BAB 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

      "Dua kasus sebelumnya kita abaikan," kata Pak Edi selaku Kasat Reksrim. "Dua kasus awal berbeda dengan kasus yang sedang kita tangani dan pelakunya udah ditangani pihak Polsek."
     
      Ada rasa lega dalam diri Rayyan, tapi di saat yang bersamaan, kecemasannya meningkat. Dua kasus awal sudah ditemukan polanya, kalau itu bukan merupakan bagian dari peristiwa gang berdarah, maka mereka sama sekali tidak memiliki petunjuk apa-apa, selain para korban tewas disiksa dan dimutilasi.

      Desahan yang sama diwujudkan teman-teman satu tim Rayyan. Mereka merasakan lelah dan kecewa yang sama.

      "Kalian udah menyelidiki latar belakang korban?"

      "Kami udah tanya ke pihak sekolah dan teman-temannya," jawab Rio, partner sejati lapangan Rayyan. "Secara garis besar mereka bukan anak-anak biang onar, satu korban terakhir memang terkenal jahil, tapi kejahilannya masih ditolerir sama teman-temannya."

      "Hubungan para korban dan keluarganya?"

      "Sangat baik, Pak." Jawaban itu keluar dari mulut Vinto, laki-laki berkulit sawo matang dan bersuara bariton.

      "Pak, kalau begini terus, apa mungkin korbannya random? Yang penting punya ciri laki-laki berwajah mendukung, kisaran 15-17 tahun dan bersekolah di sekolah swasta?"

      Mendengar buah pikir temannya, kepala Rayyan seakan diterangi jalan tembus lainnya. Ada hal yang belum dia coba dan malah terabaikan. Membuatnya terlalu berkonsentrasi menghitung berapa persen kemungkinan jalan yang akan dicobanya berhasil dan melenyapkan suara-suara argumentasi dari indera pendengarannya. Lagi pula, dia masih memiliki satu saksi rahasia yang enggan berhubungan dengan kepolisian.

      Ya, mungkin dia bisa mengingat sesuatu yang penting.

      "Saya mau kalian telusuri lagi masa lalu korban, pacar korban atau teman-teman korban di luar lingkup sekolah."

      Maka perintah itu menutup rapat siang hari ini. Sang kepala keluar ruangan, membiarkan para bawahannya berdiskusi menyusun siasat. Tapi yang terjadi, mereka sibuk menggerutu.

      "Ini jaman modern, masa iya nggak bisa ngelacak pelaku?" Zen yang sejak tadi diam menyimak akhirnya buka suara.

      "Masalahnya, kita nggak punya petunjuk, jejak sepatu aja nggak ada. Benar-benar bersih. Gua rasa ini sih pro banget bukan noob lagi."

      "Pelakunya terlalu cerdas," ungkap Rio. "Dia memanfaatkan hujan dan belakang rumah warga yang jarang dilalui, mau taruhan umur?"

      "Kisaran pertengahan dua puluhan gua yakin." Mata Zen berbinar.

      "Gua sih yakin awal tiga puluhan." Vinto memasang taruhannya.

      "Gua sama kayak Vinto," sambung Andreas.

      "Lu, Ray?" Rio menatap partner-nya sejak masih dalam masa pelatihan.

      "Gua nggak ikutan dulu, feeling gua ini lebih dari satu orang."

      "Gua ikut Zen. Yang kalah traktir yang menang di Hanamasa, ya!" seru Rio.

      Benak Rayyan masih saja terganggu pada kejadian malam itu. Saat menjemput temannya dan menemukan korban terakhir. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam kasus gang berdarah, dia yang menjadi pelapor atas temuan jasad termutilasi. Kondisinya masih sangat baru. Satu hal yang mengalir dalam darahnya melihat si korban, bahwa firasatnya mengatakan sesuatu yang spektakuler akan menyapa masa karir kepolisiannya.

      "Gua cabut duluan, ada yang harus gua cari."

      Rayyan menggantung jaket boomber-nya dibahu dan pergi membawa berkas yang sudah dirapikannya.

      "Tadi dia bilang nggak mau ikut taruhan, kan?" tanya Zen memastikan. Semua mengangguk. "Tapi bukannya tadi dia nyebutin pendapatnya soal kasus ini?"

      "Ah, gua harap dia yang kalah, lumayan 'kan kalau Rayyan yang traktir, bisa puas kita." Tawa keempat laki-laki tersebut.

_o0o_

      
     

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro