2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa?" Eadgard bertanya lagi. Dia duduk bersisian dengan Fatimah yang terus saja menundukkan kepalanya dalam. Fatimah sudah selesai mandi, dia kali ini menggunakan pakaian serba merah muda berikut juga jilbabnya. Tubuhnya dibalut jaket tebal. Semua yang dipakai Fatimah saat ini, adalah pemberian Eadgard. "Kau tahu itu berbahaya, Nak? Tuan akan benar-benar membunuhmu kalau sampai dia menemukanmu.

"Dia benar-benar benci pada semua orang Palestina tanpa pandang bulu. Bergabung dengan pasukan militer hanya kamuflase agar dia bisa membunuh tanpa dihukum. Dia berperang bukan untuk Negara atau Tuhan kami seperti pasukan militer yang lain. Dia membunuh untuk kepuasan pribadi, untuk kesenangan dirinya sendiri."

Fatimah menggigit bibir bawahnya sendiri. Dia kian merasa bersalah karena sudah membuat Pamannya semakin cemas seperti sekarang ini.

"Jelaskan pada Paman, Fatimah, kenapa kau melanggar aturan yang Paman berikan?"

"Aku hanya ingin membuatkan sesuatu untuk Paman." Fatimah terisak. Gadis dengan mata jernih itu menyeka airmatanya dengan punggung tangan putihnya. Dia merasa sesak. Semua yang dia lakukan sia-sia. "Aku tidak bisa memberikan Paman apa pun, selain karena tidak punya uang. Aku juga tidak bisa keluar dari rumah ini sama sekali."

Eadgard memandang gadis di sisinya tidak mengerti. Kenapa dia ingin memberikan sesuatu untuknya? Dia tidak pernah mengharapkan apa pun dari Fatimah. Melihat gadis itu aman dan nyaman saja, sudah lebih cukup untuknya.

"Paman ulang tahun hari ini. Karena aku pikir Tuan sedang sibuk dengan kekasihnya, aku bisa membuat kue diam-diam sebagai hadiah." Fatimah menjelaskan dengan suaranya yang parau. Eadgard tampak terkejut. "tapi aku bukan hanya sudah mengacaukan semuanya. Tuan nyaris menemukanku. Aku lagi-lagi merepotkan Paman, dan kuenya justru dimakan oleh Tuan."

Tangisan Fatimah semakin keras. Beruntung karena kamarnya berada di paling ujung, sehingga Eadgard tidak perlu khawatir Lufius akan mendengar isak tangisnya.

Eadgard menghela napas, dia tersenyum tipis kemudian menepuk puncak kepala Fatimah sekali. Mereka berbeda keyakinan, tapi tidak sekali pun berusaha saling mengintimidasi. Eadgard menyayangi Fatimah seolah gadis itu adalah darah dagingnya sendiri, dan Fatimah pun, memperlakukan Eadgard layaknya ayah sehingga berani mengambil resiko hanya demi untuk menyenangkannya.

Mereka berbeda bangsa. Mereka berasal dari dua Negara yang tengah bersitegang memperebutkan teritorial yang masing-masing menganggap bangsa mereka lah yang paling berhak mendapatkannya. Seharusnya, mereka saling membenci. Tapi tidak ada sedikit pun rasa kebencian di dalam hati Eadgard untuk gadis yang terus saja menangis karena tidak bisa memberinya kado. Fatimah pun terlihat amat tulus, dia menyayangi Eadgard tanpa sedikit pun niat buruk terselip dalam setiap tingkah yang dia perbuat.

"Aku ingin memberi Paman kado ..." ucap Fatimah disela-sela tangisnya. Eadgard tersenyum tipis dibuatnya. Dia merasa terharu. Fatimah melangkah sejauh ini hanya demi menyenangkan hatinya.

"Baiklah. Bagaimana kalau malam ini kita rayakan ulang tahun Paman?" Eadgard bertanya semangat. Tangisan Fatimah seketika itu juga terhenti. Dia menatap Eadgard tidak mengerti.

"Dirayakan?"

"Yah." Eadgard mengangguk. Dia mendapat ide. Dia berkata, "Malam ini Tuan akan keluar bersama beberapa temannya dan Nona Eadda. Itu artinya, selama beberapa jam rumah ini hanya akan ditempati kita berdua. Kita bisa membuat cake bersama mulai nanti sore. Biasanya, Tuan akan pulang lewat tengah malam."

"Benar kah?" Fatimah berseri-seri. Mata birunya berkilauan saking senangnya.

"Tentu saja." Eadgard mengangguk. "Jadi, Khumaira, berhentilah menangis. Kau benar-benar cantik saat menggunakan pakaian pink begini."

"Paman selalu memanggilku Khumaira setiap kali aku menggunakan pakaian merah muda." Fatimah tersenyum malu-malu. "Aku senang, itu adalah panggilan sayang Rasulullah pada salah satu istrinya."

"Benar kah?"

"Yah." Fatimah mengangguk. "Berbeda dengan pendapat beberapa orang tentang Rasulullah yang menikahi banyak perempuan. Beliau tidak menikahi mereka karena napsu seperti yang beberapa orang tuduhkan. Nabi Muhammad Saw, menikahi para janda dan wanita tua karena suami mereka telah gugur di medan perang. Beliau menikahi mereka untuk menjaga kehormatan mereka semua."

"Lalu?"

"Satu-satunya gadis atau perawan yang Rasulullah nikahi hanya Aisyah ra." Fatimah mengatakannya malu-malu. "Khumaira."

"Kau sangat mengagumi Nabimu." Eadgard tersenyum tipis. Jika Fatimah yang bicara, tidak ada rasa kesal di dalam hatinya sama sekali. Dunia kian bergolak karena perselisihan antara satu keyakinan dan keyakinan yang lain. manusia berhasil dimonopoli oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab sehingga mereka saling membenci. "Dan namamu, bukan kah nama dari anak salah satu Nabimu, Nak?"

"Yah!" Fatimah mengangguk antusias. Tidak menyangka Eadgard akan mengetahuinya. "Fatimah diambil dari nama Puteri Rasulullah Saw. Ibu dari Hasan dan Husein."

"Kau pasti sangat senang memiliki nama itu."

"Sangat-sangat senang." Fatimah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Eadgard ikut senang melihatnya. Gadis itu cepat sekali berubah emosinya. Sesekali dia lupa, kalau Fatimah memang gadis remaja. "Nama itu diberikan oleh Ayah."

Nadanya berubah sendu.

"Ayah, berharap aku suatu hari nanti tumbuh menjadi wanita sehebat Putri Rasulullah."

"Ayahmu tidak salah memberimu nama itu." Eadgard mengulum senyum. Mengerti kesedihan yang dirasakan Fatimah saat ini. "Kau tumbuh menjadi gadis yang amat kuat, tegar, dan ikhlas menerima keadaan. Menjalani takdir yang diberikan Tuhan.

"Kau memiliki hati yang sangat bersih."

"Paman." Fatimah memanggil lirih. Wajah sembabnya kembali basah. "Rasulullah Saw, memiliki seorang ayah angkat, dia adalah pamannya sendiri. Yang mengurusnya dari kecil hingga beliau dewasa. Beliau bernama Abu Thalib, ayah dari Ali bin Abu Thalib.

"Dia sangat menyayangi Rasulullah Saw, sekali pun mereka berbeda keyakinan. Begitu juga sebaliknya, mereka sama-sama menghargai dan memberi toleransi. Mereka saling menyayangi, bahkan Rasulullah meneteskan airmatanya saat pamannya itu meninggal." Fatimah menyeka airmatanya. "Pamannya selalu melindungi Rasulullah dari orang-orang yang membencinya.

"Sekarang, aku mungkin bisa sedikit mengerti dengan apa yang Rasulullah rasakan." Fatimah tersenyum senang. Sekali pun airmata terus saja membanjiri kedua pipinya. "Tidak, mungkin aku lebih beruntung. Setidaknya Beliau dan pamannya memiliki hubungan darah. Aku dan Paman bahkan tidak saling mengenal sebelumnya. Tapi Paman mau merawatku, Paman bahkan selalu melindungiku.

"Setiap malam aku berdoa untuk keselamatanmu, semoga umurmu panjang sehingga kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk bersama. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau sampai aku kehilanganmu? Aku benar-benar menyayangimu, Paman. Sangat menyayangimu."

"Begitu juga dengan Paman, Fatimah." Eadgard mengelus kepala Fatimah penuh sayang. Sorot lembut khas seorang ayah dia berikan. "jadi jangan pernah melakukan hal senekad itu lagi. Berjanjilah pada Paman, tadi siang untuk pertama dan terakhir kali."

"Aku janji." Fatimah mengangguk cepat. Dia bersumpah, tidak akan membuat Eadgard lebih mengkhawatirkannya lagi.

***

"Tuan akan pergi sekarang?" Eadgard bertanya. Lufius yang sedang menuruni tangga mengangguk. Dia menggunakan setelan jas hitam yang amat pas di tubuhnya. Sepertinya lagi-lagi pria lajang itu akan menghadiri sebuah pesta. Dia terlihat jauh lebih rapi dan tampan di banding penampilannya sehari-hari.

Lufius sampai di tangga paling dasar, dia mengedarkan pandangannya, seperti sedang mencari sesuatu hal lalu kembali melemparkan tatapan datarnya pada Eadgard yang berdiri di sisinya. "Aku mungkin akan pulang pagi."

"Tentu. Saya akan menjaga rumah dengan baik." Eadgard mengangguk. Ini berita yang cukup bagus. dia dan Fatimah akan lebih leluasa menghabiskan banyak waktu. "Selamat bersenang-senang."

"Hm." Dua kaki panjang miliknya berjalan santai, menyusuri lantai marmer berwarna cokelat yang tampak mengkilap bersih. Lufius masih melemparkan tatapan curiga pada sekeliling. Dia tahu ada yang aneh dengan rumah ini.

Dia merasakan sesuatu yang berbeda.

Dan hal itu, memang dia rasakan semenjak Satu tahun belakangan ini. Setiap kali dia mengunjungi rumahnya yang ada di Haifa, dia sadar suasananya sedikit berbeda. Seperti ada orang lain selain mereka. Hanya saja, selama ini dia memang membiarkannya.

Belum lagi, Eadgard juga terlihat jauh lebih waspada.

Tetapi-

Lufius tersenyum miring, dia merogoh saku celananya dan mengambil kunci mobilnya. Membuka pintu utama rumahnya kemudian keluar berjalan menuju mobilnya.

Kita lihat saja nanti. Sampai kapan misteri ini akan bertahan tidak bisa dirinya pecah, kan? Heh?

Aku tahu birumu bukanlah ilusi.

Aku tahu kau bukan hanya sekedar imajinasi.

Aku bisa membedakan yang mana delusi dan reality.

Umpan diperlukan untuk mendapatkan ikan ...

Waktu dibutuhkan untuk mengupas kenyataan ...

Aku akan mendapatkanmu~

Hanya menunggu beberapa saat lagi ...

Yah, kuyakin tidak akan terlalu lama lagi ...

***

Dia sedikit mencurigakan ...

Eadgard sedikit menggelengkan kepalanya. Tidak seharusnya dia berpikir yang tidak-tidak. Sikap aneh Lufius tadi mungkin hanya karena percakapan mereka tadi siang. Bisa saja Lufius masih penasaran, tentang sosok bermata biru yang dirinya cari.

Mendengar deru mobil Lufius meninggalkan halaman rumah, Eadgard tampak bisa bernapas lega. Akhirnya, Fatimah memiliki waktu untuk bersantai selama beberapa saat. Gadis itu sepertinya sudah tidak sabar ingin bisa keluar kamar. Dan begitu memasuki dapur, Eadgard sudah disuguhkan Fatimah yang terngah tersenyum lebar, duduk di kursi makan –menunggunya.

"Kau sudah siap memasak, Nak?"

"Yah." Fatimah mengangguk antusias. "Aku akan memasakan makanan yang paling enak untuk Paman."

"Bagaimana kalau kita membuat kue tar?"

"Ya!" Fatimah berseru senang. Eadgard segera menggulung lengan kemeja putihnya, dia mengambil celemek berwarna biru gelap di dalam lemari, kemudian mengenakannya. Fatimah tertawa kesenangan ikut menggunakan celemek juga.

"Oke, pertama keluarkan telur, margarin, tepung, gula, dan yang lainnya." Eadgard memberi komando. Fatimah bergegas menghampiri kulkas. Dia membuka pintunya kemudian mengambil semua bahan yang diperlukan untuk membuat kue. Eadgard menatap Al-Qur'an yang Fatimah letakkan di atas meja, dia menoleh menatap punggung Fatimah yang sibuk bergelut di depan kulkas sebentar sebelum akhirnya terkekeh.

Gadis itu ...

"Fatimah, kenapa kau membawa Al-Qur'an ke dapur? Nanti kotor."

"Tidak apa-apa. Nanti, aku ingin membaca salah satu surat untuk Paman." Fatimah berkata tanpa menoleh sama sekali. "Dulu, Ibu bilang suaraku sangat enak didengar saat membaca Al-Qur'an, Paman mau coba mendengarku?"

"Boleh saja." Eadgard mengangguk. Dia jadi begitu mudah menganggukkan semua hal yang Fatimah inginkan. Khas seorang ayah yang terlalu memanjakan puterinya. "Tidak ada sihirnya bukan?" imbuhnya sambil bergurau.

"Tentu saja tidak ada." Fatimah berbalik dan cemberut. Eadgard tertawa. "Lagipula, Paman belum tentu juga bisa memahaminya."

Ya-ya-ya." Eadgard menggeleng tidak habis pikir. apa pun lah. selama itu bisa membuat Fatimah senang, apa yang salah dengan mendengarkannya bukan? "Paman akan mendengarkanmu membacanya. Pastikan saja suaramu bagus dan enak didengar."

"Tentu saja." Fatimah mengangguk antusias. Dia membawa semua bahan membuat kue lalu dia letakkan di atas meja bar. "Adikku, selalu tidur setiap aku membaca Al-Qur'an untuknya."

"Bagus. Kebetulan Paman memang sering mengalami insomnia." Eadgard tertawa. Bersama Fatimah, dia selalu merasa bahagia. "Ah, kau memberi warna yang baru untuk hidup Paman."

"Hm. Ayo kita mulai membuat kuenya." Fatimah lagi-lagi menggebu. Tidak sabar merayakan ulang tahun Eadgard yang tidak lama lagi akan melewati jamnya.

***

Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam. Eadgard tampak mendengarkan dengan senyuman yang terus terukir. Ternyata memang benar, suara Fatimah terdengar lebih lembut saat dia tengah membaca kitab suci kebanggaannya. Lagi-lagi, Fatimah menggunakan pakaian serba hitam kesukaannya. Pakaian merah mudanya terpaksa diganti karena kotor sehabis memasak.

Mereka duduk di kursi makan. Saling berhadapan. selesai makan, Fatimah langsung membacakan surat Yusuf untuknya. Eadgard merasa suara gadis itu adalah suara paling merdu di dunia.

Fatimah tenggelam di dunianya sendiri, Eadgard pun nyaris tertidur di atas kursi. Sampai akhirnya lantunan ayat-ayat suci Fatimah terhenti, gesekkan antara sebuah benda tajam dan dinding cukup mengganggu konsentrasi. Keduanya tersentak, saat seseorang yang kini berdiri di ambang pintu dapur, tampak mengukir seringaian mengerikan.

"Oh, jadi ini alasan kenapa setiap kali aku pulang ke rumahku ini selalu merasa mual?"

Eadgard dan Fatimah berdiri, mereka mundur beberapa langkah. Eadgard menyembunyikan Fatimah di balik punggungnya, masih shock karena kedatangan Lufius yang tiba-tiba.

Bukan kah Tuannya itu akan pulang menjelang pagi? Demi Tuhan, ini masih pukul delapan malam. Apa yang harus mereka lakukan?

Lagipula, kenapa mereka tidak mendengar suara deru mobilnya?

Fatimah, meringkuk ketakutan di balik punggung sang Paman.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro