Perjalanan 1: Koloni AX-0976

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari yang selalu Raz nantikan akhirnya tiba. Setelah mempersiapkan segala hal dan berpamitan, pemuda itu bergegas ke tempat berkumpul yang telah disetujui sebelumnya. Di sana, sudah ada dua anak gadis, Xi kurir mungil dan Edda anak bengkel reparasi. Raz ingin menyapa lebih dulu, tetapi tatapan mereka sepertinya tidak bersahabat. Pemuda itu menelan ludah.

Nanti sajalah. Kesan pertama itu penting. Aku tidak ingin berakhir dibenci oleh orang-orang yang bisa saja jadi rekanku nanti, pikir Raz sambil melihat gadis-gadis itu.

Si Pemuda kemudian naik ke mobil yang telah disediakan. Mobil boks penumpang berwarna biru kusam dengan karat di mana-mana. Ada beberapa jendela dan ventilasi agar orang di dalamnya tidak mati kepanasan atau kehabisan oksigen. Bagian penumpang itu beriringan dengan barang-barang yang ada.

Selagi menunggu para gadis ikut masuk ke mobil, Raz mengeluarkan sebuah buku lusuh kemudian mulai menulis sesuatu.

...

Entry 1 selesai!

Raz membatin kegirangan. Jurnal yang dia buat sebagai pengingat perjalanan dan surat wasiat akhirnya rampung. Dia menutup bukunya dan langsung memasukkan peralatan yang dipakai ke dalam tas.

Pemuda itu lantas mengedarkan pandang dan mendapati Edda si Gadis Bengkel sedang beringsut di sebelah pojok seperti kucing gurun yang ketakutan. Lucu, pikir Raz. Ingin sekali dia bilang kalau dirinya bukan ancaman, tetapi siapa yang tidak takut pula dengan seorang lelaki yang tinggi besar membawa banyak barang dan salah satunya adalah senjata tajam? Belum lagi reaksi orang-orang yang Raz ingat selalu menampilkan kesan kalau dia menyeramkan. Apa dia memang begitu? Apa dia tampak seperti hiena atau singa sabana? Raz yakin dirinya tidak seperti itu. Terakhir dia berkaca wajahnya masih tampan. Mungkin dia harus menyapa duluan untuk tahu.

Raz mendekati Edda dengan menggeser pantat perlahan-lahan, tetapi geraknya terhenti ketika seorang gadis mungil, Xi, melangkah naik, lalu tiba-tiba mobil bergerak membuat gadis itu hampir terjerembap.

"Awas!" pekik Raz sambil refleks memeluk Xi agar tidak jatuh. Sadar dengan tindakannya yang menyentuh seorang gadis yang bukan mahram, Raz langsung saja menarik diri mundur, mengempaskan gadis itu ke lantai mobil yang keras. "Ma-maaf! Aku tidak bermaksud!"

O ... Oh, kesan pertama yang buruk. Aku pasti akan dibenci. Raz merutuk dirinya sendiri.

Raz beringsut sejenak. Sepertinya gadis di depannya marah besar! Wajahnya yang memerah pasti karena murka sebab Raz melemparnya tanpa aba-aba. Ah, Raz harus cepat minta maaf.

"Hey, Nak. K—kau tidak apa-apa?" tanya Edda dengan suaranya yang lirih.

Tapi sebelum Raz melakukannya, Edda yang terlihat seperti kucing gurun telah membantunya berdiri. Sambil menepuk-nepuk bagian jubahnya yang terkena debu, Xi melirik ke arah Raz dengan penuh amarah.

Si Kurir Mungil sepertinya mau mengatakan sesuatu. Apa aku akan dimakinya?! Raz berpikir liar, tetapi ternyata tidak jadi. Gadis itu lantas duduk di dekat Edda, mengobrol. Saling memperkenalkan diri.

"Terima kasih atas bantuanmu ...," Xi berpikir sejenak, "Emma." Ia membuka masker gasnya dan mengaitkannya ke ikat pinggangnya. "Namaku, Xi. Aku teman Pratt. Seingatku dia salah satu pelanggan setia di bengkelmu."

Raz terperangah saat Xi membuka maskernya. Oh, dia sangat cantik! Pikirannya lalu terbang ke mana-mana. Pemuda itu menepuk-nepuk pipinya agar tetap sadar. Ingat kata Abi! Tundukkan pandangan!

"Oh! Y—ya, aku ingat Pratt," bisik Edda di akhir kalimatnya. Pandangannya turun ke bawah.

Aku juga mau kenalan. Dia terus memperhatikan kedua gadis itu tanpa berkedip.

"A—anu. NAMAKU EDDA, BUKAN EMMA."

Kemudian Raz terperanjat lagi ketika Edda berteriak mengoreksi namanya.

Xi sedikit kaget saat mendengar Edda meralatnya dengan suara yang cukup keras. "Maaf. Aku akan mengingatnya baik-baik," ucap Xi berusaha mengusir suasana canggung di antara mereka. Ia kemudian menurunkan tudung yang menutupi rambut peraknya, lalu menyandarkan badannya ke salah satu kotak kayu. Perjalanan mereka sepertinya masih panjang, lebih baik memanfaatkan waktu yang ada untuk beristirahat.

Raz yang melihat itu semua merasa tak keruan bila membuka suara, tetapi bila diteruskan hal ini bisa berakhir tidak baik-baik saja.

"He ... Hei, aku mau minta maaf," sesal Raz setelah pergulatan panjang. "Aku sebenarnya sudah kenal kalian, selewat sih. Bagaimana kalau kita kenalan secara resmi? Aku Raz." Pemuda itu membuka lilitan syal biru dan menurunkannya sebatas leher. Senyumnya mengembang.

Edda membetulkan jubah dan tudungnya setelah melihat Xi yang akan beristirahat. "Aku Edda. Kita beberapa kali bertemu di bengkel Percy," jawabnya pelan.

Mendengar jawaban lirih Edda, Raz hanya bisa tertawa canggung. Dia memang sempat beberapa kali melihat Edda, tetapi tidak sempat akrab. Sekarang saat dia ingin lebih mengenal teman satu perjalanannya, hanya satu kalimat yang terlontar. Bagaimana dia harus menanggapinya? Aah, membingungkan!

Xi lebih jahat lagi. Gadis itu tidak memedulikannya dan malah kembali tidur! Raz jadi makin bingung. Sebenarnya dia salah apa lagi? Dia kan sudah minta maaf. Xi mungkin belum memaafkannya. Apa dia harus melakukan sesuatu dulu sampai Xi memaafkannya?

Apa yang harus kulakukan?

"Omong-omong, Edda, apa yang membuatmu ikut rombongan ke Liberté?" tanya Raz berusaha mengakrabkan diri lebih jauh lagi. Dia juga ingin bertanya hal yang sama kepada Xi, tetapi sepertinya hal yang buruk membangunkan anak-anak dari tidur siangnya. Dia akan coba setelah gadis itu bangun.

Mendengar pertanyaan dari Raz, Edda langsung mendongak dan menatap pemuda itu. Kepalanya menoleh pada Xi yang terpejam sebelum kembali menunduk. "Seram," ucapnya pelan. "Aku ingin pergi dari sini. Di sini semua seram," lanjutnya dengan suara yang sedikit bergetar.

Raz yang mendengar pernyataan hanya bisa maklum. Dunia luar memang seram. Namun, pemuda itu kembali gelagapan saat Edda tiba-tiba bergetar seperti orang yang kedinginan ... atau ketakutan? Ingin sekali dia mengelus-elus kepalanya seperti yang selalu ia lakukan pada Nisya—adiknya—saat ia ketakutan. Sayangnya, dia tidak bisa.

"Memangnya kau pikir di luar sana tidak seram?" tanya Xi dengan suara lirih tapi penuh penekanan. "Bukannya aku ingin menakut-nakutimu, tapi berdasarkan pengalamanku, kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada orang-orang Liberté."

Xi yang sedari tadi tertidur akhirnya bangun. Namun, kata-kata untuk ukuran orang baru bangun tidur terlalu menohok. Raz jadi kasihan pada Edda. Kata-katanya tentang orang Liberté juga membuat Raz penasaran.

Akan tetapi sebelumnya, Raz mau basa-basi dulu. "Bagaimana tidur siangmu?" tanya Raz pada Xi. "Tolong maafkan aku untuk yang tadi."

"Tidak nyenyak karena kau berisik!" ketus Xi sambil menatap Raz sebal. "Lain kali, kau tidak perlu repot-repot membantuku." Dia lalu menoleh pada Edda yang tampak gemetar.

Raz memundurkan punggungnya sedikit saat Xi menyemprotnya. Lagi-lagi dia salah! Sepertinya pria memang selalu salah di mata wanita seperti pepatah lama.

"Ya, maaf ...," kata Raz lirih.

Setelah menyemprotnya, Xi malah berbaik hati pada Edda. Ia menyentuh pundak Edda dengan lembut. "Kau mau minum?" tawarnya. Senyum kecil berhasil terbit di wajah Edda. Dengan halus ditolaknya minuman itu.

Pilih kasih! pikir Raz iri. Iya, sih, Edda memang patut dilindungi. Gadis itu mengingatkannya pada Nisya, lagi.

"Aku harap kita bisa baik sebagai satu teman perjalanan," harap Raz.

"Mmm ... i—itu ... Apa tidak apa-apa jika anak kecil ikut di perjalanan b—berbahaya seperti ini?"

Pertanyaan Edda persis seperti yang ada di benak Raz. Sebagai seorang anak kecil—di mata Raz—Xi cukup tangguh. Namun, hal itu buyar seketika saat Xi "menyembur" Edda. Botol yang dia tawarkan ditarik kembali, lalu cecaran pertanyaan dan makian keluar bagai air bah.

"Siapa yang kaupanggil anak kecil? Memangnya berapa usiamu? Jangan mentang-mentang badanmu lebih tinggi, lalu kau seenaknya merasa lebih hebat dariku!"

Mendengar semprotan Xi, Edda hanya bisa menarik tudung di kepala agar semakin menutupi wajahnya.

Raz mencoba menenangkan. Tidak lucu kalau sisa perjalanannya diiringi dengan hardikan dan makian satu sama lain. Akan lebih damai kalau semua kompak dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. "Sudah, kalian berdua. Tidak baik ribut-ribut sebagai satu teman perjalanan. Maaf kalau kami menyinggung perasaanmu, Xi. Tapi, kalau boleh tahu, umurmu memang berapa?" Raz bertanya takut menyinggung.

Xi menoleh kepada Raz. Mata sipitnya melotot. "Tidak perlu bertingkah sok pahlawan, Tuan Tukang Ikut Campur!" sembur Xi. "Badanku memang kecil, tapi aku bisa membunuh cacing gurun sendirian." Xi berusaha mengatur napas untuk meredam emosi yang meletup-letup di dadanya. "Ngomong-ngomong. Usiaku 25 tahun. Jadi jangan perlakukan aku sebagai anak kecil," katanya sembari melipat tangan di depan dada.

Raz membuat perisai di depan wajah untuk menghalau setiap kata-kata menusuk dari Xi, atau lebih tepatnya air ludah yang menyembur bagai hujan lokal. Oke, ini sudah yang kesekian kalinya Raz diteriaki. Dan apa katanya? Tukang ikut campur? Apa selama ini orang-orang yang ditolongnya melihatnya sebagai pribadi yang demikian? Ah, dia mungkin harus mengurangi frekuensi pertolongannya? Tidak. Itu tidak mungkin. Dia terlalu impulsif kalau ada orang yang terlihat kesusahan.

"Maaf-maaf—eh, tunggu, usiamu sama denganku?" Raz mematung sejenak. Jadi, gadis mungil yang selalu dia kira ini bukan anak-anak? Pemuda itu melipat tangan di depan dada. Otaknya serasa berhenti tiba-tiba. Raut wajahnya seperti sedang berpikir padahal tengah kosong melompong.

"Stunting?" celetuk Raz tiba-tiba. Dan setelah pertanyaan itu dilontarkan, Raz merasa baru saja telah menyimpan ranjau tepat di bawah kakinya.

Mata Xi membelalak sampai-sampai seperti akan meloncat keluar dari rongganya. Ia bangkit berdiri. Dengan tinggi badannya yang hanya 149 cm, ia tidak perlu khawatir kepalanya membentur atap truk. Kedua kakinya melangkah mantap ke tempat Raz duduk. Lalu dalam sekali sentak, si Kurir Mungil menumpukan telapak tangannya ke dinding di belakang Raz. Hanya beberapa senti dari pundak lelaki itu. Lalu, ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendekatkan wajahnya ke telinga Raz.

Raz kaget bukan main. Seingatnya, baru sekarang dia berhadapan dengan lawan jenis sedekat ini. Xi yang mengunci pergerakannya mengingatkan Raz pada adegan-adegan romantis di mana si tokoh utama akan ditembak—tunggu, kenapa malah ke sana?! Ini bukan waktu yang tepat! Dia harus segera keluar dari situasi ini sebelum semuanya runyam.

Dengan suara lirih yang hanya bisa didengar Raz, Xi berbisik, "Kalau kau mengejekku sekali lagi, aku berjanji suatu hari akan menyelinap saat kau tidur, mencuri barang yang paling kau sayangi, dan ... melukai wajah tampanmu itu dengan golokku," ancam Xi.

Raz tertegun sejenak dengan ancaman Xi, bukan karena isinya, tapi karena ada sedikit pujian di dalamnya. Saat dia ingin membalas bahwa dia mengerti dan menyuruh gadis itu segera menjauh, Edda tiba-tiba mengerang kesakitan setelah terdengar bunyi benturan keras sebelumnya. Raz berpaling seketika pada Edda. "Edda, kau kenapa?"

Xi menarik tangannya dan kembali menegakkan tubuh. Dia pun turut memperhatikan Edda dengan penasaran.

Sepertinya, siang itu Xi memang sedang sial. Truk yang mereka tumpangi melindas sesuatu, membuat seluruh isi truk berguncang. Xi yang tidak lagi berpegangan ke dinding terbanting ke depan. Perlu beberapa saat bagi Xi untuk menyadari bahwa dia jatuh ke pangkuan Raz. Tubuh mungilnya terlihat makin mungil dalam pelukan Raz.

"Eh?"

Raz merasakan sesuatu yang kenyal. Pemuda itu mematung. Butuh waktu sepuluh detik bagi Raz untuk memproses keadaan, sebelum akhirnya dia sadar.

Raz menyentuh Xi untuk kedua kalinya!!!

"Eeeeh?!!!"

Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu melempar si Kurir Mungil, lagi. Dia langsung pucat ketika sadar dia telah mengempaskan Xi untuk kedua kalinya. Deja Vu?!

"A ... Aku tidak bermaksud. Sungguh!" sesal Raz. Kali ini dia benar-benar akan dibenci dan harus berusaha keras untuk dapat permintaan maaf. Dia kan, tidak mau jadi orang yang berdosa banyak. Sungguh malang sekali nasib Raz.

Sadar ia sudah diam terlalu lama, Edda lalu segera menolong Xi kembali. "Kau baik-baik saja? Ada yang luka?" tanya Edda seraya memeriksa keadaan Xi.

"Aku baik-baik saja," kata Xi untuk menjawab pertanyaan Edda.

Setelahnya, tatapan Edda beralih pada Raz terlihat menyesal.

"A—anu ... sebaiknya kau se—sedikit lebih berhati-hati. Terutama pada anak—"

Diam.

"Kau harus lebih hati-hati terhadap siapa pun. Terutama perempuan DEWASA seperti Kak Xi."

Tidak hanya Xi, sekarang Edda juga menyemprotnya! Gadis yang tidak banyak bersuara dan terlihat takut dengan segala hal itu telah berani berbicara dengan Raz akhirnya, dengan penekanan pula! Raz pasti telah berbuat kesalahan yang amat fatal. Mungkin sebaiknya dia diam dulu sampai keadaan membaik lagi.

"Maaf," kata Raz lirih. Dia tak bersuara setelahnya, dan hanya melihat keadaan dalam hening.

Namun, Raz tidak tahan dengan hal tersebut! Seseorang, keluarkan Raz dari situasi canggung ini!

"Tahu begini, aku tidak akan mendaftar ke Liberté. Bertemu pria itu tidak sebanding dengan semua kesialan ini," gumam Xi.

Dia kemudian menatap Raz lekat-lekat, kali ini dalam jarak aman untuk menghindari terjadi hal-hal memalukan lagi.

"Yang barusan itu salah saya. Maaf telah merepotkan Anda. Untuk selanjutnya, sebaiknya kita urus urusan masing-masing. Perjalanan ke Liberté masih panjang, saya tidak ingin kita kembali terjebak dalam situasi yang canggung lagi," tutur Xi dengan sikap formal yang berlebihan.

Raz termangu. "O ... Okey," jawabnya. Dia kemudian tak sengaja mendengar gumaman Xi tentang Liberté. Raz lantas teringat kembali percakapannya tentang orang-orang sana. "Kau mau bertemu dengan seseorang di Liberté? Bukannya sebelumnya katamu orang-orang Liberté tidak bisa dipercaya?"

Raz seketika diam ketika sadar pertanyaannya itu sudah masuk ranah privasi dan dia sudah terlalu jauh mencampuri urusan orang lain. Xi pasti makin sebal padanya.

"Tidak jadi. Tidak apa kalau kau tidak mau cerita."

Munafik. Raz sebenarnya sangat ingin tahu. Tapi, kalau dia memaksa, Xi bisa lebih murka. Pemuda itu dilema. Kalau Xi sampai marah lagi, orang yang mungkin jadi rekan seperjalanan dan saling membantu bisa jadi hilang. Aah, susah amat jadi orang baik!

Xi menatap Raz tanpa ekspresi. "Sebaiknya kita urus urusan kita masing-masing, Tuan Raz." Dia menoleh ke arah Edda. "Begitu juga dengan Anda, Nona Edda."

Dia kemudian menganggukkan kepala dan berjalan menuju sebuah celah kosong di antara sebuah peti kemas dan dinding truk.

Edda langsung kembali ke tempat duduknya semula di pojokan. Dibetulkannya jubah serta tudung yang tadi sempat berantakan. Walaupun begitu, matanya lurus mengarah ke Raz tanpa berkedip.

Tak begitu senang dengan ketegangan yang ada, sekali lagi Edda memberanikan dirinya untuk membuka suara. "K—Kak Raz sendiri ... se—sepertinya tidak ada masalah di koloni. Kenapa sekarang malah ingin ikut ke Liberté?" Mata yang semula menatap Raz, sekarang malah bergerak tak tentu arah. "Itu kalau Kak Raz tak keberatan memberitahu," cicitnya menutup keberaniannya tadi.

Raz yang canggung karena diabaikan akhirnya bisa bernapas lega sekali lagi. Edda mengajak bicara! Hm, pertanyaan yang sulit. Pemuda itu mengerutkan kening sebentar sambil menyusun kata-kata yang tepat.

"Koloni baik. Aku saja yang tidak," mulai Raz dengan nada yang agak serius. "Sepertinya aku yang terlalu kaku sehingga mulai tidak nyaman dengan keadaan yang ada. Kuharap Liberté bisa lebih baik, kehidupannya dan idealisme yang mereka pegang." Raz tersenyum pada Edda. "Begitu."

Raz cukup senang karena masih ada yang mau bicara dengannya setelah kejadian memalukan sebelumnya. Dia harap perjalanan ini berjalan dengan baik.

"Rasanya senang bisa bicara denganmu, Edda," kata Raz masih melempar senyum.

Edda hanya mengangguk patah-patah. Ia sekali lagi melirik pada Xi yang terlihat tenang dan kembali lagi pada Raz.

Tidak ada lagi percakapan setelah Raz bicara. Hening. Hanya ada suara deru mesin dan sesekali guncangan mobil yang menemani mereka.

Raz melihat dari sela-sela ventilasi, warna jingga senja perlahan memudar. Matahari telah terbenam. Petang menyapa. Hari berganti.

Pemuda itu menutup matanya, mensyukuri setiap detik hari baru yang telah datang. Semoga masih ada harapan untuk esok.

===

A/N

Bagian ini merupakan sudut pandang Raz. Jadi, ada beberapa yang disunting dan dipangkas untuk penyesuaian (meskipun masih terasa kasar ternyata). Untuk membaca sudut pandang Xi dan Edda bisa berkunjung ke amelaerliana di karya "In Transit" dan Happy_Shell di karya "Escape to the Dreamland".

Semoga terhibur!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro