Fatbuloves - 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angin bertiup cukup kencang pagi ini. Cuaca terlihat mendung, awan tebal berarak-arak, tapi belum ada tanda-tanda akan turun hujan. Aku mempercepat langkahku memasuki area kantor. Tadi pagi aku memutuskan naik Busway karena merasa kondisiku kurang fit untuk menyetir mobil. Maklum setelah seharian kemarin tidak makan, aku malah nekat jogging tadi pagi. Hasilnya, sekarang aku lemas akut. Seperti tidak ada tenaga mengalir di tubuhku. Seluruh sendi dan tulangku terasa ngilu, di tambah asam lambungku yang sepertinya naik membuatku sedikit mual.

 Aku membenamkan kepala di meja kerjaku, tidak peduli dengan tatapan heran dari Bimo dan Bembi. Saat ini aku hanya membutuhkan kasurku tersayang. Rasanya aku ingin membenamkan tubuhku berhari-hari disana.

  “Gina..” Suara Andre mengejutkanku. Aku mendongak dan melihat dia berdiri sambil tersenyum lalu meletakkan kantong plastik dengan logo M besar.

Astaga, Andre benar-benar gila.

 “Apaan ni?” ujarku sambil menyipitkan mata.

 “BigMac, Gin. Kesukaan lo. Pura-pura nggak tahu lagi.” jawabnya sambil nyengir.

 “Nggak mau ah. Kasih Bimo atau Bembi aja.” Aku kembali membenamkan kepalaku di meja dan berusaha keras tidak terpengaruh wewangian lezat dari plastik sialan itu.

 Andre mendekat padaku lalu menarik kursi dan duduk di sebelahku. “Lo itu kenapa sih? Kata satpam apartemen dia sampai merinding tadi pagi lihat lo subuh-subuh udah jogging. Kan lo nggak pernah sekalipun jogging, Gin. Gue aja sanksi lo punya sepatu olahraga.”

 Kampret tu satpam, di sangka gue setan kali ya.

 “Gue mau jogging nggak papa kan, Ndre? Gue kan pengen sehat. Pengen punya body bagus.” Ujarku tanpa mengangkat kepala.

 Andre menyampirkan tangannya di bahuku. “Ya boleh, Gin. Tapi lo bukan pengen sehat. Lo nyiksa diri. Sejak kita ketemu mantan lo yang brengsek yang ternyata udah pacaran ama Elsa, lo langsung nggak mau nyentuh makanan kan?” Tanya Andre dengan santai.

  Aku menghembuskan nafas berat dan menyandarkan tubuhku di kursi. “Lo tahu nggak, Ndre, rasanya ngelihat pacar lo berpaling ke orang yang lebih sempurna daripada lo?”

Bimo dan Bembi melipat tangan mereka di meja dan siap menonton adegan percakapanku dengan Andre.

“Ya belum, Gin. Susah nyari yang lebih sempurna dari gue soalnya.” Ujar Andre sambil terkekeh.

 Aku meninju lengannya sambil cemberut. “Serius kenapa sih? Nggak empati banget sahabatnya lagi patah hati.”

 Andre menoleh padaku. “Siapa yang lebih sempurna daripada lo? Elsa?”

 Aku mengangguk sambil menggigit bibir bawahku. Sementara Bimo dan Bembi menatapku dan Andre bergantian seperti sedang menonton pertandingan bulutangkis.

 “Body dia emang lebih bagus sih, tapi body lo juga nggak beda jauh dari dia.” Ujarnya dengan gaya sok serius.

 Dengan kekuatan bulan kucubit pinggangnya.

 “Aw.. aw.. Gina. Sakit banget. Lo nggak potong kuku berapa lama sih, itu kuku tajem bener.” Ujarnya sambil meringis.

 “Lo komen yang bener makanya. Nenek-nenek aja bisa ngebedain body gue ama Elsa. Lo malah bilang nggak beda jauh.” Aku mengusirnya dari kursi di sebelahku.

 “Gin, gue emang menikmati banget tubuh wanita yang berliuk-liuk seksi. Tapi, kalo gue ninggalin orang yang gue sayang demi body doang itu sih namanya gue bodoh bin norak.” Ujarnya sambil berjalan menuju mejanya. Bimo dan Bembi menatap Andre kagum sambil bertepuk tangan.

Ck..Team-ku ini noraknya emang nggak ada obatnya.

 “Ndre, lo ngomong gitu, tapi body pacar lo oke semua. Sebelas dua belas ama Behati Prinsloo. Lo nggak bicara sesuai fakta.” Ujarku sewot.

 “Lha lo sendiri, body lo sebelas dua belas sama Kim Kardhasian, Gin. Lo aja yang nggak sadar.” Spontan Andre, Bimo dan Bembi tertawa berbarengan.

 Brengsek.

 Aku langsung melepas flat shoes-ku dan melempar satu ke arah Andre, sementara satu lagi ke arah Bimo dan Bembi.

***

Ketika kita ingin waktu berjalan seperti kecepatan para pembalap motoGP, kenapa justru waktu berjalan seperti sedang keliling kampung naik delman? Lambat sekali. Bahkan aku mengira jarum jam hampir tidak bergerak. Sementara aku duduk gelisah di depan meja kerjaku, rekanku yang lain sedang turun untuk makan siang.

Aku sudah membuat perjanjian dengan diriku sendiri untuk tidak makan dulu sampai nanti jam 4 sore. Jadi sekarang, aku hanya meminum air mineral botolan yang rasanya sedari tadi sudah ingin kumuntahkan saja. air mineral ini sama sekali tidak membantu, alih-alih membuat kenyang, malah membuatku semakin mual. Burger BigMac dari Andre sudah kuhibahkan kepada Pak Min, Cleaning Service kantor.

 “Gile! Mie ayam Pak Sar juara banget ya!” Suara Bimo terdengar, dia masuk ke ruangan sambil mengelus-elus perutnya yang terlihat buncit karena kekenyangan.

 “Yoi Bim. Sambelnya itu lho nendang banget!” Bembi yang berjalan di belakangnya menimpali.

Jadi mereka makan siang dengan Mie Ayam? Menu favorite-ku? Teganya.

 Aku menelan ludah dengan susah payah membayangkan Mie Ayam yang lakunya luar biasa. Bahkan pedagangnya sudah berhasil berangkat haji hasil dari Mie Ayam yang rasanya tiada duanya. Mie Ayam yang kurasa punya andil paling besar dari kenaikan berat badanku yang signifikan.

Ingat! Mie Ayam ini sudah jadi musuhku sekarang. Jangan terpengaruh, Gina. Jangan biarkan joggingmu subuh tadi menjadi sia-sia.

 Bruk!

 Aku mengerutkan kening ketika melihat plastik putih di letakkan di mejaku.

 “Lo nggak usah bayangin sampai mau ngences gitu. Tuh gue bungkusin..” ujar Andre sambil berjalan menuju mejanya.

 Iya, aku tahu persis maksudnya baik. Tapi di saat perut kosong seperti ini, emosiku lebih cepat berjalan daripada akal sehatku.

Aku berdiri dan menghampiri Andre. “Mau lo apa sih, Ndre? Lo nggak ngerti arti kata diet?” ujarku sambil bertolak pinggang.

 Andre berdiri, tubuh tingginya menjulang di hadapanku, sementara Bimo dan Bembi lagi-lagi mendapat tontonan gratis. “Gue cuma bermaksud baik, Gin. Lo bukan diet. Lo nyiksa diri. Gue tanya, udah berapa hari lo nggak makan karbohidrat?”

Aku terdiam sejenak, ya beberapa hari ini makanan utamaku memang hanya buah apel dan pir. Jangankan nasi, kentang atau roti pun tidak aku sentuh sedikitpun. “Itu bukan urusan lo!” desisku.

 Andre memiringkan kepalanya, “Oo, jadi kalo lo pingsan itu bukan urusan gue? Kalo lo mati gara-gara diet gila lo ini, itu juga bukan urusan gue?” dia bertanya dengan nada datar. Khas seorang Andre Rahardian jika sedang marah.

 Aku baru akan menyemburnya dengan sejuta sumpah serapah ketika aku mendengar suara orang yang sedang mengobrol sambil tertawa. Aku dan Andre serempak menoleh, dan aku langsung menarik nafas tajam saat tahu bahwa itu suara Elsa dan pacarnya, yang adalah mantanku.

 “Waw..tumben udah pada kumpul? Biasanya makan siangnya lama.” Elsa menyapa kami berempat.

Dia membuatku ingin lari ke gurun pasir, ketika hanya dengan memakai celana skinny hitam dan kemeja longgar, dia tetap terlihat seksi. Sementara si kampret di sampingnya terlihat salah tingkah, beberapa kali dia menggaruk-garuk kepalanya.

 Elsa menggelayut manja di lengan Hezel. “Oiya udah pada kenal kan? Hezel, pacar aku.”

 Aku merasa sesuatu dalam perutku mulai bergerak mendesak ke atas.

 “Berhubung lagi nggak banyak pekerjaan, jadi aku ajak Hezel kesini. Kan lumayan bisa kerja sambil pacaran.” Lanjutnya lagi sambil cekikikan.

Entah kenapa, sisi dukunku mengatakan bahwa dia tahu bahwa Hezel mantanku. Beberapa kali Elsa melirikku dengan tatapan, ‘heh! ni mantan lo bakalan merit ama gue!’. Dan itu membuat apapun yang sedang mendesak keluar dari perutku semakin naik ke tenggorokan.

 “Ayo sayang..” Elsa menarik tubuh Hezel masuk ke dalam. Dan si keparat itu dengan pasrahnya mengikuti.

Benar-benar memuakkan.

 Tatapan Andre kembali padaku saat Elsa dan Hezel menghilang di balik pintu. “Okay Gin, Sorry bukan maksud gue ngomong soal mati segala. Tadi gue kelepasan.”

 Aku mengangkat tangan menyuruhnya berhenti bicara.

 “Gin, ayolah. Lo harus stop semua ini. Lihat, dia udah bahagia sama Elsa. Lo ngapain sih masih nyiksa diri?”

 Sekali lagi aku mengangkat tangan. Memintanya berhenti bicara.

 “Gin gue nggak akan berhenti bicara sebelum,-”

Hueeeeeek!!

 Spontan aku mengeluarkan isi perutku yang sedari tadi kutahan. Muntahanku hampir mengotori seluruh baju Andre. Sementara Andre menatapku dengan pandangan terkejut dan langsung menangkap tubuh lemasku saat aku terhuyung ke belakang.

***

 Kabar baik. Aku tidak pingsan, hanya lemas. Saat ini aku sedang terbaring lemas di sofa hitam empuk milik Andre, sementara si tuan rumah sedang membersihkan tubuhnya yang terkena muntahanku. Ya, sahabatku itu tidak mengizinkan aku pulang ke apartemenku sendiri. Andre bahkan lebih cerewet dari mama jika menyangkut kesehatanku. Sepanjang perjalanan tadi dia sudah akan membelokkan setir ke rumah sakit, tapi aku bersikeras menolak dengan ancaman tidak akan lagi menjadi sahabatnya jika dia benar-benar membawaku ke rumah sakit. Ini hanya lemas biasa kan? Semua orang dalam masa diet juga kurasa akan mengalaminya.

 Tatapanku beralih ke Andre yang menaruh segelas besar teh hangat di meja. Dia bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek hitam. Wanita-wanita akan bertaruh apapun untuk melihat pemandangan ini.

 “Minum dulu..” ujarnya sambil duduk di sampingku.

 Aku mengerutkan kening.

 “Kenapa?” Tanya Andre bingung.

 “Itu tehnya pakai gula?”

 “Ya iyalah.”

 “Gue..lagi menghindari yang manis-manis.”

 Andre mendecak kesal. “Gin, lo lemes. Bisa jadi lo hipoglikemi, kurang gula dalam darah. Minum sekarang.” Dia menyodorkan segelas besar teh itu padaku.

 “Ndre..”

 “Minum! Atau gue laporin ke nyokap lo barusan lo hampir pingsan?” Ancamnya.

 Aku menarik nafas dan menerima gelas darinya. Perlahan aku mulai meminumnya, dan setelah itu aku tidak bisa berhenti sampai gelas besar itu benar-benar habis. Membayangkan kalau saja Andre berbaik hati menambahkan es batu, pasti es teh manis akan sangat lezat saat ini.

Andre menaruh gelasku di meja, dia mengubah posisi duduknya menghadapku, sementara aku asyik menatap televisi yang sedang menayangkan infotainment.

 “Teh manis itu nggak bakal bikin berat badan lo naik sekilo, Gin.”

 Aku melirik padanya. “Bisa aja, Ndre. Gue rasa, cuma menatap makanan aja berat gue bisa naik.”

 Andre terkekeh. “Gin, sejak kapan sih lo jadi drama gini? Gue kenal lo bertahun-tahun, dan lo adalah cewek paling cuek. Sekarang mendadak lo blingsatan olahraga, diet ketat..demi cowok brengsek.” Andre mendengus saat menyebut kata brengsek.

 Aku menoleh dan tertawa getir. “Sejak di campakkan. Lo boleh bilang gue bodoh atau apapunlah. Tapi ketika lo berada di posisi gue, dimana pacar lo meninggalkan lo untuk seseorang yang lebih baik, sakitnya tu disinii..” ujarku sambil menunjuk dada.

 Andre tertawa sambil mengacak-acak rambutku. “Dan lo ngelakuin ini semua supaya si brengsek itu balik lagi ke lo?”

 Aku memeluk bantal kecil bermotif team sepakbola kesayangan Andre, Manchester United. “Gue cuma pengen dia lihat, gue juga bisa punya body kayak Elsa. Nggak selamanya kayak galon berjalan. Dan gue pengen dia menyesali keputusannya. Balikan atau nggak, gue masih belum tahu.”

 Andre mendecak kesal. “Kenapa rumit banget hidup sih hidup lo? Dia ninggalin lo, lo lupain dia. As simple as that, Gin.”

 “Gue nggak kayak lo, Ndre. Mudah jatuh cinta dan kemudian bisa nerima ketika semua itu selesai. Gue pacaran tiga tahun ama Hezel, dan gue nggak bisa ngelupain dia dalam waktu singkat.” Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.

 “Gina, gue nggak minta lo ngelupain dia. Gue minta lo berhenti melakukan diet konyol lo ini.” Andre terdengar lelah menasehatiku.

 Aku menggeleng. “Sorry, Ndre. Kali ini biarkan gue melakukan hal yang gue anggap benar.”

 Andre terdiam. Dia tahu persis, jika aku sudah berkata seperti itu maka tidak ada tawar menawar lagi. Detik demi detik yang berjalan lambat kami habiskan dengan menatap kosong ke arah televisi.

***

Dulu aku sering tertawa keras ketika beberapa teman wanitaku berdiet saat masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Bagiku itu konyol, menyiksa diri. Aku tahu, tubuhku tidak proprorsional, tapi aku tidak pernah peduli dengan itu. Tidak, sampai Hezel menghancurkan hubungan kami. meninggalkanku dan menerima perjodohan dengan wanita yang memiliki tubuh sempurna.

 Semua berubah dalam sekejap. Tidak pernah aku merasa sebenci ini dengan alat bernama timbangan. Tempat Gym yang bagiku merupakan tempat terkutuk, sekarang menjadi rumah kedua untukku. Makanan yang awalnya menjadi obat dari segala penyakitku, sekarang bagaikan racun yang harus kuhindari jauh-jauh. Semua berubah. Pola pikirku berubah. Dan lagi-lagi aku hanya bisa menganggap bahwa perubahan pola pikir adalah hal yang lumrah terjadi dalam proses hidup manusia.

 Aku hanya harus konsisten dan pada akhirnya aku bisa mendapatkan apa yang aku mau, tubuh yang sempurna, yang mungkin saja bisa membuat Hezel merubah keputusannya dan kembali padaku.

 Aku membuka laptop untuk meneruskan beberapa pekerjaan malam ini. Aku mengecek email dan tiba-tiba teringat bahwa aku belum membalas email dari Laura yang dikirimnya dua minggu yang lalu. Saat membacanya, aku sedang bersiap pergi ke gym, dan kemudian aku lupa untuk membalasnya. Kubaca ulang email dari Laura sambil tersenyum, kemudian dengan cepat kuketik balasan untuknya

Kepada : [email protected]

Dari : [email protected]

Topik : bersemangat!

 

Hai La,

Jadi kamu dan thorbias hanya berjarak beberapa langkah? Luar biasa..kali ini aku akan pertaruhkan satu bulan gajiku untuk membelikanmu tas kate spade  jika thorbias tidak ada maksud apa-apa. Dia pasti mulai menyukaimu. Percayalah!

Idemu tentang mencampurkan shampo urang aring ke dalam kopi bos-ku itu akan aku pertimbangkan. Entah bagaimana sekarang aku tidak bisa dekat-dekat dengan segala macam benda tajam selama di kantor, tanpa keinginan untuk menancapkannya kepada Elsa yang sekarang mulai mengajak Hezel mampir ke kantor ketika mereka selesai makan siang.

Demi Tuhan, La..

Hanya kewarasanku yang masih menahanku untuk tidak menendang dan mendobrak pintu ruangannya. Karena aku sangat yakin Elsa tahu bahwa Hezel adalah mantan pacarku.

Pertanda tentang Andre? Pertanda kalau sifat menyebalkannya membuatku akan melemparnya dari balkon apartemenku?

*hanya becanda*

*apa jadinya hidupku tanpa manusia itu*

Sahabatku itu memang ajaib, belakangan dia malah mengontrol segala hal yang aku lakukan. Menyuruhku pulang saat aku sedang asyik-asyiknya treadmill, dan membawakan makanan-makanan lezat yang pada akhirnya (dengan tidak rela) aku berikan kepada cleaning service kantor. Kenapa dia jadi serupa thorbias-mu?

Kalau kamu bertanya motif andre melakukan itu semua? Tidak lain karena dia yakin usahaku akan sia-sia. Jadi kali ini akan kubuktikan bahwa aku pasti berhasil menurunkan berat tubuhku.

 
PS : Usahaku mulai menunjukkan hasil. Jarum di timbanganku secara perlahan mulai bergerak ke kiri. Dan itu tidak akan berhasil tanpa semangat darimu, La. *hug*

 Aku tersenyum dan mendadak suasana hatiku membaik. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika berada di titik terendah dalam hidup, ada seorang teman yang memberimu semangat dan tidak pernah meninggalkanmu sendirian. Dalam kasusku, malaikat tanpa sayap itu bernama Andre Rahardian dan Laura Adamanti.

-----------------------------------

heyhoooo...
assalamualaikum..
gina apdet ni..hihi, masih dalam rangkaian patah hati yang menyedihkan akibat cowok brengcek

mari nantikan next partnya di akun @acariba rabu depan ya guys..
di tunggu vote dan komennya ya buat semangat nerusin bab selanjutnya

buat yg nungguin dokter Fabian, maaf yaa masih dalam proses penulisan bab selanjutnya, smoga sabar menantii

selamat mudik bagi yang mudik..
selamat menikmati puasa yg tinggal beberapa hari lagi..
selamat liburan..dan selamat lebaran

Love,
vy

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro