3🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hujan turun dengan lembut, suara rintik-rintiknya memecah keheningan di atas genting. Filomela yang baru terjaga dari tidurnya menguap lebar, menyadari bahwa pagi ini sepertinya dia harus membawa payung dan jas hujan ke sekolah.

Dengan susah payah mengangkat tubuhnya dari kasur, gadis berambut merah muda itu melangkah gontai menuju kamar mandi. Ia berniat membasuh tubuhnya, bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Setelah mandi, Filomela telah siap dengan seragam sekolahnya—kemeja putih dan rok abu-abu. Suara gemuruh dari langit sedikit membuatnya takut, namun dia tetap harus pergi ke sekolah. Terlebih lagi, hari ini ada banyak PR yang harus dikumpulkannya. Jika ia tidak berangkat, ia akan tertinggal jauh dari teman-teman sekelasnya.

"Mau Papa antar?" ucap seorang pria paruh baya, berambut hitam pendek, yang duduk di depan Filomela yang sedang sarapan di meja makan.

Pria itu kelihatannya ayah dari Filomela, ekspresinya tampak begitu tenang, menyesap teh hangat di pagi hari yang dingin seperti ini.

Menggeleng, Filomela memberikan respon pada ayahnya. "Engga usah, Pa," jawab Filomela dengan tersenyum manis. "Aku mau pake jas hujan sama bawa payung juga, jadi Papa ga perlu khawatir."

Ayahnya menatap wajah Filomela dengan penuh perhatian sebelum pandangannya beralih, tertuju pada seorang laki-laki muda yang datang ke meja makan, bergabung dengan mereka dan mulai menyantap makanan.

"Ricky, hari ini kamu jangan bawa motor, di luar hujan deras, Papa takut kamu kenapa-napa," kata pria tersebut pada laki-laki berambut hitam yang rambutnya acak-acakan seperti landak. "Kamu naik bus aja bareng Filomela."

"Ga mau," timpal Ricky, dengan begitu ketus, sambil melahap dan mengunyah ayam goreng di tangannya. Matanya sekilas melirik ke arah Filomela yang duduk di sampingnya. "Naik bus, apalagi bareng bocah ini, ogah."

Mendengar celotehan Ricky, Filomela langsung menoleh dengan mengembungkan dua pipinya kesal. "Maksudnya apa Kak Ricky bilang gitu!? Mau berantem lagi sama aku!?"

"Sudah sudah," Ayah mereka segera bersuara lagi, menyaringkan nadanya, melerai kedua anaknya yang hampir mau bertengkar di depannya. "kalian ini saudara kandung, harusnya saling sayang, bukan berantem terus."

"Kak Ricky yang mulai duluan, Pa!" seru Filomela, menodongkan telunjuknya ke arah kakak laki-lakinya.

Ricky hanya mengunyah santai, tampak tidak peduli dengan situasi.

Setelah sarapan, Filomela cepat mengenakan jas hujan merah mudanya, sehingga seragam sekolahnya terlindungi oleh lapisan plastik dari jas hujan. Di tangan kanannya, ia memegang payung yang warnanya serasi dengan jas hujannya.

Dengan senyum lebar, Filomela melambaikan tangan kepada ayahnya yang berdiri di ambang pintu depan. Setelah itu, ia membalikkan tubuhnya dan beranjak menuju halte bus terdekat.

Sementara itu, Ricky dengan motornya yang menggerung-gerung, keluar dari garasi dan langsung melesat ke jalan raya, menuju ke sekolah yang sama dengan Filomela.

Ricky dan Filomela hanya beda dua tahun, sang kakak sudah jadi senior kelas 12, sedangkan adiknya masih junior kelas 10.

"Hujannya belum reda-reda ya." Filomela, yang telah duduk di kursi bus, bergumam sambil memandangi kaca, memperhatikan pemandangan di luar yang masih dilanda hujan deras.

Bus berhenti di depan gerbang SMA Garuda, dan Filomela bersama para siswa lainnya turun secara bersamaan dari kendaraan tersebut. Dengan payung terbuka dan tergenggam erat, Filomela segera berlari kecil memasuki gerbang, menuju halaman sekolah.

Sesampainya di koridor, Filomela membuka jas hujannya dan menutup payungnya. Ia merasa lega bisa tiba di sekolah dengan selamat meski cuaca sangat buruk. Biasanya, Filomela enggan berangkat sekolah saat hujan deras, namun entah mengapa, hari ini ia merasa begitu bersemangat.

"Hai semuaaa~" sapa Filomela saat memasuki ruang kelasnya yang sudah ramai.

Anehnya, tidak ada yang menjawab sapaan Filomela, bahkan tidak ada satu pun yang melirik ke arahnya, seolah-olah ia sudah jadi orang asing di mata teman-teman sekelasnya.

Bukan hanya teman-teman sekelasnya yang bersikap aneh; bahkan anggota geng populer yang terdiri dari Agnes, Hera, dan lainnya, juga bersikap dingin. Mereka seolah-olah telah membangun dinding tak terlihat untuk menjaga jarak dari Filomela.

"Ada apa sih? Kok kayaknya sikap semua orang jadi berubah sama aku?" tanya Filomela, setelah duduk di kursinya, pada rekan sebangkunya yang merupakan seorang perempuan berkaca mata berambut cokelat panjang, yang rambutnya dikepang dua, seperti gaya rambut gadis-gadis desa.

"Emm..." Rekan sebangku Filomela tampak ragu untuk menjelaskan alasan sebenarnya, namun tampaknya dia harus mengungkapkannya agar gadis berambut merah muda itu bisa memahami situasinya. "Kami semua sudah sepakat, untuk tidak lagi menganggap kamu sebagai teman sekelas."

Membelalak, Filomela terkejut mendengar penjelasan itu. Ia langsung berseru-seru, "Hah!? Kok gitu!? Emangnya aku ngelakuin kesalahan apa sampai kalian semua gak mau lagi anggap aku sebagai teman sekelas?"

Meneguk ludahnya, gadis berkaca mata itu canggung, tapi mau tidak mau dia memberanikan diri untuk memberitahu. "Soalnya, ada foto viral yang diposting oleh akun anonim ke media sosial, yang isinya itu foto kamu lagi ciuman sama perempuan."

"C-Ciuman sama perempuan!?" Filomela histeris, dia tidak pernah menyangka foto masa lalunya saat masih SMP bisa tersebar, viral di media sosial, dan diketahui oleh semua teman-temannya, membuat mereka semua jadi menjaga jarak darinya.

"Iya," jawab rekan sebangkunya, menganggukkan kepala. "Kami sebenarnya gak tahu itu foto asli atau palsu, tapi karena fotonya kelihatan kayak asli, jadi kami sepakat buat cari aman, menjaga jarak dan menolak dekat lagi sama kamu."

Mengerjap-erjapkan bulu matanya, Filomela jadi resah dan panik.

Saat istirahat, Filomela mendapati dirinya sendirian. Tidak ada lagi yang mengajaknya ke kantin atau berkumpul di belakang sekolah; semua orang menghindarinya, mengabaikannya, dan mengucilkannya. Dengan hati yang terluka, Filomela akhirnya menyantap makan siangnya di dalam toilet, tanpa seorang pun menemani.

Air matanya berlinangan, kunyahan tiap makanannya terasa pahit, suasana hatinya sedang sangat buruk.

Kini, identitas asli Filomela sudah terungkap, dan masa lalunya yang tersebar menghancurkan reputasinya dalam sekejap. Dia merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa, selain menerima keadaan dengan lapang dada. Karena, percuma saja mengejar mereka yang sudah menolak kita.

Dengan terisak, Filomela menangis, suara senggukannya menggema di toilet.

Seketika, suara ketukan terdengar dari pintu biliknya, menghapus air mata di pipi, Filomela segera membuka pintunya, melihat siapa orang yang barusan mengetuk.

"Laila?" Filomela terkejut saat menyadari orang yang mengetuk bilik toiletnya ternyata Laila, gadis berkaca mata, yang rambut panjang cokelatnya dikepang dua, rekan sebangkunya.

"Filomela, ini buat kamu," Laila mengulurkan sebuah roti kemasan dan sebotol minuman kola pada Filomela. "Maaf, aku cuma bisa ngasih ini."

Laila segera berlari keluar dari toilet setelah menyerahkan semua itu kepada Filomela. Tak sepenuhnya memahami maksud gadis itu, Filomela hanya menerimanya dengan senyum getir, terharu karena menyadari bahwa masih ada orang baik di sekelilingnya.

"Padahal aku belum ngucapin makasih, dasar." kata Filomela, membicarakan tingkah Laila.

Selama pelajaran kelas berlangsung, Filomela merasa teman-teman kelasnya memperhatikannya dalam diam sembari tertawa-tawa kecil, sepertinya mereka semua sedang menertawakan sambil menjelek-jelekan gadis itu di grup kelas baru yang tidak lagi menyertakan Filomela di dalamnya.

Filomela berusaha keras untuk tetap fokus, menahan emosi dan kesedihannya. Lawannya bukan hanya satu atau dua orang, melainkan hampir seluruh kelasnya. Meskipun mustahil baginya untuk melawan mereka, setidaknya dia harus serius dalam menyerap ilmu dari guru.

"Kok sendirian aja?" Ekspresi murung Filomela berubah jadi penuh senyuman saat berpapasan dengan Astrid di koridor, Si Ketua OSIS kelihatan sibuk membawa tumpukan buku yang begitu tinggi di dua tangannya. "Teman-temanmu masih engga mau nganterin kamu ke kantin?"

"E-Enggak, kok," respon Filomela dengan tertawa palsu. "Mereka udah pada di kantin, aku mau nyusul."

"Oh ya?" Astrid mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kirain kamu lagi dijauhin sama mereka."

Mendengar omongan Astrid, Filomela langsung membeku, mukanya jadi pucat.

"Kamu kenapa? Kok mukanya tegang lagi?" Astrid mendekat, mengamati raut wajah Filomela.

Cepat-cepat Filomela menggeleng, dan menarik kepalanya, menjauh dari mukanya Astrid. "A-Aku Cuma lagi ga enak badan aja."

"Denger-denger," Astrid mulai bicara lagi, tapi suaranya kini dipelankan, jadi seperti bisikan pada Filomela. "Kamu itu lesbian ya?"

Suasana langsung hening, Filomela jadi mematung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro