8🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jantung Astrid berdegup kencang, perasaannya menegang karena ia akan segera mendengar jawaban Filomela tentang pernyataan cinta yang diungkapkannya kemarin di tempat karaoke. Meski sebenarnya Astrid tak ingin terkesan memaksa Filomela untuk memberi jawaban, keinginan untuk mengetahui respons gadis berambut merah muda itu begitu kuat, membuatnya tak sabar menanti.

Filomela kini tertunduk, helaian rambut merah mudanya jatuh menutupi wajahnya. Sama seperti Astrid, ia juga diliputi ketegangan. Namun, kegelisahan Filomela lebih karena tak menyangka bahwa momen ini akhirnya tiba—momen di mana hanya selangkah lagi ia dan Astrid mungkin akan resmi menjadi sepasang kekasih.

"Sejujurnya," Filomela akhirnya mulai berbicara, meski kepalanya masih tertunduk, membuat Astrid sedikit tersentak. "aku juga punya perasaan yang sama," Perlahan, Filomela mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyum tipis kepada Astrid, sementara air mata mulai menggenang di kelopak matanya, hampir menetes. "aku masih gak nyangka kalau Kak Astrid juga suka sama aku."

Mendengar kata-kata Filomela, Astrid terbelalak, bibirnya membeku dan matanya melebar. Terkejut sekali, Astrid tidak menyangka bahwa Filomela juga menyimpan perasaan yang sama. Pengakuan itu benar-benar mengejutkannya.

Melanjutkan perkataannya dengan suara bergetar, Filomela berkata, "Sudah jelas kan? Jawabanku apa?" Akhirnya, air mata mulai membasahi pipi Filomela, menetes lembut satu per satu.

Seperti Filomela, Astrid pun tidak bisa menahan air matanya. Mereka berdua menangis dalam kebahagiaan, sebelum akhirnya saling berpelukan erat.

Saat ini, Filomela dan Astrid resmi menjadi pasangan kekasih. Pelukan erat dan tetesan air mata mereka menjadi simbol dimulainya hubungan romantis mereka.

Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah pelan, berdampingan. Namun, kali ini ada yang berbeda—tangan mereka saling bertaut dan saling menggenggam erat, menciptakan suasana yang sangat intim.

Kedua pipi mereka merah merona, Filomela dan Astrid, keduanya masih merasa tidak percaya bahwa momen seperti ini akhirnya tiba.

"Apa sih yang kamu suka dari aku?" Kini Filomela bersuara, memecahkan kesunyian, dan membuat Astrid, yang tengah tenggelam dalam kebahagiaan, terkejut.

Gaya bicara Filomela menjadi lebih santai, menghilangkan kesan senior-junior dengan Astrid, karena mereka sudah berada di luar lingkungan sekolah.

Dengan wajah berseri-seri, gadis berkuncir kuda itu menjawab pertanyaan Filomela. "Aku suka kamu karena kamu itu, selain cantik, juga sangat imut dan lucu."

Filomela mengangkat kedua alisnya, tampak tercengang. "Hah? Masa sih?"

Astrid tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Filomela atas jawabannya. "Tuh, lihat, lagi kaget aja kamu gemesin banget."

Entah kenapa, Filomela ikut tertawa, terkejut sekaligus geli mengetahui bahwa alasan Astrid menyukainya ternyata berkisar pada hal-hal kecil yang menurutnya cukup sepele.

"Terus kalau kamu gimana?" Sekarang, Astrid bertanya hal yang sama kepada Filomela. "Apa yang kamu suka dari aku, Filomela?"

Tentu saja, pertanyaan serupa itu membuat Filomela tersenyum lebar. "Aku suka kamu, soalnya kamu orangnya pemberani banget! Aku selalu merasa aman kalau lagi di deket kamu."

Sekarang wajah Astrid merah merona, seperti tomat. "O-Oh, g-gitu ya." kata Astrid, tergagap-gagap karena malu.

Filomela tertawa lagi, kali ini terhibur oleh ekspresi dan tingkah laku Astrid yang memerah dan kaku seperti robot.

Sambil mengobrol santai, tangan mereka yang saling menggenggam tetap erat berpegangan, seolah-olah tak terpisahkan, seperti untaian tali yang terikat dengan kencang.

"Kamu mau langsung pulang sekarang?" Astrid lalu memulai topik baru dalam percakapan dengan Filomela.

Filomela menggelengkan kepala sambil menghela napas, kemudian memberikan tanggapannya. "Enggak, aku mau nganterin ini dulu ke rumah sahabatku." Filomela berkata sambil menunjuk tas hitam yang digantung di bahu kanannya.

Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Astrid melanjutkan ucapannya, "Aku temenin ya, gapapa kan?"

Mendengar hal itu, dengan gembira, Filomela segera menganggukkan kepalanya. "Boleh banget, aku juga sebenarnya takut kalau sendirian."

Tersentak, Astrid merasa penasaran. "Kenapa takut? Kan itu rumah sahabatmu?"

Menahan napas, Filomela menatap Astrid dengan ekspresi horor. "Rumah sahabatku yang ini agak beda dengan rumah-rumah orang pada umumnya."

"Beda gimana?" Astrid benar-benar heran mendengar Filomela berbicara seolah-olah rumah sahabatnya itu adalah tempat yang menyeramkan seperti kuburan.

Namun, rasa heran Astrid segera menghilang, digantikan oleh pemahaman mengapa Filomela merasa takut. Ternyata, rumah sahabatnya benar-benar terletak di tengah area kuburan yang sangat sunyi dan menyeramkan. Bahkan untuk mencapai gerbangnya, mereka harus melewati pepohonan kering yang dihiasi oleh suara gagak dan lolongan serigala.

"Oke aku paham sekarang." kata Astrid di samping Filomela saat mereka tiba di depan gerbang besar yang dihiasi dengan tumpukan tengkorak kepala manusia di setiap sisinya.

Dengan wajah pucat, Filomela menekan tombol bel di samping gerbang. Bunyi dentingan bel yang mengerikan langsung memecah kesunyian, jauh berbeda dari bel rumah pada umumnya.

Astrid bergidik saat seorang pria berkulit putih pucat, mengenakan jubah hitam berkerah tinggi, muncul dari pintu depan rumah yang menyerupai kastil angker. Dengan taring panjang dan rambut hitam jabrik, pria itu tersenyum saat matanya menangkap dua gadis yang berdiri di depan gerbang rumahnya, salah satunya adalah Filomela, yang sudah dikenalnya.

Saat membuka gerbang, pria berjubah hitam itu berkata kepada Filomela, "Ada apa, Nak Filomela?"

Meski sudah saling mengenal, Filomela tetap merasa tegang setiap kali bertemu dengan pria berjubah hitam itu, yang merupakan ayahnya Agnes.

"Emm.. ak-aku bawa tasnya Agnes, dia kayaknya lupa ngambil tasnya sendiri pas pulang," Filomela menjawab dengan jantung berdegup kencang, saking tegangnya. "A-Agnesnya ada?"

Astrid yang berdiri di samping Filomela pun turut merasakan ketegangan, seolah mereka sedang berhadapan dengan vampir yang bisa menyerang dan menyedot darah mereka kapan saja.

"Agnes?" Pria berjubah hitam itu tampak kebingungan. "Agnes belum pulang, Om kira dia sedang main bareng kamu dan yang lain."

Filomela terbelalak kaget, tak menyangka Agnes belum pulang ke rumahnya padahal dia sudah meninggalkan sekolah sejak pagi. Kekhawatiran segera menyelimuti Filomela, membuatnya panik.

"K-Kok bisa ya, padahal..." Tak ingin membuat ayah Agnes ikut panik, Filomela memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya. Ia berusaha berbohong, seolah-olah tidak ada kejadian apapun di sekolah. "K-Kayaknya aku ditinggalin main sama yang lain, kalau gitu ini tasnya, Om," Filomela mengulurkan tangan, menyerahkan tas Agnes kepada pria itu. "Aku mau nyari mereka dulu, maaf sudah ganggu, Om."

Filomela segera menarik tangan Astrid untuk menjauh dari pria berjubah hitam itu, meninggalkan rumah yang menyerupai kastil horor tersebut.

Dengan napas terengah-engah, Filomela berhenti di tepian jalan raya. Astrid juga tampak kelelahan setelah berlari cepat melewati deretan kuburan dan pepohonan kering yang menyeramkan.

Keringat mereka bercucuran deras, bagaikan air yang mengalir dari botol yang baru dikeluarkan dari lemari es.

"Aku harus cari sahabatku dulu," Filomela berkata sambil melirik ke arah Astrid yang berdiri di sampingnya. "Kamu pulang duluan aja, kayaknya aku bakal lama."

Astrid menggelengkan kepala, menampakkan ketidaksetujuan dan menolak usulan Filomela. "Enggak, aku mau nemenin kamu sampai urusan kamu selesai, biar kita bisa pulang bareng."

Filomela menghembuskan napas panjang dan melengkungkan senyuman pahit kepada Astrid.

Filomela dan Astrid kemudian memulai pencarian terhadap Agnes. Mereka menyusuri, menyelidiki, dan mengunjungi berbagai tempat yang sering dikunjungi Agnes. Namun, meskipun telah memeriksa lebih dari sepuluh lokasi, hasilnya tetap nihil.

Agnes tidak ada di semua tempat itu.

Dengan napas yang mulai sesak, Filomela berusaha tetap tegar. Dia harus menemukan Agnes, apalagi sekarang dia tidak sendirian; Astrid ada di sisinya, selalu mendampinginya.

Hari sudah gelap, dan langit malam yang hitam pekat telah membentang di cakrawala. Lampu-lampu di rumah, toko, dan gedung-gedung tinggi sudah menyala, memancarkan cahaya terang yang menerangi kegelapan malam, bak kunang-kunang yang berkelip.

Beristirahat sejenak di tepian danau, Filomela dan Astrid duduk di rerumputan sambil memandangi permukaan air yang luas di hadapan mereka.

"Agnes itu, sahabat kamu yang mana?" tanya Astrid, penasaran dengan sosok asli sahabat Filomela yang bernama Agnes.

Filomela menjawab dengan nada suara yang tenang, "Dia itu yang wajahnya selalu dihiasi riasan gelap dan sering tampil dengan busana serba hitam."

Astrid mulai mengingat sosok tersebut, seorang gadis yang dulu sering bergaul dengan Filomela. "Oh, yang itu."

Saat Filomela dan Astrid saling memandang dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara isakan tangis perempuan dari atas pohon beringin menyeramkan di seberang danau.

Filomela dan Astrid merasa bergidik ketakutan sekaligus penasaran.

"Siapa di sana?" Astrid berdiri, memberanikan diri untuk berkomunikasi dengan makhluk apapun yang berada di pohon beringin itu.

Ketika diperhatikan lebih teliti, Filomela terkejut menyadari adanya seorang gadis berambut hitam panjang yang duduk di batang pohon beringin, menyandarkan kepalanya ke dahan. Gaun hitam yang dikenakannya terlihat compang-camping, dan sorotan matanya tampak kosong dan hampa. Gadis itu terus terisak-isak, seolah baru saja selesai menangis, sambil menatap danau tanpa menyadari kehadiran Filomela dan Astrid di seberang.

Mata Filomela terbelalak kaget saat menyadari bahwa itu adalah Agnes.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro