CHAPTER IV.2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ilya masih menangis di sebelah ranjang Ebrar, wanita paruh baya itu tak mampu menahan isak tangisnya. Air matanya terus saja tumbah hingga membuat kedua matanya membengkak. Kedua tangannya menggenggam satu tangan Ebrar yang tidak terpasangi infus. Sudah satu minggu berlalu wanita paruh baya itu belum meninggalkan rumah sakit, ia masih menunggu kedua mata Ebrar terbuka dan menatap dirinya kembali.

"Ebrar sayang, buka matamu." bisik Ilya mengelus puncak kepala Ebrar, "apa kau tidak merindukan ibumu?" lanjut Ilya namun tak ada jawaban dari mulut Ebrar, masih seperti kemarin telinga Ilya hanya di penuhi oleh suara monitor hemodinamik dan saturasi yang memenuhi ruangan.

Harusnya tepat hari ini adalah hari pertunangan anak perempuan kesayangannya itu, harusnya hari ini adalah hari paling menggembirakan untuk Ebrar, bukan hanya Ebrar, mereka semua juga seharusnya hari ini merayakan kebahagaiaan yang sama. Tetapi saat ini malah mereka semua di liputi oleh kesedihan.

Ia ingat betul bagaimana Ebrar tersenyum membahas rencana pertunangannya dengan Serkay, bahkan Ebrar juga membahas konsep pernikahan mereka nantinya. Tetapi saat ini Ebrar malah berbaring tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Ebrar mengalami pendarahan di kepalanya yang menyebabkan wanita itu koma sudah seminggu ini.

"Aunty Ilya makanlah dulu, biar aku yang ganti menjaga Ebrar." Emre menepuk pelan pundak Ilya.

"Aku belum lapar." Ilya menggeleng pelan.

Embre mengembuskan napasnya berat, ia memijit pelipisnya dengan jari telunjuk. "Aunty, ku mohon makanlah dulu kau juga harus menjaga kesehatanmu. Bagaimana jika kau jatuh sakit?"

"Tapi-"

"Tidak ada tapi Aunty, kau juga harus menjaga kesehatanmu." Emre meremas lembut bahu Auntynya itu.

"Baiklah, kau bantu jaga Ebrar." Ilya berdiri dari duduknya dan berlalu meninggalkan Emre yang masih berdiri di sebelah ranjang.

Emre menarik kursi dan duduk di sana, ia meraih telapak tangan Ebrar dan mengelusnya lembut. "Ebrar apa kau tak bosan terus tidur di sini?" Emre meremas lembut tangan Hande, matanya berkaca-kaca menahan air matanya agar tidak tumpah.

Ia menunduk sambil mengusap keningnya bahunya bergetar, "Hande kami semua merindukanmu," lanjutnya terbata sesekali ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya yang bebas.

Di ruangan lain suasana terasa tidak berbeda dari ruangan tempat Ebrar di rawat, di sana berbaring sosok Serkay yang belum sadarkan diri. Di tangannya menempel selang infus, keadaannya tidak lebih baik dari Ebrar.

"Serkay cepatlah bangun, ibu merindukanmu." Fiona menangis melihat keadaan putra kesayangannya belum sadarkan diri.

***

Ruangan yang tadinya di liputi cahaya putih itu kini berubah menjadi sebuah taman yang di penuhi begitu banyak bunga berwarna-warni. Bahkan beberapa ekor kupu-kupu terbang mengelilingi taman seolah menari menyambut para bunga yang bermekaran. Serkay melihat sekelilingnya dan merasa asing, ia kebingungan. Muncul satu pertanyaan dalam benaknya 'dimana aku? Bukankah aku sedang pergi bersama Ebrar kenapa aku berada di sini?'
Serkay mulai melangkah pelan dan ia melihat di sana berdiri sosok Ebrar dengan gaun putihnya yang menjuntai, rambut hitamnya tergerai indah. Persis seperti seorang pengantin wanita yang sedang berbahagia dengan senyumnya yang merekah.

"Ebrar," panggil Serkay berlari mendekati wanita itu. Ebrar hanya menoleh sembari melambai dan tersenyum kecil, "Ebrar," panggil Serkay sekali lagi bukannya mendekati Serkay ia malah makin berjalan jauh.

"Ebrar kamu mau kemana?" kembali Serkay bertanya namun tidak ada jawaban dari mulut Ebrar. Wanita itu masih melangkahkan kakinya dan kini tanpa menoleh ke arah Serkay sama sekali.

Namun Serkay tak menyerah pria itu semakin berlari menyusul Ebrar. Berhasil! Kali ini ia berhasil meraih telapak tangan Ebrar. "Ebrar ada apa denganmu? Kau mau kemana?" Ebrar masih menampilkan senyum kecil dan menggeleng, Srkay memperhatikan Ebrar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu terlihat sangat cantik hari ini dengan gaun putihnya tetapi Serkay merasa Ebrar seperti akan menghilang?

"Tanganmu dingin," kembali Serkay berucap sembari menggenggam kedua telapak Ebrar dan membawa ke pipinya. Serkay membubuhkan kecupan lembut di telapak tangan Ebrar.

"Serkay ingatlah aku akan tetap mencintaimu."

Aneh air matanya jatuh tanpa bisa ia bendung, Serkay hendak berucap namun suaranya tertahan kerongkongannya terasa begitu kering. Genggaman tangannya makin erat. Ia tidak mau melepaskan tangan Ebrar entah kenapa ia merasa Ebrar akan meninggalkan dirinya.

Serkay masih menangis tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ia mulai merasakan tubuh Ebrar menghilang sedikit demi sedikit menjadi butiran cahaya putih, "Ebrar," ucapnya dengan terbata, "jangan, jangan tinggalkan aku," lanjutnya dengan suara gemetar namun tubuh Ebrar sudah menghilang sepenuhnya tanpa bisa ia cegah.

Tubuhnya lunglai terjatuh di rerumputan yang ia pijak, Serkay berlutut tangannya mengepal menghantam-hantam rerumputan seolah itu mampu mengurangi rasa sakitnya. "Ebrar!" Teriaknya kencang.

"Tidak. Tidak, ini pasti mimpi." berbisik dan kemudian berdiri.

Serkay kembali melihat sekelilingnya taman yang tadinya di pepuni bunga warna-warni dan kupu-kupu kini menghilang. Tidak ada lagi bunga, tidak ada lagi kupu-kupu, tidak ada lagi taman yang indah. Semuanya mati, semuanya menghilang bahkan rumput yang ia pijaki pun berubah mengering.
Tidak apa ini! Bahkan kini cahaya putih itu menghilang berubah menjadi kegelapan dan kabut. Serkay di kelilingi kabut gelap yang begitu tebal, ia merasa kesulitan bernapas. Tidak. Lebih tepatnya Serkay merasa napasnya mulai terputus-putus dadanya terasa begitu sesak. Serkay tidak alagi bisa mendengar detak jantungnya dengan jelas.

Ia merasa darah tidak lagi mengalir pada tubuhnya, apa ini? Apa ia akan mati atau ia suddah mati? Sebenarnya dimana dirinya saat ini? Apa ia sedanag bermimpi buruk? Begitu banyak pertanyaan berputar di kepalanya namun tidak bisa ia jawab.
Serkay memejamkan matanya dan mulai mengingat-ingat. Pada akhirnya satu ingatannya muncul, ingatan di mana dirinya sedang mengendarai mobil bersama dengan Ebrar.

Hari itu mereka sedang pergi untuk fitting baju untuk acara pertunangan mereka berdua. Iya, harusnya mereka sekarang masih dalam perjalanan tetapi di dalam perjalanan mereka mengalami kecelakaan. Serkay membuka matanya dengan cepat namun kegelapan itu belum menghilang.

Tetapi Serkay samar-samar mendengar seseorang memanggil namanya walau panggilan itu terasa begitu jauh. 'Ebrar apa itu suara Ebrar' pikirnya, "Ebrar apa itu kau?" gumamanya berupa bisikan. Serkay mencoba mendengarkan sekali lagi tapi tunggu itu bukan suara Ebrar tapi suara Fiona, ibunya.

Serkay mulai merasakan dadanya sesak, ia tumbang tangannya menggapai-gapai dalam kegelapan seolah meminta bantuan tetapi tidak ada yang mendengar ataupun melihat keadaan dirinya saat ini. Sedetik kemudian ketika ia merasa sekarat setitik cahaya putih muncul di depan matanya dan sekarang suara panggilan itu terdengar lebih jelas dari yang tadi.

"Serkay, Serkay kau sudah sadar sayang." Fiona bangkit dari duduknya melihat kedua mata Serkay mulai terbuka perlahan. Dengan cepat Fiona memencet tombol diatas tempat tidur untuk memanggil dokter.

"Ebrar." hanya satu kat aitu yang keluar dari mulut Serkay etelah itu Serkay kembali memejamkan matanya.



💙💕
Primavera

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro