Chapter V.2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gelap menyelimuti tanpa ada celah cahaya sedikitpun, ruangan itu kini terasa begitu sempit hingga untuk benapas saja tidak cukup. Tetapi sosok tegap itu masih nyaman bergelung di sana. Suara dering ponsel beberapa kali berbunyi namun tidak diindahkan oleh sang mpunya ia lebih memilih merapatkan bantal untuk menutup telinganya. Beberapa menit kemudian suara ketukan pintu terdengar tetapi tetap saja si penghuni tidak berniat bergerak dari tempatnya.

Seperti kehilangan kesabaran ketukan kali ini terdengar lebih lantang dari sebelumnya dan terburu mungkin saja ia mengumpat ketika sedang megetuk pintu. Bahkan sedetik kemudian terdengar suara debuman keras dan bantingan pintu terbuka membentur dinding, pintu berhasil di dobrak.
Ketika pintu terbuka bau alkohol menguar begitu kuatnya dari dalam ruangan kemudian derap suara langkah bergemuruh memasuki ruangan gelap dan lembab itu. "Apa kau akan terus seperti ini Serkay?" bentak Emre sembari menyibak selimut Serkay dengan paksa, kemudian bergerak menyibak gorden hingga cahaya matahari masuk sepenuhnya menerpa tubuh Serkay yang masih berbaring di atas ranjang.
Serkay melenguh ketika cahaya itu menusuk tepat pada wajahnya dengan cepat ia mengangkat tangan dan menutup wajahnya dengan lengan kekarnya. "Serkay aku katakan sekali lagi bangun!" suara Emre naik satu oktaf melihat Serkay masih belum bergerak dari tempatnya.

Emre memijat kening diantara kedua alisnya sembari memejamkan mata dan mengembuskan napas lelah. Ia kemudian membuka kedua matanya dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Nampak puluhan botol minuman keras berserakan dimana-mana. Bukan hanya itu di atas meja juga terdapat bekas piring dan mangkuk kotor tertumpuk tak beraturan.

Ternyata kondisi Serkay sekarang memang sangat menyedihkan, Fiona, ibunya terus menangis karena Serkay tidak bisa di hubungi beberapa hari ini. Pria itu tidak melihatkan batang hidungnya setelah upacara pemakaman Ebrar. Pria itu bak menghilang di telan bumi, Fiona juga beberapa kali mendatangi apartemen pria itu tetapi tidak bisa bertemu dengan anak semata wayangnya itu.

Akhirnya sambil menangis Fiona menghubungi Emre dan meminta tolong pada pria itu untuk menemukan Serkay. Fiona sungguh khawatir dengan keadaan putranya itu dan di sinilah Emre berakhir di apartemen Serkay yang serupa kapal pecah. "Apa kau akan benar-benar mengakhiri hidupmu seperti ini Serkay?" sekali lagi Emre bertanya pada Serkay namun pria itu masih bergeming, "apa kau pikir Ebrar akan senang melihatmu seperti ini?" lanjutnya kembali dan kali ini Serkay bereaksi denan ucapan Emre.

Serkay memindahkan lengannya perlahan dan membuka kedua matanya, terlihat wajahnya menjadi lebih tirus dari sebelumnya. Bahkan kantung matanya terlihat menghitam tanda bahwa ia tidak pernah tertidur dengan nyenyak selama ini. Selain itu rambutnya ia biarkan tumbuh lebih panjang dari sebelumnya tanpa ia mau repot-repot memotongnya.

"Ebrar," ucap Serkay terkekeh sambil menangis.

Emre mendorong tubuhnya menempel ke tembok di belakangnya, ia memasukkan kedua tangannya di saku celana sembari menunduk menatap ujung sepatunya. Emre mengerti perasaan Serkay saat ini, di tinggalkan orang yang di cintai rasanya seperti tersayat oleh ribuan pisau tak kasat mata sakit namun tidak berdarah. Melihat keadaan Serkay saat ini ia sadar tidak akan ada yang bisa menyembuhkan luka dalam hati Serkay kecuali dirinya sendiri. Sekeras apapun ia mencoba membantu tidak akan bisa.

Ponsel Emre yang berada di saku jasnya berdering dengan cepat ia mengambil benda pipih berbentuk kotak itu. Ia menggeser layarnya ketika membaca nama Fiona di sana. "Iya Aunty, aku sudah bertemu dengannya." Emre bergeser dan berdiri di depan jendela kaca, "tidak. Keadaannya kurang baik saat ini," lanjutnya sembari mengembuskan napas berat, "kau tidak usah khawatir Aunty aku akan mnegurus semuanya," ucapnya kembali dan setelah itu mematikan ponselnya dan kembali menaruhnya di kantung jas.

"Sepertinya langit hari ini tidak secerah kemarin, kau tahu Serkay setelah aku melihat keadaanmu hari ini aku tidak bisa melakukan apapun. Yang bisa membantu dirimu adalah dirimu sendiri bukan orang lain. Tadi Aunty Fiona menelponku dan menanyakan keadaanmu, ia tidak berhenti menangis." Emre berbalik dan melangkah melintasi ranjang Serkay, "kau harus tahu Serkay saat ini bukan hanya kau yang merasa kehilangan. Jika kau tidak mampu menghargai dirimu setidaknya hargailah ibumu," setelah mengatakan itu Emre benar-benar berlalu dari sana meninggalkan Serkay.

Serkay menatap langit-langit kamarnya dengan gamang, air matanya terjatuh dari kedua sudut matanya. Tak terlintas sedikit pun di benaknya nasibnya akan berakhir seperti ini, kehilangan wanita paling ia cintai. Serkay merasakan embusan angin menyentuh kulitnya, ia mengalihkan pandangan dan menatap lambaian gorden yang tertiup angin.

Cahaya mentari itu kian lama kian merubah bentuknya menjadi satu sosok yang di rindukan oleh Serkay selama ini. Di sana Serkay melihat bayangan wajah Ebrar yang tersenyum pada dirinya, masih secantik saat Serkay pertama kali bertemu wanita itu. Senyuman yang membuat Serkay jatuh cinta pada Ebrar. Salah satu hal yang sulit di lupakan dari Ebrar adalah senyum wanita itu yang begitu memikat hatinya. Tanpa aba-aba Serkay melesat bangun dari tempat tidurnya dan menghampiri bayangan itu. "Ebrar, benarkah ini dirimu? Aku sangat merindukanmu." Serkay tersenyum girang dan menghambur memeluk bayangan Ebrar. Sungguh memeluk wanita itu adlaah hal yang paling ia inginkan saat ini.

"Aku juga sangat merindukanmu." Ucap Ebrar serupa bisikan tepat di telinga Serkay dan membalas pelukan pria itu.

Serkay semakin mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya pada lekukan leher Ebrar untuk menghirup aroma wanita itu, aroma mawar, aroma yang selalu menjadi favoritnya selama ini. "Aku sangat merindukanmu," aku Serkay sekali lagi. Ketika Serkay memeluk tubuh Ebrar dan mencium aroma wanita itu, waktu seakan terhenti begitu saja. Serkay mengeratkan pelukannya pada tubuh Ebrar,ia ingin menikmati setiap detik untuk memeluk kekasih yang paling di cintainya.

Sedetik kemudian bayangan itu semakin lama semakin menghilang dari pelukan Serkay tanpa pria itu sadarai. Serkay masih memejamkan matanya menikmati pelukan hangat dari Ebrar. Hingga ketika ia membuka mata ia baru menyadari bahwa itu hanya bayangan saja. Serkay mengepalkan tangannya dan memukul kaca jendela hingga pecah. Darah merembes dari telapak tangannya tapi tidak menghentikan pria itu.
Serkay masih memukul kaca jendela beberapa kali hingga kaca itu benar-benar menjadi kepingan dan berhamburan di lantai.

Napasnya memburu, menahan semua amarahnya pandangannya menerawang menatap keluar jendela. Pandangannya kemudian beralih menatap telapak tangannya yang masih mengeluarkan darah segar, i amemandangi darah itu cukup lama seolah sedang berpikir. Serkay seperti sedang bergelut dengan pikirannya saat ini. Dengan gontai ia berjalan memasuki kamar mandi dan membanting pintunya dengan keras.

~Primavera~
      💕💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro