4🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika Astrid melontarkan pertanyaan seperti itu kepada Filomela, gadis berambut merah muda itu tampak membeku, bingung, dan gelisah, tak tahu harus bagaimana merespons. Apalagi, mereka berada di koridor yang ramai oleh lalu-lalang siswa.

Dengan situasi yang serba tidak nyaman, Filomela hanya bisa menundukkan kepala. Rasanya semua orang sudah mengetahui tentang foto viral tersebut, sesuatu yang tidak mengherankan mengingat popularitas Filomela di sekolah.

Namun, diketahui oleh Astrid-orang yang diam-diam disukai Filomela-membuat situasinya semakin rumit.

"Filomela?" Astrid terheran melihat Filomela jadi terdiam di hadapannya.

Tanpa menjawab pertanyaan Astrid, Filomela malah melarikan diri, meninggalkan Si Ketua OSIS yang masih berdiri dengan tumpukan buku di koridor.

Astrid mengamati Filomela dari kejauhan dan merasakan betapa tertekan gadis berambut merah muda itu. Dia mulai merasa bersalah karena telah bersikap tidak peka terhadap situasi yang dialami Filomela.

Setelah kembali bersembunyi di bilik toilet, Filomela berusaha mengatur napasnya. Ketegangan di hatinya masih terasa membakar, gadis itu tampak panik.

Namun, seiring berjalannya waktu, emosinya mulai mereda, ekspresi tegangnya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh raut penuh penyesalan.

"Kenapa aku malah kabur sih, padahal tinggal jawab aja, duh!" pekik Filomela, marah pada dirinya sendiri yang bersikap pengecut di depan Astrid. "Kalaupun Astrid udah tahu soal itu, emang kenapa? Bukannya itu jadi kesempatan besar buat aku jujur sama dia! Filomela, kamu itu bener-bener nyebelin!"

Tentu saja, karena tindakannya yang konyol, Filomela merasa malu dan canggung jika harus bertemu lagi dengan Astrid. Ia sangat menyesali sikapnya yang memilih untuk melarikan diri dari pertanyaan sederhana yang diajukan oleh Astrid.

Namun, Filomela tidak tahu kalau sebenarnya Astrid juga sama sepertinya, sama-sama merasa bersalah.

Keesokan harinya, situasinya hampir sama dengan hari sebelumnya: tidak ada seorang pun di kelas yang mau berinteraksi atau berbicara dengan Filomela.

Mungkin tidak sepenuhnya tepat untuk mengatakan "tidak ada satupun," karena masih ada satu orang yang tampaknya tetap bersedia menjalin keakraban dengan Filomela, meskipun teman-teman sekelasnya menjauhi dan memusuhinya.

Orang itu adalah Laila, gadis berkaca mata, berambut cokelat yang dikepang dua, yang juga merupakan teman sebangku Filomela.

"Kenapa kamu masih mau ngobrol sama aku?" tanya Filomela saat jam istirahat, ketika ia tengah sibuk mencatat tugas di bukunya. "Emangnya kamu ga takut dimusuhin sama yang lain?"

Laila, yang masih duduk di samping Filomela dan belum berniat pergi ke kantin, segera menjawab pertanyaan itu dengan tenang, "Aku ga peduli sama yang lain, soalnya dari dulu mereka juga gak mau temenan sama aku," kata Laila, dengan suaranya yang lembut. "Cuma kamu, Filomela, satu-satunya orang yang mau temenan sama aku, bahkan kamu juga mau sebangku sama aku, padahal dulu banyak banget yang pengen sebangku sama kamu."

Filomela tertegun, mengingat kembali masa-masa awal semester ketika banyak teman sekelasnya ingin duduk bersamanya, namun ia justru memilih untuk duduk dengan gadis pendiam dan penyendiri seperti Laila, yang membuat banyak orang merasa kecewa.

Dengan tawa canggung, Filomela menoleh ke arah Laila sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Ahahaha, kamu ternyata masih inget ya, aku aja udah hampir lupa."

Tiba-tiba, Laila mencengkeram bahu Filomela dan menatap tajam ke wajahnya. "Sampai kapanpun, aku gak akan pernah lupa soal itu," kata Laila, tatapan tajam di matanya perlahan-lahan berubah menjadi tatapan berkaca-kaca yang hampir meneteskan air mata. "Kalau ga ada kamu, mungkin sampai sekarang, aku akan selalu duduk sendirian di sini."

Filomela terpaku oleh intensitas emosi yang dipancarkan oleh Laila. Gadis berkacamata ini benar-benar serius, tidak ada sedikit pun kebohongan atau kepalsuan-semuanya tampak tegas dan jelas.

Cengkeraman tangan Laila di bahu Filomela mulai melonggar saat bulir-bulir air mata mulai mengalir di pipi gadis berkacamata itu. Melihat teman sebangkunya menangis hanya karena kejadian di masa lalu membuat Filomela terharu.

Ia tidak pernah menyangka bahwa keputusan kecil yang diambilnya dulu ternyata bagi Laila adalah momen bersejarah yang akan selalu dikenang sepanjang hidupnya.

"Laila..." Saking terharunya, Filomela segera memeluk Laila dengan erat.

Meskipun awalnya gadis berkacamata itu terkejut oleh pelukan mendadak, ia akhirnya tersenyum bahagia.

Sepulang sekolah, Filomela terkejut melihat Astrid berdiri di gerbang, entah sedang menunggu siapa. Dengan cepat, Filomela menundukkan kepalanya dan terus berjalan seperti biasa, berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang agar Ketua OSIS itu tidak menyadari kehadirannya.

Namun, tampaknya hal itu hampir mustahil, mengingat penampilan Filomela yang sangat mencolok-dengan rambut merah mudanya dan berbagai aksesoris pink yang dikenakannya. Sangat mudah bagi orang lain untuk mengenalinya, bahkan dari kejauhan.

"Filomela!" Astrid memanggil Filomela dengan suara lantang saat gadis berambut merah muda itu mencapai ambang gerbang. "Filomela hey!" Si Ketua OSIS berlari kecil, mendatangi Filomela. "Hey, aku manggil loh, kamu enggak denger?"

Terpergok, Filomela akhirnya mengangkat kepalanya kembali dan memberanikan diri untuk menatap wajah Astrid yang kini berada di sampingnya.

Dengan suara bergetar, Filomela mulai berbicara, "I-Iya?"

"Kamu ada acara ga hari ini?" tanya Astrid, sambil menyunggingkan senyuman hangat, penuh semangat.

Filomela menjawab dengan menggelengkan kepala.

"Mau ga main bareng sama aku hari ini? Aku pengen karaokean sama kamu."

Seketika, seluruh wajah Filomela memerah pekat. Apa ini? Ajakan kencan? Filomela benar-benar terkejut mendapati bahwa Astrid, gadis yang ia sukai, mengajaknya berkencan. Ia merasa seolah-olah sedang bermimpi, tidak percaya bahwa hari ini, gadis yang disukainya mengajaknya kencan.

"B-Boleh." jawab Filomela, malu-malu.

Akhirnya, Astrid dan Filomela sepakat untuk pergi ke tempat karaoke.

Dalam perjalanan, Astrid banyak berbicara tentang berbagai hal, sementara Filomela hanya mendengarkan. Ia tidak seceria seperti biasanya, mungkin karena identitasnya yang telah terungkap dan perundungan yang dialaminya dari teman-teman sekelas, membuatnya sulit untuk kembali ceria seperti hari-hari sebelumnya.

"Kamu mau nyanyi apa?" tanya Astrid setelah mereka tiba di tempat karaoke, berada di dalam ruangan kedap suara.

Filomela menggeleng, menunjukkan bahwa ia belum siap untuk bernyanyi. Akhirnya, Astrid memutuskan untuk bernyanyi sendirian.

Lagu-lagu yang dipilih Astrid semuanya bertema percintaan, membuat Filomela merasa canggung. Beberapa lagu yang dinyanyikannya bahkan mengangkat tema rasa suka yang tersembunyi, dengan lirik yang sangat mirip dengan perasaan Filomela terhadap Astrid.

Namun, tiba-tiba, Astrid meletakkan mikrofonnya di meja dan duduk di dekat Filomela, membiarkan musik terus mengalun tanpa vokal. Filomela merasa canggung saat Astrid terus menatapnya dalam keheningan, sebelum akhirnya gadis berkuncir kuda itu mulai berbicara.

"Filomela, aku minta maaf soal yang tadi siang, aku bersikap tidak sopan dan kurang ajar sama kamu," ungkap Astrid, mengeluarkan keresahan dalam hatinya. "Aku menyesal bertanya sesuatu yang sensitif tanpa lihat situasi, padahal lagi di koridor, banyak orang yang lewat, tapi dengan polosnya aku malah bertanya hal sesensitif itu sama kamu."

Mendengar semua yang dikatakan oleh Astrid membuat Filomela tercengang. Ia tidak menyangka bahwa Si Ketua OSIS merasa bersalah atas kejadian di koridor-sebuah pengakuan yang sangat mengejutkan.

Padahal, menurut Filomela, dirinyalah yang seharusnya meminta maaf.

"Kamu enggak salah, aku yang salah," jawab Filomela, menyaringkan suaranya, agar bisa terdengar oleh Astrid. "Bukannya menjawab pertanyaan dari kamu, aku malah kabur tanpa permisi. Jelas-jelas, aku yang tidak sopan dan kurang ajar sama kamu. Aku yang seharusnya minta maaf."

Menyadari bahwa mereka berdua sama-sama merasa bersalah, Filomela dan Astrid saling bertukar pandang selama beberapa detik, sebelum akhirnya tawa mereka pecah bersamaan.

"Ya ampun, ada-ada aja." kata Astrid, terkekeh-kekeh

"Aku juga gak nyangka." celoteh Filomela, terkikik-kikik.

Kehangatan dan keakraban kembali terjalin. Filomela tidak lagi merasa canggung, begitu juga Astrid yang merasa lega setelah mengungkapkan unek-uneknya. Interaksi mereka pun kembali seperti sebelumnya, dipenuhi dengan keceriaan dan kebahagiaan.

"Jadi, kamu beneran lesbian ya?" Kini Astrid tidak lagi merasa ragu untuk bertanya mengenai hal tersebut, karena mereka berada di ruang tertutup dan hanya berdua.

Dengan menarik napas panjang, Filomela menjawab, "Iya, aku lesbian," Ekspresi Filomela terlihat tegang. "Aku pernah pacaran sama cewek waktu masih SMP, tapi kami sudah putus."

Astrid mengangguk-angguk, tampak sedang menyimak dengan seksama. "Kalau pacaran sama cowok, pernah?"

Menahan tawanya, Filomela membalas dengan senyuman. "Pernah sih, pas waktu SMP juga." kata Filomela, dengan nada riang.

"Terus?" tanya Astrid, terlihat penasaran ingin tahu detailnya.

Dengan tertawa kecil, Filomela merespons, "Tapi cuma sebentar, soalnya aku ga punya perasaan sama cowok itu."

Berdehem, Astrid kelihatan ingin mengatakan sesuatu yang serius. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa putus sama cewek yang di SMP?"

Seketika, raut wajah Filomela berubah pucat, menunjukkan betapa tertekannya dia mendengar pertanyaan tersebut.

Menyadari perubahan ekspresi di wajah Filomela, Astrid segera berseru, "Kamu ga perlu jawab pertanyaan itu kalau emang itu berat dan privasi! Aku paham kok! Jangan paksa diri kamu buat menjawab pertanyaan itu, Filomela! Aku ga akan marah kok! Tenang aja!"

Dengan menundukkan kepalanya, Filomela mulai berbicara,

"Hubungan kami berakhir karena dia bunuh diri."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro