05. Tragedy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Ini bukan yang pertama kalinya, Aletha. Aku sudah mendengarmu mengigau berkali-kali, menyebut nama itu ... Luc.” Tatapan mata Will lurus ke manik mataku.

“Siapa dia? Siapa Luc?” Dan tatapan matanya seakan meminta penegasan. Aku mendesis lalu memijit pelipisku sendiri.

“Aku tak tahu, Will. Sungguh aku tak tahu. Aku bahkan tak ingat aku bermimpi apa,” jawabku, berbohong.

“Aku hanya ingat bahwa aku bermimpi buruk, aku dikejar-kejar hantu dan merasa ketakutan. Dan setelahnya, aku terbangun dengan kelelahan seperti ini,” lanjutku.
“Aku berencana berkonsultasi dengan psikiater, barangkali ia bisa membantuku keluar dari mimpi buruk ini.” Aku kembali menatap lelaki itu.

Will tampak kaget.
“Untuk apa kau berkonsultasi dengan psikiater? Kau tak mengalami gangguan jiwa.” Ia menyanggah.

Aku mengangat bahu.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku juga lelah mengalami mimpi buruk seperti ini. Aku kehabisan akal,” jawabku putus asa.

Will menarik napas berat. Kemudian ia beringsut lalu kembali memelukku.

“Sudahlah. Ayo kita tidur. Kau pasti lelah,”  bisiknya lembut sambil mengecup keningku yang berkeringat.

Ia membantuku berbaring dan sesekali menepuk punggungku dengan pelan.

Tapi aku tetap saja tak bisa tidur, sampai keesokan harinya.

***

Aku memasuki ruang kerjaku dengan tergesa-gesa. Tanpa menyapa beberapa staf yang lain, aku bergerak menuju meja Emma.

Perempuan itu tampak sibuk menatap layar komputer hingga tak melihat kedatanganku.

“Em, bantu aku membuat janji dengan psikiater,” ucapku langsung, dengan suara pelan. Serta merta Emma memutar tubuhnya ke arahku dan menatapku dengan bingung.

“Aku sudah bilang padamu, beberapa waktu ini aku dihantui mimpi buruk. Dan aku butuh orang yang bisa membantuku dari mimpi menakutkan ini. Jadi...”

“Aletha...” Emma setengah berbisik sambil mengangkat tangannya. Ia bangkit dan mendekatiku.
“Sebelum kita bicara tentang psikiater dan masalahmu, ada sesuatu untukmu,” lanjutnya.

Aku mengernyit. “Apa?” desisku.

“Kau... ada tamu.” Emma mengarahkan jari telunjuknya ke arah balkon. Aku memutar tubuhku untuk mengikuti arah jemarinya. Dan aku melihat seorang lelaki tampan berpakaian rapi yang tengah duduk dengan gusar di kursi yang berada di balkon ruang kerja kami.

Mataku membelalak. Aku kembali memutar tubuh ke arah Emma dan menatapnya dengan bingung.

“Luc? Untuk apa dia di sini?” Aku berbisik. Sahabatku itu mengangkat bahu.

“Dia sudah di sini sejak 15 menit yang lalu. Dia bilang, dia harus bertemu denganmu karena ada yang ingin ia sampaikan,” jawabnya.

Aku menggigit bibir. Tanpa meletakkan tas di meja kerjaku, aku beranjak, menuju balkon, menemui Luc.

“Hai,” sapaku duluan. Luc menoleh dan menatapku. Serta merta ia bangkit dari tempat duduknya.

“Hai. Maaf kalau aku mengejutkanmu. Ada sesuatu yang harus kuberikan padamu,” jawabnya. Ia meraih sesuatu dari saku jas nya lalu mengeluarkan sebuah bros mungil berbentuk bunga tulip.

Kedua mataku menyipit, bros itu seperti kukenal.

“Milikmu.” Luc menyodorkan bros itu ke arahku.
“Kemarin terjatuh dan tertinggal di rumahku,” ucapnya lagi.

Aku melongo. Astaga, kenapa aku bisa tak sadar bahwa aku kehilangan benda itu.

“T-terima kasih,” jawabku gugup sambil menerima benda mungil tersebut. Luc tersenyum.

Dan seketika aku teringat pertemuan terakhir kami yang sedikit ... ‘panas’.
Dan tanpa sadar, fokusku singgah pada bibir Luc yang...
Oh ya ampun, ini memalukan sekali.

“Aku datang ke sini hanya untuk menyerahkan itu saja,” ucap lelaki tersebut.

Aku kembali tersenyum kaku.
“Terima kasih lagi,” jawabku.

Kami berpandangan, canggung.

“Bagaimana kau tahu tempat kerjaku?” tanyaku.
Luc tak segera menjawab.
“Aku tahu semua tentangmu. Alamat rumahmu dan juga tempat kerjamu.” Ia menatapku lagi dengan lembut. “Maaf, aku tak bermaksud kurang ajar. Tapi ... kau tahu ‘kan apa yang terjadi padaku terhadap dirimu? Itu, setelah sering bermimpi tentangmu, secara otomatis saja aku ... mulai mencari tahu tentang dirimu.” Luc terlihat bingung mengatur kata-kata.

Dan aku seperti teringat akan sesuatu.

“Bisakah kau meluangkan waktumu untukku? Maksudku, aku ingin bertemu secara pribadi denganmu. Ada... ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu,” ucapku kemudian.

Luc tampak tertegun. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana lalu menyesap bibir bagian bawahnya. Tampak bingung.

“W-e-l-l ... mungkin kau bisa datang ke rumahku lagi,” jawabnya kemudian.
“Kapan?”
“Terserah kau saja.”
“Nanti siang?”
Luc tampak terkejut dengan ucapanku. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Oke, nanti siang. Aku akan menunggumu.”

Pandangan kami kembali beradu. Dan... konektivitas itu tetap ada.

Perasaanku campur aduk. Debaran, ketakutan, rindu, harapan, semua jadi satu. Dan untuk kesekian kalinya aku tetap tak mengerti dengan apa yang terjadi di antara kami.

Kami seperti sepasang muda mudi yang baru berkenalan dan merasakan cinta untuk pertama kalinya. Ini benar-benar membingungkan.

“Oke. Aku ... pergi dulu.” Luc memecah keheningan.  Aku tergagap.
“Oke,” jawabku. “Dan ... terima kasih karena kau mau repot-repot datang kemari mengantarkan brosku.”

Lelaki itu mengangguk. “Tak apa-apa. Sampai ketemu ... nanti siang.” Ia beranjak.

Aku tersenyum dan mengangguk sambil menggerakkan tubuhku untuk memberi jalan pada Luc yang bergerak meninggalkan balkon tersebut. Sesaat setelah lelaki itu pergi, Emma berlari ke arahku.

“Ada apa?!” Matanya menatapku dengan penuh antusias.

“Apa terjadi sesuatu? Untuk apa dia kemari? Kau tak sedang mencari masalah, kan? Maksudku, kau tak sedang mendekati lelaki lain, kan? Ayolah, Aletha. Kau perempuan yang sudah menikah. Kau ...”

“Stop!” Aku mendesah kesal.
“Tidak ada apa-apa di antara kami. Kami hanya sekedar ... membicarakan bisnis,” jawabku berbohong.

Emma menatapku tak percaya. Oh, tentu saja ia tahu aku berbohong.

Aku berbalik dan melangkahkan kakiku menuju meja kerjaku.

“Kau menyembunyikan sesuatu dariku, kan?” Emma terus mengekoriku. Tanpa menjawab, aku menjatuhkan diriku di kursi sembari terus berpikir.

Jika aku menceritakan yang sebenarnya tentang Luc, dia pasti takkan percaya. Tapi jika aku tak bercerita yang sebenarnya, aku tak tahu sampai kapan aku bisa terus berbohong. Dan semakin aku berbohong, pasti akan ada kesalahpahaman di antara kami.

Aku menarik sebuah kursi kecil, mendekatkannya dengan kursiku lalu menarik lengan Emma agar duduk di sana. Aku menatap sekelilingku sesaat lalu berbisik kepadanya.

“Em, apa kau percaya akan adanya reinkarnasi?”
“Tidak.” Ia menjawab cepat. Sudah kuduga ia akan menjawab begitu.
“Dan kenapa kau menanyakannya?”
“Karena ini ada hubungannya dengan lelaki tadi, Luc,” jawabku.

Emma menatapku bingung.
“Oke, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Akhir-akhir ini kau nyaris membuatku mati penasaran.” Ia mendesis.

Aku menegakkan punggungku dan menatapnya dalam. Sebelum mulai bercerita, aku sempat menarik napas terlebih dahulu.

“Em, jauh sebelum bertemu dengan Luc, aku sudah memimpikan lelaki itu, setiap malam.”

Mata indah Emma mengerjap. Aku mengangguk, dengan harapan agar ia tak memulai pertanyaan dan membiarkanku bercerita hingga selesai.

“Sejak menikah, aku terus memimpikan lelaki itu, setiap malam, tanpa bisa kuhindari. Aku dihantui mimpi-mimpi buruk bersamanya. Menyaksikan ia di siksa, menyaksikan ia mati di depanku. Mimpi itu selalu sama dan berulang-ulang terus. Dan aku tak bisa menghindarinya. Sejak beberapa waktu yang lalu, aku yakin bahwa itu hanya sekedar mimpi. Namun semua terpatahkan ketika ternyata aku benar-benar bertemu dengannya, dengan Luc, di pesta waktu itu. Dan aku masih saja berpikir bahwa itu hanya suatu kebetulan yang terjadi di antara kami sampai akhirnya ...”

Aku menelan ludah.
“Sampai akhirnya aku nekat menemui Luc, aku nekat datang ke rumahnya. Dan kau tahu apa yang ia katakan? Dia bilang bahwa ia juga mengalami mimpi yang sama denganku. Setiap malam, ia memimpikanku. Dan ... hebatnya lagi, ia sudah memimpikanku sejak ia berusia 10 tahun.”

Emma ternganga. Tapi ia tak bersuara.

“Berbeda denganku yang hanya mengalami mimpi secara sepotong-sepotong, Luc memiliki mimpi yang lebih utuh. Ia bahkan yakin bahwa, dulu -  pada jaman dahulu kala...” Aku bergidik ketika mengucapkan kalimat tersebut.

“Kami adalah sepasang kekasih yang dilahirkan kembali di jaman sekarang dengan tujuan ... entahlah, aku tak tahu tujuannya apa.” Aku mulai frustrasi.

“Kau boleh percaya dengan ceritaku, boleh juga tidak. Karena... bahkan aku pun tak mempercayai dengan apa yang aku alami, Em. Tapi setidaknya, aku sudah memberitahumu apa yang selama ini mengangguku,” desisku lagi.

Penasaran dengan reaksi Emma, aku meremas pahanya.

“Jadi, bagaimana menurutmu? Bukankah sudah sewajarnya aku menemui psikiater karena ini adalah tanda-tanda aku mulai gila. Ya, kan?” Aku terkekeh sinis.

Emma menatapku lekat. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

“Aletha, jujurlah padaku, apa kau pernah terlibat skandal terlarang dengan Luc?”

Aku mengernyit mendengar pertanyaan Emma.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku...” Ia berhenti sesaat.
“Aletha, jika kau memang pernah melakukan kesalahan, kau pernah punya affair dengan lelaki itu, sebaiknya bicaralah yang jujur pada Will dan minta maaflah padanya. Kau tak perlu menceritakan alibi berlebihan seperti ini. Ceritamu tentang mimpi dan reinkarnasi terlalu ... mengada-ada. Orang akan berpikir bahwa kau ...”
“Gila?” potongku.
“Bukan begitu, maksudku ...”
“Ya, sepertinya aku memang sudah gila,” jawabku seraya menarik tanganku dari genggaman Emma.

Aku merasa kecewa, terluka.

Aku tak menyangka bahwa Emma meragukan ceritaku. Ia bahkan menuduhku berselingkuh dengan Luc? Yang benar saja!

“Sudahlah, Em. Aku tak ingin membicarakannya lagi. Aku... perlu waktu untuk menyendiri.” Aku bangkit, meraih tasku dan bergerak keluar dari ruang kerja.

Aku sudah memutuskan untuk tidak membicarakan ini dengan siapapun, kecuali psikiater. Agar aku sendiri tahu, apakah aku memang gila atau tidak.

***

Aku tiba di mansion Luc tepat di saat jam makan siang. Ketika sampai di sana, seorang penjaga rumah menyambut kedatanganku dengan ramah. Seolah aku adalah tamu yang memang sudah ditunggu kedatangannya.

“Silahkan masuk. Anda sudah ditunggu,” sambutnya sambil mengantarkanku memasuki bangunan megah tersebut untuk selanjutnya di ajak ke ruangan tempat Luc berada.

Ketika sampai di sana, lelaki tampan itu menatapku dengan senyum sumringah.

“Selamat datang. Aku sudah menyiapkan makan siang untukmu,” sapanya.

“Aku ke sini tidak untuk makan siang. Aku ingin bicara, itu saja,” jawabku.

Luc tetap tersenyum.
“Tak apa-apa. Kita bisa bicara sambil makan siang, kan? Aku tahu kau belum makan.” Ia berucap ramah sambil membimbingku ke ruang makan.

Aku duduk di sebuah kursi yang telah disiapkan dan juga bermacam-macam menu yang terhidang di meja. Aku menatapnya dengan takjub.

“Sekali lagi, aku tak ingin bersikap kurang ajar padamu karena bagaimanapun juga aku tahu kau perempuan yang sudah menikah. Tapi makan siang bersama sepertinya bukan sebuah kesalahan. Yah, anggap saja ini hanya sekedar jamuan antar teman,” ucap lelaki tersebut.

“Lagipula, aku sudah menyuruh orang untuk menyiapkan menu khusus untukmu. Aku tahu kau vegetarian.”

Untuk kesekian kalinya aku kembali takjub.

“Dari mana kau tahu aku vegetarian. Kita baru bertemu tiga kali, kan? Kita bahkan belum bisa disebut sebagai sahabat. Apa kau memata-mataiku?” tanyaku.

Luc terkekeh mendengar pertanyaanku. Ia menggeleng sambil menegakkan punggungnya di sandaran kursi.

“Ini pertemuan kita yang ke-4. Dan tidak, aku tidak pernah memata-mataimu. Aku hanya... tahu saja. Entahlah, pokoknya aku tahu semua hal tentangmu dengan cara ... begitu saja.”
Ia terus menatapku dengan lembut.

“Aku tahu banyak hal tentang dirimu, Aletha. Kesukaanmu, warna favorit, makanan favorit, minuman favorit, semuanya. Aku bahkan juga tahu kalau kau alergi pada beberapa makanan tertentu. Jika muncul alergi, kau sering merasa lidahmu mati rasa. Ya, kan?”

Aku melongo. Astaga, ia benar.

“Terlalu sering memimpikanmu rupanya membuatku secara otomatis mengenal dirimu.” Ia bergumam satir.

“Nah, itu yang aku ingin tanyakan,” cetusku.
“Aku ingin tahu bagaimana caranya kau bisa lepas dari mimpi-mimpi tentang diriku?” tanyaku polos.

“Aku tidak pernah lepas dari mimpi-mimpi itu.” Ia menjawab cepat.

Aku ternganga.
“Maksudmu, selama ini kau juga masih memimpikan tentang ... diriku?”

Luc mengangguk.
Ia menelan ludah dan menatapku nyaris tak berkedip.
“Setiap malam.” Ia kembali menjawab.
“Setiap malam aku selalu memimpikanmu, Aletha...”

Kedua mata kami kembali bersitatap sesaat sebelum akhirnya kami sama-sama membuang pandangan kami ke tempat lain.

Ah, tiba-tiba saja situasi menjadi sedikit aneh.

Aku di sini, bersama seorang laki-laki yang terus hadir dalam mimpiku, dan ternyata ia juga memimpikanku.

Oh, apakah kami juga memimpikan hal yang sama?

Kami sebagai sepasang kekasih, saling membisikkan kata-kata cinta, berciuman, bercumbu, bercinta dan ...

Ya Tuhan, apa ia juga bermimpi seperti itu tentangku?

“Dan sepertinya kita mempunyai mimpi yang sama.” Luc memecah keheningan.

Dan kata-katanya sukses membuat kerongkonganku kering.

Entah kenapa udara di ruangan tersebut terasa pengap. Panas. Padahal aku yakin Air Conditioner di ruangan tersebut berfungsi dengan baik.

Demi menghilangkan kecanggungan, aku meraih segelas air putih di hadapanku dan menghabiskannya dengan sekali teguk.

“Aku masih tak mengerti dengan apa yang terjadi di antara kita. Ini, terlalu mustahil untuk diterima akal sehat,” desisku kemudian.
“Tak apa-apa. Pelan-pelan kau akan memahaminya.”
“Tidak. Aku tak ingin paham. Aku hanya tahu bahwa aku sudah menikah, aku mencintai suamiku, dan kami hidup bahagia. Itu saja, titik,” jawabku jengah. “Dan aku ingin keluar dari mimpi-mimpi buruk ini, secepatnya, dan selamanya,” lanjutku.

Terbawa oleh emosi, tanpa sadar aku bangkit, menarik kursiku ke belakang, dan aku mulai berjalan mondar-mandir dengan gusar.

“Kau takkan bisa membayangkan apa yang terjadi denganku. Setiap hari aku selalu bangun dengan perasaan hancur! Hampir setiap malam aku menyaksikanmu mati. Aku melihatmu dihajar, disiksa, dan ... dan aku melihat mayatmu, tepat di hadapanku dengan mengenaskan! Bisa kau bayangkan itu? Aku bahkan tidak tahu siapa kau. Tapi... tapi aku hancur ketika kau mati! Aku---”

“Kau pikir aku tak mengalaminya?” Luc juga bangkit.

Ia berjalan menghampiriku.
“Aku juga mengalaminya, Aletha. Mimpiku sama buruknya dengan mimpimu!” Kedua mata lelaki itu berkaca-kaca.

“Aku ingat kita sedang berjalan-jalan di sebuah taman dengan bahagia. Tapi kemudian orang-orang itu berusaha memisahkan kita. Kita berusaha kabur, tapi mereka berhasil mendapatkanmu. Mereka menyeretmu pulang, dan ... mereka nyaris membunuhku. Aku bersusah payah melarikan diri, aku bersusah payah menemuimu kembali. Namun ketika aku sampai di rumahmu, kau sudah tak bernyawa. Mereka bilang kau mengakhiri hidupmu sendiri!” Ia nyaris berteriak.
“Bisa kau bayangkan perasaanku? Aku sama hancurnya dengan dirimu!” Dan kristal bening itu mengumpul di sudut matanya.

Aku ternganga.

"Tunggu. Kau bilang aku... apa? Mati? Di mimpimu, aku juga mati?"

Luc mengangguk. "Ya, dan aku menangisimu hampir setiap malam."

Aku menelan ludah.
“Aku tak tahu bagian yang itu,” ucapku lirih.

“Oh ya? Mungkin sebentar lagi kau akan tahu.”

Luc beranjak, membuang pandangannya ke luar jendela dan berdiri membelakangiku.
Sejenak aku mendengar ia menarik napas berat lalu menyugar rambutnya dengan asal.
Ia berbalik menatapku dan kulihat air matanya menitik.
“Hampir setiap malam aku menangisimu, Aletha. Dan keesokan paginya aku selalu bangun dengan perasaan hancur, sakit. Bisa kau bayangkan itu?” Bibirnya bergetar.

Dan entah kenapa, aku merasa iba. Menyaksikan pria itu menangis dan rapuh, hatiku terasa diiris.

Perlahan aku melangkah mendekatinya. Dan tanpa bisa kucegah, kusentuh pipi pria itu dengan lembut. Kusapu air mata di pipinya dengan jemari.

Dan aku memeluknya. Membiarkan ia menangis di dekapanku.

***

Aku sampai di rumah pukul 4 sore dan terlalu terkejut mendapati suamiku sudah berada di sana. Ini untuk pertama kalinya ia pulang seawal ini. Biasanya ia selalu sampai di rumah jam 7 atau jam 8 malam.

Lelaki itu sudah duduk-duduk di depan ruang tengah, di depan TV yang menyala.

“Kau sudah pulang?” Aku menyapa terlebih dahulu seraya berjalan menghampirinya  kemudian mendaratkan ciuman ringan di bibirnya.

“Aku sudah pulang sejak sejam yang lalu,” jawabnya.

“Kenapa tiba-tiba pulang lebih awal? Ada sesuatu?” tanyaku sambil meletakkan tasku di meja counter lalu berjalan menuju kulkas untuk mengambil minuman dingin.

“Tidak ada apa-apa. Kebetulan saja memang tak banyak pekerjaan sehingga aku bisa pulang lebih awal,” jawab Will.

Aku menuangkan air dingin ke gelas lalu meminumnya dengan pelan.

“Kau dari mana?”
“Dari tempat kerja. Kau pikir dari mana?” jawabku, cuek.

Will bangkit dan menatapku.
“Aku menelpon Emma dan dia bilang kau menghilang dari tempat kerjamu sejak jam makan siang,” ucapnya.

Aku nyaris tersedak.
“Dari mana saja kau?” Nada bicara Will terdengar kesal.

Ada apa ini? Tak biasanya dia seperti ini?

“Aku membuat janji dengan seorang psikiater,” jawabku kemudian.

Will menatapku dengan tatapan tak percaya. Lelaki itu menarik napas berat dan kembali menatapku.

“Jangan berbohong padaku, Aletha. Aku tahu kau menemui lelaki itu,” ucapnya kemudian.

Aku terhenyak.
“Apa maksudmu? Lelaki siapa?” Alisku bertaut.
Will kembali menarik nafas berat.
“Aletha, aku lelah. Aku lelah dengan semua cerita konyolmu. Tentang mimpi burukmu, tentang psikiater, aku... lelah. Bicaralah jujur padaku dan aku akan memaafkanmu,” jawabnya kemudian.

Aku ternganga.
Kuletakkan gelas di meja lalu kutatap lelaki di hadapanku itu dengan tajam.

“Bicaralah yang jelas, Will. Kenapa aku harus berbohong? Dan kenapa kau harus memaafkanku?” Aku mulai kesal.

“Karena kau memang membohongiku!” Kali ini Will berteriak.

“Selama ini kau berpura-pura bermimpi buruk. Kau berpura-pura mengalami tekanan mental. Itu hanya alibimu saja agar kau bebas bertemu dengan lelaki itu. Ya, kan?”

Aku membelalak. “Aku tak mengerti dengan apa yang kau bicarakan?” Aku juga nyaris berteriak.

“Aku tahu semuanya. Aku tahu selama ini kau bertemu lelaki itu. Lelaki bernama Luc. Lelaki yang setiap malam kau sebut namanya. Aku juga tahu hari ini kau menemuinya.”

Aku menelan ludah dan menggigit bibirku dengan kesal. Ya Tuhan, kesalahpahaman apa lagi ini?

Setelah Emma berpikir aku mempunyai hubungan spesial dengan Luc, sekarang suamiku pun berpikiran begitu?

“Jadi maksudmu, selama ini kau memata-mataiku?” Aku mendesis.

“Aku tak punya pilihan! Kau bertingkah aneh sejak kita menikah. Setiap malam kau mengaku mimpi buruk. Tapi dalam tidurmu kau selalu menyebut nama Luc. Bisa kau bayangkan itu? Kau menyebut nama lelaki lain - di ranjangku!”

“Aku benar-benar mimpi buruk! Dan aku tak sadar menyebut nama itu!”

Kami bersitegang.

“Aku sudah mengecek panggilan telponmu, dan selama ini kau berusaha menghubunginya, kan? Kau bahkan beberapa kali menemuinya. Sekarang apa lagi alasanmu? Ingin menggunakan alasan mimpi buruk lagi? Atau berpura-pura mencari psikiater?”

Aku menatap Will dengan nanar.
“Jadi kau juga mengecek semua panggilan telponku?” Gigiku terkatub, marah.

“Kau yang memaksaku melakukan ini, Aletha.” Ia menjawab tegas.

Aku bergerak mendekatinya dan memukul-mukul dadanya dengan acak.

“Bedebah kau! Kau lebih percaya mata-matamu sendiri daripada aku? Istrimu sendiri?”
“Karena kau tak membiarkanku mempercayaimu!”
“Aku tak pernah punya hubungan spesial dengan lelaki itu!”
“Aku tak percaya!”
“Aku bahkan baru bertemu dengannya beberapa kali!”
“Kau bohong!”
“Aku tidak berselingkuh dengan siapapun!” Aku kembali berteriak.

“Sudah kubilang, asal kau bicara jujur padaku, aku akan memaafkanmu. Dan kita bisa memulai lagi hidup kita dengan baik!”

“Aku tidak berselingkuh!” jeritku.

Aku mendorong tubuhnya dengan kasar, lalu berjalan menuju anak tangga.

“Kita belum selesai bicara!” Will berteriak seraya mengikuti langkahku.

“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kau toh tak percaya dengan semua kata-kataku.” Aku terus berjalan dan Will terus mengekoriku.

“Aletha...”

Ia berusaha menarik tanganku tapi aku menepisnya dengan kasar. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat menaiki anak tangga menuju kamarku. Dan Ia terus saja mengikutiku.

Ketika hampir sampai di anak tangga paling akhir, lagi-lagi ia berusaha menarik tanganku.

“Aletha...”
“Enyah kau!” teriakku marah.
Reflek, aku berbalik dan mendorong tubuhnya.

Dan, tidak.

Aku tidak bermaksud melakukannya. Aku hanya ingin menyuruhnya pergi.

Tapi aku tak menyadari bahwa aku mendorong Will terlalu kuat hingga ia terhuyung, kakinya terpeleset, dan segera tubuhnya meluncur jatuh melewati anak tangga.

Aku menjerit ketika melihat tubuhnya berdebum di lantai.

“Will!!” Aku berteriak dan berlari menuruni anak tangga. Kakiku terasa lemas ketika menyaksikan  kepalanya berlumuran darah, dan ... ia tak bergerak.

“Ya Tuhan, apa yang kau lakukan?!!”

Suara itu membuatku menoleh. Tampak Edward, kakak lelaki Will, muncul dari pintu ruang tamu.

Lelaki yang lebih tua 5 tahun dari suamiku itu berlari ke arah kami dan segera ia berlutut di sebelah tubuh Will yang tak bergerak.

“Apa yang kau lakukan? Apa kau ingin membunuhnya?!” Edward kembali berteriak.

Aku merasakan tubuhku gemetar.
“Aku---" Kata-kataku tertelan kembali.

“Cepat telpon ambulans!” Ia terus berteriak sambil sesekali mengumpat ke arahku.

Dengan gugup aku berlari ke arah meja telpon, dan segera memanggil ambulans.

°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro