Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Para korban yang ditangani berada di sebuah bangunan tidak jauh dari alun-alun. Tidak seperti bangunan-bangunan lain yang agak terbuka, bangunan bertingkat dua dengan cat putih yang sudah lapuk di sana-sini itu memiliki pintu serta jendela yang bersekat-sekat. Ada lambang palang merah di atasnya yang menandakan bahwa gedung itu adalah fasilitas kesehatan.

Di dalam sana, bangsal-bangsal berisi korban yang sedang ditangani tertata tanpa penghalang. Para tim medis berseliweran mengobati orang-orang yang terluka; membebat dengan perban, menjahit kulit yang sobek, meneteskan obat merah. Untung saja tidak ada korban jiwa yang jatuh.

"Medis! Cepat tolong!" teriak seseorang dari ambang pintu. Seorang prajurit pria merangkul temannya yang terluka parah. Darah di kepala mengalir menetes-netes. Satu kaki terangkat seperti patah. Bibirnya robek. Tangan kirinya memegang dada yang mengeluarkan banyak cairan merah. Lelaki yang terluka itu terlihat kepayahan; berusaha mengatur napas agar tetap hidup.

Alpi berinisiatif merawat lelaki itu. Dibawanya dia ke bangsal yang masih kosong di ujung ruangan. Dengan hati-hati, si korban dibaringkan. Ringisan kecil terdengar ketika kakinya diluruskan. Kakinya memang patah, pikir Alpi. Dia meringis sendiri. Si Bocah Dokter mencoba mengingat kembali prosedur penanganan patah tulang yang dulu pernah dia baca.

"Kau bisa menanganinya?" tanya seorang perawat wanita yang sedang mengobati pria yang datang bersama pasien yang Alpi tangani.

"Akan kucoba sebisaku," jawab Alpi.

Si Bocah Dokter menelisik pasiennya yang meringis; tidak tahan dengan rasa sakit yang mendera. Ada tiga luka yang menurutnya cukup parah: luka di dada, patah kaki, dan pendarahan di kepala. Namun, dari ketiga itu, Alpi tahu mana yang harus ditangani lebih dahulu. Semoga benar.

Dengan sigap, Alpi memakai sarung tangan lateks. Dia membuka pakaian lelaki itu. Tiga luka sayatan seperti bekas cabikan melintang di dada. Darah masih mengalir. Daging merah terlihat jelas. Dilapnya darah menggunakan kain yang tersedia.

"Hei, Kawan. Kau bisa dengar aku?" tanyanya berharap ada respons dari si pria yang kesadarannya kini sudah setengah itu. Kelopak matanya berkedut. Napasnya satu-satu.

Gawat, aku tidak bisa menanyakan berat badannya, anestesi yang akan kuberikan bisa tidak akan efektif. Alpi memutar otak. Lelaki itu punya perawakan mirip Raz. Berat Raz kira-kira berapa ya, saat terakhir ditimbang? 60 kg? 70 kg? Si Bocah Dokter menggeleng keras. Ini bukan saat yang tepat untuk mengira-ngira.

Alpi mengeluarkan kotak peralatan dari ransel. Diambilnya botol kecil berisi cairan anestesi lidocaine. Dengan alat suntik berkapasitas 1 ml, dia menyedot kurang lebih 0,35 ml cairan obat bius lokal tersebut. Semoga cukup.

"A ... aah ...." Lelaki itu merintih ketika jarum suntik yang dingin menusuk kulit. Sesaat kemudian, si prajurit tampak lebih tenang.

Menggunakan benang operasi absorable polyglecaprone/monocryl yang didapat dari reruntuhan rumah sakit, si Bocah Dokter mulai menjahit. Dia harus cepat, tetapi tetap teliti. Anestesi itu hanya bertahan satu jam. Alpi tidak ingin pasiennya merasakan sakit saat kulitnya ditusuk jarum dan disatukan bagai celana yang sobek.

Ujung jarum yang tajam dan dingin itu perlahan masuk ke dalam kulit yang kenyal nan agak keras di permukaan. Perlu usaha ekstra agar jarum dan benangnya dapat menembus lapisan epidermis dan keluar lagi. Tusuk menembus kulit, masuk ke jaringan, keluar dari lubang yang baru; terus menerus, bagai lumba-lumba hidung botol yang melompat-lompat ke permukaan air untuk mengambil napas. Benang-benang perlahan menyatukan kulit yang koyak. Alpi harus lebih kuat menarik benang yang telah menembus agar kulit itu bersatu dengan sempurna.

Total ada lima puluh jahitan yang Alpi buat untuk semua luka. Untung saja anestesi itu masih bertahan ketika dia selesai sehingga si lelaki hanya merasakan cubitan-cubitan kecil ketika jarum dingin keluar masuk kulit dadanya. Setelah selesai, si Bocah Dokter memberikan obat merah lantas menutup jahitan operasi itu dengan perban.

Okey, sekarang luka kepala.

Alpi membersihkan darah yang mengering di dahi menggunakan kapas yang telah dicelup alkohol 70% sampai bersih. Luka di kepala itu telah mengering. Namun, untuk berjaga-jaga, Alpi tetap mengobatinya kemudian ditutup dengan kapas dan perban.

Dan sekarang, bagian yang cukup sulit. Alpi lupa kapan terakhir dia menangani patah tulang. Semoga saja dengan hanya berbekal ingatan samar dan ilmu yang didapat dari membaca buku dapat mengantarkannya menyelamatkan hidup seseorang.

Anak itu mengembuskan napas. Baiklah. Dia siap.

Si Bocah Dokter menyingkap bagian celana yang menghalangi. Dibukanya sepatu dan kaus kaki agar tidak mengganggu. Ada warna ungu di bagian tengah betis. Alpi mencoba menyentuhnya.

"Aaah!!" Si pria menjerit sambil mengentak kakinya refleks. Raut wajahnya menahan sakit.

"Maaf ... maaf."

Sambil menyuntikan anestesi dengan dosis yang sama seperti saat menjahit luka di dada, Alpi meminta kepada salah satu perawat yang lewat untuk membawakan dua papan kayu berukuran lima puluh sentimeter dan kain bebat dengan panjang satu meter atau lebih. Sigap, perawat pria itu langsung melesat pergi.

Ketika sudah yakin anestesi telah mengalir, Alpi meraba bagian kaki yang keunguan. Ada bengkak di sana. Gejala karena tulang yang patah mengimpit aliran darah sehingga tidak lancar.

Alpi bukan ahli tulang, tetapi dia cukup yakin dengan menggeser-geser tulang tersebut akan memperbaikinya ke keadaan semula. Semoga.

Dirabanya bagian yang dirasa patah. Ada pergeseran pada tibia atau tulang kering. Perlahan sambil menahan napas, Alpi mencoba menyejajarkan tulang itu kembali. Sulit dirasanya ketika harus berurusan dengan sesuatu yang kasat mata. Tulang di dalam balutan kulit dan otot. Salah sedikit bisa fatal. Kalau saja masih ada sekolah kedokteran yang buka, dia rela bekerja keras dan menabung untuk masuk ke sana agar bisa menolong orang lebih banyak dengan benar. Sayangnya, setelah PD3 banyak sekolah dan rumah sakit yang telah hancur dan hanya sedikit sekali yang dapat bangkit.

Si perawat yang Alpi suruh sebelumnya datang di saat yang tepat. Si Bocah Dokter lekas memasang papan di kedua sisi kaki sepresisi mungkin kemudian membebatnya agar tidak bergeser-geser. Beberapa kali diputarnya kain itu mengelilingi kaki agar lebih kuat. Setelah dirasa cukup, Alpi memasang bantal yang tidak dipakai di bawah kaki si pasien; diatur lumayan tinggi melebihi posisi jantung.

"Selesai ...," lirihnya. Dia mengelap keringat yang bercucuran di kening.

Alpi ingin beristirahat sebentar sebelum menangani pasien yang lain. Di saat itulah Zo datang. Dia celingukan dari ambang pintu, menyipitkan mata sambil menaruh tangan di atas alis seperti hormat; mencari seseorang.

Merasa sedang diperhatikan, Alpi melihat ke ambang pintu. "Zo?"

Zo melambai ke arah Alpi ketika anak itu melihatnya. Si Bocah Dokter lantas menghampiri. "Kau mau membantu?" tanya Alpi.

"Sebenarnya aku disuruh Kak Raz ikut berburu mutan," sahut Zo ragu-ragu. Mata hijau gelapnya melihat Raz dan yang lain sedang berbincang.

"Mutan ...." Alpi menyingkir dari lawang agar tidak menghalangi orang melintas. Zo mengikuti. "Kau yakin sudah siap? Kau bisa membantuku kalau mau," kata anak itu sambil berjongkok; punggungnya bersandar pada tembok.

"Cepat atau lambat aku harus belajar memanfaatkan kekuatan tangan ini," Zo menimpali. Dia mengepal-ngepalkan tangan kirinya seperti orang kesemutan yang berusaha menstabilkan syaraf yang ada.

"Aku masih penasaran bagaimana kau bisa berakhir di tempat kami menemukanmu."

"Itu bisa disimpan untuk nanti saat kita kembali." Si Pemuda Cyborg mengusap tengkuknya pelan.

Alpi berdiri. "Berhati-hatilah. Aku tidak ingin menjahit lukamu lagi untuk yang kedua kali atau pun salah satu dari kalian," ingatnya. Dia pergi ke dalam lagi untuk mengurus pasien yang lain.

Zo mengangguk. Lelaki itu lantas kembali menemui Raz. Si pria bersyal yang sedang mengobrol dengan seseorang dari kelompok Resist beralih ke arahnya. "Kau sudah siap?" tanya Raz. "Kita akan berangkat sebentar lagi setelah diberi pengarahan oleh Sersan Lucian."

...

Empat Humvee keluar dari gerbang. Satu dari Exist, dua dari Resist dan satu lagi bantuan yang baru datang dari Hope. Mereka berkendara ke Barat mengikuti aliran sungai menuju lembah yang diyakini sarang para mutan. Perburuan dilakukan semata-mata agar tidak ada lagi mutan liar tersisa yang dapat menyerang.

Suara mesin menderu di tengah percakapan para pria berbadan besar yang sedang membahas strategi. Mobil-mobil ala militer itu meninggalkan jejak roda di tanah batu berpasir berwarna cokelat kering. Debu-debu dari tanah beterbangan di tiup angin. Aroma keringat dari para lelaki yang kepanasan karena terik matahari menguar.

Sersan Lucian sangat yakin mereka berasal dari lembah yang tak jauh dari sana. Dia tahu berdasarkan jejak kaki para mutan yang tercetak jelas di tanah kering. Untuk sampai ke tempat itu, para prajurit harus melewati padang rumput tandus dengan ilalang dan rumput bola yang menghias. Tanaman kaktus sesekali terlihat di area yang lebih kering. Pohon akasia yang jarang tumbuh terkadang terlihat di beberapa titik. Seolah menjadi pelengkap, jauh di kaki cakrawala, siluet pegunungan membatasi antara langit dan bumi.

Di salah satu Humvee, duduk di bagian belakang seorang pria berambut spiky berwarna cokelat terang berwajah khas Timur Tengah dengan mata biru tengah mengobrol dengan seorang pemuda cyborg berambut pendek. "Kau yakin tidak bisa menggunakan senjata api?"

"Ya ... yakin," si Pemuda Cyborg menjawab rikuh.

"Tidak bohong?" Raz terus menekan lawan bicaranya. Zo menggeleng cepat sebagai respons. "Kau berkeringat."

"Panas," timpal Zo sambil mengibas leher.

Raz masih tidak yakin dengan pengakuan Zo. Matanya memicing memperhatikan. "Tapi, kau menembak salah satu mutan saat menyelamatkanku?"

"Refleks?" jawab Zo dengan nada yang seolah bingung dengan apa yang telah dia lakukan.

Raz mengangguk mafhum. "Okey." Dia lantas mengambil senjata api; mengajari Zo bagaimana cara menggunakannya dengan benar.

"Pegang dengan mantap. Jari telunjuk jangan berada di pelatuk sampai kau ingin menembak. Biarkan tetap lurus!" Raz menempelkan popor senjata ke pipinya. "Cheek-to-wield," katanya menjelaskan apa yang dilakukan. Setelah itu, si Pemuda Bersyal memperlihatkan bagaimana membidik yang tepat, cara meredam getaran karena dorongan senjata saat menembak, mengganti selongsong peluru, dan lain sebagainya. Semua itu Raz tumpahkan dalam satu kali perjalanan sebelum Zo praktikum.

Empat Humvee menuruni lereng yang terjal. Sesekali batu kerikil menemani mereka di perjalanan. Suara air terjun dari sungai yang mengalir di atasnya mengalun bagai musik alam. Di kejauhan, sebuah telaga di pinggir tebing curam terlihat bagai oase di padang gurun. Rumput-rumput hijau menghias. Pohon-pohon tumbuh subur: akasia, palem, kelapa. Bunga warna-warni menyejukkan mata. Kontras dengan itu semua, beberapa makhluk hitam besar dengan berbagai bentuk sedang minum.

Mendengar deru mesin bising yang mendekat, hewan-hewan itu mendongak. Mereka menggeram sambil memperlihatkan gigi-gigi tajam bagai pisau. Sedetik kemudian, para mutan itu menyerang.

Berondongan peluru pertama berasal dari salah satu gun turret Humvee milik Resist. Para prajurit turun dengan cepat sambil menembak. Mutan-mutan yang terkena langsung berjatuhan, ada juga yang bangkit kembali.

Para prajurit itu mengepung telaga. Mereka mengambil posisi seperti yang telah diinstruksikan sebelumnya. Pojokkan para mutan di satu titik, musnahkan tempat tinggalnya, bakar sisa yang ada.

Dar! Dar! Dar!

Peluru ditembakkan ke segala arah. Bukannya berkurang, mutan-mutan malah bermunculan dari salah satu gua yang ada di tebing. Mereka keluar seperti laron yang terbang mencari sumber cahaya.

"Aaarg!" Salah satu prajurit dari Hope terkena serangan. Salah satu mutan berbentuk serigala berkaki enam berhasil mencabik tubuhnya. Dengan cepat temannya memberondong si mutan agar pria itu selamat.

Raz memperhatikan sekeliling. Zo di sampingnya tampak gemetar sambil memegang senjata api. Beberapa kali dia menelan ludah, mencoba menegarkan hati.

"Kau bisa," kata Raz sambil menepuk si Pemuda Cyborg. "Ingat saja apa yang kujelaskan."

Setelah mengatakan itu, Raz ikut menembak. Dia pergi ke pinggir telaga; membunuh para mutan yang menyerang teman sejawatnya. Riak air yang tenang kini telah berubah ganas. Suara tembakan bersahutan dengan raungan para mutan yang tumbang.

Zo bergeming. Kakinya seolah tidak dapat digerakkan. Di tengah desing peluru dan umpatan, si Pemuda Cyborg hanya bisa menatap kosong. Dia baru tersadar ketika Raz menggabruknya, menembak ke arah depan, lantas memaki. Satu mutan serigala yang hampir membunuhnya terkapar.

"Kau kenapa, Zo?!" tanya Raz sambil masih menembak. Dia menyuruh Zo untuk berdiri. "Cepat! Atau kau bisa mati!"

"Tim Alfa! Kita akan menghabisi mutan yang ada! Tim Beta! Jaga di luar untuk kemungkinan serangan!" pekik seseorang dari Resist yang ditunjuk jadi komandan tim.

Tim Alfa yang terdiri dari Exist dan Resist kelompok satu memasuki mulut gua. Lebarnya yang sempit hanya bisa menampung tiga orang dalam sekali jalan. Mereka yang berjumlah sepuluh orang berjalan dalam tiga baris, satu orang memimpin di depan.

Gua itu gelap dan lembap. Senter yang dibawa bahkan hanya dapat menerangi jalan yang dipenuhi genangan air di beberapa titik sejauh satu meter. Sesekali air yang menetes dari stalaktit di langit-langit gua mengenai para prajurit dan membuat mereka terkaget atau hanya menimbulkan suara "clak ... clak ..." saat jatuh di genangan air.

Zo mendengus. Ditutupnya hidung dengan satu tangan. Bau tahi kelelawar sangat menyengat saat mereka semakin dalam. Ketika seseorang menggerakkan senter ke arah langit-langit, puluhan kelelawar beterbangan keluar menghindari cahaya yang menyorot. Mereka semua menunduk mengelak para mamalia bersayap itu. Suara kepak sayap dan umpatan menggema di dalam gua, bersamaan dengan geraman yang membuat para prajurit itu bungkam seketika.

~~oOo~~

Diterbitkan: 17/12/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro