5🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bunuh diri?" Astrid tampak terperangah, terkejut oleh apa yang baru saja diungkapkan Filomela.

Sungguh tragis, Astrid sulit membayangkan betapa pilunya perasaan Filomela ketika orang yang paling dicintainya memutuskan untuk meninggalkannya selamanya dengan cara yang sangat menyakitkan. Meski tampaknya dari luar Filomela seperti gadis ceria yang hidupnya dipenuhi kebahagiaan, kenyataannya jauh berbeda.

Kini, Filomela tampak muram, dengan sorotan mata yang kosong dan hampa. Astrid merasa bertanggung jawab atas perasaan Filomela yang kembali terpuruk ke dalam kenangan pahit masa lalu akibat dari pertanyaannya. Tidak ingin suasana jadi suram, gadis berkuncir kuda ini segera berusaha mencari cara untuk menghibur Filomela.

"Filomela, aku—" Namun, belum selesai Astrid berbicara, Filomela memotong perkataannya.

"Aku juga mau nyanyi deh!" Tiba-tiba, Filomela bangkit dari kursinya, mengambil mikrofon yang sebelumnya digunakan oleh Astrid, dan segera memilih lagu melalui layar monitor. Setelah menemukan lagu yang diinginkannya, Filomela langsung mulai bernyanyi.

Melihat Filomela yang tengah bernyanyi, Astrid tertegun. Ia tidak menyangka gadis yang sebelumnya tampak depresi dan murung akibat mengenang mantannya kini bisa begitu ceria, bernyanyi dan menari di depannya. Belum lagi, pilihan lagu Filomela yang bergenre hip-hop, sangat kontras dengan suasana hatinya yang sebelumnya.

Namun, Astrid tersenyum melihat Filomela yang sedang bernyanyi. Ia merasa senang melihat gadis berambut merah muda itu mampu menghibur dirinya sendiri, sehingga suasana di ruang karaoke menjadi lebih ceria.

Dengan keringat membasahi tubuhnya, Filomela duduk kembali di samping Astrid setelah menyanyikan lima lagu berturut-turut sambil menari dengan riang. Dada Filomela tampak naik-turun dan napasnya terengah-engah, tetapi ia menoleh ke arah Astrid dengan tawa kecil di bibirnya sambil berkata,

"Suaraku merdu kan?"

Dengan senyum yang tersungging di bibirnya, Astrid mengangguk sambil bilang, "Iya, merdu banget, aku suka."

Filomela hanya terkikik geli, tidak menyangka Astrid menanggapinya dengan serius, padahal itu hanya lelucon semata.

"Ayo, kamu juga nyanyi lagi, Kak Astrid!"

Seketika senyuman di wajah Astrid memudar saat mendengar Filomela memanggilnya dengan sebutan 'kak'. Meskipun wajar, mengingat Astrid adalah kakak kelas Filomela di kelas 11, anehnya ia merasa kurang nyaman dengan panggilan 'kakak' dari gadis berambut merah muda itu.

"Astrid aja, jangan pake 'kak' segala." kata Astrid dengan suara yang tegas, menegaskan kepada Filomela bahwa dia tidak menyukai panggilan tersebut.

Terkejut, Filomela langsung membalas, "Tapi kan, kamu kelas 11, aku kelas 10."

Sambil menggelengkan kepalanya, Astrid menjawab, "Cuma beda 1 tahun, masih bisa dianggap sebaya, kan?" Astrid melipat dua lengannya di dada, menatap wajah Filomela. "Mungkin kalau di lingkungan sekolah, kamu boleh manggil aku dengan 'kak', tapi kalau di luar sekolah, cukup panggil 'Astrid' aja."

Setelah memahami penjelasan Astrid, Filomela tersenyum lebar sambil mengangkat dua jempolnya. "Oke! Astrid!"

Filomela dan Astrid jadi tertawa bersama, menertawakan diri mereka sendiri.

Menyadari waktu mereka di tempat karaoke hampir habis, Filomela merapikan helaian rambut merah mudanya yang sedikit kusut, bersiap untuk pulang. Sementara itu, Astrid tampak terdiam, tatapannya terus tertuju pada Filomela, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dia sampaikan kepada gadis itu.

"Pulang aja yuk! Waktu kita tinggal 10 menit lagi!" seru Filomela pada Astrid, mengajaknya pergi dari tempat ini.

Sayangnya, Astrid tampak enggan merespons perkataan Filomela. Sebaliknya, ia membuka mulutnya untuk mengungkapkan hal lain.

"Filomela," kata Astrid dengan suara lembut dan penuh keraguan. "aku pengen ngomong sebentar, boleh?"

Dengan kepala sedikit miring dan kening berkerut, Filomela menatap heran ekspresi wajah Astrid yang tampak sangat serius. "Emangnya mau ngomong apa?"

"Aku tahu, ini mendadak, tapi aku gak bisa menahannya lagi," ungkap Astrid, dengan ekspresi wajah yang penuh kegelisahan. "aku cuma mau bilang, kayaknya, aku suka sama kamu."

Filomela terbelalak dan membeku seketika mendengar perkataan itu, saking terkejutnya.

Astrid melanjutkan ucapannya dengan suara bergetar. "Kamu ga perlu jawab sekarang, aku cuma pengen ngungkapin perasaan aja," kata Astrid, dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "tapi aku serius, aku suka sama kamu, Filomela."

Mendapatkan pengakuan cinta dari orang yang disukainya adalah hal yang sangat mengejutkan bagi Filomela. Ia sampai membeku seperti patung, tak bisa berkata-kata saking terkejutnya.

Rasanya seperti mimpi—apakah ini benar-benar kenyataan? Filomela bahkan mulai meragukan kenyataan itu sendiri, menganggap semua ini mungkin hanyalah sebuah mimpi.

Wajah keduanya memerah, menandakan rasa malu yang sama-sama dirasakan oleh Astrid dan Filomela.

"A-Aku pulang duluan ya!" Karena terlalu gugup, Astrid memilih melarikan diri dengan memutuskan pulang lebih awal, meninggalkan Filomela sendirian di tempat itu.

Belum bisa menerima kenyataan, Filomela terdiam melamun di kursi, dengan ekspresi terkejut masih terpampang di wajahnya.

"Kamu habis dari mana?" tanya ayah Filomela, saat mendapati putrinya baru pulang ke rumah menjelang waktu makan malam.

Ricky, yang sedang sibuk mengunyah makanan, melirik sejenak ke adik perempuannya yang kini duduk di meja makan, bersebelahan dengannya.

"Aku habis karaokean sama temen," jawab Filomela, sambil menyunggingkan senyuman manis kepada ayahnya. "aku lupa ngabarin, maaf Pa."

Ayah Filomela menghela napas, lalu membalas dengan senyuman yang penuh kepahitan, "Lain kali, kalau mau main, kabarin dulu Papa," ucap ayah Filomela, dengan nada suara yang lembut kepada putrinya. "Sekarang makan dulu. Habis ini, ada yang mau Papa omongin sama kamu."

Ketenangan di wajah Filomela langsung menghilang saat ayahnya mengucapkan kata-kata tersebut. Dia merasa seolah akan ada pembicaraan serius antara dirinya dan sang ayah.

Dengan perasaan tegang, Filomela memaksa dirinya untuk makan, mengisi perut yang sudah keroncongan, agar dia bisa menghadapi ayahnya dalam keadaan yang lebih bertenaga.

Setelah menghabiskan makanannya, Ricky hanya duduk memainkan ponselnya, tidak segera membawa piringnya ke dapur. Seolah-olah dia menunggu momen tersebut, tampaknya Ricky juga berniat ikut bergabung dalam pembicaraan serius antara ayah dan adik perempuannya.

"Jadi, Papa mau ngomong apa?" tanya Filomela setelah meneguk habis air putih dari gelasnya.

"Hari ini kamu di sekolah gimana?" Sang ayah memulai pembicaraan seriusnya dengan pertanyaan sederhana.

Tersenyum cerah, Filomela menjawab dengan penuh keceriaan, "Hari ini seru banget di sekolah! Aku ketawa mulu di kelas!"

"Beneran?" Sang ayah memicingkan matanya, berusaha memastikan.

Filomela mengangguk, memberikan respons, "Beneran dong!"

Ricky, yang telah meletakkan ponselnya di meja, hanya terdiam menyaksikan adik perempuannya berbicara dengan sang ayah. Entah mengapa, Ricky sepertinya mengetahui sesuatu tentang kejadian yang dialami Filomela di sekolah, tetapi ia memilih untuk tidak terlibat dalam percakapan tersebut, lebih memilih untuk menjadi pengamat yang diam.

Tiba-tiba, ayah Filomela mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu mengutak-atik sejenak sebelum akhirnya menunjukkan sebuah foto kepada putrinya.

Foto tersebut memperlihatkan Filomela sedang berciuman dengan seorang perempuan—mantannya yang sudah tiada.

Ketegangan segera muncul, menggantikan ekspresi riang dan ceria di wajah Filomela dengan rasa keresahan dan ketakutan.

"Itu kamu?" tanya sang ayah kepada Filomela, setelah menarik kembali ponselnya.

Filomela menundukkan kepalanya, tampak enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"Filomela, jawab pertanyaan Papa," kata sang ayah, meminta putrinya untuk memberikan jawaban. "itu kamu atau bukan?"

Ricky mengamati adik perempuannya yang tampak sedang tertekan.

"Iya, itu aku," Sayangnya, suara Filomela begitu pelan sehingga sang ayah tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Tadi kamu bilang apa?" ucap sang ayah, penasaran.

"IYA! ITU AKU!" Tiba-tiba, Filomela berdiri dari kursinya dan menggebrak meja, membuat semua piring, mangkuk, sendok, dan benda-benda lain di atas meja terangkat sejenak.

Ayah dan kakak laki-lakinya terkejut, keduanya terkesiap melihat Filomela tiba-tiba histeris di hadapan mereka.

Dengan air mata yang mengalir dan bibir bergetar, Filomela melanjutkan lengkingannya, "ITU EMANG AKU! FOTO YANG PAPA TUNJUKKAN! ITU AKU DENGAN MANTANKU!" Napas Filomela terengah-engah, namun dia masih merasa belum puas. "AKU LESBIAN, PA! ANAK GADIS YANG PALING PAPA SAYANGI, ADALAH SEORANG LESBIAN!"

Merasa puas, Filomela segera pergi dari meja makan, meninggalkan ayah dan kakak laki-lakinya yang masih terkaget mendengar pengakuannya.

Ricky dan sang ayah jadi saling bertukar pandang dalam keheningan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro