapi dia berharap bisa bertemu dengan Rino.

"Apa Non Risa masih tinggal dengan Mas Adit?"

"Apa Pak Bli disuruh Rino buat nanya alamat rumah baru saya?" Adit bertanya balik.

"Enggak, Mas. Saya hanya ingin ketemu Non Risa. Ada yang ingin saya sampaikan."

Tatapan Adit beralih pada Pak Bli. Terlihat ketulusan dalam wajah laki-laki itu. "Kalau Pak Bli mau ketemu sama Risa, silakan datang ke jalan merpati nomor dua puluh lima. Risa ada di sana."

"Terima kasih, Mas. Saya akan datang ke sana buat menemui Non Risa. Arika pasti senang kalau tau Non Risa ada di Bali."

Tak ada balasan. Adit tak ingin semakin banyak tahu tentang kehidupan Risa dan Rino. Setelah mendamaikan kakak beradik itu, Adit akan menyerahkan tanggung ajwab Risa pada Rino.

"Tolong masukan semuanya ke dalam mobil saya, Pak. Saya mau ke kamar buat ambil barang yang tertinggal." Adit menginstruksi.

"Baik, Mas." Pak Bli menuruti instruksi Adit.

Sebenarnya, Adit sudah cukup nyaman dengan tempat itu. Keadaan memaksanya untuk pindah. Jika saja dirinya tak terlibat dengan masalah Rino dan adiknya, mungkin dia masih tinggal di rumah itu. Adit bergegas mencari barangnya yang tertinggal, lalu keluar dari kamar itu.

Suara tepuk tangan menggema di ruang tengah saat Adit keluar dari kamar yang pernah ia tempati. Terlihat Rino berdiri tak jauh dari posisinya. Rautnya terlihat mengejek.

"Seorang polisi datang ke rumah gue seperti perampok." Rino membuka suara.

Adit tak menggubris ucapan Rino. Langkahnya terayun untuk meninggalkan rumah itu. Sengaja bungkam untuk memancing Rino. Sahabatnya itu memang tempramen. Adit cukup tahu watak Rino.

"Apa lo mau manfaatin dia ngehindari perjodohan lo dengan anak jendral itu?"

Langkah Adit terhenti. Matanya memejam sesaat. "Kamu salah kalau nuduh aku seperti itu, No. Dia nggak ada hubungannya dengan masalah aku. Aku hanya mau menolong karena dia adik kamu. Bisa saja aku mengusirnya, tapi aku khawatir menyesal karena sudah ceroboh mengambil keputusan usir dia. Aku hanya kasihan dengan dia. Di sana dimanfaatkan, dan di sini nggak diakui oleh kakaknya. Aku hanya nggak ngerti dengan pikiran manusia yang rakus dengan uang dan rela menyisihkan keluarganya." Adit seakan menombak jantung Rino dengan belati. Tubuhnya berbalik untuk menghadap Rino. "Aku cuma mau ingetin kamu lagi, No. Penyesalan itu selalu datang di akhir. Jangan sampai rasa benci yang kamu tanam pada adikmu justru akan menjadi bumerang buat kamu suatu hari nanti."

"Cih! Gue nggak akan menyesal sudah usir dia. Itu akibat yang harus dia terima karena sudah milih ninggalin gue waktu itu. Silakan lo bela adik gue, dan otomatis lo pilih persahabatan kita hancur. Dia memang benalu."

"Nggak nyangka teman yang aku kira baik dan perhatian punya pribadi kejam. Gimana kalau Gaby sampai tau ternyata pacarnya punya kepribadian seperti ini?"

Sorot mata Rino menajam. Kedua tangannya mengepal Langkahnya mengayun cepat ke arah Adit untuk melayangkan tinjuan, tapi Adit menahan kepalan tangan Rino. Kedua laki-laki itu saling menatap. Rino menatap Adit dengan tatapan tajam, sedangkan Adit menatap Rino datar.

"Kedatanganku ke sini bukan buat cari masalah. Aku hanya ingin meluruskan kesalahpahaman antara kamu dan adikmu. Dia saat ini sedang dalam masalah dan-"

"Gue nggak peduli dengan masalah yang dia hadapi. Gue menganggap mereka sudah mati. Silakan lo mau bantu dia, gue nggak peduli. Bilang padanya, jangan ganggu hidup gue lagi. Dan lo, silakan pergi dari sini." Rino mengempaskan tangan Adit, lalu beranjak meninggalkan ruangan itu.

Adit menghela napas, lalu meninggalkan ruangan itu. Percuma usahanya mengingatkan Rino karena akhirnya tetap pada pilihan awal, enggan membantu adiknya. Adit memasukkan barang miliknya ke dalam mobil.

"Mas Adit."

Perhatian Adit teralih. Dia menoleh ke sumber suara. Pak Bli berdiri di belakang tubuhnya. Adit menutup pintu mobil.

"Tolong jaga Non Risa," pinta Pak Bli.

"Apa Pak Bli bersedia menampung Risa tinggal di rumah Pak Bli?" Adit mengusulkan.

"Maaf, Mas Adit. Saya nggak bisa. Takut nanti Den Rino hukum saya. Belum lagi Nyonya. Kasihan istri dan anak saya kalau saya dapat masalah. Bukannya nggak mau, tapi keluarga saya lebih berharga." Pak Bli terpaksa menolak.

Kepala Adit mengangguk. Dia pamit pada Pak Bli untuk pulang. Meski dia pulang membawa kemenangan karena berhasil mengalahkan tantangan dari Risa, tapi dia tidak berhasil membujuk Rino agak menerima adiknya. Adit memijit pelipis karena pusing memikirkan masalah Rino dan adiknya. Tak ada jalan lain yang harus ditempuh kecuali membiarkan Risa tinggal bersamanya sampai gadis itu memiliki pekerjaan dan tempat baru.

***

Risa mengempaskan tubuh di atas sofa. Tugas dari Adit yang dia kira tak akan melelahkan justru berbalik dengan dugaannya. Matanya terpejam untuk menghalau rasa lelah. Kondisi tubuhnya baru membaik, tapi harus kembali melakukan aktivitas berat, membersihkan rumah. Matanya terbuka saat mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Matanya kembali tertutup, tahu jika Adit pulang.

Pintu rumah terbuka. Sosok Adit berjalan masuk ke dalam rumah. Langkahnya terayun menuju ruang tengah. Perhatiannya teralih saat melihat Risa duduk di atas sofa dengan mata terpejam.

"Sudah pulang?" tanya Risa tanpa membuka mata.

"Ambil barang-barang yang kamu minta dari rumah Rino di mobil," balas Adit mengabaikan pertanyaan Risa. Dia meletakkan kunci mobil di atas meja, lalu melanjutkan langkah menuju kamar.

Mata Risa terbuka. Tak menyangka jika Adit akan melakukan permintaannya. Rautnya tiba-tiba berubah datar. "Paling kamu beli bahan baru," tuduhnya.

"Kalau nggak percaya ya sudah. Makanya cek sendiri." Adit beranjak masuk ke kamarnya. "Tadi Pak Bli nanya kamu. Dia mau main ke sini," lanjutnya sebelum masuk ke kamar.

"Pak Bli tau kalau aku tinggal di sini sama kamu?" tanya Risa.

Adit menutup pintu kamar tanpa ingin membalas pertanyaan gadis itu. Risa beranjak dari posisinya untuk memastikan ucapan Adit. Masih tak percaya jika Adit menerima tantangannya, mengambil semua bahan makanan di rumah Rino.

Mata Risa membulat sempurna saat melihat bahan-bahan yang dia minta ada di bagasi mobil Adit dan semua bahan itu bensr-benar dari rumah Rino. Dia bergegas mengeluarkan semua bahan itu, lalu membawanya masuk. Senyum menghiasi wajahnya. Bahan baru atau sisa baginya tak masalah. Bagi Risa yang terpenting adalah bisa memasak agar menghilangkan rasa jenuhnya selama di rumah.

Terdengar suara pintu terbuka. Risa mengalihkan perhatian pada sumber suara. Raut Adit terlihat lebih fresh dari beberapa menit yang lalu saat baru pulang. Laki-laki itu berjalan menuju dapur.

"Apa kamu bertemu dengan kakakku?" tanya Risa.

Hanya gumaman yang Adit berikan. Dia mendekat ke arah Risa yang membelakanginya, sedang berdiri di depan kitchen untuk merapikan bahan baku ke tempatnya masing-masing. Risa membalikkan tubuh saat merasa Adit ada di belakang tubuhnya. Tatapan Risa langsung waspada karena jarak mereka tak lebih dari 30 cm.

"Kamu mau ngapain?" tanya Risa takut.

"Aku mau bikin kopi." Adit mengedarkan pandangan untuk mencari bahan yang dia perlukan.

Senyum getir menghiasi raut Risa. "Aku akan buatkan. Kamu tunggu saja di sana. Di sini sempit." Risa menawarkan.

"Aku mau bikin sendiri. Kamu lanjutin saja beres-beresnya." Adit menolak.

"Tapi-" ucapan Risa terpotong saat Adit menggerakkan tubuhnya untuk meraih sesuatu sehingga jarak mereka semakin dekat. Risa sontak menggerakkan punggungnya ke belakang untuk menghindari Adit. Aroma tubuh Adit pun bisa tercium oleh indra penciuman Risa. Menyegarkan.

"Di mana panci yang buat rebus air?" tanya Adit.

Risa menelan saliva saat melihat jakun Adit bergerak. Matanya terpejam karena tak tahan memandang. Adit menatap Risa karena tak mendapati jawaban dari gadis yang ada di hadapannya saat ini. Senyum menghiasi wajahnya saat melihat Risa memejamkan mata dengan raut khawatir. Adit berdehem untuk membuyarkan pikiran Risa. Gadis itu terkesiap dan keseimbangannya goyah. Matanya terbuka, lalu tangannya bergegas mercengkram pakaian Adit karena dia tak bisa mengimbangi posisinya. Adit sontak melingkarkan tangan di pinggang gadis itu. Tatapan mereka bertemu. Cukup lama saling mengamati wajah satu sama lain.

Adit membantu Risa berdiri tegak setelah cukup lama menatap gadis di hadapannya. Tangannya terlepas dari pinggang gadis itu. "Aku tunggu kopinya," kata Adit, lalu meninggalkan dapur.

Mata Risa terpejam sesaat, lalu merutuki dirinya sendiri di dalam hati karena sudah mengamati wajah Adit tanpa kedip. Malu. Dia bergegas membuatkan kopi untuk Adit. Sesekali Risa mencuri pandang pada laki-laki yang sedang duduk di ruang makan, sibuk dengan ponsel. Risa beranjak dari dapur setelah kopi pesanan Adit jadi. Secangkir kopi diletakkan di atas meja, lalu kembali beranjak menuju dapur.

"Aku belum berhasil membujuk Rino." Adit membuka suara, meraih cangkir berisi kopi, lalu menyesapnya.

"Aku nggak banyak berharap dia mau maafin aku. Terima kasih sudah mau bujuk dia. Aku minta, kamu jangan lagi bujuk dia. Sudah cukup selama ini kamu membantuku, dan aku nggak mau semakin membebani kamu. Sudah dikasih bantuan tempat tinggal saja aku sudah merasa cukup dan sangat berterima kasih," ungkap Risa.

Tatapan Adit terlempar ke arah Risa yang sedang berkutat di dapur. "Apa kamu nggak mau berusaha?" tanyanya.

"Aku sudah berusaha sejak beberapa tahun yang lalu, tapi tak ada hasil. Dia sangat membenciku. Aku terima. Ini memang kesalahanku, jadi aku harus menerima akibat dari kesalahan yang sudah kulakukan."

"Apa nggak lebih baik kamu kembali ke Rusia dan menerima perjodohan itu." Adit menyarankan.

"Lebih baik aku kelaparan di sini daripada harus kembali ke sana dan menikah dengan orang yang salah. Aku nggak mau jadi boneka yang dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis."

Tak ada balasan. Risa menoleh ke arah Adit. Terlihat laki-laki itu termenung, seperti memikirkan sesuatu. Ucapan Risa membuatnya teringat akan masalah yang sedang Adit hadapi. Mereka mengalami masalah yang sama.

"Apa tujuanmu selanjutnya?" Adit kembali membuka pertanyaan.

"Cari pekerjaan dan cari tempat tinggal supaya tidak terus merepotkanmu." Risa menimpali.

"Kamu yakin mau cari pekerjaan di sini? Kuliah saja belum lulus."

"Apa pun itu, selama bisa menghasilkan uang dan bisa mencukupi kehidupan akan aku lakukan. Asal tidak menjual kehormatan."

"Aku akan membantumu untuk mencari pekerjaan."

"Apa ini caramu mengusirku?" Lisa menuduh.

Adit menatap ke arah Lisa. Gadis itu tak menatapnya, sibuk berkutat dengan alat dapur. Sejenak Adit menjeda. Tak mendapati balasan, Lisa menatap ke arah Adit.

"Jika aku ingin mengusirmu, kenapa nggak aku lakuin jauh hari saat masih tinggal di sana?"

Risa meletakkan makanan yang ia panaskan ke atas piring, lalu membawanya menuju meja makan. Dia meletakkan piring di depan Adit, lalu duduk di kursi. "Aku mau nanya sesuatu sama kamu," ungkap Risa.

Hanya gumaman yang Adit berikan. Tangannya bergerak untuk menyantap makanan yang disajikan gadis itu.

"Apa alasan kamu menolongku sampai saat ini?" tanya Risa.

"Karena kamu adiknya Rino." Adit membalas datar.

"Tapi kamu tau kalau aku dan dia sedang bermasalah, dan kenapa kamu lebih memilih untuk menolong aku daripada menyelamatkan persahabatan kalian?"

Adit menatap wanita di hadapannya. "Jika kamu menginginkan seperti itu, maka aku akan melakukannya," balasnya datar.

"Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu alasan kamu saja." Risa menepis.

"Perlu kamu tau. Alasan aku membantumu adalah karena kamu tak memiliki siapa-siapa di sini. Aku tahu masalah kamu dan aku mengenal baik keluargamu. Aku tak mungkin membiarkanmu kesusahan, dan aku tak ingin menyesal karena tak menolongmu di saat seperti ini. Paham?"

Risa mengusap air mata yang hampir jatuh ke pipi. Tak menyangka jika akan ditolong oleh laki-laki baik dan tulus seperti Adit. Meski dia belum tahu jelas bagaimana Adit, tapi dia percaya jika Adit orang baik. Alasan Adit cukup masuk akal dan dapat dipercaya. Risa berterima kasih pada Adit karena mau membantunya, dan dia berjanji akan menebus semua kebaikan Adit.

Salah satu alasanku membantumu adalah karena nasib kita sama. Aku hanya nggak tega membiarkanmu pergi dalam keadaan seperti ini bahkan nggak memiliki keluarga atau tempat buat kamu jadikan sandaran. Setidaknya aku bisa bantu kamu sampai punya tempat tinggal sendiri atau pekerjaan. Adit membatin.

***

Secangkir kopi bikin mereka semakin dekat dan tanpa jarak.
Duh, Adit mah emang bikin meleleh.

Guys, aku berencana ubah judul cerita ini.
Kira-kira ada saran judul yang bagus buat cerita ini?
Terlalu gimana gitu kalau pakai judul ini.
Aku tunggu masukannya, ya. Thanks.

Sarange ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro