03. Desire

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berada di rumah sakit ketika membuka mata. Emma berada di sisiku dengan wajah cemas.

“Kau baik-baik saja, kan?” Ia bertanya. Aku mengangguk. “Kau di rumah sakit, aku yang membawamu ke sini. Kau masih ingat ‘kan dengan apa yang terjadi?”

Aku kembali mengangguk.

Ya, aku masih ingat semuanya. Aku terpeleset dan terjatuh ke kolam renang. Lalu, seseorang menolongku.
Seseorang yang ... kukenal.

“Kenapa kau membawaku ke rumah sakit?” Aku bertanya sambil berusaha duduk, Emma membantuku bangkit.
“Aku takut kau mengalami gegar otak atau cedera tulang. Karena itulah aku membawamu ke sini. Tapi untunglah, dokter bilang kau tak mengalami luka serius. Paru-parumu hanya kemasukan beberapa liter air,” jawab perempuan tersebut. Aku meringis.

“Ada apa denganmu, Aletha? Apa kau melamun di pinggir kolam? Kau mahir berenang, jika kau tercebur, kenapa kau tak segera keluar dari sana?? Astaga, aku nyaris pingsan menyaksikanmu tenggelam.” Sahabatku itu mengomel.

Aku memijit-mijit keningku yang masih terasa agak pening.

“Kakiku kram, aku tak bisa menggerakkan badanku,” jawabku.
“Tenanglah, aku sudah baikan sekarang. Apa aku boleh pulang malam ini juga?” tanyaku.

Emma terdiam sesaat. “Tentu saja. Dokter bilang kau boleh pulang kapan saja jika sudah merasa tak ada keluhan.”
Aku manggut-manggut. “Oke, aku akan pulang karena aku tak apa-apa,” jawabku.

Emma terdiam sesaat. Perlahan ia bangkit.
“Baiklah, aku akan bicara dengan dokter,” ia beranjak.

“Em, tunggu,” panggilku. Langkah Emma terhenti. Ia berbalik menatapku.
“Sebenarnya apa yang terjadi denganku?” aku mencoba memastikan.

“Well, sepertinya kau terpeleset dan tercebur ke kolam renang. Dan lelaki itu dengan sigap ikut terjun ke kolam renang untuk menyelamatkanmu,” jawabnya.

“Siapa dia? Lelaki yang menyelamatkanku.” Aku merasakan dadaku kembali berdesir ketika mengingat sosok tampan itu. 

Emma mengangkat bahu. “Entahlah, aku terlalu panik karena melihatmu tak sadarkan diri sehingga aku lupa berbincang dengannya atau sekadar menanyakan namanya. Tapi, dia benar-benar tampan.” Ia terkikik. “Dan apa yang sudah ia lakukan padamu, astaga, itu gentle sekali. Tiba-tiba saja ia berlari ke arahmu, menceburkan dirinya ke kolam renang, dan that’s it! Ia menyelamatkanmu.” Ia kembali melanjutkan. Aku manggut-manggut.

“Sepertinya aku berutang ucapan terima kasih padanya,” ucapku. Emma ikut mengangguk.

“Jangan khawatir, aku akan dengan senang hati mencari tahu siapa dia agar kau bisa mengucapkan terima kasih padanya, dan tentu saja, aku bisa berkenalan dengannya.” Aku mendengar Emma kembali cekikikan dan mau tak mau aku tersenyum.

Tapi, tawa itu perlahan terhenti. Ia menatap ke arahku dengan ragu.

“Ada apa? Bukankah kau ingin bicara dengan dokter?” Aku mengingatkan.
Perempuan cantik itu menggigit bibirnya. Ia melangkah mendekatiku.
“Aletha, apa kau bermimpi buruk lagi?”
Aku mengernyit. “Maksudmu?” tanyaku.
“Aku menungguimu di sini hampir semalaman. Dan kau terus mengigau menyebutkan namanya.”

Dadaku seperti berdentum. Lagi?
Pasti ada yang tak beres.

“Siapa?” aku bertanya lirih.

“Luc.” Ia menjawab ragu.
“Kau menyebut namanya berkali-kali.”

Aku menelan ludah.

Sudah kuduga.

SEBENARNYA SIAPA LELAKI ITU?!

***

Well, seperti dugaanku, Emma memang takkan pernah bisa menjaga mulutnya. Karena dalam beberapa jam kemudian, Will muncul di ruang perawatanku padahal seharusnya ia masih berada di luar kota. Pasti Emma yang telah memberitahunya.

“Sayang...” Ia menghambur ke arahku dengan wajah cemas. “Emma memberitahuku kau mengalami kecelakaan.” Ia menambahkan. Aku melirik ke arah sahabat baikku yang berdiri di dekat pintu. Ia menyeringai. Aku bahkan baru saja ingin melarang dia memberitahukan ini pada Will. Aku hanya tak mau dia cemas.

Sorry, aku hanya panik ketika kau pingsan. Dan tentu saja, suamimu harus tahu kalau kau ... terluka.” Emma membela diri.

“Aku tidak terluka.” Aku membela diri. “Aku hanya tercebur... ke kolam,” tambahku.

“Iya, tapi kau pingsan, beberapa jam. Dan aku khawatir sesuatu yang buruk menimpamu.” Emma kembali membela diri. “Oke, silahkan mengobrol. Aku akan pulang.” Ia beranjak.
“Oh iya, Will, pastikan dia pulang jika dokter mengijinkan. Kau tahu sikap istrimu. Dia keras kepala sekali. Baru saja membuka mata, ia sudah merengek-rengek minta pulang, padahal dokter harus melakukan pemeriksaan lebih mendalam padanya,” lanjutnya dengan nada memperingatkan. Aku melotot.

“Terima kasih, Em, karena kau telah menjaganya ketika aku tak ada.” Will mengucapkan terima kasih sebelum Emma menutup pintu. Sahabatku itu tersenyum lalu beranjak keluar.

“Jadi, bukankah seharusnya kau masih di luar kota?” Aku bertanya. Will duduk di sampingku lalu membelai wajahku dengan lembut setelah terlebih dahulu mengecup keningku.
“Aku khawatir padamu. Aku segera memesan tiket penerbangan ke sini setelah Emma memberitahuku bahwa kau mengalami kecelakaan hingga harus dibawa ke rumah sakit.” Ia menjawab.

“Sekali lagi, aku-hanya-tercebur-kolam, bukan kecelakaan besar,” balasku.

“Aku mendengar dari Emma kalau kau selalu lembur semenjak kutinggal ke luar kota. Kau pasti kelelahan,” ucapnya. Ada nada protes di sana.
Aku manggut-manggut. “Entahlah, aku hanya terpeleset, itu saja,” jawabku.

“Yang terpenting kau tak apa-apa. Kita akan segera pulang kalau dokter sudah mengijinkan. Dan, kau harus istirahat sementara waktu di rumah. Aku akan menjagamu.”

Aku merengek. “Itu tak perlu. Aku sudah tak apa-apa. Aku bahkan bisa bekerja lagi, besok,” ucapku.

Tapi, Will tak menggubris. Ia menegaskan bahwa ia takkan pernah mengijinkanku lagi bekerja, dalam waktu dekat ini.

°°°

Dan Will serius dengan ucapannya. Selama hampir tiga hari ini ia seperti menjadi pengawal pribadiku dan memastikan bahwa aku istirahat total. Dan sepertinya aku akan bertambah stress jika tak mengerjakan apapun. Karena semakin aku tak mengerjakan apapun, dan semakin sering aku tidur, mimpi-mimpiku selalu dipenuhi oleh dia, lelaki itu.
 
Aku mengirimkan pesan singkat pada Emma secara sembunyi-sembunyi untuk mencarikan identitas lelaki yang telah menolongku dari tragedi kolam renang tersebut, karena aku yakin bahwa lelaki itu tahu sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan mimpi-mimpiku. Dan aku percaya, hanya dengan menemukannyalah, aku bisa membuka tabir misteri tentang mimpi anehku bersama lelaki tersebut.

Tapi, hasilnya nol. Emma tak bisa mendapatkan info apapun tentang dirinya.
“Em, kau ‘kan hanya sekedar mencari info tentang nama dan juga alamatnya. Apanya yang sulit?”
Sore itu, ketika Will berbelanja, aku nekat menelpon Emma, dengan kesal.

"Kau kira aku pegawai catatan sipil yang punya data semua orang? Mencari identitas lelaki itu tidak semudah membalikkan telapak tangan."  Ia menjawab, tak kalah kesal.

“Datang saja ke rumah Mr. Harry. Minta salinan data tentang tamu-tamu yang datang di pesta tersebut, beres, kan?” Aku bersikukuh.

"Astaga, andaikan saja semudah itu, pasti lelaki itu sudah kutemukan sejak beberapa hari yang lalu. Aku sudah ke rumahnya, menanyakan tentang dia, tapi beliau bilang, ia tidak mengenalnya," ujar Emma lagi. Keningku berkerut.

“Tidak mengenalnya? Itu mustahil. Lalu untuk apa dia datang ke pesta tersebut? Apa kau pikir dia tamu gelap?”

"Yang mengatur tentang tamu undangan bukan Mr. Harry, tapi putrinya. Aku juga sudah bertanya tentang orang tersebut, tapi ia juga tak mengenalnya. Kemungkinan besar, lelaki yang telah menolongmu itu adalah salah satu teman yang sengaja di bawa oleh tamu Mr. Harry, atau, mungkin tamu putrinya." Emma kembali menjelaskan.

Aku menggigit bibirku dengan kesal.

“Oke, teruslah mencarinya, Em. Aku benar-benar harus menemukannya,” jawabku.

"Helllooo, kau hanya akan mengucapkan terima kasih padanya karena telah menolongmu, kan?"

“Tentu saja. Kau pikir untuk apa?”

"Aneh saja, jika tujuanmu hanya untuk mengucapkan terima kasih, kenapa kau mencarinya seolah-olah dia telah mencuri hatimu dan kau jatuh cinta padanya?! Ingat, Aletha, kau perempuan yang sudah menikah."

Aku mendengus kesal mendengar ucapan sahabatku itu.
“Aku hanya merasa berhutang budi padanya karena ia telah menyelamatkan nyawatu. Itu saja, titik.”

"Bisa kupegang kata-katamu?"

“Tentu,” jawabku yakin.

"Kalau kau mengkhianati Will, dia pasti menghabisimu."

Aku tertawa geli. “Tidak, Em,” jawabku.

°°°

“Jadi, bisakah besok aku kembali bekerja?” tanyaku seraya menerima suapan buah apel dari tangan Will. Sore itu, kami duduk beramalas-malasan di sofa yang berada di ruang tengah.
Ia mengupas buah apel, buah kesukaanku, mengiris-iris tipis, lalu dengan telaten menyuapkannya ke mulutku. Will bilang, ia selalu menyukai aktivitas seperti ini. Mengupaskan buah apel, lalu menyuapkannya padaku. Padahal aku tak meminta. Toh aku bisa makan sendiri.

Tapi, begitulah Will, ia sangat suka memanjakanku. Termasuk menyuapiku makan.

Aku sempat merutuk dalam hati. Astaga, aku punya suami seperti Will, tampan, kaya raya, penyayang, penuh perhatian, tapi setiap malam aku malah memimpikan lelaki lain? Lelaki yang bahkan aku sendiri tak tahu siapa dia. Ah, aku pasti tak waras.

“Aletha?” Will memanggilku setelah jeda. Aku mendengar ada keraguan dalam panggilannya.
“Hmm?” Aku mengernyit.
“Tidakkah sebaiknya kau  berhenti saja dari pekerjaanmu?” Ia menatapku dengan lembut.
Aku tahu ia berusaha untuk tidak membuatku tersinggung. Will meletakkan piring berisi irisan buah ke atas meja di depanku lalu ia beringsut mendekatiku, kemudian menggenggam tanganku dengan erat.

“Kau tahu bahwa aku punya pekerjaan yang mapan. Bisnisku juga berjalan lancar. Itu berarti, secara finansial, aku mampu memenuhi semua kebutuhanmu. Apapun yang kau mau, aku pasti akan menurutinya. Jadi, tanpa bekerja pun, hidup kita pasti berkecukupan,” ucapnya lembut.

Aku membalas tatapan matanya.

“Aku hanya tak mau kau terlalu lelah, Sayang.” Ia melanjutkan.

Aku tersenyum seraya membalas genggaman tangannya.
“Jujur, Sayang. Aku juga sudah berpikir untuk mengundurkan diri. Aku juga sudah berpikir untuk tinggal di rumah saja, mengurus rumah, menjadi istri yang baik untukmu, dan tentu saja, kelak melahirkan anak-anak kita. Hanya saja, tidak dalam waktu dekat ini. Kau tahu pasti bahwa aku mencintai pekerjaanku, aku mencintai kantorku, aku mencintai rekan-rekanku. Aku suka bertemu dengan orang-orang baru, dan tentu saja aku suka bekerja sama dengan Emma. Aku benar-benar menikmati apa yang kujalani saat ini. Suatu saat nanti aku pasti akan berhenti. Tapi tidak sekarang, kumohon mengertilah,” ucapku.

Sekilas, aku menangkap sedikit kekecewaan di mata Will. Tapi itu hanya sementara karena sekian detik kemudian, senyum mengembang di bibirnya yang tipis. Ia mencondongkan tubuhnya lalu mencium bibirku dengan lembut. “Okey, apapun yang kau inginkan. Asal kau bisa menjaga kesehatanmu,” ucapnya pelan.

Aku tersenyum. Dan aku lah yang  kemudian berinisiatif menghadiahinya ciuman hangat di bibir.
Bibirnya yang responsif membalas ciumanku. Dan tak butuh waktu lama untuk merubah ciuman kami menjadi ciuman panas dan membara.
Tanganku menyusup ke bagian bawah sweater tipisnya. Dan dengan gerakan lembut, kususurkan jemariku di perut pria itu.

Will mengerang, menggigit tipis bibirku. Tangannya juga tak tinggal diam. Jemarinya lihai menyusup ke bagian bawah tubuhku, bergerak ke perut, naik ke dada. Dan ia meremas lembut payudaraku.

Aku menarik sweater lelaki itu, berusaha meloloskannya melewati kepala ketika pada akhirnya ia menghentikan ciumannya lalu menatapku dengan sorot protes. “Kau masih sakit,” ucapnya serak.

Aku tersenyum dan menggeleng. “Aku baik-baik saja. Aku dalam keadaan yang sangat baik untuk bercinta denganmu,” godaku.
“Kau yakin?” Will menyusurkan jemarinya di pipiku. Aku mengangguk.

Dan pria itu tersenyum. Menarik sendiri sweaternya dan meloloskannya lewat kepala, kemudian menyambar diriku ke pelukannya. Ia mempertemukan bibir kami dan tangannya lihai melucuti pakaianku.
Dan kami menyatukan tubuh kami di sana, di sofa.

°°°

Will memperbolehkanku kembali bekerja setelah keadaanku benar-benar membaik. Dan dengan penuh semangat, aku mulai bekerja lagi.

“Apa Emma belum datang?” Aku bertanya pada Jojo, salah satu staf di kantor kami ketika aku melihat meja Emma masih kosong.
“Sudah kok. Dia sudah datang sekitar setengah jam yang lalu. Dan sekarang dia sedang ___” Jojo menatap sekelilingnya. “Kemana dia? Tadi di sini,” ucapnya. Aku tersenyum.

“Ah, sudahlah, tak apa-apa. Mungkin dia sedang sarapan di kantin,” ujarku. Jojo manggut-manggut sambil berlalu.

Aku meletakkan tas kantorku di meja. Dan belum sempat aku duduk, Emma masuk ke ruangan dan segera menyeruak ke arahku.
“Aku menemukannya!” Suaranya melengking di telingaku dengan penuh semangat. Aku mengerjap.
“Aku berhasil menemukan identitasnya, Aletha. Itu, lelaki yang telah menolongmu dari insiden kolam renang.” Dia nampak antusias. Bahkan lebih antusias daripada aku.

Dan aku tahu apa alasannya. Lelaki itu tampan, dan Emma pasti sudah berancang-ancang untuk mendekatinya. Ah, sahabatku yang satu ini memang selalu begitu ketika bertemu dengan lelaki bujang nan tampan.
“Lihat ini.” Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. Aku meraih lembaran kertas tersebut dan melihatnya. Dan segera aku membelalak.

“Ya Tuhan, kau mendapatkan informasi tentang dirinya selengkap ini?” desisku.
Emma menaikkan alisnya dengan nakal sambil menyeringai.
“Jangan meremehkanku dalam hal melacak informasi apapun. Jika kemarin-kemarin aku belum bisa mendapatkannya, itu hanya kurang lengkap saja. Percayalah, Aletha, sahabatmu ini sangat berbakat menjadi detektif,” ia tersenyum penuh kemenangan. Dan aku nyaris saja melonjak kegirangan.

“Aletha, kuharap kau tidak akan kaget akan hal ini, tapi...” kalimat Emma menggantung. Aku menatapnya dan raut muka perempuan itu tampak berbeda. Ia tampak ragu-ragu dan ... bingung.
“Ada apa?” Aku bertanya lirih.
Emma menggigit bibirnya sesaat sebelum kembali menatapku.
“Namanya ... Luc,” jawabnya kemudian.

Aku merasakan lututku lemas.

“Okeeeii ... aku perlu duduk untuk membaca informasi ini,” ujarku sembari menyeret kakiku menuju  kursiku. Emma mengangguk dengan mantap.
“Silahkan,” ia bahkan mau berbaik hati dengan menarik kursi di belakangku.
“Silahkan nikmati informasi dariku. Aku harus kembali ke kantin untuk ... menyelesaikan makan pagiku,” ia beranjak.
Aku tahu ia berbohong padaku. Ia hanya ingin memberiku banyak waktu untuk semua ini.

Segera, tanpa menghiraukan kepergiannya aku mulai asyik membaca lembaran di tanganku. Dan entah untuk suatu alasan yang tak jelas, aku merasakan tanganku gemetar manakala aku membuka lembaran-lembaran kertas tersebut.

Luc?

Ya, ia bernama Luc Sevilin.
Usianya hampir sama denganku. Pria lajang kaya raya dengan puluhan bisnis properti yang -- well, aku sudah menduganya. Ia punya raut wajah aristokrat yang tak bisa disembunyikan.
Saat ini ia tinggal di sebuah mansion mewah di tengah kota dan ia juga salah satu pengusaha muda yang sukses membangun kerajaan bisnis di bidang real estat.
Selama ini ia menghabiskan waktunya bepergian keluar negeri karena pekerjaannya. Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya, hari ketika dia menolongku dari insiden kolam renang tersebut, dia datang ke rumah Mr. Harry atas ajakan salah satu teman putrinya.

Aku membaca alamat rumahnya berulang-ulang. Jujur, aku tak terlalu peduli untuk mengetahui berapa jumlah saudaranya atau dia dilahirkan di mana. Karena saat ini, yang paling kubutuhkan adalah alamat rumahnya.

Dan tanpa menunggu lagi aku beranjak, meninggalkan kantor, memanggil taksi, lalu menyuruh sopir untuk mengantarkanku ke tempat tinggal Luc.

Pria yang senantiasa hadir dalam mimpiku tanpa kuketahui penyebabnya.

°°°

Aku masih berdiri termangu di depan mansion megah itu ketika seorang security – atau penjaga rumah, entahlah -  menghampiriku.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Pria itu menyapa dengan ramah. Aku tergagap. Pikiranku yang terlalu campur aduk membuatku tak bisa menjawab dengan cepat.
“Mm, aku ingin bertemu dengan ... Luc,” jawabku kemudian. Security itu menatapku sekilas, penuh selidik.
“Anda sudah membuat janji?” Ia bertanya lagi. Tetap dengan nada suara yang ramah. Aku menggeleng.
“Aku belum membuat janji. Tapi beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah pesta, dan ia mengijinkanku datang kapan saja,” jawabku berbohong. Pria itu manggut-manggut.
“Baiklah, silahkan ikuti saya.” Ia menyilakanku masuk.

Aku sempat takjub dengan rumah mewah tersebut. Rumahnya sama besar dengan rumah Will.
Dan, astaga, semuanya mewah! Mulai dari lantai, tiang yang menjulang khas bangunan eropa, dinding dengan ornamen yang luar biasa, dan furniture-furniture import yang begitu menawan.

“Dia sedang bersantai di gazebo dekat kolam renang. Anda bisa langsung ke sana.” Pria itu menunjuk sebuah lorong yang mengarah ke taman dan kolam renang yang terletak persis di tengah-tengah rumah tersebut.

“Dia sendirian?” Aku bertanya penuh selidik. Pria itu tersenyum dan mengangguk, sebelum memohon diri dan meninggalkanku sendirian.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke arah kolam renang yang dimaksud security tersebut. Dan kakiku melangkah begitu saja ke sana. Tatapan mataku menyapu 4 buah gazebo yang mengelilingi kolam renang dan lelaki itu di sana.

Di gazebo terakhir yang kulihat. Duduk santai dengan baju kasual, celana jeans dipadu kemeja putih santai yang seolah melekat dengan sempurna di tubuhnya.

Aku sempat berhenti dengan ragu. Tapi, keberadaan pria yang hanya beberapa meter dariku itu seolah-olah menarik kakiku untuk terus melangkah ke arahnya.

Aku menelan ludah. Berniat menyapanya, tapi belum sempat mulutku terbuka, ia menoleh ke arahku. Tatapan kami beradu dan seketika langkahku terhenti.

Mata itu...

Mata teduh itu... aku mengenalnya!

Tanpa melepaskan pandangannya dariku, lelaki itu bangkit.

“Siapa kau?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan aku menyadari bahwa suaraku bergetar.
Lelaki itu tak segera menjawab. Ia terus menatap ke arahku dengan lekat.

“Siapa... kau?” tanyaku lagi, kali ini, suaraku nyaris tak kedengaran. Aku gemetar.

“Selamat datang... Aletha.” Pria itu menyapa.
Dia tahu namaku?

Dan suara itu!
Suara yang sama, yang seolah-olah begitu kukenal.

Seketika perasaanku membuncah, campur aduk secara tiba-tiba.

Perasaan apa ini? Tanpa kumengerti sama sekali, aku merasakan sebuah kebahagiaan tak terkira, tapi di saat yang bersamaan, aku juga merasakan suatu kesedihan yang teramat sangat, hingga sempat membuat dadaku sakit.
Nafasku tersengal. Lututku lemas, dan aku merosot ke lantai. 

Pria itu berjalan menghampiriku. Ia berlutut di hadapanku, meletakkan kedua tangannya di bahuku, lalu menatapku dengan dalam. Dan aku bisa melihat kedua matanya berkaca-kaca.
Kristal bening itu mengumpul di sudut matanya.

Apa ia menangis?
Kenapa ia menangis?

“Aletha...” Ia memanggil namaku lagi.

Lembut, hangat dan... intim.

Dadaku sesak. Dan tanpa kumengerti sebabnya, tiba-tiba saja tangisku pecah. Air mataku mengalir dengan deras tanpa mampu kubendung dan aku terisak dengan hebat.

Ya Tuhan, perasaan apa ini?

Ada apa denganku?!

°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro