Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raz melihat Zo yang tengah bermain dengan anak-anak. Matanya awas memperhatikan setiap gerak-gerik pemuda cyborg itu. Walaupun ada Alpi yang juga mengawasi Zo, tetap saja Raz masih menganggap orang asing itu sebuah ancaman.

Terhitung sudah dua hari sejak Zo sadarkan diri, dan sekarang dia sudah bagaikan bagian dari kelompok dari lama. Anak-anak mengagumi lelaki itu karena memiliki tangan bionik yang mengagumkan. Bermain bersama layaknya kakak dan adik-adiknya yang masih kecil. Padahal saat dia pertama bangun, seisi kelompok sempat geger.

Raz tidak mungkin lupa—kejadiannya saja masih dua hari yang lalu. Teriakan Alpi di pagi hari membuat semua orang panik seketika. Si Bocah Dokter diserang oleh pasiennya sendiri! Itu rumor yang didengar sesaat setelah ada seorang pemuda berbalut penuh perban di tangan, perut, dan kepalanya keluar dari tenda klinik Alpi dengan linglung. Alpi sendiri sempoyongan saat keluar sambil mengejar si pemuda.

Orang-orang yang bertugas untuk menjaga kelompok dari serangan luar—termasuk Raz di dalamnya—mengepung Zo yang hanya setengah telanjang. Moncong senjata api diarahkan. Siap menembak kapan saja.

Zo jatuh terduduk. Tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya berkeringat. Mata membulat, gigi bergemeletuk, dan kalau saja ada alat pendeteksi degup jantung, alat itu pasti sudah mengeluarkan bunyi yang berisik. Sangat jelas kalau pemuda itu sedang ketakutan. Sambil gemetar, dia mengangkat tangan. Menyerah.

"Turunkan senjata kalian!" teriak Alpi sambil berlari ke depan Zo. Tangannya terentang melindungi pasiennya. Perlahan tapi pasti, satu per satu moncong senjata diturunkan.

Alpi berbalik menghadap Zo; mencoba menenangkan pemuda itu. "Kau masih belum sembuh total," katanya sembari berjongkok agar pandangan mereka sejajar.

"Aku—Akh!" Rasa sakit di perut Zo kembali terasa. Pemuda itu mengerang sambil memegangi luka yang kembali berdenyut.

"Seseorang cepat bawakan tandu!" perintah Alpi sigap. Raz dan satu orang lainnya dengan cepat membawakan apa yang diminta dan lekas menolong si pemuda cyborg.

Orang-orang hanya bisa melihat itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Berbagai spekulasi merebak tanpa bisa dibendung.

"Orang baru?"

"Simpanannya Alpi?"

"Dia lumayan, 'kan?"

"Ayo, kita lihat!"

Orang-orang yang penasaran mulai berdatangan ke klinik Alpi. Raz bahkan harus mengadang mereka agar situasi tidak semakin gaduh, sementara Alpi dan Syifa menangani Zo yang terus meringis kesakitan.

Syifa menggenggam tangan Zo agar dia bisa sedikit rileks. Gadis itu juga mengusap puncak kepala si pemuda perlahan. "Tenang, tenang. Kau akan baik-baik saja," katanya lembut. Mata mereka bertemu. Wajah Zo melunak seiring obat penghilang rasa sakit yang Alpi masukkan ke tubuhnya mengalir perlahan.

"Tolong ganti perbannya, Sis. Aku harus menangani sesuatu di depan," kata Alpi sambil lalu. Syifa yang disuruh hanya bisa melongo. Gadis itu melihat Zo yang sesekali meringis.

Orang-orang di depan klinik terdengar gaduh. Kebanyakan dari mereka adalah para gadis dan ibu-ibu yang lapar bahan gosip. Sepertinya penjelasan Raz tidak membuat mereka puas. Mau tidak mau, Alpi yang harus turun tangan menjelaskan.

"Kami menemukannya di reruntuhan," jelas Alpi memulai. "Aku tidak tega membiarkannya mati begitu saja. Mungkin sudah instingku sebagai paramedis untuk menolong seseorang saat terluka."

Raz mengerling. Yang benar saja. Kalau saja orang-orang tahu tujuan anak itu yang sebenarnya. Ingin sekali dia mengutarakan isi pikiran yang ada, tetapi diurungkan. Alpi sangat pandai bersilat lidah sampai semua orang menuruti apa yang dia inginkan.

Setelah selesai dengan pidato yang cukup panjang, Alpi kembali ke klinik. Raz mengekori di belakang. Zo tengah duduk sambil tangannya dililiti perban oleh Syifa ketika mereka masuk. Pemuda itu sesekali meringis karena balutan perban yang terlalu kencang.

"Hai, aku kembali," sapa Alpi. Zo membuang muka sambil tertunduk ketika si Bocah Dokter menghampiri, mungkin malu karena sebelumnya telah menyakiti bocah itu.

"Ma ... maafkan aku," ucap Zo pelan. Suaranya masih terdengar tidak bertenaga.

"Ya, tidak apa," timpal Alpi. "Kalian sudah berkenalan?"

"Hanya aku yang baru memperkenalkan diri," Syifa yang telah selesai membalut perban menjawab. Sementara itu, Zo hanya menggeleng.

"Kenapa?" Raz ikut bersuara sebelum Alpi membuka mulut.

"Amnesia."

"Oh," Alpi memaklumi.

"Ma ... maaf."

"Kalau begitu, kebetulan sekali. Aku sudah menyiapkan sebuah nama untukmu—sebenarnya ini panggilan antara aku dan Raz, sih."

"Apa itu?"

"Zo!" seru Alpi antusias

"Zo?"

"Iya!"

"Dia memang tidak kreatif," komentar Raz.

Alpi menginjak kaki si pemuda bersyal dengan keras sampai dia mengaduh.

"Sakit, Pi!" protes si korban, tetapi Alpi hanya menjulurkan lidah.

"Mulai sekarang, kami akan memanggilmu Zo! Kecuali kau ingat namamu sendiri dan minta ganti. Tapi, aku tidak yakin orang-orang yang sudah akrab denganmu nanti akan mengubah cara memanggilmu setelahnya."

Zo mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih!"

"Berapa umurmu, Zo? Kau ingat tidak? Setidaknya aku harus tahu untuk kepentingan dokumentasi," tanya Syifa.

Alpi waspada mendengar pertanyaan tersebut. Dia tidak siap dengan jawaban yang akan datang, tetapi juga terlalu penasaran. Semoga umurnya lebih tua dariku!

"Euh, berapa, ya?" Zo berpikir keras. Keningnya bahkan sampai mengerut. "Sebenarnya aku lupa tapi ... mungkin dua puluh?"

Alpi tersambar petir. Dirinya merasa terpukul. Aaah! Umurnya sama sepertiku!

Terdengar samar suara Raz menahan tawa. "Pfft. Yang sabar, ya, Pi."

Zo tampak bingung. "Eh, kenapa?"

"Kau bisa tebak berapa umur Alpi?" Syifa yang hanya tersenyum geli bertanya.

Si pemuda cyborg memindai Alpi yang tengah menggembungkan pipinya dari atas sampai bawah. "Dua belas?"

Suara tawa Raz meledak tanpa bisa dia tahan. Air mata kepuasan tampak akan keluar kalau tidak dihentikan.

"Eh, aku salah, ya?" Zo salah tingkah.

"Siiiiis!!!" Alpi merengek.

Syifa mencoba menenangkan situasi yang ada. "Oke, oke. Kita asumsikan saja umurmu dua puluh, ya?" katanya sembari mengambil catatan.

"O ... oke."

"Nah, Zo, kau berasal dari mana?" Syifa melanjutkan bertanya.

"Ah ... itu ... aku tidak terlalu ingat."

"Benarkah?" tanya Raz skeptis. "Kami menemukanmu terluka di reruntuhan Kota Astan. Bagaimana kau bisa sampai sana? Bisa kau jelaskan dari mana luka itu berasal? Tidak mungkin ingatanmu hilang begitu saja tertiup angin, 'kan?"

Zo tampak bingung. Dia melihat Alpi seperti meminta bantuan. "Tidak apa. Santai saja. Raz kadang terlihat menakutkan sewaktu-waktu. Tapi hatinya baik, kok."

"Aku tersanjung," sahut Raz datar.

Zo menggigit bibir; berpikir keras. Sekelebat bayangan seseorang bertudung terlintas di benaknya. Bayangan hitam itu menusuk Zo tepat di perut. Seketika ingatan samar tersebut menyerang dirinya. Rasa sakit di luka itu kembali terasa.

"Aaakh!!!" Pemuda itu berteriak seakan baru mendapat luka tersebut sedetik yang lalu. Dia tumbang sambil memeluk tubuh. Keringat bercucuran di wajahnya.

"Zo!"

Ketiga orang di ruangan itu panik. Syifa mencoba menguatkan dengan menggenggam lengan pemuda itu, sedangkan Alpi mencari obat penghilang rasa sakit di rak obat-obatan. Sementara itu, Raz hanya bisa menyaksikan itu semua karena bingung harus berbuat apa.

"Astaga, aku baru ingat!" Alpi yang sedang sibuk mencari obat berhenti.

"Ada apa?" tanya Raz.

"Aku baru saja memberikan obat beberapa waktu lalu. Kalau aku berikan lagi dia bisa overdosis."

"Tapi, dia kesakitan, Pi!"

"Tumben kau peduli. Kau saja bahkan hampir membunuhnya saat pertama bertemu."

Raz menggerutu. "Peduli salah, cuek salah."

"Berhenti bertengkar, kalian berdua!" pinta Syifa.

Erangan Zo berhenti. Napasnya mulai stabil. "Sudah ... tidak apa-apa," katanya pelan. Dia berusaha bangkit kembali, tetapi dicegah oleh Syifa.

"Sebaiknya kau istirahat dulu," pinta gadis berkerudung itu. Zo mengangguk menurut.

Setelah lebih sehat, Zo dikenalkan kepada semua warga yang ada dan resmi menjadi bagian dari kelompok dengan persetujuan Ketua George. Raz diangkat menjadi pengawasnya sampai waktu yang tidak ditentukan (dengan protes tentu saja).

"Yo, Tampan." Nix si mekanik andalan datang menghampiri Raz. Dia menepuk bahu pemuda itu dan langsung membuyarkan lamunannya. "Tentang si cowok cyborg, aku sudah selesai menganalisisnya."

"Ada yang menarik?"

"Banyak," timpal Nix seperti bingung mau memulai dari mana. "Saat aku membongkar dan mengambil beberapa bagian lengannya, ada yang membuatku tersadar ...."

"Katakan saja, Nix."

"Dia sepertinya model terbaru. Aku belum pernah lihat bentuk sistem yang dipunya cowok itu. Kita harus menginterogasinya lebih jauh."

"Sudah kami coba. Tidak banyak yang bisa kami korek."

"Kalian payah," cibir si pemuda mekanik.

"Hey!" protes Raz tidak terima.

Nix lantas mendekati Zo yang sedang memperlihatkan lengan kirinya pada anak-anak.

"Oi, Bocah—"

"Apa!" potong Alpi.

Nix mendelik. "—cyborg ...."

"Oh ...."

"Aku?" Zo berhenti bermain, pandangannya tertuju pada Nix yang mendekat.

"Kabul, teman-teman! Ada kaka' Nisy datang! Nanti kalian dijadikan caibog!" Seorang anak yang masih berumur empat tahun memperingati. Anak-anak itu berlarian. Tidak sedikit juga yang menggelayuti kaki Nix.

"Kak Nish! Kak Nish! Buatkan aku lobot-lobotan!"

"Kak Nick! Kak Nick! Aku mau pistol kayak Kakak Laz!"

Nix menutup mata sebal. "Dasar bocah."

"Ayo, Nix. Penuhi permintaan mereka," kata Alpi sambil tertawa mengejek.

"Nanti, Anak-anak. Sana, main dulu sama Alpi," pinta Nix sambil melepas anak-anak yang memeluk kakinya.

"Kenapa jadi aku?!" Alpi panik ketika segerombolan anak-anak datang dan memintanya bermain bersama.

Nix menggerak-gerakan telunjuknya ke arah Zo; isyarat agar mengikutinya. Si Pemuda cyborg bingung. Dia menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan. "Aku?" gumamnya. Nix mengangguk.

"Ayo, ikut aku," ajak si pemuda mekanik. Zo agak canggung ketika Nix merangkulnya seperti seorang sahabat yang telah lama akrab.

"A ... ada masalah?" tanya Zo takut-takut.

"Banyak," sahut Nix. Pemuda di sampingnya menegang. Mereka berdua pergi ke bengkel Nix diikuti Raz di belakang.

Pemuda berambut kucir kuda itu mempersilakan Zo duduk di sofa bekas berwarna merah yang sudah rusak di beberapa bagian, Raz berada di sampingnya dengan punggung bersandar pada tembok. Sementara itu, Nix mengambil sebuah benda di rak yang tertempel di dinding seberang.

"Katakan, Bocah—"

"Zo," potong Raz.

Nix mengerling. "Zo. Katakan, dari mana kau datang?"

"Tidak ada gunanya, Nix. Kami sudah tanyakan hal serupa."

"Maaf. Aku ... lupa."

Nix memperlihatkan sebuah benda silinder dengan ujung lancip. Dia mengayun-ayunkannya di depan wajah dengan dua jari. "Kau tahu apa ini?" tanya pemuda mekanik itu retoris. "Benar, Anak muda. Peluru."

"Apa hubungannya?" Kening Raz mengerut.

"Peluru ini belum pernah dipakai sama sekali. Baik di masa perang dunia tiga, oleh para android, ataupun oleh prajurit-prajurit yang senjatanya sering aku perbaiki. Intinya: peluru model ini baru."

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Nix?"

"Ada rumor yang mengatakan kalau di Pulau Sisilia sedang memproduksi bagian-bagian tubuh cyborg untuk suatu kepentingan yang tidak aku tahu. Dan salah satunya ada di depan kita."

"Lantas?"

"Akan ada sesuatu yang terjadi."

Raz melihat Zo dengan tatapan menghakimi. Yang dilihat mulai gelisah. Matanya liar melihat ke segala arah; ke pojok tempat barang-barang Nix yang berserakan berada, motor mogok Nix di sisi lain, ke luar bengkel, sampai akhirnya pandangannya dengan Nix bertemu; sepasang mata hitam yang dapat membuat seseorang membeku.

"Katakan, sedang apa kau di sana saat Raz dan si bocah menemukanmu? Kau terluka, 'kan?"

"Itu juga jadi pertanyaanku."

"Raz, apa jenis luka di perutnya?"

"Luka tusuk. Lebar kira-kira lima sentimeter. Jenis benda tajamnya aku tidak tahu, tapi kemungkinan belati."

"Jawab sejujurnya, Bocah. Aku tahu saat seseorang berbohong," kata Nix dingin. Tangannya memegang dagu Zo agar kepalanya diam di tempat. "Katakan, apa kau diserang? Model lengan itu belum pernah diproduksi sebelumnya setahuku. Apa orang suruhan pabrik yang ingin melukaimu? Kulit sintetis itu berbeda dengan yang pernah digunakan oleh para android pada masa perang dunia tiga. Coba jelaskan semua itu, Zo. Atau aku harus memanggilmu Subjek No.260?"

Mata Raz membulat. "Dari mana kau tahu semua itu?"

Nix menjauh; dilepaskannya dagu Zo dengan kasar sampai pemuda itu membentur punggung sofa. "Kami para mekanik punya koneksi yang cukup kuat. Tidak hanya kalian saja—para prajurit—yang punya pengetahuan lebih tentang persenjataan. Setidaknya aku juga harus punya pengetahuan tentang jenis peluru kaliber yang dipakai untuk meng-upgrade senjata kalian."

"Model-model itu? Nomor subjek? Android?" Raz memberondong dengan pertanyaan tanpa henti.

Nix menghela napas lelah. "Ada kenalanku di kelompok Barat, dia suka memperbaiki bagian-bagian tubuh cyborg. Kebanyakan bagian tubuh itu berasal dari tubuh-tubuh android yang sudah tidak terpakai. Jadi, aku tahu sedikit banyak tentang itu. Perihal nomor subjek, itu tertulis jelas di bagian dalam lengannya."

Raz melihat orang yang sedang duduk di sampingnya tak percaya. "Jadi, kau ...."

"Kau belum menjawab pertanyaanku," potong Nix tak suka.

"A ... aku ...." Zo merasa tak nyaman. Tanpa sadar dia menggigit bibir. Kedua tangan ditautkan, kakinya bergerak-gerak.

Belum sempat si pemuda cyborg menjawab, sebuah suara menginterupsi.

"ZOOO!!!" Alpi berteriak sambil lari. Ketiga orang di bengkel Nix refleks menoleh. Zo yang terlihat sangat kaget karena namanya dipanggil.

"Alpi, bisa kau tidak bertingkah seperti bocah?!" Raz mengorek-ngorek telinganya.

"Kau kenapa, Raz? Seperti tidak kenal aku saja."

"Kami sedang ada hal penting. Bisa kau tidak mengganggu atau tidak membuat keributan sebentar saja?"

"Hal penting apa? Lagi pula Zo sudah waktunya ganti perban."

Alpi menarik tangan Zo keluar dengan paksa.

"Oi, Bocah," panggil Nix.

"Siapa yang kau panggil sekarang?"

"Kau, Bocah," tunjuk si pemuda mekanik ke arah Alpi. "Kita harus bicara nanti."

"Ya, terserah," timpal Alpi sambil mengibaskan tangan. "Ayo, Zo."

Setelah kedua orang itu menghilang dari pandangan orang-orang yang ada di bengkel, Raz mulai angkat bicara lagi. "Jadi, apa hubungan sebenarnya antara peluru, model lengan dan sesuatu yang akan terjadi?" tanya Raz sambil menggaruk tengkuknya.

Nix mengembalikan kembali peluru yang dipegangnya ke tempat semula. "Dia model baru. Dan aku yakin dia masih prototype."

"Lalu?"

"Seseorang akan menjemputnya. Secara baik-baik atau paksa."

Alpi menggamit tangan Zo ke klinik. Air muka pemuda cyborg itu tampak cemas.

"Kau kenapa?" tanya Alpi yang melihat ada gelagat yang berbeda dari Zo. "Apa yang mereka tanyakan?"

Zo tersenyum rikuh. "Itu tidak penting sekarang."

"Benarkah? Raz bilang itu penting." Zo hanya diam salah tingkah.

Alpi mengganti perban Zo dengan cepat. Luka-luka yang sudah mengering memudahkan si Bocah Dokter menyelesaikan pekerjaan.

"Sepertinya sudah waktunya untuk mengeluarkan benang jahitanmu."

"Mengeluarkan benang jahit?"

"Kau tidak berharap ada sesuatu yang menyangkut di dalam tubuhmu, 'kan? Tenang ini tidak akan sakit."

Alpi mengambil pinset dan gunting kecil. Dengan hati-hati, dia memotong sisa-sisa benang yang ada. Perlahan, benang-benang kehitaman yang sudah kering dan kaku diangkat, menyisakan lubang-lubang bekas kecil. Zo sesekali merasa dingin ketika gunting dan pinset tidak sengaja menyentuh kulit perutnya.

"Selesai," kata Alpi sambil menyimpan gunting dan pinset ke atas nampan aluminium di mana sisa-sisa benang tersimpan.

Setelah si Bocah Dokter membereskan peralatan, dia kembali duduk di hadapan Zo. "Ada masalah? Dari tadi kau terlihat tegang."

Zo cepat menggeleng. "Ti ... tidak ada."

"Yakin?" Si pemuda cyborg mengangguk. "Kalau aku bertanya, apa lukamu akan terasa sakit lagi?"

"A ... aku tidak tahu."

"Ya, sudah. Kita simpan saja itu untuk nanti."

Ada keheningan di antara mereka sebelum Alpi menyadari ada kegaduhan yang terjadi di luar. Beberapa orang tampak berlarian. Penasaran, dia keluar untuk mengetahui apa yang terjadi.

"Ada apa?" tanya Alpi kepada seorang prajurit.

"Alpi, kebetulan. Ketua memanggil kita. Kelompok di Utara diserang."

"Kita—Ada serangan?!"

"Ya. Ayo, cepat. Bawa juga si cowok cyborg."

-oOo-

Diterbitkan: 17/12/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro