Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Zo, ayo!" Alpi mengajak si pemuda cyborg untuk bergabung dengan prajurit yang lain. Mereka semua berkumpul di lapangan tempat para prajurit latihan menembak dan bela diri.

Semua yang ada di sana berbaris rapi. Alpi harus menengadah atau melompat untuk melihat apa yang ada di depan.

"Kelompok Resist yang ada di Utara telah diserang oleh sekelompok mutan liar," ucap Ketua George memulai. "Kita diminta membantu sebisa mungkin. Aku akan memanggil nama-nama yang cocok untuk dikirim." Ketua melihat daftar nama yang dipegangnya.

"Michael, Garret, Scott! Maju!" Orang-orang yang dipanggil maju ke depan Ketua. "Zo!"

"Saya di sini," sahut Zo dari belakang sambil menghampiri.

"Karena kau baru, ini kesempatan yang bagus untuk membuktikan diri kalau kau pantas."

"Siap, Ketua!" jawab Zo mantap.

"Raz! Karena kau pengawas Zo, kau juga ikut."

"Baik, Ketua!"

"Ralvi! Kami membutuhkanmu untuk menangani korban."

"Siap, Bos!" Alpi menjawab sambil memberi hormat.

"Sisanya ke pos masing-masing! Kita tidak ingin ada serangan serupa datang. Laksanakan!"

"Siap, Laksanakan" jawab para prajurit serempak.

Setelah sisa para prajurit bubar, para anggota yang dipanggil diberi pengarahan. Mereka semua berada di sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk mengatur strategi. Papan tulis putih berisi catatan dan gambar-gambar formasi perang serta peta terpajang menjadi pusat perhatian ketika masuk. Meja kerja di sisi kanan. Berbagai senjata api laras panjang dan pistol tergantung di dinding bagai ornamen. Magasin dan peluru beraneka ukuran tergeletak di rak kayu dekat senjata api.

Raz, Zo, Alpi, Garret, Scott dan Michael berkumpul di sebuah meja bundar kayu yang cukup besar; menghadap Ketua George yang siap menjelaskan.

"Serangan tiba-tiba terjadi di kelompok Resist. Sekelompok mutan liar berbentuk beruang dan serigala dilaporkan menyerang saat pagi hari. Kita belum pernah mendapat laporan lagi selama enam bulan terakhir. Ini berita baru." Ketua George melihat catatan yang ada di tangannya.

"Kenapa bisa terjadi?" Michael mengangkat tangan, menyela penjelasan Ketua.

"Kita tidak tahu. Prioritas kita sekarang adalah membantu sebisa mungkin. Kalian bisa tahu detailnya saat berada di sana." Ketua menunjuk peta di papan tulis putih. "Jalur yang biasa kita lewati seharusnya aman, tetapi mengingat adanya serangan yang tiba-tiba muncul, kuharapkan kalian berhati-hati. Ada pertanyaan?"

Zo mengangkat tangan ragu. "Maaf, Ketua," ucapnya pelan. Takut dengan apa yang akan diucapkan. "Saya belum pernah mengangkat senjata. Saya ragu bisa membantu banyak."

Tawa samar meremehkan terdengar dari tiga pria yang lain.

"Bantu sebisamu. Apa pun yang bisa kau lakukan. Buktikan kalau kau memang pantas berada di sini!" teriak Ketua berapi-api.

Si pemuda cyborg terperanjat. "Ba ... baik."

"Yang tegas!"

"Baik, Ketua!" Refleks, Zo memberi hormat ala tentara.

"Ada pertanyaan lain?" Semua orang yang ada di ruangan saling tatap. "Tidak ada? Kalau begitu, sekarang pergi!"

"Siap, Ketua!"

Setiap orang kembali ke tempat masing-masing untuk persiapan, kecuali Zo. Dia masih belum punya tempatnya sendiri—masih menumpang di klinik Alpi. Zo yang bingung dan tidak tahu harus berbuat apa hanya mengikuti Alpi yang kembali ke klinik.

"Bagaimana ini?" tanya pemuda itu.

"Kau bisa membantuku," sahut Alpi seraya memilih barang-barang apa saja yang sekiranya dia butuhkan di lapangan. Setelah kurang lebih sepuluh menit, barang-barang berupa perban, obat merah, plester, alkohol 70%, benang dan jarum khusus operasi masuk ke dalam ransel si Bocah Dokter.

Mereka semua berkumpul di gerbang depan. Mobil militer roda empat jenis High Mobility Multipurpose Wheeled Vehicle (HMMWV) tipe M1025 yang dikenal juga dengan Humvee berwarna cokelat pasir terparkir rapi. Berpintu empat dengan bagian belakang yang terbuka dan bersenjatakan gun turret—senjata laras panjang yang ditanam dan dapat berputar 360 derajat—di bagian atas. Ada Garret di kursi kemudi dan Scott di sampingnya. Michael ada di atas, bertugas menembak apabila ada musuh.

"Wow," Zo terpukau.

Raz menyusul kemudian. Dia memanggul senapan laras panjang di bahunya. "Apa yang kalian tunggu?" tanya si pemuda bersyal sambil naik ke bagian belakang, tempat bagasi biasa berada.

"Ayo, Zo," ajak Alpi. Mereka berdua menempati bagian tengah.

"Siap, Semua?" tanya Garret sambil menyalakan mesin. Mobil meluncur setelahnya.

Menaiki mobil Humvee, mereka seperti sedang safari di tengah padang sabana Afrika. Rumput-rumput tinggi tumbuh di kiri-kanan jalanan. Pohon-pohon akasia berkanopi hijau lebar berjajar menjadi hal yang kontras di tengah tanah kering cokelat muda. Ilalang menari tertiup angin bersamaan dengan antelop yang tengah berlari.

Alpi melihat ke luar jendela. "Lihat, lihat, Zo!" kata anak itu antusias saat ada sekumpulan singa betina mengejar kawanan hewan ramping bertanduk panjang.

"Waaa! Aku belum pernah melihat perburuan secara langsung!" Di tengah kekaguman, Zo merasa ada yang aneh. "Bukannya mereka hewan-hewan Afrika, ya? Kenapa bisa sampai di sini?"

Raz menimpali dari belakang sambil mengelap senjata. "Di sini juga ada. Tidak hanya di Afrika." Dilihatnya para antelop itu dari kekerannya. Satu berhasil jatuh dan langsung dilumpuhkan oleh tiga singa betina.

"Oh."

"Katakan, Zo, asalmu dari mana?" tanya Scott sambil melihat ke belakang. Garett di kursi kemudi hanya memandang sekilas dari kaca spion dalam.

Zo merasa tak nyaman dengan pertanyaan itu. "Aku tidak yakin ...," gumam si pemuda cyborg. Alis Scott terangkat satu. Aneh, pikirnya.

Alpi berusaha menengahi. "Ingatannya bermasalah," sahutnya, meskipun si Bocah Dokter juga tidak yakin. Tidak ada tanda-tanda benturan keras yang dapat menyebabkan gegar otak atau penyebab lain yang dapat memicu hilangnya memori seseorang—setidaknya itu yang dia tahu.

"Okey," jawab Scott. Merasa tidak akan berguna bila mengobrol dengan orang amnesia, dia kemudian berbalik lagi menghadap depan.

Jalanan yang mereka lalui mulai tidak mulus. Banyak "benjolan-benjolan" yang menghambat dan membuat penumpang di dalamnya bisa terkena mabuk kendaraan. Garret merasa kasihan dengan semua penumpangnya terutama Michael yang ada di atas tertiup angin.

"Hey, Michael! Kau dengar aku?!" teriak Garret sambil menyembulkan kepala keluar; memastikan keadaan.

"Apa?! Aku tidak dapat mendengarmu!" balas Michael berteriak. Suara angin yang berembus meredam suara yang terdengar.

"Apa artinya dia dengar?" tanya Zo.

"Ya dan tidak."

Kawanan antelop yang masih berlari menghindar memperlihatkan keanehan. Mereka berpencar. Singa yang memburu mereka juga seperti melesat kabur menghindari sesuatu. Raz mengintip dari kekeran agar lebih jelas. Seekor binatang berbulu hitam seperti serigala berkaki enam dengan dua ekor menyergap antelop-antelop yang malang. "Hewan" itu mengoyak dengan ganas. Gigi-gigi tajamnya mengilap terkena cahaya matahari.

Satu lahapan terakhir dan makhluk itu pun menegak. Matanya yang merah bertemu dengan mata Raz. Si pemuda bersyal menegang. Dia membelalak. Makhluk hitam itu menggeram lantas berlari ke arah mereka.

"Ada serangan!" teriak Raz.

Alpi jelalatan mencari sesuatu yang menurutnya dapat mengancam. Zo melihat dari arah sebaliknya. Scott mengecek magasin senapan laras panjang yang sedari tadi dipegang. Garret menambah kecepatan.

"Di mana?!" Michael menyiagakan gun turret.

"Arah jam lima!" Raz berlutut. Moncong senjatanya terarah ke makhluk hitam yang sekarang sedang membuka mulut lebar-lebar. Lidahnya bercabang dua, air liur menetes-netes.

Dor! Dor! Dor!

Raz menembak. Scott mengikuti. Namun, semuanya memeleset. Makhluk itu mengelak dan berlari dengan sangat cepat. Mobil Humvee yang telah dalam kecepatan maksimal pun dapat terkejar. Hanya berjarak kurang dari dua meter kuku-kuku tajam yang terhunus itu dapat mengoyak Raz. Sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, berondongan peluru dari gun turret Michael menyelamatkan.

Mutan serigala itu tumbang. Namun, makhluk itu dapat berdiri lagi. Si mutan liar berkaki enam menggeleng-geleng seperti orang linglung. Kali ini, tembakan bertubi-tubi Michael tidak berarti.

Makhluk itu jadi lebih cepat dan lebih gesit. Setiap tembakan yang disasarkan dengan mudah dihindari. Raz membidik dengan hati-hati. Percuma saja menembak terus kalau tidak ada yang kena. Yang ada hanya akan membuang-buang peluru yang dimiliki.

Si mutan serigala memperpendek jarak. Dekat ... sangat dekat .... Mulut penuh gigi tajam itu membuka. Kuku-kuku bagai pedang terhunus. Raz dan makhluk mengerikan itu hanya sejengkal. Si pria bersyal menunggu saat yang tepat ... dan—

Dor!

Raz menembak tepat ke kepala si mutan. Tengkorak kepala itu pecah. Darah terciprat ke segala arah; tanah, mobil, Raz. Tubuh makhluk itu terkulai.

"Ewh," Raz meringis jijik. Dia membersihkan noda darah yang ada di wajah, tangan, dan pakaiannya.

"Apa itu tadi?" tanya Alpi yang sudah tidak bisa membendung rasa penasarannya.

"Mutan," jawab Raz singkat.

Rasa lega mereka harus berhenti ketika memasuki kawasan yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit yang saling tumpang tindih. Jendela-jendela tanpa kaca. Lampu-lampu jalanan yang melintang. Mobil-mobil karatan yang teronggok tak berdaya di pinggir jalan; terbalik, menyamping, gosong. Namun, bukan itu yang terpenting. Hal yang membuat mereka waspada adalah adanya bayangan-bayangan hitam yang bergerak dengan sangat cepat di antara gedung dan jendela-jendela itu.

"Grrooaarr!!!"

Raungan memekakkan telinga terdengar tidak jauh berasal dari seekor binatang berbulu hitam lebat berwajah serigala bertangan empat layaknya kera yang sedang merayap di sebuah dinding gedung. Makhluk itu bergerak cepat; melompat ke arah Raz.

Dengan sigap Michael menembak. Binatang mirip serigala-kera itu mati seketika. Melihat temannya mati, hewan-hewan mutan sejenis bermunculan seperti kecoak yang keluar dari sarang setelah disemprot insektisida.

Makhluk-makhluk itu merayap mengikuti, melompat, tertembak; merayap, melompat, tertembak. Begitu seterusnya. Sisanya mengejar dari jalan. Saking banyaknya, Raz, Michael dan Scott sampai kewalahan.

"Aaa!!!" Alpi berteriak ketika seekor serigala-kera memaksa masuk. Untung saja lubang jendela itu terlalu kecil sehingga hanya kepalanya yang berhasil. Zo dengan cepat memukul hewan mutan itu dengan tangan cyborg-nya lantas menutup kaca jendela. Alpi memeluknya karena takut.

Hewan-hewan mutan yang merayap di gedung semakin banyak yang berlompatan. Raz menembaki mereka satu per satu tepat di kepala. Tidak bisa menangani semua, satu mutan berhasil memojokkan Raz.

"Aakh!!" Si pemuda bersyal meringis. Tubuhnya ditindih dengan keras. Ingin menembak, tetapi senapannya terlempar.

"Raz!" Alpi berteriak.

Michael dan Scott ingin menembak mutan yang menyerang Raz. Namun, terlalu berisiko. Salah tembak, kepala Raz taruhannya. Lagi pula, mutan-mutan lain terus berdatangan dan minta dilayani.

Raz menahan makhluk itu sekuat tenaga. Tangannya mencoba menggapai senapan yang tidak terlalu jauh. Namun, si serigala-kera berhasil melukai bahunya dengan kuku yang tajam.

"Aaagh!" Raz memukul mutan itu di dada, tetapi tangan yang terluka membuatnya tidak berarti.

Zo tidak tahan lagi melihat pemandangan itu. Dia menyelusup lewat celah di antara bagian belakang, mengambil senapan yang tergeletak, lantas menembak mutan yang menyerang Raz.

Dar!

Mutan itu mati seketika.

"Kuingat kau tidak bisa menggunakan senjata api," kata Raz seraya bangkit sambil menekan bahu yang terasa sakit.

"Ini." Zo memberikan senapan milik Raz. Belum sempat si pemuda menerimanya, seekor serigala-kera menggabruk Raz dari balik punggung. Pemuda itu terhuyung ke belakang bersamaan dengan si mutan.

"Kak Raz!" teriak Zo. Tangannya mencoba menggapai.

Raz hampir jatuh kalau saja tangannya tidak memegang bumper belakang mobil. Di ujung kakinya, si mutan bergelayut.

"Semua baik di belakang sana?!" teriak Garret sambil terus bergerak meliuk-liuk menghindari mutan-mutan yang terus bermunculan.

"Katakan pada Garret, jangan berhenti!" pekik Raz sambil menendang mutan yang menggelayut di kakinya. Setelah satu hantaman keras, akhirnya mutan itu terlepas.

Zo membantu Raz naik kembali ke atas mobil setelah menembaki beberapa mutan yang berusaha menyerang. Ditariknya tangan Raz sekuat tenaga sampai mereka berdua terlempar ke depan.

"Aw ...." Raz merintih ketika mendarat dengan bahu kirinya yang terluka. Zo lekas menghalau setiap mutan yang datang dengan pukulan dan tendangan layaknya seorang ahli bela diri.

Serangan para mutan serigala-kera berkurang ketika mereka meninggalkan kawasan gedung pencakar langit dan memasuki reruntuhan kota yang lebih jarang. Di depan sana, asap membubung tinggi.

"Kita sudah dekat," lapor Garret.

Bangkai-bangkai mutan bergelimpangan di tengah jalan. Garret bahkan harus lebih berhati-hati saat berkendara jika tidak ingin menggilas salah satu dari mereka dan membuat mobil rusak. Semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin banyak bangkai yang terlihat. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah jembatan yang melewati sebuah sungai. Di seberang sana, tempat yang mereka tuju berada.

Entah mereka beruntung atau tidak, tetapi para mutan yang ada di gerbang depan benteng kayu itu sudah tidak bergerak. Mereka menyeberangi jembatan. Michael melambai memberi isyarat kepada seseorang di menara penjaga yang ada di atas gerbang.

"Bantuan datang!" teriak si penjaga ke arah dalam. Tak lama kemudian, gerbang itu terbuka.

Markas Resist lebih luas dari markas milik mereka. Lapangan luas seperti tempat parkir membentang. Bangunan-bangunan yang ada lebih kokoh, terbuat dari kayu dan beton-beton berwarna putih. Formasi bangunan-bangunannya melingkar, membentuk alun-alun di tengah. Asap membubung dari sana.

"Maaf, sepertinya kami terlambat," kata Garret kepada salah satu penjaga gerbang setelah mereka turun dari Humvee.

"Tidak apa-apa. Kami masih tetap membutuhkan bantuan," balasnya. Penjaga itu menggiring mereka ke alun-alun.

"Kau tidak apa-apa?" Penjaga itu melihat Raz yang bahunya terluka. Alpi membebat luka Raz dengan perban sebelum mereka beranjak.

"Aku baik," balas Raz.

Alpi melihat jejak darah berwarna hitam di tanah. Tidak seperti darah biasa yang berwarna merah. Entah karena hewan-hewan itu adalah mutan, atau karena kandungan besi yang terlalu pekat sehingga menjadi lebih gelap.

Si bocah dokter memperhatikan sekeliling. Bangunan-bangunan itu seperti terbuat dari lumpur kering yang dibakar—berbeda dengan tembikar—mirip bangunan kuil-kuil di Mesir yang pernah dia lihat di buku-buku pengetahuan umum. Tidak ada kaca. Pintunya pun hanya berasal dari kain-kain tipis yang gampang berkibar tertiup angin.

Si penjaga gerbang memperkenalkan mereka dengan pimpinan yang bertanggung jawab di sana. Seorang pria botak dengan luka bakar di leher. Tubuhnya tegap berisi bak binaragawan kelebihan steroid. Dia memakai pakaian hitam tanpa lengan berkalung dog tag dan celana loreng tentara berwarna pasir. Pria paruh baya itu memperkenalkan diri sebagai Sersan Lucian.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Raz setelah mereka di tengah alun-alun. Api berkobar membakar bangkai-bangkai mutan. Bau rambut terbakar menguar, ditambah bau amis yang menyebar. Tidak heran orang-orang yang bertugas menggusur dan membakar para hewan itu memakai masker.

Alpi bersin. Hidungnya gatal. Dia lantas mengeluarkan masker dan memakainya. Raz menutupi hidung dengan syal biru yang selalu dikenakan, sementara Zo menggunakan tangan seperti tiga pria lainnya.

"Kami juga tidak yakin," jawab Sersan Lucian menanggapi pertanyaan Raz.

Seseorang dengan pakaian putih berlambang palang merah datang tergopoh-gopoh. "Apa ada paramedis yang datang di antara kalian?"

"Aku!" sahut Alpi sambil mengangkat tangan seperti seorang murid yang ingin menjawab pertanyaan guru.

"Tolong, ikut aku," pintanya. Alpi mengikuti.

"Apa yang bisa kami bantu?" Garret mewakili suara teman-temannya yang memang ditugasi untuk menolong.

Sersan Lucian tersenyum. "Setelah semua ini beres, kita akan berburu."

-oOo-

Diterbitkan: 17/12/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro