Jurnal XXX

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entry No. X

Katanya, menulis itu bekerja untuk keabadian.

Aku tidak ingat kapan terakhir aku menulis, khususnya jurnal. Yah, lagi pula, aku tidak yakin aku menulis apa lagi selain ini. Aku juga tidak ingat jurnal terakhir yang kutulis itu bertanggal kapan. Hal yang kuingat hanyalah aku tidak bisa menulis dan menuangkan emosiku sejak hari itu.

Hari di saat aku tersadar setelah dicekik oleh Om Ducky, ternyata. Keruntuhan Liberte. Kenyataan pahit. Dan sebuah masa depan baru.

Dipikir lagi, lucu juga kelakuanku saat itu. Aku seperti anak kecil, merajuk, pundung, bahkan marah terhadap J yang seharusnya tidak pantas kumarahi karena dia seperti adikku sendiri. Mungkin Om Ducky memang melihatku seperti itu dari awal kami bertemu. Seperti induk bebek. A dukcling and the Father Duck. Bukan Mother Goose karena dia pria dan juga bukan angsa, dia Bebek.

Aku pulih dengan kepala pening. Saat sadar seperti orang linglung, aku melihat lagi ke segala arah mencari orang yang mengubah hidupku sambil berteriak, "Xi!!! XIII!" Tapi, tidak ada jawaban.

Aku baru dapat melihat jelas ketika air mataku berhenti. Kami telah berpindah tempat. Bukan lagi di Laboratorium Utama di mana The Final Showdown berlangsung. Tumpukan puing-puing itu sudah tidak ada, digantikan oleh api unggun yang hangat. Dikelilingi oleh Om Ducky, J, Suster Tilia, seorang pria besar berotot dengan setelan layaknya ilmuwan—setelahnya kuketahui kalau namanya adalah Silas, dan aku. Kami bisa di mana saja, tetapi sepertinya masih di sekitar Liberte. Aku tidak yakin. Kami mungkin berada di pojokan koloni itu. Terhindar dari orang-orang dan jalan utama.

Aku masih terlalu kalang-kabut, sampai tidak mengindahkan kepedulian Suster Tilia.

Om Ducky yang mungkin gemas dengan tingkahku yang masih menyebut-nyebut nama Xi lantas mendekat. Dia memegang bahuku sambil berkata, "Kau mau tanya Xi di mana, kenapa tidak kau tanyakan saja langsung pada saksi mata?"

Aku melotot, tersadar akan perkataan Om Ducky. Aku langsung menerjang J karena dia yang jadi penyebab Xi sampai datang ke Liberte, padahal sebelumnya sudah aman di Koloni Rogue. Kuguncang-guncang tubuh bocah itu, tetapi dia sendiri tampak sedih dan menyesal. "J! Mana Xi?!" teriakku.

"Maaf Raz .... Seharusnya aku tidak bersikeras untuk pergi ke Libertè, karena itu Xi ...." J menjawab dengan wajah memelas. Matanya juga bengkak seperti orang yang telah lelah menangis. Mungkin memang begitu.

Aku baru berhenti panik ketika Om Silas memberikanku tas Xi dan barang-barangnya. Sebuah bukti jika Xi memang ... sudah tidak ada.

Aku menangis kembali, meraung, mendekap semua kepunyaan Xi. Seperti anak kecil yang telah kehilangan barang tercintanya, aku terus mengeluarkan emosiku sampai terkuras habis.

Om Silas mencoba menenangkanku. Dia memberiku makanan. Sebuah dendeng kadal seperti yang biasa kumakan selama ini. Tanpa sadar perutku berbunyi seperti mengiakan keadaanku yang belum makan apa pun lagi. Kuterima pemberiannya karena aku sendiri sudah lapar.

Aku makan dengan lahap. Sepertinya karena energiku sudah habis sebab kebanyakan menangis. Setelah perutku terisi dan emosiku kembali stabil, barulah aku bisa merasa tenang. Aku baru sadar kalau aku ternyata tipe orang yang lebih gampang emosi kalau sedang lapar.

Suster Tilia kembali memeriksa keadaanku setelah mengobati yang lain. Ia bertanya bagaimana keadaanku sambil membalut tangaku yang terluka karena serpihan material bangunan.

"Kepalaku agak pusing," jawabku. Meskipun sudah beristirahat dan makan untuk mengembalikan tenaga, sensasi itu masih sedikit kurasakan. "Apa yang terjadi sebelumnya?"

Suster Tilia menjelaskan kalau itu adalah perbuatan Om Ducky. Pria pemarah itu mencekikku di bagian leher di mana carotid artery berada.

Aku tidak terima dan langsung marah. "Ducky, kau mau aku mati?!"

Jawaban Om Ducky malah sebaliknya. "Justru kulakukan supaya kau tak mati," katanya. Aku bingung. Bagaimana bisa? Dia melanjutkan. "Kalau kubiarkan, bisa-bisa kau tertimpa puing atau malah terjun mengejar gadis itu."

Dia ada benarnya, sih. Aku saat itu sedang tidak bisa berpikir jernih. Bisa saja kemungkinan kedua terjadi dan disusul dengan kemungkinan pertama. Pilihan mana pun yang terjadi lebih dahulu, tidak ada yang menguntungkan.

Setelah semua cukup istirahat dan kembali stabil, kami memutuskan untuk kembali ke Koloni Rogue. Om Ducky yang memimpin. Dia berinisiatif memalak mobil dari pekerja AYX. Aku tidak tahu bagaimana detailnya karena masih terlalu lemah secara fisik dan mental, tetapi akhirnya kami berhasil. Aku tidak akan dulu menilai apa pun tindakan Om Ducky selama aku dapat segera keluar dari Liberte. Ini terlalu menyakitkan. Harus meninggalkan Xi tanpa bisa melihatnya untuk terakhir kali.

Perjalanan kami hening tanpa suara. Aku masih lelah. Semua juga pastinya. Rasanya pagi tadi kehidupan masih sesuai rencana, dan sekarang semua berubah 180 derajat di kala malam.

Om Ducky kemudian bertanya untuk memecah keheningan setelah semua agak tenang, tentang apa yang akan dilakukan setelah ini.

"Aku ... tidak tahu. Harusnya kalau ada Xi, kami akan membuat kelompok mercenary sendiri bila keadaan di Liberte tidak sesuai harapan .... Seharusnya ...." Aku tidak bisa melanjutkan. Pertanyaan Om Ducky membuatku emosional lagi. Aku kembali menenangkan diri setelahnya, mengabaikan jawaban J, Om Silas, maupun Suster Tilia.

Aku syok. Sangat. Kemarin malam aku masih mengobrol dengan Xi, tetapi sekarang, dunia kami sudah berbeda. Semua terlalu cepat. Waktu rasanya mengalir seperti air terjun.

Kami tiba di penginapan sebelumnya. Penginapan di mana Xi seharusnya berada, bersama J. Aman. Hidup. Bernapas. Di sinilah kami seharusnya. Seharusnya .... Seharusnya kami tidak perlu pergi ke Liberte untuk sesuatu yang bukan jadi urusan kami. Seharusnya kami menjalankan rencana untuk membangun kelompok mercenary sendiri. Seharusnya kami tidak pernah berpisah. Seharusnya ... bukan begini.

Om Ducky yang mengurus semuanya. Kami mendapat tiga kamar. Satu untuk Suster Tilia. Satu untuk aku dan J. Satu untuk Om Ducky dan Om Silas. Aku awalnya tentu saja protes dengan pembagian itu. Jujur saja, aku masih sangat marah kepada J. Kalau bisa aku tidak ingin melihat wajahnya. Bocah itu yang memaksa Xi untuk ikut bersamanya sampai Xi ....

Tidak. Aku tidak mau. Namun, Om Ducky mengatakan kalau dia harus sekamar dengan Om Silas karena ada hal yang tidak boleh aku dan J ketahui.

"Urusan pria," katanya. Urusan apa yang sampai mengharuskan dua orang om-om sekamar dan menghabiskan waktu berdua tanpa sepengetahuan orang lain?

Pikiran pertamaku adalah .... Apa mungkin mereka?! Tidak. Aku tidak akan berspekulasi. Lebih baik aku tidak tahu. Sampai sekarang aku tidak pernah tahu apa yang mereka maksud.

Aku dan J sekamar. Karena aku masih marah, aku sebisa mungkin menghindari anak itu. Kalau mau, aku bisa tidur di luar. Tapi, tidak. Aku tidak ingin mengambil risiko. Jadi, ketika dia terus memperpendek jarak di antara kami, aku langsung berpindah tempat. Terus begitu seterusnya. Untungnya aku masih bisa menahan diri untuk tidak sampai membentaknya dan J akhirnya mengeluarkan jurus puppy eyes di mana nantinya seperti aku yang jadi villain.

Sungguh melelahkan. Menyebalkan. Dan juga menyedihkan.

...

Entry No. XX

Kami di Rogue Colony kurang lebih selama tiga hari. Hari pertama, Om Ducky mengajakku dan J untuk berburu di perbatasan Direland dan Koloni Rogue. Suster Tilia dan Om Silas di penginapan, entah melakukan apa. Mungkin mengumpulkan perbekalan?

Jadi, hanya kami bertiga yang bisa pergi. Harusnya Om Ducky tahu kalau aku masih marah kepada J, tetapi dia malah membawa kami bersama. Tak bisakah dia mengerti kecanggungan di antara kami? Sangat menyebalkan.

Kami berkendara menggunakan ATV yang sudah dimodifikasi dengan menambah gerobak di belakangnya agar nantinya dapat menampung hasil buruan yang lebih banyak. Om Ducky yang mengemudi. Jujur, aku tidak bisa berkendara. Sedikit banyak aku memperhatikannya bagaimana dia mengoperasikan ATV. Mungkin aku bisa mempelajarinya kapan-kapan. Nantinya jadi bergantian antara aku dan Om Ducky kalau-kalau dia sedang tidak bisa memegang setir.

Aku yang notabene seorang pemburu tidak menemui kendala apa pun. Hanya satu. J. Kecanggungan interaksi kami menghambat jalannya perburuan. Bayangkan saja, hanya untuk berbicara satu sama lain saja harus melalui perantara Om Ducky. Misalnya saja saat botol airku jatuh, J memberi tahunya lewat Om Ducky, lalu Om Ducky menyampaikannya. Ada lagi saat aku melihat buruan di dekat J, kuberi tahu Om Ducky agar dia bilang pada bocah itu. Atau ketika burung kondor miliknya tebang entah ke mana, kusampaikan juga seperti itu.

Memang menyebalkan komunikasi seperti ini, tetapi apa boleh buat, egoku masih besar untuk memaafkannya. Takdir memang tidak ada yang tahu, baik J memaksa Xi untuk datang atau tidak. Mungkin saja Xi memang sudah ditakdirkan untuk tiada saat itu. Tidak ada yang tahu. Namun, tetap saja, hatiku masih belum bisa menerimanya.

Pada akhirnya kami berhasil mendapatkan satu kadal yang besar untuk dijual dan beberapa kadal kecil sisanya untuk dijadikan dendeng.

...

Hari kedua, Om Ducky masih mengajakku dan J berburu. Namun, ada yang berbeda dengan acara hari itu. Tidak hanya memburu kadal, tetapi juga karena Om Ducky mau mengajariku lagi bagaimana caranya menembak dengan Revo. Aku lupa bertanya kenapa Om Ducky memutuskan untuk memberikan revolvernya padaku. Jadi, aku menanyakan alasannya ... dan jawabannya di luar ekspektasiku.

"Supaya kau bisa sewaktu-waktu menembakku," jawabnya kurang lebih seperti itu.

Aku tidak mengerti. "Apa?! Tapi, Ducky.... Kenapa?!"

"Seperti kata Kanselir, aku mungkin akan ditarik ke pihak sana dengan bayaran keselamatan Suster Tilia .... Kau yang tak berpengalaman, tak mungkin bisa menang melawanku. Jadi, pistol itu untuk memberimu kesempatan."

Aku diam sambi menunduk melihat Revo sebelum menjawab, "Kalau aku memang sampai harus membunuhmu, apa yang akan kau lakukan?"

Om Ducky terdiam. Dia melihat ke sekeliling, lalu menjawab, "Entahlah ... Tergantung situasi saat itu."

Lidahku kelu. Pilihan memang selalu menjadi hal yang sangat sulit untuk ditetapkan. Aku juga kalau dihadapkan pada situasi seperti Om Ducky juga akan kesulitan. Orang terkasih atau orang yang baru dikenal beberapa hari?

Setelahnya, kami kembali ke ATV dan melanjutkan sedikit perburuan.

...

Hari ketiga. Sudah tiga hari pula aku marah kepada J. Katanya kalau orang marah itu tidak boleh sampai lebih dari tiga hari. Jadi, setelah aku menenangkan diri semalaman dan berusaha menerima semua yang terjadi, aku memutuskan untuk berbaikan dengan J.

Namun, aku mencari waktu yang tepat sebelumnya. J bisa kaget kalau aku tiba-tiba minta maaf. Tidak salah juga sih, hanya saja sedikit janggal. Jadi, saat istirahat berburu seperti hari-hari sebelumnya, barulah aku mendekatinya.

"Hai, J. Umm, maaf aku tidak mengajak bicaramu tiga hari ini," mulaiku. "Aku tidak bisa menerima kepergian Xi sampai menyalahkanmu. Aku sampai lupa kau juga mungkin merasa kehilangan. Mau baca jurnal Xi sama-sama? Mungkin itu bisa meredakan kerinduan kita."

J awalnya kebigungan, tetapi setelahnya, senyumnya mengembang. Dia mengangguk mengiakan. Lalu, kami membaca jurnal Xi seperti ajakanku.

Perasaanku campur aduk ketika membaca jurnal Xi yang sudah seperti luapan isi hatinya. Beberapa kali aku meringis atau bahkan tersenyum malu karena kata-katanya. Namun, fokusku teralih ketika Xi menyebutkan bahwa ia melakukan perjanjian dengan Om Ducky untuk saling menjaga J dan aku. Xi akan menjaga J di Koloni Rogue, dan Om Ducky akan menjagaku. Aku terenyuh. Gadis yang selalu terlihat keras itu ternyata peduli kepadaku. Memikirkannya aku jadi sedih kembali. Kalau saja Xi masih ada ....

Aku berusaha tegar. Setelah cukup membaca, kami kembali pergi berburu. Sepertinya kami beruntung karena mendapatkan kadal gurun yang lebih besar dari sebelumnya. Sebab aku dan J sudah berbaikan, koordinasi serangan kami jadi lebih baik. Makhluk itu tumbang dengan mudah.

Om Ducky memuji kami, terkhusus dia memuji J, tentang pedang dan sarungya.

"Sarung pedangnya bagus, tapi kenapa Ducky meninggalkanku?!" J berteriak. Dia mungkin teringat dengan isi jurnal Xi yang dia baca.

Karena aku merasa setuju dengan J, aku pun membelanya. "Ya! Seorang ayah tidak seharusnya meninggalkan anaknya! Dari awal harusnya kita tidak pergi dari Rogue!"

Sepertinya ada yang salah dengan kata-kataku barusan. Ducky menyemprot dengan tajam. "Siapa anaknya siapa?" Dia menuding. "Dari tadi kalian baca jurnal milik gadis itu, apa dia tak memberi tahu sama sekali?"

Dengan masih bernada keras, Om Ducky menunjukku. "Lagi pula ... bukannya kau yang ngotot ingin ke Liberté, Rash dengan Zet? Dari awal juga sudah kubilang, sebaiknya kalian jangan ke Liberté. Tapi kalian malah ... Kau juga, Jei. Kenapa malah menyusul?! Apa pesan yang kutinggalkan masih kurang jelas?"

Bukannya berkaca, J malah tambah kesal. "Kenapa aku harus tinggal? Aku mau ikut!"

"Bagian mananya dari kata: Revolusi, Bahaya, dan Perang Saudara, yang tidak kau pahami?! Beda denganku, kalian tak ada kewajiban apapun untuk ikut campur urusan Liberté. Kau itu cuma bocah ... Kau itu MASIH bocah. Harusnya kalian hidup tenang-tenang di Rogue!"

Lalu, aku kena semprot lagi. "Kau juga, lagi ... Kukira badan besarmu berarti kepalamu sudah bisa dipakai dengan waras. Malah sukarela ke Liberté cuma gara-gara iming-iming si Kemayu soal jadi pahlawan. Sekarang bahkan satu-satunya yang masih pakai otak malah MATI!"

Ah, Ducky menyebalkan! Walaupun benar, tapi agak nyelekit kata-katanya. Kenapa pula dia harus mengungkit soal Xi lagi, sih?! Kan, aku aku jadi sedih lagi.

Om Ducky yang ngos-ngosan pun mengambil napas sebelum berkata lagi lebih tenang. "Aku sudah keterlaluan .... Maaf."

Lalu dia turun dari ATV yang sedari tadi dinaiki. "Kalian teruskan saja berburunya. Aku pulang duluan."

Aku terlalu lama merenung sampai tidak sadar Om Ducky sudah tidak terlihat. Bingung, aku dan J saling berpandangan. Anak itu bertanya apakah aku bisa mengendarai ATV. Kuyakinkan dia agar percaya kepadaku.

Berbekal pengamatan tiga hari ini bagaimana Om Ducky mengemudi, aku menyalakan ATV. Awalnya lancar. Aku berhasil menghidupkannya. Pelan, tetapi pasti. Terlalu santai sampai J bisa mengambil beberapa kadal gurun kecil yang terlihat seperti habis dibantai. Mungkin kira-kira sepuluh meter sekali akan ada bekas pembunuhan. Kebetulan sekali, bekas-bekasnya mengarah ke Koloni Rogue. Aku jadi tidak perlu susah-susah mencari jejak kembali, meskipun aku tahu jalan pastinya.

Dirasa terlalu lambat, aku menambah kecepatan. Efektif! Kami bisa kembali lebih cepat. Namun, tanpa diduga, ATV yang kami kendarai terus bertambah laju tanpa disuruh. Aku mulai panik. Aku sampai tidak bisa membedakan yang mana rem dan gas. Aku sudah mencoba keduanya, tetapi tidak ada yang berfungsi. J sampai histeris.

"Raz! Raz! Raz!" teriaknya panik.

Kami sudah dekat gerbang Koloni Rogue dan aku belum bisa menemukan cara menghentikan benda ini. Pasrah, aku pun memeluk J lantas melompat dari ATV. Kami jatuh berguling-guling. ATV-nya menabrak gerbang koloni. Aku langsung memeriksa keadaan J. Bukannya syok atau apa, anak itu malah terlihat seperti orang yang menikmatinya. Di sisi lain, ATV yang ada penyok dengan posisi terguling.

Aku tidak sadar kalau Om Ducky dan Om Silas telah ada di depan gerbang. Om Ducky bertanya keadaanku, aku menjawab kalau aku baik-baik saja. Lega dengan jawabaku, Om Ducky lantas menyuruhku dan J untuk mengangkat kembali ATV dan membawanya.

...

Entry No. XXX

Hasil perburuan kami cukup untuk memperbaiki ATV dan membeli sebuah truk bekas AYX. Om Ducky yang ternyata serius dengan perkataannya soal membantuku membuat kelompok mercenary. Setelah keluar dari Rogue, kami mengunjungi koloni-koloni lain untuk memulai mimpiku yang pernah kurencakanan dengan Xi. Meskipun gadis itu sudah tiada, mimpinya tetap hidup bersamaku.

Om Silas dan Suster Tilia juga ikut bersama aku, Om Ducky, dan J. Aku tidak tahu alasan Om Silas ingin ikut bersama kami. Mungkin karena dia tidak memiliki seseorang yang dikenalnya di luar Liberte? Aku tidak tahu pastinya. Yang pasti, dia dan Suster Tilia ikut karena Om Ducky.

Sedikit demi sedikit, kelompok mercenary kami mulai berkembang. Nama kami kini dikenal. Dari satu koloni ke koloni lain. Mungkin karena hal itu, beberapa orang iri kepada kami dan memutuskan untuk memasukkan wajah-wajah kami ke dalam daftar bounty. Aku tidak terlalu peduli soal itu. Seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya.

Kami kadang disewa untuk berburu, mengawal, atau bahkan menghabisi monster yang ada. Bicara soal monster, aku harus kembali berhadapan dengan monster yang pernah menyerang kami dan menyebabkan Edda tewas. Yang tak diduga adalah, monster sejenis itu pula yang telah menghabisi rekan Ducky dan J dari koloni mereka berasal. Ven, anak yang dulu pernah kudengan gosipnya yang terkenal galak melebihi monster gurun. Untungnya monster cacing kali ini tidak menyerang secara tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lebih banyak dan kekuatan yang telah bertambah, kami berhasil mengalahkannya.

Enam bulan sudah, kelompok mercenary kami terbentuk. Enam bulan pula, aku, Om Ducky, J, Suster Tilia, dan Om Silas bersama. Aku kira kebersamaan kami akan bertahan dalam waktu yang lama, tetapi harapan hanyalah harapan. J memutuskan untuk pergi. Katanya dia ingin mandiri dan belajar lebih banyak dari dunia luar. Aku agak menyayangkan hal itu karena artinya kekuatan tim mercenary kami berkurang. Akan tetapi, aku juga tidak bisa melarangnya. J sudah berubah. Tidak hanya fisiknya yang telah tambah berisi, tetapi juga keinginannya untuk mandiri. Sedikit banyak aku bangga terhadapnya, seperti seorang kakak yang melihat adiknya tumbuh dewasa.

J pergi tanpa pamit padaku. Dia hanya pamit kepada Om Ducky, katanya. Aku sedikit kecewa. Apa dia pikir aku akan melarangnya? Harusnya dia pamit. Aku takut tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Akan tetapi, dia berjanji bahwa kami dan yang lain akan bertemu di satu tahun peringatan Revolusi Liberte, di bekas reruntuhan di mana Laboratorium Utama pernah berdiri dulu.

Aku harap kita akan segera bertemu kembali.

===                  

A/N

Hampir selesai! Yay!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro