06. Remember Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku duduk dengan gusar di ruang tunggu sambil sesekali meremas-remas tanganku sendiri. Edward berdiri di dekat pintu ruang operasi. Wajahnya juga terlihat cemas luar biasa. 

Sudah hampir satu jam Will ada di ruang operasi, tapi belum ada tanda-tanda dokter selesai melakukan pekerjaannya. Mereka bilang, Will mengalami luka parah di kepalanya.

Oh Tuhan ...

“Aku sudah memanggil polisi. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu,” ucap Edward seraya berjalan mendekatiku.

Aku mendongak dan menatapnya dengan bingung.

“Apa maksudmu?” tanyaku heran.

“Aku melihatmu mendorong tubuh adikku. Ini termasuk percobaan pembunuhan,” jawabnya.

Aku terbelalak.
“Aku tidak sengaja melakukannya. Kami bertengkar dan ... semuanya terjadi begitu saja,” sergahku.

Edward terkekeh sinis.
“Kau pikir aku percaya? Aku bahkan mengira kau sudah merencanakan ini semua. Kau pasti telah merencanakan untuk menghabisi adikku agar kau bisa berhubungan bebas dengan selingkuhanmu itu,” ucapnya lagi, sinis.

Aku melotot.

“Apa yang kau bicarakan?!” Aku berteriak sembari bangkit dan menatap lelaki di hadapanku itu dengan tajam.

“Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah tahu kau punya affair dengan lelaki itu. Will berkeluh kesah padaku, ia menceritakan segalanya padaku. Mulai dengan sikapmu yang aneh sejak kau menikah, sampai cerita tentang mimpi-mimpi burukmu. Ia curiga bahwa kau punya selingkuhan. Dan ternyata ia benar, kau melakukan pertemuan diam-diam dengan lelaki lain,” ujar Edward lagi.

Aku merasakan pening mendera kepalaku. Astaga, kenapa semua semakin rumit seperti ini?

“Aku curiga, jangan-jangan kau tidak pernah mencintai Will. Jangan-jangan kau menikahinya hanya untuk mengeruk uangnya saja.”

Ucapan lelaki itu membuat dadaku bergejolak.

Aku tahu sejak awal keluarga Will tidak menyukai pernikahan kami. Karena seperti apa yang Edward duga, aku hanya perempuan matre yang berniat mengeruk uang Will saja.

Will lelaki yang amat mapan dan dari keluarga kaya raya, sementara waktu itu, aku hanya pekerja biasa yang tidak punya gaji tinggi.

Tapi, demi Tuhan, dugaan seperti ini terlalu kejam. Aku menikahi Will karena aku mencintainya, bukan karena hal yang lainnya.

“Aku tidak serendah itu!” bentakku.

Lelaki itu menatapku dengan jijik.
Belum sempat aku mengatakan sesuatu, beberapa polisi datang dan menghampiri kami.

Dan Edward serius dengan ucapannya!
Ia ingin memasukanku ke penjara!

“Maaf, Nyonya, ikutlah dengan kami. Kami menerima laporan bahwa anda bertanggung jawab atas apa yang menimpa suami anda.”

Aku menggeleng lirih.
“Ini kesalahpahaman. Aku tidak berniat melukainya. Kami bertengkar, dan ... dia terjatuh dari tangga. Aku tidak bermaksud melukainya!” Aku berteriak kalap.

“Silahkan jelaskan di kantor polisi saja, Nyonya.”

Aku berbalik ke arah Edward lagi. Tapi lelaki itu hanya menatapku tanpa belas kasihan.

Selanjutnya aku hanya bisa berteriak dan meronta ketika dua orang polisi menarik lengan tanganku dengan paksa.

Tepat ketika kami hampir sampai di pintu keluar, Emma muncul dari sana.
Perempuan itu menatapku dan menatap ke arah polisi dengan bingung.

“Aletha, ada apa ini?” Ia nampak gugup.

“Em, hubungi pengacaraku! Oke? Hubungi pengacara!” Aku berteriak, berulang-ulang, sebelum  polisi itu  membawaku keluar dan memasukkanku ke dalam mobil patroli.

°°°

Dan serpihan-serpihan mimpi itu mulai menyatu. Aku seolah menonton film layar lebar dengan diriku ada di dalamnya...

°°°

....
....
....

Inggris, abad ke-15.

Aletha bertemu pertama kali dengan sosok itu di perkebunan ayahnya, di suatu sore yang indah, di bawah sinar mentari yang keemasan.

Pertama kali bertemu dengannya, ia tahu sosok itu hanyalah Serf, setengah budak. Tapi Aletha tak bisa menyembunyikan ketertarikan akan dirinya.

Luc, pemuda miskin yang  bekerja di perkebunan ayahnya. Sopan, memikat,  tangguh dan pekerja keras. Pertama kali melihat dirinya, dunia Aletha seperti berhenti berputar. Ia bahkan berhenti bernapas selama sekian saat. Ia begitu ... terpesona.

Dan ia tahu bahwa pemuda bermata indah itu juga mengalami hal yang sama. Semua terlihat ketika tatapan mata mereka beradu. Sorot mata Luc tak bisa berbohong bahwa ia juga terpikat padanya.

Aletha sering datang ke perkebunan hanya untuk bertemu dengannya. Mereka saling curi pandang, saling melempar senyum. Hingga akhirnya, di suatu sore, hari kesepuluh, Luc menyapanya.

“Selamat sore, Nona. Saya ... Luc. Saya baru bekerja di sini selama hampir dua minggu.” Ia menyapa dengan sopan. Aletha tersenyum.

“Ya, aku sudah tahu namamu,” jawab Aletha. Dan ia tak berbohong. Ia memang sudah bertanya tentang nama pemuda itu pada dua orang pengasuhnya.

“Anda ... sangat cantik.” Luc memuji hingga pipi Aletha merona.
“Terima kasih,” jawabnya sopan.

Dan segalanya bermula. Mereka tak bisa menampik bahwa mereka saling mencintai satu sama lain.  Hingga mereka memutuskan untuk sering bertemu, secara sembunyi-sembunyi.

Strata mereka yang terlalu jauh berbeda membuat pertemuan mereka tak bisa dilakukan secara terbuka.

Mereka sering bertemu di pinggir danau yang berada cukup jauh dari perkebunan ayahnya. Atau terkadang, mereka bertemu di pondok kecil kosong yang berada di dekat hutan. Pondok kayu yang biasanya digunakan tempat mampir oleh para pemburu, namun sudah lama tempat itu tak digunakan lagi.

“Aku tak bisa seperti ini terus, Luc. Aku akan bicara pada ayah tentang hubungan kita. Bahwa aku mencintaimu, bahwa kita saling mencintai. Kita tak bisa sembunyi-sembunyi seperti ini seumur hidup kita.” Aletha mengeluh pada Luc, di suatu sore berkabut. Ketika mereka kembali bertemu di pondok tua di pinggir hutan.

Luc menatap perempuan yang teramat ia cintai itu dengan bingung.

“Aku takut ayahmu  tidak akan menyetujui hubungan kita. Aku hanya seorang budak, dan ...”
“Jika ayah menolak merestui kita, ayo kawin lari,” potong Aletha mantap.

Luc menyentuh pipi Aletha dengan lembut.
“Kawin lari tidak akan cocok untuk seorang putri bangsawan,” desisnya parau.
“Dan aku tak peduli.” Aletha melingkarkan tangannya di leher Luc, lalu menghadiahinya sebuah ciuman lembut. Dan ia sudah mantap, nanti malam ia akan bicara jujur pada ayahnya bahwa ia jatuh cinta pada Luc. Dan ia hanya akan menikah  dengannya, tidak dengan lelaki manapun.

Namun, sesuai perkiraan Luc, Ayah Aletha tidak menyetujui hubungan mereka.

"Kau harusnya menikah dengan seorang Knight atau Vassal, bukan dengan budak sepertinya!" Ayah murka.
Lelaki tambun itu bahkan menyuruh beberapa orang untuk menyeret Luc ke penjara dan menghajarnya. Sementara ia juga mengurung Aletha di dalam kamar bak tahanan.

Merasa frustrasi, Aletha tak kehilangan akal untuk menyuruh penjaga kepercayaannya membantu membebaskan Luc dari penjara, lalu menitipkan pesan untuknya agar menunggunya di pondok tua di pinggir hutan. Sementara ia sendiri, setelah bersusah payah, ia berhasil kabur dari kamarnya.

Mereka bertemu keesokan malamnya di tempat yang telah mereka sepakati, di pondok tua dekat hutan. Tapi ternyata pelarian itu tetap tak membuahkan hasil. Orang-orang suruhan ayah Aletha terus menerus mengejar mereka.

Mereka berhasil membawa paksa Aletha dan menghajar Luc, melukai tubuhnya, lalu mendorongnya ke jurang.

Aletha melihat sendiri dengan kedua matanya ketika tubuh pemuda itu dihajar, ditendang, dan didorong ke jurang dengan sadis.

Dan ia merasa hancur.

Terlebih lagi ketika beberapa hari kemudian, mereka membawa sesosok mayat yang diyakini adalah Luc.

Aletha berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok itu bukan Luc. Tapi walaupun sesosok mayat itu sudah membusuk dan tak bisa dikenali, baju yang ia kenakan... baju itu nyaris sama dengan baju pemuda tersebut.

Dan sejak kejadian itu, Aletha seperti kehilangan gairah hidup. Ia hanya menghabiskan waktunya mengurung diri di kamar. Dan menolak makan.

Ayahnya sudah berusaha membujuk dan menghiburnya dengan segala cara. Tapi semua seolah sia-sia.

Dan di suatu sore, ketika ibunya mengantarkan makanan ke kamarnya, gadis itu merebut pisau buah dari tangannya lalu mengarahkan ujung pisau itu ke kerongkongannya sendiri.

“Aletha!? Apa yang kau lakukan?” Ibunya berteriak histeris.

Aletha tersenyum kecut.
“Maaf, Ibu. Aku terlalu mencintainya. Jika dia mati, aku juga,” jawabnya parau.

“Aku hanya berharap, kelak jika aku dilahirkan kembali, semoga aku dilahirkan sebagai rakyat biasa agar aku bebas mencintai siapapun yang ingin kucintai.” Air matanya menitik.
“Selamat tinggal, Ibu ...”

Dan hanya dengan sekali gerakan, Aletha menghujamkan pisau itu ke tenggorokkannya sendiri.

Gadis itu ambruk, bersimbah darah, tak bergerak.

---------

Luc membuka mata dan mendapati dirinya berada di sebuah pondok kecil di pinggir hutan. Seorang lelaki tua ada di sana bersamanya.

“Oh, kau sudah sadar? Aku menemukanmu pingsan di pinggir sungai.” Lelaki tua itu menyapa.

Sambil meringis, Luc bangkit dan duduk. Tubuhnya yang luka telah dirawat dengan sempurna. Tapi kakinya ...

“Kakimu patah. Aku hanya bisa memberinya papan. Mungkin kau akan cacat selamanya.” Lelaki itu kembali berkata. Luc kembali meringis.
“Terima kasih karena telah menolongku,” ucapnya tulus.
“Sama-sama.” Lelaki itu mengulurkan mangkok berisi bubur ke depan Luc. “Makanlah agar kau segera sehat.”
“Terima kasih.” Pemuda itu kembali berkata.

“Siapa kau? Apa kau terjatuh ke jurang begitu saja?”

Luc tak segera menjawab. Lelaki tua itu menangkap tatapan was-was di matanya yang tajam.
“Tidak apa-apa. Aku hanya petani biasa. Bahkan jika kau seorang buronan, aku tak akan melaporkanmu. Aku akan tetap menolongmu sebagai sesama manusia.” Ucapan lelaki tua itu membuat Luc lega.

“Aku memang buronan,” jawab Luc kemudian. Ia tak tahu kenapa ia bicara jujur padanya. Tapi instingnya mengatakan, orang tua di hadapannya adalah orang baik. Ia takkan menyerahkan hidupnya pada ayah Aletha.

“Kejahatan apa yang kau lakukan? Mencuri? Merampok?”

Luc tak segera menjawab. Ia mengambil sendok dan mulai memakan bubur di mangkok dengan perlahan.
“Aku memacari putri seorang bangsawan,” jawabnya kemudian.

Lelaki tua yang tengah sibuk menata peralatan memancing itu mendongak dan menatap Luc dengan heran.

“Woa, sepertinya aku pernah mendengar cerita ini. Kau berasal dari kota?”
Luc mengangguk.
“Apa putri bangsawan itu Nona Aletha, putri dari Lord Raff?”

Bola mata Luc membulat. “Dari mana anda tahu?”
Lelaki itu mengangkat bahu.
“Orang-orang di pasar bergosip tentang kisah kalian. Mereka ramai bercerita tentang kisah cinta antara seorang budak dan anak majikan. Aku turut berduka cita atas kematian kekasihmu,” jawab lelaki tua tersebut.

Luc urung memasukkan sesendok bubur ke mulutnya.
“Kematian ... siapa?” Ia bertanya bingung.

Lelaki tua yang terlihat kurus itu juga terlihat bingung. Nampak ada penyesalan di raut wajahnya.
“Oh, aku lupa kalau kau tak sadarkan diri selama beberapa hari. Dan ... maaf jika aku harus menyampaikan berita duka ini padamu.”

Luc merasakan dadanya berdebar. Ia sudah menduga ada yang tidak beres.

“Nona Aletha sudah meninggal. Kata orang-orang, perempuan itu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ia ... meninggal seketika.”

Sendok kayu di genggaman Luc terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Wajahnya pucat pasi.
“Aletha... meninggal?” Suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.

Lelaki tua itu bangkit mendekati Luc lalu menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
“Aku turut bersedih,” ujarnya.

Luc mendongak dan menatap lelaki di sampingnya - yang bahkan belum ia ketahui namanya itu - dengan tatapan pilu.

“Itu bohong, kan?” bibirnya bergetar. Air matanya menitik tanpa bisa ia bendung.

Lelaki tua itu menggeleng.
“Dia sudah meninggal. Ia bahkan sudah dimakamkan beberapa hari yang lalu. Aku tahu itu karena waktu itu aku sedang berada di kota untuk menjual hasil pertanian. Pemakaman itu dihadiri banyak orang, banyak bangsawan.” Ia mengelus punggung Luc karena pemuda itu nampak syok luar biasa.

Dan selanjutnya yang ia dengar adalah sebuah tangisan pilu dari pemuda yang pastinya akan mengalami cacat fisik seumur hidupnya.

------------

Sosok itu berjalan terseok-seok menyusuri jalanan berbatu yang licin. Kakinya yang patah tak menyurutkan niatnya untuk terus melangkah. Walau ia kesakitan, ia terus tertatih.

Sepanjang jalan, sosok lelaki yang dipenuhi luka itu terus saja menangis sesenggukan. Hatinya remuk, menangisi kekasihnya, kekasih yang telah meninggalkan ia di dunia ini. Selamanya.

Aletha.

Luc nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia tak percaya berita bahwa perempuan itu telah meninggal. Demi untuk membuktikan bahwa berita kematian Aletha adalah salah, ia meminta pada lelaki tua yang telah menolongnya dari kematian untuk mengantarkannya ke kota.

Secara sembunyi-sembunyi ia menemui Bhean, pengasuh kepercayaan Aletha. Dan yang disampaikan perempuan setengah baya itu benar-benar membuat hidupnya hancur.

Aletha sudah meninggal, bunuh diri. Pengasuh itu bahkan membawa Luc ke makamnya.

"Aku tak mengira kau masih hidup, Luc. Ayah nona Aletha membawa pulang sesosok mayat. Nona Aletha pikir itu adalah kau. Dia hancur, putus asa dan... akhirnya ia memutuskan untuk... mengakhiri hidupnya." Bhean terisak.

Luc mematung di depan makam Aletha. Dan pemuda itu terisak, meratapi kematian kekasihnya.

Lelah menangis, Luc meninggalkan tempat itu dengan terseok.

Dan di sinilah ia akhirnya.

Tempat terakhir di mana ia bertemu dengan perempuan tersebut. Tempat terakhir ia memeluknya erat sebelum perempuan itu diseret paksa untuk pulang, dan sebelum para penjaga ayah Aletha menghajarnya lalu mendorongnya ke jurang.

Sekarang, di sinilah ia.
Menangis, sesenggukan.
Patah hati.
Hancur.

Dan ... memutuskan untuk mati.

....
....
....

°°° 

Aku terbangun dengan napas tersengal. Sel tahanan yang pengap tak mampu menahan tubuhku dari keringat. Peluh membanjiri wajahku, seluruh badanku.

Aku seperti seseorang yang baru saja tersadar dari amnesia.

Mimpi itu seperti memberikan sebuah gambaran yang jelas tentang masa laluku, tentang aku, tentang Luc, tentang kisah kami.

Air mataku menitik.

Luc.

Entah kenapa tiba-tiba saja aku ingin bertemu dengannya.

Sangat.

***

“Ada pengunjung untukmu.” Sipir itu membuka pintu sel tahanan dan memintaku keluar. Aku bangkit dari tempat tidur dan segera beranjak. Kukira itu adalah pengacaraku, ternyata bukan.

“Emma?” sapaku ketika melihat sahabatku itu di ruang kunjung. Aku menghambur ke arahnya dan kami berpelukan.

“Bagaimana keadaanmu?” Emma membimbingku untuk duduk di kursi kayu yang ada di ruangan tersebut. Aku mengangkat bahu frustasi.

“Aku berada di tahanan selama hampir 2 x 24 jam, mereka menginterogasiku tentang suatu tuduhan kejahatan yang mereka sangkakan padaku dan aku baru bertemu pengacaraku satu kali saja. Jadi jika kau mau tahu keadaanku, well, aku tidak baik-baik saja,” jawabku sambil mengusap kepalaku.

“Bagaimana keadaan Will?” tanyaku lagi.
“Masih sama. Ia belum sadarkan diri,” jawab Emma. Aku mendesah. Perempuan itu beringsut mendekatiku dan menggenggam tanganku tanpa ragu.
“Katakan padaku sebenarnya apa yang terjadi? Kau tidak benar-benar melakukannya, kan? Kau tidak ....”

Aku menggeleng. “Aku tidak mencelakai Will secara sengaja dan aku juga tidak berselingkuh dengan Luc. Jadi jika Edward bercerita seperti itu padamu, jangan percaya padanya,” sanggahku.

Emma tampak ragu menatapku. Aku kembali menggeleng.
“Aku tidak akan mungkin merencanakan suatu pembunuhan untuk menghabisi Will, Em. Kau tahu bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu,” tegasku.

“Lalu ... kau dan Luc?”

“Aku mencintainya.”

Kalimat yang meluncur dari mulutku sukses membuat Emma ternganga.
“Jadi maksudmu, kau dan ... dia ...”
“Aku mencintainya, tapi aku tak punya affair dengannya,” potongku.

Aku ingin menceritakan kepada Emma perihal ‘ingatanku’ yang seolah kembali, tapi kemudian aku urung melakukannya.

Aku sendiri bingung kenapa aku harus memberitahu padanya bahwa aku mencintai Luc. Ini seperti pengakuan bunuh diri!

“Aletha...” Emma memanggilku lirih. Ia bangkit dan mondar-mandir sesaat lalu menatapku.
“Aletha, tolong jangan membohongiku. Bicaralah jujur tentang apa yang terjadi padamu, pada Luc, dan pada Will. Kau mengatakan bahwa kau tak mencelakai Will, tapi kau mengakui bahwa kau mencintai Luc. Ada apa denganmu? Aku mengenalmu sebagai perempuan setia, tapi sekarang--” Perempuan itu tampak kecewa. Dan aku tak bisa menampik bahwa ia kecewa karenaku.

Aku menyandarkan punggungku di kursi.
“Aku bertemu dengan Luc beberapa kali. Kami mengobrol, kami bersahabat. Dan itulah yang terjadi. Aku jatuh cinta  padanya.” Aku berbohong.

Hanya cerita seperti ini yang mampu kuceritakan pada Emma. Aku tidak mungkin menceritakan padanya bahwa aku dan Luc adalah reinkarnasi sepasang kekasih  ratusan tahun yang lalu.

Pasti itu terdengar konyol.

“Will curiga bahwa kami berselingkuh, dan kami mulai ribut. Kami bertengkar, aku berlari ke kamar, ia mengejarku, lalu ia terpeleset di anak tangga dan ia terjatuh,” jelasku.

Emma menatapku tak percaya.
“Aku bertemu kakak Will dan ia sedang menyiapkan tuntutan ganda padamu. Tidak hanya pasal percobaan pembunuhan, tapi juga perselingkuhan. Ia bilang ia punya bukti bahwa kau terlibat affair dengan Luc sehingga kau berniat menghabisi suamimu sendiri,” ucapnya.

Aku mendesah, lelah. Aku memijit kepalaku yang berdenyut. “Tidak seperti itu, Em. Tidak ...” desisku.

Emma terus menatapku lekat. Dan aku tahu, tatapan matanya menyiratkan ketidak percayaan padaku.

Dia tak mempercayai ceritaku.

***

Malam semakin larut dan aku tak yakin pukul berapa tepatnya. Tapi aku baru saja memejamkan mata ketika tiba-tiba pintu sel terbuka, beberapa lelaki bertubuh tegap masuk dan langsung menyergapku. Aku tak sempat meronta. Mereka membekap mulutku dengan sapu tangan yang telah di olesi dengan – sesuatu – entahlah,  hingga membuatku lemas tak berkutik.

Berada di antara alam bawah sadar, samar-samar aku bisa merasakan mereka membopongku dan membawaku entah kemana.

***

to be continued

Note:
Lord adalah pemilik tanah, biasanya seorang bangsawan dari keluarga raja atau kalangan agamawan (uskup, biarawan)

Serf atau penggarap tanah ialah petani yang mengerjakan lahan pertanian dengan status setengah budak

Vassal atau Knights adalah adalah kaum bangsawan yang memberikan jasa (umumnya dalam bentuk dukungan militer) kepada Lord dengan imbalan berupa tanah yang disewakan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro