04. Unfinished Story

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mendapati diriku terbaring di sofa ketika membuka mata. Aku bangkit dan kepalaku terasa berdenyut-denyut sakit. Lelaki itu duduk di sofa di seberang meja, menatapku, dengan tatapan cemas.

“Kau menangis dengan histeris dan tiba-tiba saja tak sadarkan diri,” ia membuka suara.
Aku memijit-mijit pelipisku sesaat.

“Maaf, sebenarnya aku tak biasa begini. Maksudku, aku tak sering pingsan. Kita bertemu dua kali dan kau selalu mendapati diriku tak sadarkan diri__” aku tersenyum getir.” Sungguh, ini bukan diriku. Aku hanya merasa sedikit lelah saja akhir-akhir ini,” ucapku.

Tidak hanya lelah, tapi energiku serasa tersedot habis dalam mimpi-mimpiku bersamamu! Teriakku dalam hati.

“Aku memanggil dokter pribadiku kemari. Dia sedang dalam perjalanan,” lelaki itu melanjutkan.
“Apa?” Suaraku terdengar protes.
“Aku __ cemas,” ia bangkit. Pandangan kami kembali beradu.

“Aku hanya syok dan kaget. Bisa kau batalkan panggilan doktermu? Demi Tuhan, aku terlalu bingung untuk mencerna semua ini. Aku ... hanya butuh waktu untuk berpikir dan ... berbicara banyak hal padamu,” jawabku.

Lelaki itu terdiam, seolah  sedang memikirkan sesuatu. Perlahan ia mengangguk.
“Baiklah,” jawabnya kemudian seraya beranjak menuju meja telpon dan tampak berbicara dengan serius di telepon. Setelah itu ia beranjak, entah ke mana, dan sekian detik kemudian ia muncul dengan segelas air putih di tangannya.

“Minumlah dulu, agar rasa syok-mu berkurang,” ia menyodorkan segelas air putih itu padaku. Aku sempat enggan menerimanya. Tapi menyaksikan tangannya  yang terulur, aku menerimanya. Dan segera kutenggak air putih itu, hingga habis.

“Whoaa, apa kau benar-benar kehausan?” Ia mencoba bergurau, tapi otakku terlalu buntu untuk menangkap gurauannya.
Aku meletakkan gelas ke meja, merapikan bajuku, lalu kembali menatap lelaki bermata indah itu.

“Luc?” Aku memastikan. Ia mengangguk.

“Jadi ... dari mana kau tahu namaku?” Aku bertanya langsung.

Luc kembali duduk di kursi di seberang meja, tatapan matanya kembali padaku. Kali ini tatapan intens yang seolah-olah mengatakan bahwa dia telah mengenalku selama ribuan tahun!

“Cara yang sama seperti kau bisa tahu namaku,” jawabnya.

Aku ternganga. “Melalui mimpi?” Aku memastikan. Dan ia mengangguk.

“Jadi ... kau juga mengalami mimpi yang sama denganku?” tanyaku lagi dan Luc kembali mengangguk.

Aku menatap sekelilingku sekilas dan kembali meremas-remas jemari tanganku dengan gelisah.

“Jadi ... apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita... mengalami mimpi yang sama, maka, kita, kau dan aku, pasti merasakan hal yang sama pula bahwa kita punya semacam___”

“Konektivitas.” Luc memotong. Aku bergidik.

“Entahlah, aku tak tahu harus menyebutnya apa. Aku ... bingung.” Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku selama sekian detik sebelum fokus menatap Luc lagi.

“Apa yang sebenarnya terjadi di antara kita? Ada apa antara kau dan aku?” Aku bertanya lirih.

Luc menarik nafas pendek dan kelihatan... rapuh.
“Aku sudah memimpikanmu sejak usiaku 10 tahun, Aletha.” Akhirnya ia membuka suara. Aku mendelik.
“Apa?”
Luc mengangkat bahu.

“Itu benar, aku sudah memimpikanmu sejak usiaku 10 tahun. Awalnya mimpi yang kualami hanyalah penggalan-penggalan cerita yang membuatku seperti orang gila - Aku bahkan menganggap diriku gila, jika kau mau tahu itu. Kau hadir dalam mimpiku, hampir setiap malam, tanpa bisa kucegah, hingga membuatku frustasi dan putus asa karena aku benar-benar tak tahu kau siapa. Tapi, lambat laun, mimpi yang kualami semakin intens hingga membentuk satu kisah utuh yang menggiringku pada jawaban tentang siapa kau, siapa aku, dan apa yang terjadi dengan kita.”

“Apa itu?” Aku bertanya dengan tak sabar.

“Reinkarnasi.”

Aku menelan ludah takut.
“Maksudmu?” Suaraku serak.

“Ribuan tahun yang lalu, kau dan aku adalah sepasang kekasih. Dan sekarang, kita dilahirkan kembali.”

Aku tertawa sinis.
“Omong kosong macam ini?”

Luc menggeleng pelan.
“Awalnya aku juga tak mempercayainya. Tapi sekarang, aku ingat semuanya, Aletha. Semuanya. Tanpa kecuali.”

Aku bangkit, berkacak pinggang, mondar-mandir, dan terkekeh sinis.
“Aku orang yang realistis, tuan Luc. Dan jujur, aku tak percaya dengan hal-hal seperti ini. Maksudmu, dulu, ribuan tahun yang lalu, kita adalah sepasang kekasih? Dan sekarang, kita di lahirkan kembali__ tapi untuk apa?”

Kami kembali berpandangan.
“Untuk menuntaskan kisah percintaan kita.” Luc menjawab lirih. Aku tergelak.

“Itu tidak mungkin. Aku wanita yang sudah menikah, kau ingat? Dan aku sangat mencintai suamiku. Jadi, hal yang tidak mungkin bahwa aku akan ... bersamamu.” Aku nyaris berteriak karena gila.

“Itu aku tidak tahu, Aletha. Aku hanya tahu bahwa, kita ditakdirkan untuk saling mencintai.”

“Aku mencintai suamiku, catat itu,” balasku sengit.

Luc bangkit.
“Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpi tentang diriku yang selama ini kau alami? Apa kau akan menyangkalnya?”

“Itu hanya mimpi, tak berarti apa-apa,” jawabku.

“Kau memimpikanku setiap malam, aku tahu itu karena aku juga mengalami hal yang sama. Apa kau akan tetap mengatakan itu tak berarti apa-apa?! Kita seperti punya perasaan khusus yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kita sama-sama merasakan rindu yang mendarah daging, apa itu bukan apa-apa?!” Kalimat dari mulut Luc menggema di penjuru ruangan.

Kami bersitegang, untuk sesuatu hal yang ___ tak masuk akal!

“Aku tak tahu kalau kisahnya akan seperti ini, Aletha. Setelah mengingat siapa dirimu, aku berusaha mencari keberadaanmu, ke penjuru dunia. Aku pikir kita saling mencintai sehingga Tuhan mempertemukan kita kembali. Tapi begitu aku menemukan dirimu, dan ternyata ... aku tahu bahwa  kau sudah menikah dan menjadi milik orang lain. Aku... hancur.” Luc terlihat makin rapuh.

“Omong kosong macam apa ini? Harusnya aku tidak datang menemuimu. Ini... pasti sebuah kesalahan.” Aku beranjak, meraih tasku di atas meja yang berada di depan Luc. Pria itu ikut bangkit mengikutiku.

Tapi ini seperti tindakan bunuh diri. Karena terburu-buru, sepatuku menyangkut karpet beludru di lantai dan aku nyaris terjerembab menghantam meja.

Tapi Luc dengan sigap menahan tubuhku. Kedua tangannya yang kokoh memegang kedua bahuku. Pandangan kami beradu dan aku kembali merasakannya!

Tubuhku seperti dialiri listrik sekian ratus watt hingga nyaris terbakar. Luc benar.
Ada konektivitas di antara kami!
Ada kerinduan yang mendarah daging diantara kami!
Perasaan campur aduk hingga aku tak tahu harus menyebutnya apa.

Dan bibir kami bertemu. Bibirku, dan bibir Luc.

Entah siapa yang bergerak terlebih dahulu, tapi ciuman itu terjadi.

Bibir kami saling melumat dengan hebat. Ini jelas bukan ciuman yang lembut. Ini semacam ciuman yang buru-buru. Menuntut, menyesap, mengecap, bahkan berlangsung panas dan membara. Seolah-olah kami mengalami dahaga panjang yang telah kami lewati selama ribuan tahun dan kami harus menebusnya, sekarang juga!

Otakku ingin mengatakan tidak, tapi tubuhku tak bisa diajak kompromi. Tanganku bergerak kemana-mana, begitu pula dengan tangan Luc. Aku merasakan tangan lelaki itu di pinggulku, bergerak ke  pinggang, menyusuri punggung, lalu meremas bahuku. Menyingkap kerah blouse tipisku hingga tangannya leluasa mengelus kulit bahuku yang telah terbuka, lalu bergerak ke tulang selangka ...

Oh, aku seakan baru tersadar bahwa dua kancing atas blouseku sudah terbuka. Siapa yang membukanya? Tangan Luc?
Ataukah tanganku sendiri? Ah, persetan ...

Kami terus larut dalam perasaan yang tak tentu, perasaan ingin saling memeluk, menyentuh, mencium, bahkan lebih ...

Tapi, syukurlah dengan perjuangan yang berat, aku mendapatkan akal sehatku kembali.

Aku menghentikan ciuman kami dengan terpaksa lalu melangkah mundur dengan tergesa. Meski sedikit terhuyung, aku tidak ambruk.

Kami berpandangan. Aku menelan ludah, napas kami sama-sama tersengal.

“Ini tidak benar, ini tidak benar.” Aku menggeleng-geleng lirih sambil berusaha merapikan rambutku dan membenahi blouseku yang sudah berantakan. Dan tanpa melupakan tasku, aku beranjak.

“Hatiku belum berubah, Aletha. Aku masih mencintaimu dengan sepenuh hatiku.”

Aku masih mendengar Luc berteriak di belakangku. Dan aku terus melangkah, tanpa menoleh kembali ke arahnya.

°°°

Aku keluar dari mansion Luc dengan tersengal-sengal. Kususuri trotoar dengan kaki lemas. Aku berhenti sejenak dan duduk di sebuah pot bunga dari semen yang berada di pinggir jalan. Jantungku seperti berlompatan dan kepalaku berputar-putar. Dan aku baru menyadari bahwa ponselku berdering beberapa kali. Aku meraihnya, melihatnya.

25 missed calls! Dari Emma.

Aku sempat menelan ludah sebelum memutuskan untuk menerima panggilan ke-26.

“Halo, Aletha? Dimana kau?”
“Aku __” Aku menatap sekelilingku, bingung. “Jalan-jalan sebentar,” jawabku. Aku bangkit dan menerima telpon tersebut sambil berjalan.

“Aku mencemaskanmu. Kau pergi begitu saja dari kantor dan tak bisa dihubungi. Ke mana saja kau? Pak Bos mencarimu.” Ia nyaris menjerit.

Aku menarik nafas sesaat.
“Oke, aku segera kembali ke kantor,” jawabku.
Aku menghentikan pembicaraan dan bergerak menghentikan taksi yang melintas.

***

Sesampainya di kantor, Emma segera menyambutku dengan omelan. Sebenarnya, ia hanya cemas.
“Aku mengkhawatirkanmu, Aletha. Kau pergi dalam keadaan kalut, tanpa pamit, dan tak bisa dihubungi sama sekali. Kau baik-baik saja, kan?”

Aku mengangkat bahu. “Baik,” jawabku pendek. Aku bergerak menuju mejaku lalu menjatuhkan diriku di kursi. Aku menopang sikuku di meja lalu mengusap wajahku dengan tangan.

“Aku sedikit lelah, Em,” ucapku lagi. Emma menyeret kursi ke arahku.
“Kau bertemu dengannya? Lelaki itu?” Ia bertanya tak sabar. Aku mengangguk.
“Lalu apa yang terjadi?”
Aku tak segera menjawab.
“Tidak ada. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan ...  sudah,” jawabku.
“Hanya itu? Kau tak berkenalan dengannya? Kalian tak mengobrol lebih lanjut?” Ia kembali memborbardir dengan pertanyaan. Aku tersenyum dan menggeleng.

“Lalu kenapa kau lama sekali?”
“Aku mengalami vertigo mendadak. Karena tak membawa obat, aku ke apotik, lalu menyempatkan diri makan siang,” ujarku. Emma manggut-manggut.

“Em ... apa kau punya teman paranormal?” tanyaku ragu. Kening Emma mengernyit.
“Kenapa?”
Aku menggigit bagian dalam bibirku sebelum menjawab. “Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk. Terkadang aku juga mengalami halusinasi yang ... lumayan mengganggu. Jadi ...” Aku menyandarkan punggungku. “Aku butuh seseorang untuk berkonsultasi,” lanjutku.

Emma menggeleng. “Sayangnya aku tak punya, Aletha. Kau tahu ‘kan aku orang yang realistis. Aku tak percaya dengan hal-hal seperti itu,” jawabnya.

“Jadi, apakah menurutmu aku harus ke psikiater?”

Emma nampak terkejut dengan pertanyaanku.
“Kau tak mengalami masalah kejiwaan, untuk apa menemui psikiater?” Ia nampak tak sependapat.

Aku tak menjawab. Tadinya aku sempat berniat menceritakan tentang Luc padanya. Menceritakan tentang apa yang dia ceritakan tentang reinkarnasi, atau hal-hal ganjil lainnya. Tapi aku urung melakukannya karena takut Emma akan menganggapku gila.

“Em... bagaimana jika kau bertemu dengan jodohmu setelah kau menikah?” tanyaku kemudian.

Emma menatapku bingung.
“Maksud ... mu?”

Aku mendesah lalu bangkit.
“Ah, sudahlah. Aku hanya sekedar bertanya,” jawabku.
“Aku butuh asupan kafein.” Aku melangkahkan kakiku meninggalkan Emma yang masih tampak bingung.

°°°

Dan mimpi itu kembali terjadi ...

Tubuhku melorot di lantai dan aku menangis sesenggukan. Lelaki setengah baya itu berdiri dengan angkuh di hadapanku sambil menatapku nanar, dipenuhi amarah. Aku sudah menerima dua tamparan darinya. Dan rasanya sakit sekali.

“Aku takkan pernah membiarkanmu pergi lagi dari rumah ini. Jika perlu, aku akan mengurungmu di kamar ini, selamanya!” Ia berteriak.
Aku balas menatapnya dengan tajam.

“Dan aku akan selalu mencari cara untuk keluar dari sini. Semakin ayah melarangku, rasa cintaku padanya semakin besar. Dan semakin kami dilarang, kami akan semakin saling mencintai. Aku takkan menyerah! Aku akan senantiasa kabur walau ayah mengunciku dengan tembok baja!”
Plaakkk!
Dan tamparan itu kembali melayang dipipiku.

“Kau, takkan pernah bisa bertemu lagi dengannya. Lelaki itu sudah mati!”
Aku tertegun.
“Apa maksud Ayah?” Bibirku bergetar.
“Lelaki itu sudah mati. Mereka melihat jenazahnya mengapung di pinggir sungai. Membusuk. Dan sekarang aku sedang menyuruh orang untuk mengambilnya. Agar kau bisa melihatnya dengan mata kepalamu sendiri!”

Tubuhku gemetar. “Itu tidak mungkin....”Aku mendesis.

Ayahku seperti ingin berkata-kata lagi, namun kalimatnya tertahan ketika kami mendengar suara ribut-ribut dari luar.

“Itu mereka.” Ayahku menarik lengan tanganku dan menyeretku keluar.

Kami menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Aku nyaris saja terpeleset.

Ketika kami sampai di halaman rumah, kami menyaksikan beberapa orang pekerja kebun dan juga pelayan rumah kami membawa sesosok tubuh  yang ditandu. Tubuh itu kaku, tak bergerak.

Napasku tertahan. Dadaku sesak.
“Dia mati, Tuan.” Salah seorang pria setengah baya berseru.
Ayah menatapku.

“Lihatlah sendiri kalau kau tak percaya. Dia, lelaki yang kau cintai itu, SUDAH MATI!” ucapnya geram.

Dengan terseok-seok aku melangkahkan kakiku mendekati sosok tubuh itu.

Tubuh itu dipenuhi luka. Kaki dan tangannya terlihat patah. Wajahnya rusak dan tak bisa dikenali lagi.
“Itu bukan dia.” Aku menelan ludah.
“Itu bukan dia,” desisku lagi.
Aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa sosok mayat itu bukan dia. Tapi, baju yang ia kenakan...

Baju itu mirip dengan bajunya ketika terakhir kali kami bertemu. Ketika kami berusaha melarikan diri namun orang-orang suruhan ayahku menemukan kami dan mereka melemparnya ke jurang.

Itu bukan dia ...
Bukan ....

“Luc belum mati. Itu ... bukan ... dia ...” desisku lagi.
Air mataku kembali menetes dan aku ambruk.

“Tidaaaakkkk.....!” Aku berteriak dan menangis meraung-raung.

“Itu bukan dia! Luc belum mati!”

°°°

Aku terbangun dengan air mata berderaian. Masih dengan perasaan sama. Hancur lebur dan tersakiti. Mataku masih setengah terpejam ketika aku menangis sesenggukan dan berkali-kali memanggil nama lelaki tersebut.

Will merengkuh pundakku dan menggosok punggungku dengan lembut.

“Hei, tenanglah, Sayang. Tenanglah...” Ia berbisik lembut di telingaku.
“Kau mimpi buruk. It’s ok, itu hanya mimpir buruk.” Ia membelai kepalaku dan menyapu butiran keringat di keningku.

Kedua mataku mulai terbuka lebar dan pikiranku seakan kembali normal. Aku mendongak dan menatap Will dengan bingung.

“Aku mimpi buruk lagi?” Aku seperti bertanya pada diriku sendiri. Will mengangguk lembut.

“Kau mengigau, berteriak-teriak. Kau juga menangis sesenggukan. Astaga, apa kau bermimpi begitu buruk?” Will berkali-kali mengelus wajahku dengan cemas. Aku tak mampu menjawab.

“Akan kuambilkan air.” Ia turun dari tempat tidur dan mengambilkan air di meja. Sekarang ia menaruh sebuah meja kecil di dekat meja rias untuk menaruh gelas dan teko air. Entah sejak kapan ia mempunyai kebiasaan itu. Mungkin sejak aku sering bermimpi buruk.

Lelaki itu menyodorkan segelas minuman dan aku segera menenggaknya hingga habis.
Setelah keadaanku sedikit tenang, Will duduk di sampingku dan mengelus tanganku.

“Merasa lebih baik?” Ia bertanya lembut. Aku mengangguk.
“Oke, sekarang ceritakan sebenarnya kau mimpi apa? Hampir setiap malam, Aletha. Hampir setiap malam kau seperti ini. Dan ini sudah berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak kita berbulan madu keluar negeri. Aku bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganmu?” Will menatapku dengan dalam. Aku tak segera menjawab.

“Aku tak tahu, Will. Aku juga bingung. Aku tak tahu ini mimpi apa? Ini ...” Kalimatku terhenti. Sungguh, aku tak tahu harus menceritakan apa pada suamiku.

“Kau memanggil nama ... Luc.” Will kembali berkata lirih. Tatapannya lurus ke manik mataku. “Siapa dia? Siapa yang kau panggil... Luc?”

Pandangan kami terkunci. Dan lagi-lagi aku bingung harus menjawab apa.

Tanganku gemetar.

***

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro