Bab 4 Itik Buruk Rupa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Santai aja kali, Ndut."

Gara aja sih yang tampak santai, tapi Gea gak bisa.

"Duduk lagi sini!" ajaknya sambil menekan bahu Gea, mendorongnya hingga terduduk di kursi kembali.

Sentuhannya itu cukup kuat sampai membuat pundak Gea perlahan membungkuk.

"Kamu jangan neti kayak gitu dong! Jadi karyawanku itu harus selalu berpikiran positif dan jangan baper. Atau jangan-jangan ... semua karyawan di sini emang punya mental lemah kayak kamu?" sudut Gara.

Gea menepis tangan Gara dari pundaknya. Lama-lama ia risi juga. Akan Gea akui kalau dia terintimidasi lagi oleh cara Gara bersikap padanya. Lemah lembut tapi menekan.

"Maksud kamu apa? Kenapa jadi nyamain aku sama karyawan lain?"Gara memainkan dagunya. Berjalan ke belakang Gea yang duduk membelakanginya.

"Oh? Enggak, yah? Berarti cuma kamu doang yang mentalnya lemah begini? Yang dikit-dikit neti, dikit-dikit baper, dikit-dikit ngamuk, dikit-dikit marah. Padahal atasanmu ini gak ngapa-ngapain kamu loh dari tadi!" tuduh Gara.

Gea beranjak dari tempat duduknya dengan tangan terkepal, siap untuk melayangkan tinju ke arah Gara.

"Kamu tuh yah-"

"Duduk!" perintah Gara tegas.

Satu jari telunjuknya mengarah tepat ke depan muka Gea yang seketika itu juga langsung berekspresi tegang. Secara perlahan wanita itu juga kembali duduk di kursinya. Gara menyeringai dengan tangan perlahan menyentuh puncak kepala Gea. Mengelusnya lembut berulang kali.

"Nah! Itu baru Gea Ananda yang aku kenal. Anak penurut!"

Tapi tiba-tiba elusan lembut itu terhenti, berganti dengan sentuhan penuh penekanan di bagian puncak kepala itu. Kepala Gea perlahan bergerak, menoleh pada Gara yang telah melenyapkan seringainya. Berganti tatapan sinis di jarak yang cukup dekat.

"Kamu memang harusnya gak berubah. Secantik apa pun kamu sekarang, di mataku ... kamu tetap Gea Ananda yang penakut dan penurut." Gigi-gigi Gara perlahan tampak di antara senyuman lebarnya. "Maka dari itu, mulai sekarang kamu gak perlu lagi jadi Manager tim pemasaran."

Gea menangkap perkataan Gara barusan dengan perasaan senang. Ini seperti dugaannya tadi! Ia akan kena pecat! Pasti gara-gara ulah di acara pertemuan resmi tadi dan pertengkaran kecilnya dengan Gara barusan. Lelaki itu pasti tak suka dengan keberadaannya.

"Yes! Rencanaku berhasil!" sorak Gea dalam hati.

Sengaja tetap memasang wajah kusut demi menyembunyikan perasaan bahagianya. Jangan sampai laki-laki itu tahu betapa bahagianya Gea kena pecat begini.

Lupakan soal jadi pengangguran di umur kepala tiga. Itu urusan nanti! Yang penting, Gea harus menjauh dari si laki-laki bossy macam Gara.

Kamu memang harus memecatku, Gara!

Gara menjauhkan tangannya dari ubun-ubun Gea, menepuknya beberapa kali seolah ada sesuatu yang menempel di telapak tangannya itu.

"Karena aku ingin kamu menjadi asisten pribadiku dimulai dari detik ini," kata Gara penuh nada penekanan, "Anak Gajah!"

Mampus! Kenapa jadi seperti ini?

***

Gea menggerutu jengkel. Suara nyaring dering ponselnya berhasil membuat matanya perlahan terbuka. Diliriknya jam di dinding dengan mata masih setengah terpejam, menggerutu lagi ketika melihat jarum jam pendek masih mengarah ke angka lima.

"Siapa sih yang telepon jam segini?"

Tangannya meraba-raba nakas di dekat ranjang. Ponsel yang berhasil diraihnya terus saja berdering tanpa henti yang tentu saja membuat Gea tak bisa memejamkan mata lagi.

Kantuk masih dirasa, namun nomor kontak asing yang tertera di layar terlalu sulit untuk Gea abaikan. Bibirnya mengerucut tajam. Dua bola matanya menyipit. Gea berpikir sejenak, menerka-nerka siapa orang iseng yang pagi buta begini berani meneleponnya! Dia gak tahu apa kalau ini masih pagi?

"Halo?"

Malas-malas Gea membalas. Sudah ia siapkan jurus jitu untuk mendamprat si penelepon kalau orang yang meneleponnya ini sedang iseng.

"Siapa yah ini?" tanyanya masih bersikap ramah meski dalam hati menggerutu jengkel.

Terdengar suara kekehan sebagai balasan. Kening Gea mengernyit. Ponsel ia jauhkan beberapa senti dari telinganya.

"Siapa ini?" tanya Gea lagi makin penasaran, tapi ia juga makin yakin kalau si penelepon ini sepertinya memang betulan orang iseng.

"Jika tidak ada keperluan mendesak, saya tutup teleponnya. Anda mengganggu waktu istirahat saya!" gertak Gea.

"Jam segini belum bangun juga, Ndut?" tanya si penelepon kemudian.

Mata Gea membola sempurna.

"Gara?"

Gea sangat yakin dengan terkaannya karena indera pendengarannya ini punya ingatan tajam akan jenis suara macam apa yang dimiliki cowok bossy itu. Ini jelas suara Gara!

"Mau apa kamu telepon aku jam segini?" dumel Gea.

Ia merasa tak perlu ragu lagi melontarkan kejengkelannya. Bisa-bisanya cowok ini mengganggunya di jam tidur begini.

"Pukul enam pagi kamu harus sudah ada di rumahku. Terlambat satu menit, jam kerjamu hari ini ditambah satu jam."

"Apa?!"

Telepon terputus begitu saja. Tepat ketika Gea berteriak bak orang kesetanan. Ia sudah sempurna tersadar dari kantuknya. Sambil tetap menggerutu, Gea terpaksa menelepon nomor Gara lagi.

"Alamat rumahnya di mana?" tanya Gea yang kini sudah turun dari ranjang. Tampak terburu-buru membuka lemari pakaiannya. "Rumahmu yang ada di kompleks perumahan Magenta itu? Atau yang ada di jalan Pandawa? Atau ... rumah yang ada di Kota Bogor? Jogja? Bali? Rumah kamu banyak, Gara!"

Gea sudah menyampirkan handuk di bahu dengan wajah kusut. Ia tak akan lupa betapa terkenalnya Gara dengan segudang kekayaannya dulu semasa sekolah. Kalau orang tuanya tidak mengalami kebangkrutan selama ini, bisa jadi terkaan Gea tadi tak meleset.

"Ah! Ya!" Gara lagi-lagi terkekeh. "Datanglah ke alamat ...."

Kening Gea mengernyit keras. Telinganya mendengarkan dengan saksama penuturan Gara di seberang sana. Ia meremas ponselnya sendiri dengan bibir merapat.

Sialan! Dia masih kaya raya juga rupanya?

Gea nyaris saja membanting ponselnya sendiri kalau tak buru-buru teringat betapa berharganya benda pipih itu. Bukan karena jengkel oleh perintah Gara barusan, tapi karena fakta lain kalau rumah yang harus ia datangi sekarang tidak termasuk rumah-rumah keluarga Gara dulu.

"Seberapa kaya sih anak itu? Kenapa Tuhan membiarkan cowok menyebalkan macam dia makin kaya sementara aku yang baik hati ini tetap miskin? Gak adil!" gerutu Gea yang akhirnya membuka pintu kamarnya dengan wajah kusut. "Tuhan cuma sayang sama mereka yang good looking, kah? Aku juga sekarang udah cantik. Kenapa aku tak sekaya dia juga sekarang? Kenapa nasibku begini-begini aja sih?"

Mestinya, orang teraniya akan mendapatkan kejutan besar setelah berhasil melewati masa-masa sulit itu, bukan? Tuhan gak akan pilih kasih, kan? Hanya memperkaya orang yang sudah lama kaya. Kapan si miskin mendapat gilirannya?

Tapi, lihat faktanya sekarang! Setelah Gea mati-matian mengubah bentuk tubuhnya menjadi sempurna, tampaknya Tuhan sama sekali tak mau mengubah nasib buruknya menjadi baik. Malahan, satu nasib buruk yang satu berakhir, malah muncul nasib buruk selanjutnya. Tak ada perubahan ke arah yang lebih baik!

Maunya Tuhan apa sih dari Gea? Gak bisa apa buat Gea bahagia sejenak saja?

Kenapa ia harus berurusan dengan si cowok bossy Gara lagi?

Kenapa jadi gini?

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro