Perjalanan 6: Misi Penyelamatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semakin masuk ke dalam Liberté, semakin keras alunan kematian yang Raz dengar. Aroma amis darah serta abu pembakaran menguar di udara membuat dada pemuda itu sesak. Teriakan lantang para warga sipil dengan para penjaga di Tri-Way Outer Circle menambah melodi menegangkan di telinga Raz.

Mengabaikan para warga sipil yang berjatuhan layaknya lalat di bawah sengatan listrik, kendaraan bergerak cepat menuju distrik tempat Tilia Branch ditawan. Mungkin sekitar dua ratus meter dari mereka, tank dan pagar kawat berduri telah didirikan, para penjaga juga terlihat membidik senapan, bersiap memangsa siapa pun yang hendak lewat.

Raz hanya bisa berdoa, semoga hal buruk tidak terjadi lebih banyak.

Di ruang kemudi, Owen berbicara dengan sang sopir. "Kita tidak bisa menembus mereka tanpa bala bantuan. Untuk sementara, lebih baik kita masuk ke Lab Pusat dengan memutar ke area pemukiman. Tinggallah di sini, aku akan turun bersama mereka." Gestur tangannya mengarah ke belakang kendaraan.

Sang pengemudi, rekannya, walau terlihat sedikit ragu, akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah, hati-hati, Tuan. Aku mencium ada jebakan di sini."

Owen menyeringai lembut. "Kita lawan mereka dengan distraksi. Aku akan masuk lewat pintu belakang," ucapnya seraya berdiri dan menepuk pelan bahu rekannya.

Owen melihat ke arah Ducky dan Raz. "Ducky, Raz. Kita harus turun di sini, ada banyak penjaga di depan. Kita akan memutar lewat pemukiman," ungkapnya sambil mempersiapkan pistol di saku, mengisyaratkan mereka agar turun perlahan dan hati-hati dari belakang kendaraan.

Raz menelan ludah untuk sesaat mendengar pernyataan Owen. Ya, lebih baik begitu. Lebih baik menghindari konflik sebisa mungkin agar korban jiwa dapat diminimalkan.

Ducky yang membuka pintu perlahan, sedikit saja, agar orang-orang tidak dapat melihat mereka. Raz kemudian mengikuti. Perlahan dia melangkah agar tidak membuat kegaduhan.

Raz hanya bisa memperhatikan Ducky dan Owen, serta jalanan Liberté yang penuh dengan potongan tubuh manusia bergantian. Sesekali mual merambat masuk membuat pemuda itu ingin muntah. Ditahannya sekuat tenaga dengan syal birunya agar tidak membuat dua rekannya khawatir.

Lalu, pertanyaan Ducky sekejap membuat fokus Raz beralih padanya. "Kita ke arah rumah sakit atau langsung ke lab utama, Owen?"

"Prioritas pertama kita Lab Utama, ada banyak ilmuwan di dalamnya. Aku ... curiga mereka akan menjadikan salah satu dari dua bangunan itu untuk kuburan massal dengan memancing kita ke sana. Bagaimanapun juga, kita mesti berhati-hati," ucap Owen sepelan mungkin, matanya sempat melirik Raz dengan tatapan khawatir.

Mata Raz sedikit membulat mendengar pernyataan Owen. Kuburan massal? Itu gila! Liberté ternyata memang bukan seperti yang Raz kira. Dia sudah terlalu dibuai oleh omong kosong. Tatapan khawatir Owen padanya mengisyaratkan bahwa mungkin dirinya belum siap dengan ini.

"Aku nanti akan berjaga di pintu belakang Lab sementara kalian mencari Tilia. Jika ada bahaya, gunakan ponselnya, oke?" ucap Owen yang menghela napas menilik bangunan Lab Utama di kejauhan. Sepertinya, bakal ada beberapa penjaga di halaman depan. Ini akan sedikit menyusahkan. Mereka harus sampai ke pintu belakang secepat mungkin tanpa menebar aroma keberadaan mereka pada musuh.

Raz hanya bisa mengangguk dengan perintah Owen.

Dalam diamnya menahan mual, Raz hanya bisa memperhatikan Ducky dan Owen. Dia takut kalau berbicara akan membuatnya tak sengaja menghirup asap atau mencium bau amis yang lebih pekat dari darah hewan. Ya, Raz pemburu. Berteman dengan darah adalah makanan sehari-hari, tetapi bukan darah manusia apalagi dengan mereka yang bergelimpangan tak bernyawa.

Saat Ducky bertanya pun, Raz hanya diam.

"Nomor mana yang harus kupanggil. Apakah cukup menekan redial saja?"

"Redial saja sudah cukup, nanti akan tersambung langsung dengan ponselku yang satunya lagi," jawab Owen sembari mengamati sekeliling pemukiman penduduk yang sepi.

Seseorang buru-buru menutup korden di salah satu jendela ketika mendengar jawaban Owen. Sepertinya masih ada penduduk sipil yang tertinggal, karena tak ada hawa permusuhan, hanya ketakutan dan kepanikan yang terasa.

"Kau pernah jadi warga sipil Liberte, 'kan, Tuan Ducky? Kau pasti tahu di mana pintu belakang Lab Utama. Firasatku mengatakan, penjagaan di sana tidak akan seketat di Inner Circle," lanjutnya sambil berjalan cepat menuju bangunan besar di kejauhan.

"Aku tak begitu ingat," gumam Ducky pada pertanyaan Owen. "Sebelum masuk akademi area laboratorium bukanlah tempat yang didatangi orang bodoh sepertiku."

Kemudian dia memencet tombol redial. Menunggu nada sambung.

Sesuatu bergetar di saku Owen. Benda tersebut ia ambil dan angkat ke depan muka. "Ah, kau meremehkan dirimu sendiri, Tuan Ducky," katanya seraya mempertunjukkan gawai di hadapan si Pria Pemarah, ternyata keduanya tersambung dengan nada dering yang sama.

"Hanya memastikan," gumam Ducky seraya mengantongi ponsel ke balik mantel pelindungnya.

Raz, Ducky, dan Owen mendekati bangunan yang sepertinya menjadi tujuan mereka. Bangunan bertingkat sepuluh—kurang lebih itulah jumlahnya, tanpa mempertimbangkan ruang bawah tanah. Kokoh, menjulang tinggi, dengan kaca-kaca yang berkilauan memantulkan cahaya matahari yang memanjat naik dari cakrawala. Tilia Branch ada di tengah-tengah semua kekacauan di distrik ini.

"Aku perlu bantuan kalian untuk melumpuhkan para penjaga nanti. Jika tidak ada pilihan ... bersiaplah menembak duluan," pintanya pada Raz dan Ducky.

Permintaan Owen cukup sulit. Menembak duluan? Raz tidak yakin. Tapi, kalau situasi mendesak dan membahayakan nyawa, Raz tidak punya pilihan lain bukan? Dengan ragu pemuda itu mengangguk, tanpa suara.

"Ayo, kita mesti bergegas," kata Owen tegas, matanya menyisir barisan pohon tabebuya dan ki hujan di sepanjang halaman samping Lab Utama. Keadaan nyaris sepi senyap, tiada suara selain derap langkah para penjaga dan angin yang menyapu pelataran. Penjagaan tidak terlalu ketat di sana. Setidaknya untuk sekarang.

"Raz," tegur Ducky. "Angkat dagumu, mengawasi musuh yang datang jadi tugasmu kali ini!"

"Biar aku yang awasi serangan dari kanan dan kiri."

Raz tersentak dari lamunannya. Perintah Ducky memang mudah, tetapi entah kenapa terasa sulit dilakukan. Dengan lemah, dia menjawab, "Siap ... Ducky ...."

Mengawasi musuh, ulang Raz. Hanya mengawasi. Ini akan mudah. Tidak perlu ada pertumpahan darah. Dia pun mengambil Revo yang masih tersimpan dengan tangan kanan, lalu tangan lainnya mengambil pedang pendek. Digenggamnya senjata tajam itu dengan mata pisau menghadap bawah.

Perlahan dengan masih mengendap di antara rumah-rumah penduduk, Raz mengekor Ducky dan Owen ke pintu belakang bangunan yg mereka tuju.

Setelah berjalan menyusuri rumah-rumah warga tanpa ketahuan, mereka akhirnya tiba. Owen menyeberang terlebih dahulu ke seberang, baru menyuruh mereka menyusul dengan isyarat tangan.

Namun, saat satu langkah lagi mereka dari tujuan, pintu bersandi menghalangi. Raz yang tidak mengerti membiarkan Ducky yang lebih ahli untuk menangani, sementara dia mengawasi musuh yang mungkin bisa datang kapan saja.

Celingak-celinguk mengawasi jalan sambil mengacungkan pistol, walaupun Raz tidak tega untuk benar-benar menembak. Sebagai gertakan saja.

Setelah terdengar dua kali teriakan, "Password salah!" dari arah belakangnya, Ducky memanggil.

"Raz!" tegurnya. "Siapkan picu pistolmu!"

Raz langsung menuruti apa kata Ducky. Dia membuka pengaman di dekat roller seperti yang Ducky ajarkan beberapa waktu lalu.

"Sekarang, berlindung di belakangku. Tapi, acungkan pistolmu melewati atas bahuku. Tembak saat kuberi aba-aba."

Sambil meneguk ludah, Raz mengikuti apa yang Ducky suruh. Dengan genggaman yang dia kuatkan, Revo telah bertengger siap untuk meletus kapan saja.

Kemudian, pintu terbuka dengan suara derit lirih.

Owen, Raz, dan Ducky menahan napas mereka. Ketiganya menelan ludah, bersiap menghadapi jebakan yang barangkali sudah disiapkan. Namun, nyatanya, di balik pintu tersebut, tidak ada seorang pun.

Dengan gerak cepat, mereka melangkah masuk ke dalam ruangan, dan menemukan lorong bercabang dua di sebelah kanan dan tangga darurat di sebelah kiri. Sepertinya lorong tersebut mengarah pada lift yang mengantarkan mereka ke atas. Sisanya hanya peralatan kebersihan yang biasa dipakai janitor, menumpuk di sudut-sudut ruangan. Ruangan ini malah mirip seperti gudang daripada bagian belakang sebuah gedung mewah.

Owen tersenyum ringan pada Raz dan Ducky seraya berkata tegas, "Aku akan mengantarkan kalian sampai di sini saja. Terlalu berbahaya jika kita masuk semuanya ke dalam. Bisa jadi kita dikepung dari belakang."

Raz terperangah untuk kesekian kalinya. Owen sudah bergabung dengan mereka bahkan dimulai dengan diam-diam dan kini dia mau berpisah begitu saja? Ya, memang ada benarnya tentang kemungkinan musuh yang datang. Namun, bagaimana dengan Owen sendiri? Bukankah dia lebih rentan bila seorang saja?

"Aku akan menunggu bala bantuan. Jika kalian butuh apa-apa, ingat, pakai ponselku," ucap Owen seraya berdiri di samping pintu belakang.

Bantuan. Semoga cepat sampai.

Ducky menurunkan sedikit senapannya lantas bertanya, "Raz, bisa kau bawa perisaiku? Kita akan naik tangga, aku perlu mengurangi beban bawaan .... Tapi, itu artinya kau yang jalan di depan."

Raz menerima perisai Ducky dengan ragu. Naik tangga? Tubuh Ducky tidak akan apa-apa, 'kan? Dadanya apa sudah sembuh? Tidak akan ada tulang yang ngilu, kan?

Raz menggeleng. Ducky orang tua yang kuat. Dia tidak perlu belas kasihan pemuda sepertinya. Kita bisa melalui semua ini.

"Siap, Kapten," jawab Raz. Dia kemudian naik menuju lantai lima di mana tempat Suster Tilia diperkirakan berada.

Raz baru beberapa naik anak tangga ketika Ducky menahan bahunya.

"Tunggu!" panggilnya. "Kurasa, sebaiknya aku saja yang di depan .... Kau gunakan perisai untuk berjaga-jaga serangan dari belakang saja."

Kening Raz mengerut. Kenapa berubah pikiran secepat ini? Kenapa Ducky seperti orang yang ketakutan? Harusnya dia yang lebih cocok untuk jadi pertahanan pertama untuk serangan di depan, 'kan? Atau jangan-jangan, Ducky merasakan kalau musuh akan segera menyusul mereka dari belakang sampai membuat Raz jadi dinding pertahanan? Bagaimana dengan Owen?

Raz mengangguk lemah pada akhirnya. "Ba ... baiklah." Dia pun berjalan ke belakang, melindungi punggung Ducky dengan perisai di tangan kiri.

"Om Ducky tahu di mana posisi Suster Tilia itu?" tanya Raz sambil tetap waspada.

"Menurut artikel orang bernama Phinix ini," dia menjawab sambil mengambil napas dalam-dalam. "Suster Tilia kemungkinan disekap di lantai lima."

Lantai lima. Raz mengulang dalam pikirannya. Dia harus menghitung setiap langkah jika tidak ingin terlewat dan malah membahayakan atau bahkan menggagalkan misi.

"Perjalanan kita masih panjang," kata Dukcy, melihat pada deretan anak tangga, menjulang berlantai-lantai ke atas sana.

Raz melihat sekeliling lagi. Tidak ada yang mencurigakan. Musuh tidak terlihat di mana pun.

"Hemat tenagamu, tetapi tetaplah waspada!" ujar Ducky lagi, sebelum kembali memimpin langkah sembari bersiap dengan senjata.

Raz terus mengingat perintah Ducky. Di dalam situasi genting seperti ini, fokus menjadi hal yang sangat penting. Siapa tahu ada musuh tiba-tiba menyerang?

Dua set anak tangga, untuk satu lantai. Begitu selesai dilintasi, mereka mencapai pintu besar dan berat. Pintu itu terbuka, lorong di baliknya terlihat lengang.

"Clear," lapor Ducky. Raz menghela napas lega. Dia kira akan menemui penjaga dan harus berhadapan dengan mereka, untungnya tidak. Belum.

Kemudian, mereka lanjut menyusuri anak tangga.

Saat mereka mencapai lantai tiga, terdengar suara derap langkah yang menggema di sepanjang lorong. Jantung Raz berdegup kencang. Akankah dia mengambil satu nyawa di lantai ini? Raz menggeleng.

"Hold!" desis Ducky seraya mengepalkan tangan. Dia dan Ducky langsung merapat ke dinding, bersembunyi dari para penjaga.

Raz sebisa mungkin tak bersuara seperti perintah Ducky. Dia bahkan sampai menahan napas, saking takut akan ketahuan.

Raz baru bisa mengembuskan napas kuat-kuat ketika Ducky bergumam, "Clear!" Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke lantai berikutnya.

Lantai empat.

Mereka sedang menyusuri setengah set anak tangga ketika terdengar suara pintu terbuka.

Ada penjaga! Raz menunduk dipaksa Ducky yang tangannya ada di pucuk kepala Raz. Jantungnya terus berdegup kencang karena adrenalin dan rasa lelah. Keringat membasahi kening dan tangannya. Genggamannya pada perisai dan pistol, Raz eratkan agar kedua benda itu tak terselip dari jemarinya.

Pergilah! Pergilah!

Kemudian terdengar langkah menjauh.

Tanpa menghiraukan lantai empat lebih jauh, Raz dan Ducky melanjutkan ke lantai terakhir.

Lantai lima. Pintu tertutup. Ducky dengan hati-hati menarik gagang pintu, menggunakan cermin kecil untuk melihat ujung-ujung lorong, memastikan tak ada yang menghadang.

Sepi.

Perlahan dia buka lebar pintunya. Senjata teracung waspada. Tak ada siapa pun. Hanya lorong kosong dengan deretan pintu. Tak seperti area penelitian, karena ada mesin penjual makanan di salah satu ujung. Dan kopi di ujung lain.

Raz tidak yakin harusnya tempat ini seperti apa, tetapi dia tahu kalau tempat ini terlalu sunyi. Apa akan ada kejutan yang menanti mereka?

"Clear," gumam Ducky pada Raz, memberi aba-aba.

Terlalu senyap. Keletak sepatu Raz bahkan terdengar menggema. Gemerincing pedang beradu di pinggangnya bahkan terdengar jelas. Tenang sebelum badai.

Ducky menoleh pada Raz. "Salah satu pintu ini .... Aku akan buka dari yang terdekat."

Raz menelan ludah. Tidak akan ada berondongan senjata yang menyerbu mereka tiba-tiba, 'kan?"

"Apa sebaiknya aku saja? Aku yang memegang perisai sekarang," saran Raz.

Baru Ducky akan menjawab Raz, matanya telah beralih ke tempat lain. Pria pemarah itu langsung berlari ke salah satu ujung lorong di mana pintu lift berada. Raz yang melihat Ducky panik langsung menyusulnya.

"Demi semua gurun Direland," gumam Ducky.

Raz tidak mengerti. Dilihatnya apa yang jadi pusat kekhawatiran Ducky. Sebuah benda elektronik dengan lampu merah berkelip-kelip. Besarnya tak lebih dari kunci elektronik yang mereka temui sebelumnya. Ada kabel-kabel yang saling tersambung.

Jika dilihat dari reaksi Ducky, itu bukanlah pertanda baik.

"Apa itu ...."

Raz tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Lebih tepatnya, tidak ingin. Dia takut dengan kemungkinan yang ada.

Tak ada tanggapan dari Ducky. Raz pun tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menengok ke kiri dan kanannya serta ke sekitar untuk memastikan tidak ada musuh yang datang.

Raz berasumsi, dilihat dari kepanikan Ducky, bahwa benda berkelip itu adalah sebuah bom. Kalau alarm, kenapa Ducky panik saat menemukannya? Dia bahkan langsung menghubungi Owen dengan tidak sabar.

"Cepatlah ... Owen!"

Raz samar mendengar suara dari seberang ponsel yang ada di tangan Ducky.

"Apa kau bisa beritahu cara untuk mengirim foto? Ada yang perlu kutunjukkan sekarang juga."

Bantuan. Harusnya Ducky minta bantuan saja langsung. Atau minta Owen kemari. Tapi, apa waktunya cukup?

"Om Ducky ...."

Raz tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia tidak tahu apa lagi yang harus dia kemukakan. Yang sekarang bisa Raz lakukan hanyalah berdoa. Dan mungkin satu lagi ....

"Bagaimana kalau kita selamatkan Suster Tilia sebelum bom itu meledak?" saran Raz dengan nada bergetar. Ragu sekaligus takut dengan benda itu.

Tidak ada jawaban atas saran Raz. Ducky terlalu sibuk dengan benda di hadapannya dan pembicaraan bersama Owen. Dalam ketidakpastian Raz terus menunggu untuk sebuah jawaban, sampai akhirnya Ducky memutuskan.

"Ayo, Raz!" panggilnya. "Ada misi yang harus kita selesaikan." Dia memasang kacamata pelindung, lalu lanjut berjalan ke salah satu pintu tertutup di lorong. Sambil tetap bersiaga.

Raz mengangguk seperti seorang prajurit mendengar perintah kaptennya. Dia lekas mengikuti Ducky menuju salah satu pintu tertutup di lorong.

Di pintu pertama yang mereka pilih, Ducky memutuskan untuk menghancurkan kunci elektronik menggunakan popor senjata setelah tidak berhasil membukanya secara manual.

Duaakk!!

Percikan listrik bermunculan dari kunci pintu yang hancur. Setelahnya, Ducky membuka pintu geser.

Tidak ada siapa pun. Raz menelan ludah. Ini akan sulit.

"Raz, tembak benda elektrik di sebelah pintu berikutnya! Pastikan arah tembakanmu tak langsung ke dalam tembok, sebisa mungkin sejajar dengan arah lorong!"

Ducky memerintah. Raz mengangguk. Dia mempersiapkan Revo untuk pintu kedua. Dibidiknya kunci pintu itu seperti yang Ducky bilang. Mata agak memicing. Pelatuk dilepaskan.

Dar!

Kunci berhasil dihancurkan. Ducky masuk dan memeriksa.

Kosong. Beberapa seperti pernah dihuni, sisanya seperti ruang model contoh untuk iklan apartemen.

Hal itu mereka lakukan sampai ke pintu keempat. Di pintu kelima, di dalam sana seorang perempuan sedang mengacungkan kursi kayu.

Ducky menyapa, "Sust—"

Sebuah kursi yang diangkat wanita itu tepat mengenai kepala Ducky, membuatnya pingsan seketika. Raz beruntung tidak terkena serangannya karena perisai yang dibawanya. Namun, Raz tetap panik, Ducky tak sadarkan diri! Dan di hadapannya ada seorang wanita yang sedang mengamuk. Antara menyadarkan Ducky atau bertanya tentang sosok di hadapannya?

Raz berjongkok, mengguncang tubuh mentornya. "Hei, Ducky sadarlah!"

Berubah dari waspada menjadi perhatian. Mungkin orang di hadapan Raz menganggap bahwa mereka bukan ancaman. "Sebaiknya jangan diguncang seperti itu," tegur wanita itu. "Kalau gegar otak parah, berbahaya."

Raz kemudian menoleh pada si wanita. "Apa Anda Suster Tilia? Kalau iya, tolong guruku ini!"

"Minggir," ujar si wanita seraya berlutut ke sosok yang terkapar benjol di lantai. "Biar kuperiksa!"

Raz memperhatikan setiap gerak-gerik wanita di hadapannya. Dia memeriksa denyut nadi di leher, kondisi pupil dengan senter mungil, lalu area kepala. Raz terus berdoa agar Ducky tidak apa-apa. Kalau dia mati bagaimana? Tapi, Ducky tidak mungkin mati hanya karena ini.

Ketika Raz masih berdoa, suster di hadapannya bertanya, "Anak muda, jawab aku .... Siapa orang ini?"

Raz terdiam sesaat. Ducky tidak pernah menyebutkan nama lengkapnya. Apa wanita ini bakal tahu? Ragu, Raz menjawab, "Ducky."

Raz bingung dengan wanita di depannya. Kenapa dia tertawa? Apa melihat seorang pingsan karena ditimpuk kursi terlihat seperti acara lawak?

"Bebek jantan?" Suster di hadapannya berkata. "Astaga, Tuan Bebek .... Kukira kau sudah mati entah di tengah gurun mana.

Raz hanya bisa menatap bingung. Ducky. Bebek. Jadi, mereka sudah saling kenal?

Raz memperhatikan wanita di hadapannya dan Ducky sebelum menjawab. "Kami ke sini untuk menyelamatkan Suster Tilia dan para ilmuwan. Katakan, apa benar Anda Suster Tilia?"

"Namaku memang Tilia Branch," perempuan itu menjawab. "Hanya saja aku tak paham, kenapa kalian repot-repot kemari untuk seorang suster biasa ini—seorang kriminal pula .... Bukankah lebih baik menyelamatkan para ilmuwan?"

===

A/N

Tidak pernah saya berhenti menganjurkan untuk membaca karya yang lain.

Bebek anaknya Catsummoner di "Kabur".

Penampilan Owen oleh NozdormuHonist 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro