Bab 5 Itik Buruk Rupa 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sambil menggerutu, Gea mengintip ke arah dapur sebentar. Ibunya, Riawati, tampak sudah ada di sana. Duduk di salah satu meja makan sambil memegang pisau di tangan. Gea memerhatikan perempuan bertubuh kurus berbalut kerudung blouse abu itu dengan saksama. Hidung mancung dengan tahi lalat di salah satu sudutnya menjadi kombinasi apik yang membuat wajah Ibunya itu menarik untuk dilihat.

Kalau dilihat-lihat dari dekat, Ibunya ini bisa dibilang tak kalah cantik dari artis Shopia Latjuba versi berhijab. Sayangnya, entah kenapa kecantikan dan porsi tubuh ideal Ibunya ini tak langsung turun pada Gea.

Benar-benar sangat disayangkan! Apa Tuhan pilih kasih?

"Pagi, Bu!" sapa Gea yang langsung ikut duduk tak jauh dari tempat Ibunya berada. "Masak apa hari ini?"

Bu Riawati melirik Gea dengan wajah bingung. "Loh? Tumben jam segini baru bangun? Kamu kesambet malaikat, Ge?"

Gea melirik sinis. "Anak bangun pagi bukannya seneng, tapi malah diolok kayak gitu."

"Ibu kaget aja. Kamu kan biasanya susah banget dibangunin kalau pagi. Lah, ini? Kenapa tiba-tiba jam segini udah bangun aja coba? Kamu anak ibu, kan?"

Gea manyun, sementara Bu Riawati malah terkekeh. Untung saja ia sudah terbiasa dengan bentuk candaan ibunya yang satu ini.

"Dion!" teriak Ibu tampak semringah.

Ada sosok lelaki berpeci dan bersarung lengkap dengan baju koko di ambang pintu. Itu Dion, adiknya yang mendapatkan anugerah Tuhan dengan terlahir tampan sejak dini. Bentuk fisik sempurna milik Ibu tampaknya memang diturunkan padanya.

Tak jauh di belakangnya, ada seorang pria tambun dengan pakaian lengkap serupa. Wahyu. Dari lelaki inilah sepertinya Gea mendapatkan cobaan dari Tuhan yang harus terlahir dengan proporsi tubuh yang jauh dari kata ideal. Sebelum akhirnya Gea bisa mengubah dirinya menjadi langsing seperti sekarang, ia sempat merasa seperti itik buruk rupa yang keluar dari rahim yang salah.

Untuk mendapatkan fisik yang sempurna seperti sekarang, Gea harus berkorban lebih banyak. Tak seperti Dion yang tanpa usaha keras pun, sudah mendapatkan keberuntungan yang diinginkan Gea. Ia sering sekali merasa iri pada apa yang dimiliki adiknya ini. Kalau boleh menawar, Gea juga mau dilahirkan dengan bentuk fisik sempurna seperti Ibu, bukan Ayah.

"Ayaaah!!!" teriak Ibu tak kalah semringah, memanggil lelaki bertambun yang tak lain adalah suaminya itu dengan wajah senang.

Gea sampai geleng-geleng kepala karenanya. Ia tak bisa berhenti mengernyitkan dahi melihat Ibu begitu erat memeluk Ayah.

"Tumben lo bangun, Ge?" tanya Dion yang juga ikut duduk di kursi tak jauh darinya. "Biasanya lo tidur kayak kebo dibius." Ia sampai tertawa lebar sekali.

"Gak tahu nih! Ibu juga kaget lihat Gea tiba-tiba udah bangun aja jam segini. Ibu kira dia kerasukan malaikat." Ibu sudah kembali ke tempat duduknya semula dengan Ayah yang kini tampak sibuk di depan kompor.

"Bagus dong! Akhirnya ada malaikat yang mau merasuki tubuh Gea, bukan cuma iblisnya doang." Ayah ikut-ikutan mengolok Gea.

"Mana ada malaikat ngerasukin tubuh manusia yang sering ninggalin shalat?" olok Dion dengan menyunggingkan salah satu sudut bibirnya.

Satu jitakan keras mendarat di kening Dion. "Gak usah sok suci deh lo!" balas Gea yang langsung bangkit dari tempat duduknya. "Shalat lo aja belum tentu bener kok! Shalat sih shalat, tapi nonton bokep masih jalan terus. Munafik lo, Yon!"

"Udah! Udah! Kalian ini kalau ketemu tuh yah ... berantem aja terus," omel Ibu. "Kapan akurnya coba?"

Dion dan Gea saling melirik tajam. "GAK AKAN!"

***

Gea berjalan dengan hati-hati di atas papan kayu yang dibangun tepat di samping sebuah kolam renang. Di pinggirannya terdapat kaca transparan sebagai dinding pengamannya. Takut-takut ia memegangnya. Kalau sampai pecah, pasti Gara yang tengah memerhatikannya dari balik rumah berdinding kaca di depannya ini bukan hanya akan melotot, tapi mungkin akan menceburkannya langsung ke kolam. Atau mungkin memecat Gea?

Maunya sih begitu. Tapi kayaknya mustahil. Lihat aja Gea sekarang! Setelah menginjak kaki Gara di depan umum, konsekuensi yang ia dapat malah harus jadi asisten pribadi Gara. Ini sih namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula, bukannya berkah. Pagi buta begini sudah harus siap kerja.

Gara tampak melambai dari balik dinding. Dari kejauhan saja, Gea dapat melihat secara jelas bagaimana penampakan di dalam rumah Gara.

"Dia gak takut ada orang yang ngintip tinggal di rumah kayak gini apa?" Gea bertanya-tanya. Ngeri juga membayangkan betapa tak nyamannya dia harus tinggal di rumah seperti itu. "Orang kaya emang aneh!" dumelnya sebelum kemudian membuka pintu rumah itu dengan sekuat tenaga.

"Kamu udah sarapan?" serbu Gara tiba-tiba. Ia duduk di sofa sebelum kemudian mengambil cangkir berisi kopi di meja yang ada di depannya.

Gea terdiam cukup lama. Takut jika ia tadi salah mendengar. "Hah? Sarapan?"

"Iya. Sarapan. Kamu udah sarapan?"

Gea menggeleng. "Belum."

"Kenapa belum? Harusnya kamu sarapan dulu sebelum bekerja."

Bagaimana mungkin Gea bisa sarapan kalau pagi buta begini dia harus sudah ada di rumah Gara? Dia kan tadi yang menyuruhnya segera datang ke alamat rumah ini! Jadwal masuk bagi karyawan Molapar itu pukul tujuh pagi, bukan jam enam seperti yang Gea lakukan sekarang.

Aaarrrggghhh!!! Dasar cowok rese!

"Kalau gitu, aku mau keluar dulu cari sarapan." Gea sudah siap kembali ke arah pintu masuk tadi ketika tiba-tiba Gara menginterupsi.

"Makan di sini aja. Ngapain cari makan keluar segala? Ada sarapan di meja. Sisa sarapanku tadi."

Kening Gea mengernyit keras. "Sisa?" gumamnya jengkel. "Dia pikir aku ini apaan malah dikasih barang sisa?" Gea mendelik sinis pada Gara yang untungnya tak sedang memerhatikannya. Buru-buru ia tersenyum ketika mata Gara bergerak menatapnya.

"Oh, gak perlu. Gak perlu. Aku cari makan di luar aja. Aku gak bisa ngerepotin atasan sendiri. Tadi aku lihat ada supermarket di dekat sini," katanya beralasan.

Gea mana mau makan sisa sarapan Gara. Ia bahkan sudah sampai membayangkan kalau sarapan sisa yang dimaksud Gara itu pasti bukan makanan yang mengundang selera makan.

Sepotong roti yang sudah digigit salah satu ujungnya, nasi goreng yang tersisa banyak dipiring, atau mungkin sup yang rasanya asin? Ah! Segala kemungkinan terburuk bercokol di kepala Gea. Ia tak mau ambil risiko dan menyesal nanti. Lebih baik Gea mencari sarapan roti dan susu saja yang ada di supermarket. Itu sudah lebih dari cukup bagi Gea. Porsi makannya kan sudah tak terlalu besar kayak dulu dan alasan lainnya agar ia tak perlu menyantap makanan sisa Gara!

"Kamu pengen gendut lagi kayak dulu, Onat?" tanya Gara yang kini malah bangkit dari tempat duduknya sambil membawa cangkir minumannya. "Sarapan kok sembarangan! Jangan-jangan kamu sengaja operasi sedot lemak biar bisa langsing kayak sekarang lagi? Bukannya olahraga dan diet dengan mengatur pola makanan sehat. Bener, gak?"Wajah Gea menegang mendapatkan pertanyaan demikian dari Gara. Lelaki yang ternyata malah berjalan menghampirinya itu tampak tersenyum miring.

"Atau jangan-jangan, kamu diet ekstrim biar cepet langsing tanpa peduli diet kamu itu membuat kamu jadi sehat atau enggak? Sampe kamu rela kelaparan mungkin? Apa gitu cara kamu biar bisa langsing dan cantik kayak sekarang, Ndut?"

Gea sampai tak berani menatap Gara lama-lama. Dua tangannya yang terkepal tersembunyi di belakang tubuhnya. Berusaha menahan diri untuk tak membalas tuduhan Gara yang nyaris mendekati benar.

Bagaimana dia bisa tahu?

To Be Continued ....


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro