Perjalanan 7: Inikah Akhir?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum Raz sempat membuka mulut untuk menjawab, terdengar suara ledakan. Dari asal suara dan getaran yang terasa di bawah kaki mereka, kemungkinan sumbernya dari lantai di bawah. Raz yang tak siap dengan hal itu lantas terjengkang ke belakang. Getaran terjadi terus menerus tanpa henti.

Ini bukan gempa!

Raz berusaha bangkit berdiri, tetapi pijakan yang tidak stabil membuatnya sulit menyeimbangkan tubuh. Wanita di hadapannya pun sama. Ia yang mengaku sebagai Suster Tilia sampai terhuyung dan tersungkur bersama tas yang baru saja berhasil diraihnya. "Anak muda!" panggilnya pada Raz. "Bangunkan pasien! Kita harus segera mengungsi, keluar dari sini!!!"

Raz mengangguk. Dengan susah payah sambil terus menjaga keseimbangan, dia mengalungkan lengan Ducky ke lehernya, lalu menyangga tubuh Ducky dengan tangan lainnya. Agak susah payah Raz menyeret tubuh Ducky. Sepertinya pria pemarah itu memiliki berat yang sama dengan Raz. "Ayo, Sus! Kita harus pergi sebelum gedung ini runtuh!" seru Raz sambil menyeret Ducky ke luar pintu. Bayangan bom di lorong lantas menghantui Raz.

Bagaimana kalau semua bom itu meledak sebelum kami keluar dari sini?!

Saat merangkul Ducky, Raz merasakan orang yang dipapahnya itu mulai menggeliat sadar. Raz tidak bisa membendung rasa senang. Senyumnya merekah terus. Namun, hal itu tak berlangsung lama karena ... Ducky muntah!

Raz celingukan ke arah lorong, Ducky, dan wanita di hadapannya itu bergantian."Suster Tilia! Bagaimana ini?!" Pemuda itu memekik panik, karena sekarang bukan hanya mereka harus keluar dari gedung yang akan runtuh, tetapi juga harus menghadapi pria besar yang mual-mual. Ini bisa lebih buruk. Tapi, kumohon jangan!

Melihat pasiennya tiba-tiba muntah langsung menaikkan kewaspadaan Suster Tilia. "Dudukkan dia, pelan-pelan! Jangan sampai kepalanya terguncang. Topang lehernya!"

Raz mengikuti arahan Suster Tilia. Dengan hati-hati, dia mendudukkan Ducky sambil masih menopangnya.

Suster Tilia bertanya, "Hei, Tuan Bebek, apa kau tahu namamu siapa. Kau tahu sekarang ada di mana?"

Ducky menjawab, "Tentu saja aku tahu namaku sendiri." Dia terkekeh geli sembari menyambut tangan lembut yang masih menyentuh pipinya."Aku Peregrine Drake, bukankah sudah pernah kukatakan padamu, Suster?" Namun, ledakan berikutnya membuyarkan situasi apa pun yang ada. "Bomnya!" Ducky berseru sembari bangkit. "Kita harus cepat keluar dari sini!!" Pria pemarah itu melepaskan diri dari Raz. Lalu mengambil senapan yang sempat terlepas, tergantung di tali yang menyangkut di bahu. "Ayo, ikuti aku!" Dia berseru seraya melangkah ke luar ruangan.

Raz melihat ke arah Suster Tilia untuk meminta agar dia juga ikut sebelum mengekori Ducky. "Ayo," balas Raz sambil memastikan satu-satunya wanita di antara mereka tak tertinggal.

Ducky sepertinya berhasil menghubingi Owen. Dia langsung saja melaporkan keadaan. "Owen, Suster Tilia sudah bersama kami ... Aku tak melihat ada peneliti lain di lantai tempat tinggal ini," Ducky menjelaskan kepada Owen di seberang telepon sembari memimpin langkah, mencari jalan teraman. "Dari suara ledakan barusan, mungkin tak akan sempat mengecek lantai lain juga. Maaf, tapi kami turun sekarang." Dia melirik pada ujung lorong tempat elevator dan bom tadi berada sembari berjalan secepat mungkin kembali ke tangga tempat mereka datang. "Suster Tilia, ikuti aku ... Raz, jangan sampai ketinggalan!"

Raz mengangguk. Dia bergantian melihat antara Suster Tilia dan Ducky. Raz sangat penasaran. Sebenarnya, kenapa Suster Tilia sampai disekap dan Ducky seolah terlibat dalam semua ini? "Suster, boleh aku tanya, kenapa kau sampai dikurung di tempat yang penuh dengan bom ini?" tanya Raz sambil menuruni tangga ke lantai empat. Suara ledakan di lantai bawah seolah mengamini perkataan pemuda itu tentang bom yang ada.

Suster Tilia terpaksa berhenti melangkah, bukan hanya karena si pasien tiba-tiba berhenti. Juga karena guncangan yang timbul akibat suara ledakan di bawah mereka. "Alasannya?" ulang perempuan itu sambil berpegangan erat pada railing tangga. "Kalau secara resmi, karena aku membuat kesalahan dalam tindakan medis—yup, itu yang harus kukatakan pada siapa pun apabila ada yang bertanya. Begitu kata orang-orang seram berseragam. Untuk alasan sesungguhnya ...." Suster Tilia terdiam sesaat untuk melepaskan pegangannya karena goncangan agak mereda, lalu kembali berjalan mengikuti arahan. "Seorang manula yang terlihat hebat menginginkan sesuatu yang tak kupahami."

Raz mengernyit mendengar pengakuan suster di hadapannya. Kenapa pula ia harus punya dua alasan yang berbeda? Siapa pula manula yang dimaksud? Apa itu Kanselir yang Owen sebut sebelumnya saat perjalanan kemari? "Anda pasti orang hebat," puji Raz.

Suster Tilia tersenyum. "Terima kasih," wanita itu berterima kasih atas pujian Raz. Padahal Raz tidak bermaksud begitu.

"Lalu apa hubungan Anda dengan Om Ducky?" tanya Raz.

Wanita itu pun menjawab pertanyaan dengan gelak tawa yang menyertai. "Sekarang?" ulang perempuan itu masih tertawa. "Sekarang kami ini bisa dibilang punya hubungan kompleks sebagai: pelaku kekerasan dan korban, sekaligus suster dan pasien." Namun, bukan itu yang Raz harapkan. Mungkin nanti dia akan bertanya lebih spesifik. Lalu Suster Tilia melirik pada Raz. "Kau sendiri?" Ia balik bertanya. "Pemuda baik-baik sepertimu, ada urusan apa dengan orang macam Tuan Bebek sampai terseret-seret Revolusi Liberté begini?"

Sebuah pertanyaan penting yang harus dijawab. "Mungkin karena insting menolongku terlalu besar? Aku tidak yakin. Seseorang pernah berkata bahwa aku harus jadi pribadi yang bermanfaat. Mungkin karena hal itu aku bisa sampai sejauh ini bersama Om Bebek," jawab Raz. Dia tanpa sadar mengikuti cara panggilan Suster Tilia terhadap Ducky. Ledakan kembali terasa ketika mencapai lantai empat. Getaran semakin keras ketika ketiganya menuju lantai tiga. "Sepertinya kita bisa tunda basa-basinya?" saran Raz. Semoga saja masih ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan lain.

"Sebentar lagi sampai lantai dua." Ducky mengumumkan. "Suster Tilia, jangan jauh-jauh dari kami," pintanya tegas. Kemudian menatap lurus pada satu-satunya anggota tim. "Raz, isi ulang pelurumu. Bersiap untuk menembak!"

Raz mengangguk. Dia kemudian memeriksa selongsong peluru Revo yang kini tinggal terisi empat buah. Diambilnya cepat empat butir peluru tambahan dari tas selempang di mana kotak pemberian Ducky disimpan sebelumnya. Cepat, Raz memasukkan semua peluru ke tempatnya, memasang kembali Revo seperti semula sampai ia siap digunakan. "Sudah siap, Kapten!" seru Raz. Mereka pun menapaki tangga terakhir menuju lantai dua.

Raz tidak tahu apakah ada yang salah dari perkataannya. Ducky tiba-tiba menjadi aneh seketika saat dia menjawab perintahnya, sama seperti saat di tangga pertama sebelum menyelamatkan Suster Tilia. Dia mematung.

"Tuan Bebek," panggil Suster Tilia. "Berhentilah melihat ke belakang. Lawanmu lebih mungkin datang dari depan." Ada apa dengan Ducky? Raz yang khawatir sontak saja memanggil, "Om Bebek—" Lalu dia teringat untuk memanggil secara jelas saat genting. "Ducky ...."

Melihat Ducky masih terpaku, Suster Tilia menghela napas panjang. Ia berjalan ke arah Raz, lalu ....

"Tuan Bebek," panggilnya sembari merangkul lengan kekar Raz. "Aku tak tahu kau sedang menunggu apa lagi, tapi apa tidak bisa cepat sedikit?" Pada Raz perempuan itu berbisik, "Maaf, tapi aku perlu membuatnya shock tanpa melibatkan pukulan di kepala."

Raz kini yang terpaku. Kenapa harus dengan cara seperti ini? Apa tidak ada cara lain? Kenapa pula harus membuat Ducky syok? Yang ada malah Raz yang syok karena dia dan Suster Tilia sudah tidak memiliki jarak lagi. "Ap ... apa yang mau Anda lakukan, Sus?" tanya Raz takut wanita itu akan berbuat hal yang tidak-tidak. Tanpa sadar, lengan Raz yang gemetar menyentuh lengan lawan bicaranya, berniat untuk melepasnya.

Ducky yang mendapati lengan Raz dipeluk Suster Tilia seketika langsung naik darah. Dia memaki Raz. "Bo-bo-bo ... Bocah Bongsor Sialan! Enak batul kau dipeluk Suster Tilia, padahal aku saja belum pernaaah?!!" Seru Ducky sambil menudingkan telunjuk. "S-s-suster Tilia, cepat lepaskan diaaa!!!" gagapnya panik.

"Wah, Tuan Bebek ...." Senyum Tilia mengembang manis. "Memangnya Anda siapanya saya sampai mengatur siapa yang boleh saya peluk?" Perempuan itu malah mempererat pelukannya pada Raz. "Padahal ... Mengobrol di luar urusan suster-pasien saja tak pernah?"

"Ap- ... A-a-aku, kan ... Itu karena kau ... A-a-aku cuma ...." Ducky makin gelagapan, gagal menemukan susunan kata yang tepat.

Raz yang tidak tahu apa-apa langsung berusaha melepaskan diri dari pelukan Suster Tilia. "Tu ... tunggu dulu! Aku bahkan tidak tahu apa-apa!" Raz menunjuk satu-satunya wanita di antara mereka. "Apa ini yang Anda maksud untuk membuat Ducky syok?! Untuk apa pula?! Aku bahkan tidak mengerti hubungan kalian sebelum ini." Suara getaran kembali terasa, seolah mengingatkan bahwa mereka kini sedang dalam kondisi genting. "Bisa kita keluar dari sini dulu, baru bicarakan apa yang terjadi?" saran Raz dengan nada tinggi. Kepanikan memenuhi wajahnya. Jujur saja, ini bukan situasi yang tepat untuk cemburu dan menjadi orang ketiga dalam hubungan yang bahkan mungkin tidak ada.

"Baiklah, aku minta maaf sudah membuat keributan" Dia melepaskan pelukannya dari pemuda yang wajahnya campur aduk pucat dan memerah panik, bergantian. "Setelah sadar kalau anak muda ini juga lelaki dan salah satu saingan potensialmu, apa kepalamu sudah jernih lagi, Tuan Bebek?"

"Maaf," gumamnya canggung. "Untukmu juga, Uhh ... Raz."

Untungnya, kesalahpahaman itu bisa teratasi. Namun, sesuatu yang lebih besar menyambut. ".... Ke neraka bersamamu?!" Itu seperti suara Owen. Kedengarannya dia sedang di lantai bawah, mungkin lantai dua tepat di bawah mereka. Kedengaran dari nadanya, itu pasti bukan pertanda baik. Ducky yang memimpin kembali menaikkan kewaspadaan dan menyuruh Raz dan Suster Tilia untuk mengikutinya. Padahal hanya turun satu lantai, tetapi rasanya sungguh berat. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk. Belum lagi degup jantung yang kian cepat karena suara Owen barusan. Saat mereka tiba di lantai dua, terlihat pria tua bertongkat dengan dua penjaga yang sedang menembak ke arah Owen. Mata Raz membulat. Ducky yang lebih dahulu menyuarakan kepanikan. "Owen!!!" serunya.

Raz tidak mengerti dengan situasi yang sedang dia hadapi ini. Semuanya berlalu begitu cepat. Berondongan peluru melaju bagai kilat ke tubuh Owen. Seperti sebuah pohon yang ditabrak mobil dengan kecepatan tinggi, Owen terdorong dari posisinya, terjengkang ke lantai.

Di tengah kepanikan, khawatir tembakannya malah mengenai Owen juga, Ducky buru-buru membidik orang tua yang terlihat angkuh itu dan menarik picu. Suara letusan shotgun menggema. Beberapa butir timah panas terlontar, sebagian menembus bahu tangan yang memegang tongkat. Ducky berdecak. Tembakannya meleset karena dia tak tenang. "Hentikan menembak atau berikutnya kepalamu sasarannya, Pak Tua!" seru lelaki itu.

"Ducky ... Raz ... pergilah, cepat," ucap Owen lirih sebelum sungai darah mengucur dari sela-sela luka dan bibirnya.

Sayup-sayup suara Owen yang menyuruh mereka pergi bagai angin lalu. Raz tidak bisa berpikir jernih. Kakinya kaku. Yang dia bisa lakukan hanyalah mendengar. Raz mematung. Dia tidak bisa pergi tanpa Ducky. Pemuda itu tidak yakin Ducky bisa menyusul. Raz tidak ingin ada lagi korban jiwa di depan matanya. Dia memutuskan untuk pergi bersama Ducky dan Suster Tilia.

Sambil meringis menahan sakit, pria tua yang tertembak itu membalikkan badan ke arah datangnya peluru. "Cukup," ucapnya tertahan pada kedua prajurit yang menyadari pria itu terluka dan hendak menembak Ducky. "Tugas kalian sudah selesai, pergilah. Kesetiaan kalian pada Liberte telah terbukti." Dia terduduk di lantai sambil memegangi pundaknya. Suara gemuruh bangunan yang roboh terdengar makin kuat. Goncangan membuat siapa pun yang berdiri sulit untuk mempertahankan keseimbangan.

"Tapi Kanselir," ucap seorang prajurit. "Kami bersumpah untuk menjaga Anda!"

Kanselir menggelengkan kepala. Dia melihat ke arah Owen yang mengembuskan napas terakhirnya. "Pimpinan teroris itu sudah mati. Mereka tak lagi mampu menghalangi Liberte mendapatkan kebebasan untuk membawa kemakmuran bagi manusia. Pergi dan hiduplah. Kalian juga, jika memang bisa keluar dari sini hidup-hidup." Dia menatap ke arah ketiga orang yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum.

"Raz," Ducky memanggil. "Bawa Suster Tilia keluar. Temui rekan Owen yang lain, kabarkan kondisinya!"

Masih dengan senapan teracung, Ducky berjalan mendekat. Setelah mengamati dengan lebih tenang, dia menyadari siapa sosok tua yang ada di hadapannya. "Lama tak jumpa, Yang Mulia Kanselir. Mungkin waktunya kurang tepat, tetapi aku ... Saya ingin bertanya tentang sesuatu." Suara derak beton dan baja yang patah meraung dan merintih memilukan. "Mengapa saya? Ada banyak kandidat kapten lain yang jauh lebih berbakat, lebih tangguh. Mengapa saya yang ditunjuk?"

Para prajurit di sekitar kanselir langsung membalas menodongkan senjata ke arah Ducky. Kanselir kembali mengangkat tangannya untuk menghentikan mereka membolongi tubuh Ducky. "Tuan Peregrine Drake. Mantan kapten dari kesatuan L-652. Nama Anda muncul ketika saya mencari seseorang yang bisa menjadi mata dan telinga saya di Direland, tempat di mana AYX merekrut pasukan mereka. Kesepakatan dengan Tuan Deo sang wartawanlah yang membawa Nona Tillia ke Liberte, agar Anda mendapat alasan kembali meletakkan kesetiaan Anda pada Liberte." Kanselir menghela napas sejenak. Darah mengalir merembesi baju putihnya. "Namun Tuan Deo tidak dapat dipercaya, terbukti dari ketidakmampuannya menunjukkan kesetiaan pada Liberte. Anda dan Nona Tilia terlibat dalam kericuhan ini tanpa tujuan yang solid. Untuk itu saya memohon maaf .... Apakah Anda sudah mendapatkan jawabannya? Waktu Anda tidak banyak bukan?" Seakan menjawab ucapan kanselir, ledakan kembali terdengar dan bangunan kembali berderak. Kali ini terdengar lebih keras dengan atap yang mulai runtuh di atas mereka.

"Brilian," gumamnya. "Kotor, tapi brilian. Lalu, setelah tujuan Anda mencegah revolusi tak tercapai, apa yang membuat Anda bersikukuh? Bahkan sampai memasang peledak di bangunan penting seperti Laboratorium ini?"

Kanselir tersenyum lemah. "Karena ada yang harus saya jaga walau nyawa saya menjadi bayarannya," jawab Kanselir menutup mata. "Bukankah kita manusia hidup dengan tujuan? Sama seperti Anda melintasi Direland untuk seorang wanita, saya menghidupi seluruh hidup saya untuk Liberte dan umat manusia," lanjutnya menarik napas yang makin berat.

Ducky mengernyit mendengar jawaban itu. "Kanselir, apa yang sebetulnya Anda lindungi?" gumam Ducky, lebih pada dirinya sendiri. "Saya tak pernah dengar Anda menikah, jadi bukan untuk alasan yang serupa dengan saya ... Anda yang begitu idealis—"

Kanselir hanya terkekeh pelan mendengar gumaman Ducky.

Salah satu penjaganya menopang tubuh pria tua yang tak lagi kuat untuk duduk sementara yang lain tetap waspada dengan senjata teracung pada Ducky dan kawan-kawan. "Kalian pergilah ...," ucap Kanselir lemah pada para prajurit yang telah begitu berani menemaninya hingga saat terakhir.

"Tidak, Kanselir. Seperti sumpah kami, kami akan menemani Anda hingga akhir!" sahut penjaga yang menopang tubuh renta itu ....

Kalimat demi kalimat terlontar dari dua orang di hadapan mereka. Raz lagi-lagi hanya bisa terdiam.

Raz baru sadar ketika Ducky memerintahkan mereka untuk pergi. "Ayo, Raz. Kita keluar. Urusan kita sudah selesai."

Raz mengekor Ducky sampai pintu keluar bersama Suster Tilia. Sesekali dia melihat ke belakang ke arah prajurit yang masih setia bersama atasan mereka.
Seolah telah dirancang sedemikian rupa, gedung itu berderak menuju kehancuran. Satu per satu tiang-tiang penjaganya bengkok. Beton-beton yang lapuk berjatuhan. Bersamaan dengan mereka yang berada di jarak aman, gedung itu runtuh, menyebabkan getaran serupa gempa dengan debu dan material bangunan yang terlempar-lempar. Raz terbatuk beberapa kali karena tidak sengaja menghirup debu. Matanya perih karena kelilipan. "Semua baik-baik saja?" teriak Raz di tengah batuknya.

"Ya, kami baik-baik saja." Suster Tilia menjawab. Dia sudah menggunakan kain lebar untuk menutupi hidung dan mulutnya. Ducky terlihat masih mengedarkan pandangan dengan waspada, juga mengenakan masker dan kacamata pelindung.

"J! Lari!!!"

Dalam segala kekacauan yang terjadi di sekitarnya, Raz tidak mungkin salah dengar. Suara gadis yang beberapa hari ini menemani perjalanannya dan harus dia tinggalkan untuk misi yang lebih berbahaya. Xi?

"Raz, tunggu di sini ... jaga Suster Tilia!" perintah Ducky.

Raz tidak mungkin mematuhi yang satu ini. Xi yang seharusnya aman di Koloni Rogue bisa saja ada di sini. Raz harus memastikan itu. Dengan tergesa dia mengikuti Ducky ke asal suara dan mendapati di kejauhan sosok J yang sedang mematung. Apa Xi juga ada di sini? Perasaan Raz berkecamuk. Antara senang dan khawatir. Namun, lebih banyak ketakutan ketika dia melihat ekspresi J yang sulit diartikan. Mengikuti Ducky, Raz pun menghampiri J.

Ada yang hilang. Begitu Raz melihat J yang bergumam, Raz tahu ada yang tidak beres. "Xi .... Aku .... Maaf."

Xi. Apa ada Xi di sini? Raz tidak menemukannya di mana pun. Ke mana dia? Raz jatuh berlutut. Kenapa J menangis? Dengan siapa dia ke sini? Siapa pria besar yang bersamanya? Mana Xi?

"Raz," tegur Ducky. "Ayo!" Tapi, Raz tetap bergeming. Dia tidak akan pergi sebelum menemukan Xi. "Suster, tolong bantu dorong lelaki besar yang ada di kursi itu!"

"J," gumam Raz lirih. "Apa kau bersama Xi? Ke mana dia?"

"Maafkan aku, Raz ...." Tidak. Bukan itu jawaban yang Raz inginkan. Dia ingin tahu Xi berada!

Ingin rasanya Raz mengguncang tubuh J agar dia bicara. Namun, kakinya terlalu lemah. J pun terlihat sangat rapuh. Air mata anak itu mengalir sama seperti Raz tanpa sadar. Dia melihat ke arah reruntuhan bangunan. Tidak mungkin ... 'kan?

"Munking ... Tuhan memang membuat kita hidup untuk ... tidak tersiksa di dunia yang .... Kehilangan. Kalau ada yang tidak berguna ...."

"Tak ada nyawa yang tak berguna," celetuk Suster Tilia sembari menarik kursi beroda yang diduduki ilmuwan besar itu, menjauh dari reruntuhan.

"Besar atau kecil pengaruh nyawa itu pada dunia, siapa yang bisa mengukur ... Tuhan? Manusia? Kita tak pernah tahu." Tilia mendorong kursi berikut penumpangnya. "Tugas kita sebagai pemilik nyawa, hanya perlu bertahan hidup dan menggunakan nyawa itu sebaik-baiknya."

Raz tidak bisa berpikir jernih. Kalimat-kalimat dari pria besar di dekat J maupun Suster Tilia seperti angin lalu. Dia yang telah menuliskan surat wasiat dan pengakuannya kepada Xi, kenapa malah gadis itu yang justru pergi? Kenapa? Dia Maha Adil, tetapi kenapa terkadang dunia tidak adil? Kenapa? Xi sudah berniat tidak akan datang ke Liberté, tetapi kenapa dia datang ... bersama J? Kenapa?

Raz masih tidak terima. Ketika Ducky memerintah, "Kita pergi. Sekarang!" seraya mendorong bahu Raz pun, dia tidak patuh. Seperti seorang anak kecil yang merajuk, Raz berlari ke arah puing-puing berniat mencari tubuh gadis yang telah mengubah hidupnya itu.

"Xi!" Raz meraung. Air matanya meleleh. Jari-jarinya sampai berdarah terkena material bangunan yang tajam, tetapi terus dia tahan. "XIII!!!" Raz tidak akan percaya begitu saja sebelum dirinya melihat tubuh Xi dengan mata kepalanya sendiri. "Aku sudah berjanji untuk selamat! Aku akan mengembalikan koinmu. Jadi, Xi, keluarlah kemari kalau kau memang datang bersama J!"

Di tengah kesedihannya mengais puing-puing untuk mencari Xi yang—Raz harap—mungkin saja tidak ada, sebuah lengan kokoh membelit leher Raz.

Sebuah suara berdesir di telinga lelaki itu. "Tidurlah dulu. Nanti kau boleh lampiaskan kekesalanmu padaku."

Napas Raz tiba-tiba sesak. Cekikan dari orang di belakangnya sangat kuat. Pemuda itu sulit bernapas. Dia ingin berteriak, tetapi tidak bisa. Perlahan, kesadarannya memudar, tergantikan oleh kegelapan.

=== 

A/N

Beres!!! Bab selanjutnya adalah akhir. Yay \('-')/

Semua karakter yang hidup berkumpul di satu tempat uwu.

Ducky anaknya Catsummoner

J anaknya justNHA 

Xi anaknya amelaerliana 

Pria besar a.k.a. Silas anaknya Shireishou 

Owen diperankan oleh NozdormuHonist 

Kanselir diperankan oleh PhiliaFate 

Suster Tilia diperankan oleh Catsummoner 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro