3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tuan-"

"Kau mengecewakanku, Eadgard." Lufius mendesis. Eadgard gemetaran merasakan kemarahan sang Tuan. Ujung pedang di tangan kanannya berdecit, meninggalkan garis memanjang di lantai dapur yang terbuat dari pualam. "Kau menyembunyikan seekor Palestina di rumahku, heh?"

"Tuan-"

"Menyingkir." Lufius berkata mutlak. Mata hijaunya berubah nyalang. Pedang itu sudah siap dia lemparkan. "Kau lupa siapa mereka? Mereka itu teroris, pembunuh, pembantai, pendiskriminasi. Mereka benar-benar makhluk hina. Tidak seharusnya kau menyembunyikan mereka di kediamanku. Hei! Apa yang sudah kau lakukan pada pelayanku? Kau mencuci otaknya sehingga dia melakukan semua yang diperintahkanmu?"

Fatimah tidak menjawab. Dia mendekap Al-Qur'an semakin erat. Dia berkeringat, dia ketakutan. Dan dirinya tidak memiliki pilihan selain diam.

"Eadgard, jika kau tidak menyingkir. Kau pun akan mati sia-sia."

"Dia berbeda." Eadgard berusaha menjelaskan. Kedua kakinya gemetaran. Kemarahan Lufius saat ini bahkan terlihat jelas dengan cara dia menatap mereka. Lufius akan kehilangan akal sehatnya, dia pasti akan membunuh Fatimah dengan cara yang amat keji. "Dia orang baik, Tuan. Saya mohon biarkan dia tetap hidup."

"Kau tahu sebenci apa aku pada mereka bukan?" Lufius mendesis. Dia mulai kehilangan kesabaran. Pelayannya, salah satu orang yang dia percaya. Kini mengkhianatinya dan menyembunyikan seseorang yang paling membuat seorang Lufius anti di rumahnya sendiri. "Kau tahu tidak ada toleransi bagiku untuk mereka."

"Tuhan mengajarkan kita untuk saling menyayangi dan memaafkan." Eadgard berusaha bernegosiasi. Membunuh seseorang yang tidak memiliki daya untuk melawan bukanlah suatu hal yang terpuji. "Tuhan akan murka jika Tuan membunuh seseorang yang sama sekali tidak berdosa dan tidak bisa melawan."

"BAHKAN HIDUPNYA PUN ADALAH SEBUAH DOSA!!!" Lufius berteriak berang. Tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Zamrud itu kian memerah, cengkeraman di pedangnya menguat dengan urat-urat yang kian menonjol. "KELAHIRANNYA ADALAH SEBUAH DOSA, NYAWANYA ADALAH DOSA! NAPASNYA ADALAH DOSA! SEMUA YANG ADA DALAM DIRI MEREKA ADALAH DOSA!!!"

"Tuan-"

"Menyingkir dari hadapanku sebelum aku benar-benar hilang kendali dan membunuhmu!" Lufius bahkan tidak memberikan Eadgard kesempatan untuk bicara. Sejak tadi dia terus saja memotong setiap kali pelayannya membuka suara.

Tidak akan dia maafkan. Tidak akan diampuninya seorang pun Palestina yang sudah menghancurkan hidupnya. Membuat dia hidup dalam kegelapan tiada akhir, membuat hatinya lebur karena sang ayah yang telah gugur. Membuat masa depannya tidak memiliki gairah selain membunuh seperti sekarang.

Mereka semua~ akan Lufius hancurkan.

"Paman ..." panggilan itu lirih, Eadgard menoleh, menatap wajah basah Fatimah yang justru mengukir senyuman hangat. Fatimah tetap tegar sekali pun jelang-jelang menuju kematiannya. Dia sadar tidak bisa melawan, melarikan diri pun dirinya tidak punya tujuan. Karenanya, akan lebih baik kalau dia pasrah sekarang. Setidaknya, Paman yang sangat dia sayangi akan dimaafkan kalau menyingkir dan membiarkan Lufius menghabisinya. "Tidak apa-apa. Minggirlah."

"Fatimah-"

"Kumohon Paman." Fatimah memohon. Isak tangis lolos dari bibirnya. Mungkin ini memang menjadi akhir dari kehidupannya. Dia tidak pernah menyangka akan mengalami kematian yang benar-benar dramatis. Dia akan dibunuh oleh seseorang yang selalu dirinya kagumi, heh? Seseorang yang sangat dia cintai. "Minggirlah."

Tapi~ bukan kah sejak awal Fatimah sudah mempersiapkan dirinya? Dia yakin, entah hari ini atau lusa, pasti akan mati di tempat ini. Walau dia cukup terkejut, karena akan berakhir di tangan sosok pria yang dia selamatkan.

Eadgard menyingkir, maju beberapa langkah sebelum akhirnya Lufius menarik kerah bajunya kemudian melemparnya ke sudut ruangan. Pekikkan kesakitan lolos dari bibirnya, Fatimah yang berlari hendak menolongnya tidak bisa berkutik saat Lufius menarik jilbabnya, menjambak rambutnya yang diikat dan tertutupi sehelai kain saja.

"Sampah sepertimu selama ini berlindung di bawah kakiku, heh?" Lufius mendesis. Fatimah merintih menahan sakit. "Katakan, kau ingin aku lenyapkan secara perlahan, atau sekali penggal nyawamu menghilang?"

Tubuh gadis itu begitu kecil. Lufius sama sekali tidak melihat wajahnya, sejak tadi tangannya yang terulur hanya menarik kuat-kuat rambut Fatimah dari balik jilbabnya, posisi Fatimah saat ini tengah membelakanginya. Tangan mungil kanan putihnya mencengkeram pergelangan tangan besar milik Lufius. Begitu lembut dan lemah. Berusaha mengurangi siksaan namun tidak menghasilkan apa-apa.

"Katakan!"

"Kau pikir hanya dengan membunuhku kau merasa kuat, Tuan?" Fatimah mendesis, dia menjerit kesakitan saat tubuhnya didorong paksa membuatnya menubruk sisi meja, kepalanya menghantam meja kaca itu sampai retak. Perutnya bergolak mual. Fatimah terbatuk-batuk. Dia berbalik dan terduduk lunglai di lantai, kepalanya tertunduk dalam. Dia kehilangan nyaris seluruh tenaganya hanya dalam satu lemparan.

Lufius tersenyum senang. Dia merasa menang.

Untuk pertama kalinya, pedang kesayangannya yang dia beli dari Negeri sakura itu akan dia cuci menggunakan darah. Darah dari seseorang yang satu keturunannya akan dia benci seumur hidupnya.

Raut wajahnya semakin mengerikan. Ketika menggenggam senjata, sosoknya memang terlihat mirip dengan psikopat.

"Kau benar-benar layak." Fatimah menggumam. Dia terkekeh membuat Lufius mengangkat sebelah alisnya heran. Gadis itu bisa tertawa padahal tidak lama lagi akan dia lenyapkan, hah? Sepertinya, kewarasannya menghilang duluan.

"Huh?"

"KAU LAYAK DIPANGGIL PENGECUT!" Fatimah berteriak. Dia mengangkat wajahnya dan balas menatap Lufius berang. Darah mengucur dari pelipis kanannya, menembus jilbab hitamnya, menyusuri pipi putihnya. Bahkan-

Mata Lufius melebar.

Cairan merah itu, melewati ekor mata si pemilik berlian sejernih samudera tanpa polusi.

Mata itu ...

Lufius nyaris tersedak, lidahnya membelit. Dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Kenapa harus dia? kenapa biru yang dicarinya justru milik seseorang yang harus segera dia lenyapkan?

Semua yang terjadi membuat Letnan Abigayle bingung. dia berkedip, yang ada dalam kepalanya saat ini hanya satu hal. Satu perintah-

"Lepaskan jilbabmu." Lufius berkata parau. Genggaman pedang di tangannya semakin erat. "Lepas kebangsaanmu, dan aku akan mengampunimu." Emosinya berubah dengan cepat hanya dengan sekali bertatap wajah. Kemarahan yang meluap di balik dada hilang sirna hanya karena permata biru yang kemungkinan besar memang gadis itulah yang siempunya.

Dia mengenyahkan pemikiran Tuhan tidak adil karena sudah mengirimkan sosok malaikatnya dengan wujud dan darah keturunan Palestina. Tapi mungkin untuk kali ini dia bisa memberikan toleransinya. Asal Fatimah menyerah dan mengikuti perintahnya. Dia akan mengampuninya.

Dia akan tetap membiarkan gadis itu hidup berlindung di bawah kekuasaannya.

"Lepaskan."

Lakukan itu kumohon.

Lufius menahan napas. Berharap gadis di depannya menuruti keinginannya. Dia tidak ingin mengotori tangannya dengan darah seorang gadis bermata biru. Biru yang benar-benar jernih seperti mata seseorang yang selalu hadir dalam mimpinya, menjadi objek halusinasinya.

"Sayangilah nyawamu." Lufius berkata dengan nada yang lebih dingin. Diamnya Fatimah, membuat pikirannya kian kalut. "Lepaskan semuanya, dan kau akan tetap aman di tempat ini."

"Bunuh saja aku." Fatimah tersenyum mengejek. Di tengah kesadarannya yang kian menipis, dia memeluk Al-Qur'an dalam dekapannya semakin erat. Imannya tidak tergoyahkan, kecintaannya pada Tuhannya, jauh lebih besar daripada cintanya pada kehidupannya yang kelam, "dan biarkan aku tetap mati sebagai seorang Muslimah, aku akan tetap mati sebagai seorang Palestina."

"Kematianmu, akan sangat menyakitkan ..." Lufius tidak sabaran. Matanya memerah saat biru itu tepat menusuknya ke mata. Membuat sekujur tubuhnya terasa kaku dan tidak berguna. Dia tidak bisa beranjak dari tempatnya. "Untuk apa kau memegang teguh sesuatu hal yang menyedihkan? Tidak kah nyawamu jauh lebih berharga."

Lufius menahan napasnya. Dia benar-benar dihadapkan pada dilema.

"Lepaskan jilbabmu, dan aku akan membiarkanmu tetap hidup. Kau akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Uang, harta, dan identitasmu akan aku samarkan. Semuanya akan jauh lebih baik kalau kau menyerah saja."

"Maka bunuhlah saja aku." Fatimah berkata tegas. Tidak nampak keraguan sedikit pun dalam setiap kata yang sengaja dia tekan. "Bunuh aku."

Lufius nyaris hilang akal. Dia hanya bisa menatap Fatimah dengan tatapan hampa. Menatap mata birunya yang tidak memancarkan ketakutan sedikit pun atas intimidasi yang dia lakukan. Sama seperti pemilik biru yang Satu tahun lalu ditemuinya. Tidak takut dan kehilangan cahayanya berada di tengah perang yang menghilangkan nyawa banyak orang.

Mata itu ... Lufius menelisik sepasang bola jernih milik Fatimah yang nyaris tidak berkedip melemparkan tatapan menusuk padanya.

Begitu mempesona. Wajah cantiknya terlihat begitu sempurna. Bibirnya terus saja mendesis garang padanya. Seolah mengejeknya, karena apa pun yang dia katakan, sama sekali tidak bisa mengubah persepsi yang Fatimah pikirkan tentang dirinya.

Tidak seharusnya seorang Lufius terpesona. Tidak seharusnya dia tenggelam dalam manik biru seorang gadis asal Palestina. Lantunan kalimat syahadat terus gadis itu lantunkan. Suara merdunya nyaris membuat Lufius lupa diri akan keangkuhan gadis muslimah yang bersikukuh mempertahankan identitasnya.

Dia adalah tikus kecil yang bersembunyi di dalam rumahnya.

Dia berasal dari bangsa yang sangat dibencinya dan penyebab kematian orangtuanya. Dan sebagai Letnan dari pasukan pengintai elite sayeret matkal, tidak seharusnya debaran ini dia berikan padanya. Tidak seharusnya letnan muda dengan wajah aristrokat itu terpikat hanya dengan sekali lihat.

"Yah, kami teroris, kami pembantai, kami pembunuh, hina, pendiskriminasi, seperti apa yang anda katakan barusan, Letnan Lufius Abigayle dari Sayeret matkal."

Lufius terdiam, cengkeraman pedangnya kian menguat, keraguan mengusik kata hatinya. Dia sangat ingin mengakhiri semuanya, dia ingin membungkam mulut gadis yang terus saja melemparkan ucapan sinis padanya. Tapi, dia tidak bisa membunuhnya. Kedua tangannya tidak bisa dia gerakkan untuk mendekati gadis itu apalagi untuk menebas kepalanya.

"Tapi-" Fatimah tersenyum menantang. "Bukan kah kalian sama saja? Saat ini, kalian dan kami juga tidak ada bedannya. Kalian membunuh, membantai banyak di antara kami bahkan sekali pun kami tidak bisa menggenggam senjata. Anak-anak terpisah dari orangtua mereka, para wanita menjadi janda karena suami mereka kalian bunuh dengan kejamnya. Tua-muda kalian siksa. Lantas, apa yang mendasarimu sehingga kau merasa jauh lebih baik dari pada kami? APA YANG MENDASARIMU SEHINGGA KAU MERASA JAUH LEBIH SUCI DAN BERHAK HIDUP DI DUNIA INI DARIPADA KAMI?

"JAWAB AKU, LETNAN ABIGAYLE!!!"

Lufius terdiam. Airmata itu, mengalir semakin banyak. Bercampur dengan darah dari pelipis Fatimah yang terus menyusuri pipinya. Banyak. Darahnya keluar banyak. Lufius menelan ludah susah payah, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokkannya mendadak kering. Lidahnya benar-benar kaku.

"Orangtuaku, adikku, kakakku, mereka semua terbunuh Satu tahun yang lalu." Fatimah menepuk-nepuk dada kanannya, mengadu, seolah bagian itulah yang terluka. Dia menangis histeris. Untuk pertama kalinya dia menangis sekeras itu selama setahun ini.

Eadgard terpaku, tidak pernah dia melihat sisi Fatimah yang begitu lemah seperti ini sebelumnya. Tidak pernah sekali pun Fatimah menunjukkan sisi terburuknya, bagian luka di hatinya yang kian membusuk tanpa obat. Tanpa seorang pun bisa melihat apalagi menyentuhnya.

"Kami akan makan bersama, merayakan ulang tahunku yang keenam belas. Aku pulang sekolah terlambat, dan datang semuanya hancur." Fatimah menceritakan penderitaannya. Kalimatnya benar-benar kacau. Hal mengerikan yang dia lihat Satu tahun sebelumnya. Kematian semua orang yang dia cintai di depan mata. Dan dia, satu-satunya orang yang tersisa. Keluarganya, tidak ada yang bersedia mati mengajaknya.

"Ibu, Ayah, mati. Adikku dan kakakku tertimbun bebatuan dan tidak bernapas lagi. Kacau. Kenapa kalian menyerang kami di hari ulang tahunku? Tidak bisa kah berbelas kasih walau hanya sedikit saja?" Fatimah menatap Lufius memelas. Lufius lagi-lagi menelan ludah. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa.

Gadis itu mendekap Al-Qur'annya semakin erat. Berusaha meredam gejolak membara yang nyaris saja membakarnya.

"Lalu aku menemukan seseorang di dekat rumahku malam itu. Rumahku yang hancur, menyisakan kamarku saja." Fatimah tersenyum tipis. Matanya sudah membengkak. Dia menghela napas dan memejamkan matanya rapat. "Dia seorang perwira, dia tentara Israel yang mengalami luka parah. Tapi dia masih bernapas. Tangan dan kakinya sedikit terbakar. Luka di dadanya menganga. Dia sepertinya terkena sayatan pedang."

Lufius melebarkan matanya. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Jadi memang dia? Memang Fatimah yang sudah menyelamatkannya? Mata biru yang begitu terang dan dirinya lihat sebelum pingsan ternyata memang nyata.

"Aku membiarkan jasad keluargaku. Dan aku membawa perwira itu masuk ke dalam kamarku yang tersisa. Butuh tenaga yang kuat memang. Karena sebelum menyeretnya masuk ke dalam kamar, aku harus menyingkirkan banyak bebatuan yang menghalangi pintu." Fatimah bercerita dengan nada sendu.

"Ayahku seorang Dokter. Sengaja pindah ke Gaza untuk membantu warga sipil yang terluka. Kami melakukan semuanya Lillahi ta'ala. Aku belajar sedikit–banyak cara melakukan pertolongan pertama dari beliau. Luka di dada perwira itu, aku jahit hanya dengan peralatan seadanya, yang tersisa di puing-puing rumah. Dia tetap bernapas. Itu adalah pertama kalinya aku menjahit luka seseorang. Karena saat itu aku memang tidak punya pilihan. Suatu keajaiban dia bisa bertahan hidup padahal kehilangan banyak darah. Dia orang yang sangat kuat."

Lutut Lufius gemetar. Dia menyentuh luka vertikal yang ada di dada kirinya dan kini terbungkus kemeja. Jahitannya begitu dalam, sehingga bekasnya tidak akan pernah hilang. Mengingatkan dia akan tragedi yang nyaris menghilangkan nyawanya, mengingatkan dia pada mata biru yang begitu menenangkannya membuat dia melupakan segala rasa sakitnya.

"Tenanglah ... jangan banyak bergerak, aku akan berusaha mengobatimu, aku akan melindungimu."

Suara merdu itu adalah suara sang gadis yang saat itu tengah menyentuh sebelah pipinya. Mata birunya terlihat lembut namun kosong diwaktu yang bersamaan. Suara yang membuat dia berhenti merintih kesakitan layaknya domba sekarat. Suara yang membuatnya bisa memejamkan mata, dan melupakan semua hal yang terjadi di sekelilingnya untuk beberapa waktu.

Dia akan berusaha mengobatinya ...

Dia bilang dia akan melindunginya ...

Tapi kenapa Lufius tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas?

"Aku menggeledah semua yang ada di pakaian perwira itu. Menemukan sebuah ponsel, dan yang kutemukan hanya satu nomor saja. Walau bagaimana pun, tempat kami saat itu benar-benar berbahaya. Semua warga sipil yang bisa diselamatkan mengungsi. Aku Tiga kali menolak keras meninggalkan rumahku saat beberapa orang membujukku agar ikut pergi. Aku sadar, ada satu nyawa yang masih bisa kulindungi. Setidaknya, walau tidak bisa menyelamatkan keluargaku, kemampuan yang kumiliki ada gunanya untuk orang lain."

Lufius terduduk. Dia menatap gadis di depannya dengan tatapan kosong. Gadis ini, bukan hanya sudah melindunginya. Fatimah bahkan mempertaruhkan nyawa demi keselamatannya. Dia ada di garis depan, berada di tempat yang paling mengerikan, saat ledakan dan senjata terus bergumuruh saling bersahutan.

Demi dia?

Demi seorang Lufius yang mungkin merupakan pembunuh dari anggota keluarganya yang tidak tahu apa-apa?

"Aku menghubungi nomor itu. Tersambung pada Paman Eadgard." Fatimah menelan ludah. Dia tersenyum pedih. "beberapa hari, aku hanya memakan biskuit yang kusimpan di dalam lemari. Air mineral yang masih bisa diminum di bawah puing menjadi akomodasi bagiku agar bisa tetap hidup dan menjaga pasienku. Tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku menyembunyikan seorang perwira di kamarku. Sampai akhirnya, Paman Eadgard datang menjemput pria itu. Aku bernapas lega.

"Saat itu, seseorang melihatku ketika tengah malam Paman Eadgard mengeluarkan pasienku dari kamarku. Orang yang berdiri di balik tembok menatapku benci, namun tidak bisa melakukan apa pun sama sekali. Aku mengerti, setelahnya, aku pasti akan dibunuh karena dianggap pengkhianat Negara sendiri. Apalagi, saat aku mengetahui yang kutolong adalah seorang Letnan. Letnan dari pasukan pengintai elite sayeret matkal."

Fatimah terkekeh, dia memejamkan matanya rapat, memori Satu tahun lalu memang selalu berhasil membuatnya terluka. Seberapa kuat pun dia berusaha bersikap tegar, tetap saja dia tidak bisa membohongi diri. Dia terluka, amat dalam. Luka yang kian membusuk dan terus berusaha dia bersihkan sendiri dengan mendekatkan diri pada Illahi.

Innalillahi wa inna illaihi raji'un. Semua yang berasal dari-Nya, akan kembali pada-Nya.

Suatu hari nanti Fatimah pun akan menyusul keluarganya pergi. Dia berusaha bersikap optimis, bahwa dibalik semua kesedihan yang dia rasakan, ujian yang Allah berikan, akan ada sesuatu yang indah menunggunya di masa depan.

Entah itu di dunia, atau pun di akhirat nanti.

"Tapi kemudian Paman Eadgard mengajakku pergi." Fatimah meringis. Dia tersenyum manis. "Diam-diam dia memasukkan aku ke dalam pesawat. Dia sepertinya memang sudah menyiapkan segalanya dari Haifa, mungkin dia kasihan padaku saat ditelepon aku mengatakan sekarang hidup sebatang kara. Aku dipakaikan baju biara. Saat itu, aku memang ikut mengantarnya ke bandara. Karena Paman bilang kami menggunakan jet pribadi, semuanya jauh lebih mudah kami lewati. Begitu sampai Yerussalem, aku langsung diungsikan ke Haifa. Dan kami, tinggal bersama di sini, sampai hari ini."

"Kenapa kau bersedia?" Lufius bertanya. Nadanya begitu parau dengan mata yang menerawang tidak mengerti. "Di sini, sangat berbahaya."

"Kenapa?" Fatimah membeo, dia menoleh, balas menatap iris hijau gelap sang pria, kemudian tersenyum manis. "Mungkin, karena aku jatuh cinta."

Lufius tertohok. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi? Fatimah jatuh cinta? Pada siapa? Eadgard? Pria yang usianya bahkan sudah menginjak kepala empat?

Bibir itu mendesis. Sang Letnan sayeret matkal membuang pedangnya ke sudut ruangan. Dia menoleh dan melemparkan tatapan tajam pada Eadgard. Pria itu, sudah membuat Fatimah berada di tempat ini, bukan tempat yang cocok untuk dia tinggali. Dan Fatimah langsung menganggukkannya hanya karena sudah jatuh cinta?

Apa bagusnya Eadgard dibanding seorang Lufius Abigayle yang jauh lebih sempurna?

"Tu-tuan."

"Aku tidak suka berhutang budi pada siapa pun, apalagi berhutang nyawa." Lufius mendesis. Dia melirik Fatimah dari ekor matanya. Gadis itu tampak merangkak susah payah menghampiri Eadgard yang tampaknya juga terluka karena kepalanya menghantam lantai.

Dadanya sakit.

Emosi seperti ini, bukanlah hal yang dia harapkan.

Hari ini, sudah terlalu banyak dia menahan kekecewaan.

Gadis bermata biru yang membuatnya jatuh cinta ternyata merupakan seorang Palestina. Bangsa yang amat tidak diinginkannya dan dia benci sepanjang sisa hidupnya.

Yang lebih buruknya, ternyata, orang yang dia cintai justru mencintai pelayannya. Fatimah, memberikan perhatian khusus pada Eadgard yang pastinya jauh lebih tua darinya. Entah umur Fatimah hari ini harus dikali berapa?

Yang jelas, Eadgard memang tidak pantas untuk Fatimah. Kecuali sikap baik dan kepeduliannya tentunya.

"Pastikan saja kau tidak sering muncul di depan wajahku." Lufius berdecih. Tidak mau dadanya semakin sesak saat Fatimah tampak khawatir memeriksa luka di kening Eadgard, pria beriris hijau itu langsung berbalik dan melangkah pergi.

Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tidak ada hal yang bisa dia katakan. Semuanya sudah dia buktinya dengan melihatnya menggunakan mata kepala sendiri.

Dan terpaksa, dia harus menyadari suatu hal~

Tch! Dia sedang patah hati, heh?

***

Dari prolog sampai part 3 ini, adalah repost dengan sejuta perbaikan atas saran beberapa orang yang berbaik hati mengarahkan. Bisa dibilang itu cerita lengkap versi bukunya.

Thanks


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro