Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Yura! Kenapa kamu tinggalin Tian sendirian di rumah?" ujar Raga kesal saat melihat Yura pulang dari belanja. Padahal Yura pergi juga tidak lama, kalau menunggu Tian bangun, mereka bisa kelaparan tidak makan malam.

"Aku udah tinggalkan note untuk Tian." Raga terlihat marah sekali, jika masalah putranya, dia bisa jadi macan melihat Tian ditelantarkan.

"Note? Note apa? Tian itu nangis-nangis ditinggal kamu sendiri di rumah, kamu terlaluan banget sih pergi tanpa Tian." Raga sedikit membentak membuat Yura tergemap. Dia yang biasa lebih bawel dari Raga, hanya bisa terdiam seperti patung. Bahkan matanya berkaca-kaca, rasanya hati Yura terenyuh saat dibentak pria satu ini.

"Ga, aku minta maaf. Aku hanya pergi beli bahan makanan sebentar." Raga tak peduli Yura ke mana dan berapa lama pergi, baginya wanita ini tetap bersalah.

"Paling tidak kamu bisa telpon aku, atau tunggu aku pulang kan bisa." Yura menundukkan kepalanya sesal. Raga benar, harusnya dia menunggu Raga pulang. Gara-gara Yura, Tian menangis, mungkin dia harus minta maaf dengan Tian.

Dibentak Raga seperti ini, benar-benar menyayat hati Yura. Daripada semakin sesak, dia pun pergi ke dapur. Perlahan Yura mengeluarkan satu persatu isi belanjaannya.

"Apaan tuh bentak-bentak? Emangnya gua mau apa tinggalkan Tian sendiri. Hiks. Gua benci sama Raga!" Wanita ini menggerutu sendiri dengan kesal, parahnya dia menangis. Yura kan paling enggak bisa dibentak, namanya juga perempuan, hatinya lembut.

Setelah itu Yura mengusap air matanya dengan kasar, dia nggak mau lah sampai Raga melihatnya menangis, bisa besar kepala suaminya, lebih bahaya kalau kepedean mengira Yura sudah mulai cinta. Enggak banget.

"Hayo, Papi ngapain ngintip-ngintip?" ternyata dari tadi sih Raga mendengar Yura menyerocos sendiri. Namun bocil ini menganggu dan mengejutkannya. Dia pun langsung menggendong Tian menjauh dari Yura.

"Shutts. Diam ah, nanti ketahuan tante Yura." Raga menurunkan putranya perlahan, sesekali dia menoleh ke arah dapur untuk memastikan jika Yura tidak melakukan hal yang sama seperti dirinya. Hehe.

"Emangnya kenapa, Pi?" tanya Tian polos. Bocil ini sama sekali tak mengetahui Raga memarahi tante kesayangannya.

"Tian, jawab Papi dengan jujur ya. Benaran kamu enggak lihat note saat bangun tidur." Tian mendadak bingung.

"Enggak!" Tian ngaku enggak ada, tapi istrinya kukuh bilangnya ada, terus sekarang siapa yang harus Raga percaya. Tian atau Yura kan berharga untuknya. Membentak Yura seperti tadi membuatnya merasa bersalah.

"Benaran?" ah, berpikir positif aja deh. Mungkin kertasnya tertiup, dan jatuh tak tahu ke mana. "Tian, mau bantu Papi?" Tian mengangkat kedua alisnya. Bocah ini enggak keberatan, asalkan bayarannya mahal. Biar kecil gini mata duit juga, uangnya enggak Tian pakai aneh-aneh kok, anak ini kan selalu menabung, dari dulu tuh Tian pengen banget sekolah di asrama, tapi ya gitu Alfira melarang, karena enggak bisa jauh katanya. Di rumah perhatian juga enggak, kalau sekolah asrama kan dia bisa punya banyak teman.

"Bayarannya?"

Raga menghela napas kasar, sudah bisa dia tebak sih, Tian enggak jauh dari uang. Mana mau yang gratisan, sama persis dengan emaknya. Apa-apa duit, bedanya Alfira suka pakai uangnya enggak tentu arah, salutnya Tian enggak gitu.

"Iya-iya. Itu gampang, Papi transfer ke rekening kamu." Raga mengeluarkan ponselnya, tidak menunggu lama, pria ini mentransfer uangnya. Kecik-kecil gini, tabungan Tian udah banyak lho.

"Papi keren." Tian melonjak kegirangan, sebentar lagi tabungannya akan semakin gendut.

"Papi sendiri dirampok," cerocos Raga menggelengkan kepalanya. Kecil-kecil otaknya udah kayak mafia.

"Kata Mami enggak ada yang gratis di dunia ini. Mau bantuan harus bayar dong." Setiap hari Raga membuat kesalahan, mungkin setiap hari juga dia dirampok.

"Iya-iya bawel. Tugas Tian harus kasih semua bunga ini sama tante Yura, dan ajak tante Yura makan malam di luar."

"Kita mau makan malam di luar, Pi?" tanya Tian antusias. Akhirnya dia makan malam di luar juga. Di rumah Alfira, dia hanya makan di rumah terus, sampai bosan. Maminya itu enggak pernah di rumah, dia jadi enggak bisa jalan-jalan. Terakhir jalan minggu lalu, itu juga Raga yang mengajak.

"Iya. Sekalian kita ke mall. Kalau kamu berhasil, Papi tambahin bayarannya." Tian melompat-lompat senang. Dia langsung meraih bungket bunga besar di sofa. Untung Raga setiap pulang kerja membawa bunga, dia masih usaha dapatkan cinta Yura.

Tian pun beraksi menuju dapur sambil membawa bungket besar di tangannya. Bungket bunga ini bisa menutupi wajahnya.

Yura yang masih menyusun sayur mayur, ikan, ayam, dan bahan lainnya di kulkas. Saat menutup pintu kulkas, ia terjenggit melihat bungket bunga, tapi sepertinya bukan Raga, pendek gini tubuhnya.

"Astaga, Tian buat Tante kaget tahu, untung Tante enggak jantungan." Tian terkekeh geli. Raut muka Yura seperti melihat penampakan saja, dia kan bukan setan kecil.

"Hehe. Maaf ya Tante. Ini bunga buat Tante, cantik kan, sama kayak Tante." Masih kecil sudah bisa jago menggoda, jangann sampai besar sama kayak bapake yang playboy.
Yura tersenyum mengambil bungket itu, walaupun ia tahu bunga ini pasti dari Raga. Enggak mungkin lah dari Tian.

"Hummm... Tante mencium bau aroma apa ya? Kamu pasti ada maunya, kan." Tian menyengir menampakam gigi putihnya. Anak ini bergelendotan manja kepadanya.

"Tante, kita dinner yuk." Yura tertawa geli mendengar ajakan Tian. Anak sekecil ini mengajaknya dinner.

"Ih Tante kok malah ketawa sih. Jawab iya gitu," ucap Tian tak sabar menunggu jawabannya, kalau Yura nolak, bisa gagal dapat uang tambahan.

"Papi yang suruh, kan." Yura sebenarnya masih kesal sama Raga, tapi dia enggak tega menolak ajakan Tian, sepertinya anak begitu semangat. Kasian juga.

Tian mengganguk.

"Iya, Tante. Kasian papi bunganya enggak pernah Tante terima ya, habis itu kita dinner, sekalian ke mall, Tante. Papi janji mau ngajak aku main di mall." Semakin enggak enak hati Yura mau menolaknya.

Yura mengambil bunga dari Tian, biasanya kan ia selalu buang ke tempat seharusnya. Namun untuk pertama kali menerimanya.

"Jadi jawaban Tante apa? Iya atau enggak?" Yura menghempaskan napas panjang, dia mengangguk pasrah.

"Iya, Tante mau kok." Tian sontak jingkrak-jingkrak kegirangan. Ya namanya juga anak kecil, kalau dengar namanya mall pasti senang lah. "Tapi, ada syaratnya loh."

"Apa?"

"Tante maunya duduk di belakang sama kamu, enggak mau sama papi." Syukur-syukur Yura mau pergi kan, daripada dia menolak malah membuat Tian kecewa, kalau bukan Tian yang minta, dia ogah mau pergi, sama Raga pula.

"Tante boleh duduk di mana aja. Yang penting kita pergi." Yura lega dengarnya, paling tidak dia enggak bengis-bengis amat harus satu mobil dengan Raga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro