BAB 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

      "Kenapa harus bunuh-bunuhan?" Ryu masih mengenang kejadian kemaren sore. Rekaman ingatan yang nyaris mengganggu pelajarannya.

      "Kenapa harus dipikirin? Bukannya membunuh dan dibunuh udah ada sejak lama?" Chica menjilati es krim yang tinggal setengah.

      Mereka ada di Cafetaria 5 meter dari sekolah. Chica terpaksa mengunjungi sekolah lamanya untuk mengantarkan surat pada kepala sekolah atas perintah ayahnya.

      Tak seorang pun menyadari kehadirannya. Padahal di seberangnya, ada dua orang gadis teman kelas Chica sewaktu masih berada di tingkat pertama. Hoodie yang melekat di badan, rambut sambung warna-warni dan softlens emerald berhasil menyembunyikan jati dirinya. Ryu bahkan nyaris tidak mengenali sosok tambatan hatinya, saat tak sengaja berpapasan di koridor depan ruang guru.

      "Ya, tapi kenapa ngebunuh gitu? Kenapa nggak dibicarain baik-baik? Kayak nggak ada cewek lain aja," gerutu Ryu.

      Chica menyentil kening Ryu. "Emang kalau lagi emosi bisa berpikiran jernih? Terutama soal cinta, A = A+, B = B+, kalau A = B+ jelas bakal ada yang marah, apalagi kalau kasusnya A = A+ : C, ya A jelas murka, paham?"

      Mendengar penjelasan perempuan di depannya, Ryu merasa gemas. Ini kali pertamanya Chica berbicara cukup panjang. Mungkinkah gadis itu mulai merasa nyaman ada di dekat Ryu?

      "Nggak paham, soalnya kamu belum dihinggapi lebah lain," gurau Ryu, dia berdiri dari posisi nyamannya. "Pulang, yuk? Biar bisa ujan-ujanan di jalan."

      Chica menengadah. Langit memang sudah sangat kelam dan angin berhembus hebat mengeluarkan seluruh tenaganya.

      "Ayo! Tapi jelasin dulu tadi maksudnya aku dihinggapi lebah lain apa?"

      "Nggak mau! Kamu masih kecil belum ngerti apa-apa," ledek Ryu dan dia berlari meninggalkan Chica. Mau tidak mau Chica mesti mengejar laki-laki itu.

      "Selisih umur kita cuma sedikit, ya! Jangan sok tua! Ryu!!!" Chica mengejar Ryu seraya melepaskan softlens. Dia sudah keluar dari lingkungan sekolah, tak perlu lagi ada penyamaran. Lagipula dia benci memakai softlens. Merepotkan!

      Ryu memperlambat langkah. Hujan deras berjatuhan dari awan. Dia menengok ke belakang,  mendapati gadis itu tengah menyerahkan wajahnya agar tetesan-tetesan air langit yang tidak terhitung banyaknya mendarat di wajah mulusnya.

      Kembali Ryu mengabadikan momen tersebut. Satu jepretan sudah cukup baginya, dia sudah terbiasa memotret benda bergerak dengan cepat. Tapi sewaktu memeriksa hasilnya, Ryu melihat ada yang janggal dari foto itu.

      Mereka sedang berada di perempatan jalan sekolah. Kondisi jalan lengang karena hujan yang turun begitu deras dan angin yang cukup kencang. Di dalam foto, dibalik tirai-tirai bening milik langit, seseorang berlari ke arah Chica memegang senjata.

      Ryu telat menyadari hal tersebut. Chica telah bertarung memakai tongkat yang entah darimana gadis itu dapatkan. Dia berlari mendekatinya berniat membantu, namun saat melihat raut wajah ceria itu, langkah Ryu terhenti. Dia sedikit ngeri menyaksikan Chica menikmati pertarungannya. Seperti bukan gadis biasa.

      "Belum ada perkembangan dari lu, membosankan." Chica tiba-tiba berucap demikian. Seolah menyatakan dia mengenal lawannya.

      "Udah, ah! Ada yang ngeliatin, bahaya kalau dia teriak," sindir sosok yang memakai topeng putih itu.

      Raka. Itu Raka.

      "Sialan, gua kira siapa!" Ryu bernapas lega.

      "Nggak usah kaget gitu, Ryu. Mereka emang biasa main belakang gini," Arya keluar dari warung fotocopy di samping mereka. "Pamer kemampuan bela diri."

      "Iri bilang!" cibir Raka.

      "Tapi kemampuan Kak Arya dua tingkat lebih baik dari lu, Kak," bela Chica.

      Melihat keakraban ketiganya, Ryu bisa membayangkan hari-hari Raka dan Arya semasa Chica masih bersekolah di sini, bahkan dia juga mengkhayalkan dirinya sendiri yang ke mana-mana dibuntuti Chica bila saja anak itu tidak homeschooling dan kembali beraktifitas normal.

      Khayalan tinggal khayalan. Chica pernah mempertegas diri dia tidak akan kembali ke sekolah ayahnya itu.

      "Dia apa kabar?" Ryu tahu siapa yang dimaksud Arya.

      "Nggak tahu, dua hari setelah kejadian itu kami lost contact."

      "Jadi bener dia hilang?" tanya Raka tidak percaya. Chica mengangguk. "Jangan-jangan dia jadi korban si pembunuh berantai itu? Gua denger 'kan ada satu korban yang belum teridentifikasi karena terlalu rusak,"

      Chica mengangkat kedua bahunya.

      Di dalam hujan, mereka berempat tertawa riang sambil sesekali melempar guyonan, tanpa sadar ada yang memperhatikannya dari jauh, dari balik tembok sebuah rumah tak berpenghuni.

_o0o_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro