9🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat Filomela menyadari bahwa gadis berambut hitam yang duduk di atas pohon beringin adalah Agnes, yang selama ini dia cari-cari, dia segera berdiri dan melangkah mendekat. Astrid terperangah melihat Filomela tiba-tiba berlari kecil melewatinya menuju pohon beringin yang tampak angker. Rasa penasaran menguasai Astrid, sehingga dia memutuskan untuk menemani kekasihnya ke sana.

"Agnes!" Tanpa banyak bicara, Filomela langsung berseru, memanggil sahabatnya yang tampak murung di atas pohon beringin.

Agnes, yang semula tenggelam dalam lamunan dengan tatapan kosong, tersentak kaget saat mendengar suara akrab memanggil namanya. Kesadarannya perlahan kembali, dan ia terkejut mendapati Filomela bersama seorang gadis yang dikenalnya sebagai Ketua OSIS, berdiri di bawah pohon beringin itu.

Mengapa Filomela tiba-tiba datang ke sini? Dan apa alasannya membawa serta Ketua OSIS, seolah mereka sudah mengetahui keberadaannya di tempat ini? Agnes merasa benar-benar bingung, namun tanpa berpikir panjang, ia langsung berseru pada Filomela.

"Ngapain kamu ke sini, Filomela!?" teriak Agnes dengan napas tersengal, matanya menatap tajam ke arah Filomela yang memandanginya dari bawah pohon beringin.

Mendengar pertanyaan sinis itu, Filomela hanya mengembungkan pipinya dengan kesal. Padahal, dia dan Astrid sudah mencarinya ke mana-mana, namun saat akhirnya bertemu, Agnes malah bersikap tidak menyenangkan. Meski begitu, Filomela tidak terlalu mempermasalahkannya. Dia paham betul karakter Agnes—selalu jutek, dingin, dan sinis di luar, namun sebenarnya berhati lembut dan penuh kasih, seperti seorang ibu.

"Justru," sahut Filomela, meninggikan suaranya agar Agnes dapat mendengarnya dengan jelas. "harusnya aku yang bertanya begitu! Ngapain kamu ada di sini, Agnes!?"

Mendapat jawaban berupa pertanyaan serupa, Agnes semakin kesal. Sambil menggertakkan gigi, ia membalas dengan suara geram, "Mendingan kamu pulang! Gak usah deketin aku lagi!" ucap Agnes, suaranya sedikit bergetar.

Astrid terkejut ketika melihat Agnes menyambut pacarnya dengan kata-kata sedingin itu. Padahal, setahunya mereka adalah sahabat dekat, tapi sekarang suasananya terasa seperti ada permusuhan. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Jujur saja, Astrid tidak tahu apa-apa, tapi dia yakin ada sesuatu di balik sikap dingin Agnes terhadap Filomela.

"Enggak mau!" Dengan pipi yang masih mengembung, Filomela tampak marah mendengar Agnes memintanya untuk pergi.

Astrid menahan tawa melihat pacarnya berteriak seperti itu, sementara Agnes semakin kesal dengan tingkah Filomela yang tampaknya tidak mengerti perasaannya saat ini.

Merasa percakapan ini tidak ada habisnya, Agnes akhirnya memutuskan untuk melompat dari atas pohon beringin dan mendarat di tanah berumput di depannya, dekat Filomela dan Ketua OSIS. Setelah menepuk-nepuk gaun hitamnya yang sedikit berdebu, Agnes mulai berjalan perlahan mendekati mereka sambil mendecih jengkel.

"Jadi apa maumu, Filomela?" tanya Agnes dengan tatapan tajam pada Filomela, sebelum beralih menatap Astrid. "Dan kenapa kamu sampai bawa Ketua OSIS segala?" kata Agnes, sambil menatap Filomela dengan penuh keheranan.

Apakah masalah yang dihadapinya benar-benar seserius itu hingga Filomela merasa perlu membawa Ketua OSIS untuk menemaninya ke sini? Hal ini sangat mengherankan. Setidaknya, begitulah pemikiran Agnes tentang situasi ini.

Sementara itu, Filomela merasa sangat senang dan lega karena akhirnya Agnes mau turun dari pohon beringin dan berdiri tepat di depannya. Dia tidak menyangka bujukannya akan membuahkan hasil.

"Maaf kalau aku terkesan ikut campur," Karena rasa penasarannya yang mendalam, Astrid akhirnya bersuara, membuat Agnes dan Filomela menoleh ke arah gadis berkuncir kuda itu. "Tapi aku heran, ada apa dengan kalian berdua? Bukannya kalian sahabatan ya? Tapi kenapa aku ngerasa interaksi kalian enggak layaknya seperti seorang sahabat."

Filomela berniat menjawab pertanyaan Astrid, namun Agnes lebih cepat bersuara.

"Itu bukan urusanmu," ucap Agnes dengan nada ketus dan dingin kepada Astrid. "Lagipula, kenapa Ketua OSIS kayak kamu, datang kemari? Emangnya ada keperluan apa? Seingetku, peran ketua OSIS bukan mencampuri urusan orang lain, aku ga salah, kan?"

Setiap kata yang diucapkan Agnes kepada Astrid dipenuhi dengan ketajaman dan kepedihan, seolah ratusan silet sedang mengiris tubuh Si Ketua OSIS, membiarkannya berdarah dan penuh luka. Kecamannya Agnes memang terasa begitu kejam.

Tentu saja, Astrid langsung membeku, tidak berani berkata sepatah kata pun setelah mendengar perkataan Agnes yang begitu sadis. Namun, Filomela tidak bisa membiarkan pacarnya diperlakukan dengan kasar seperti itu oleh sahabatnya. Segera, gadis berambut merah muda itu mengambil sikap dan berbicara.

"Dia itu pacar aku!" bentak Filomela pada Agnes dengan ekspresi wajah yang serius. "Dia bukan sekedar Ketua OSIS di sini, jadi jangan jahatin dia!"

Mendengar pernyataan Filomela, Agnes langsung terbelalak, dengan bola matanya hampir keluar saking terkejut, bahkan mulutnya menganga begitu lebar tanpa ia sadari.

"HAH!?" pekik Agnes dengan raut muka histeris, tidak percaya pada apa yang baru saja diucapkan Filomela.

Agnes tahu Filomela itu seorang lesbian, tetapi dari semua perempuan, mengapa harus Ketua OSIS? Dan mengapa Ketua OSIS mau menjalin hubungan dengan gadis manja dan menyebalkan seperti Filomela? Agnes benar-benar tidak mengerti.

Sementara Astrid hanya tersenyum tipis, merasa terharu melihat Filomela membelanya dengan mengungkapkan hubungan mereka kepada sahabatnya dengan nada tegas dan penuh kebanggaan. Setiap kata yang diucapkan gadis berambut merah muda itu tidak menunjukkan sedikit pun keraguan atau rasa malu.

"Tapi gak usah bahas itu dulu!" seru Filomela, memaksa Agnes untuk tidak fokus kepada hubungannya dengan Sang Ketua OSIS. "Sekarang, aku pengen kamu cerita, kenapa kamu bisa ada di sini?"

Secara tiba-tiba, raut marah, jengkel, dan kesal di wajah Agnes menghilang, digantikan oleh ekspresi sendu, sedih, dan penuh ketakutan.

"Enak ya jadi kalian," Alih-alih menjawab pertanyaan Filomela, Agnes malah mengatakan hal lain, mengejutkan gadis berambut merah muda dan Si Ketua OSIS. "Walaupun hubungan kalian dianggap terlarang, tapi seenggaknya kalian masih punya tempat di sekolah."

Filomela dan Astrid saling berpandangan saat Agnes mengucapkan hal itu, tampak bingung dengan maksud yang disampaikan oleh gadis bergaun hitam tersebut.

Melihat lawan bicaranya terdiam dan tampak tidak memahami apa yang baru saja diucapkannya, Agnes tersenyum pahit sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya, "Sederhananya kayak, kalian seenggaknya masih bisa nangis dan mengurung diri di toilet perempuan, tapi aku..." Air mata segera membasahi wajah Agnes. "... aku bahkan ga bisa lagi masuk ke toilet manapun untuk sekedar menangis, ga ada tempat buat transgender sepertiku di ruang manapun di sekolah."

Hati Filomela terasa hancur saat Agnes mengatakan hal itu, dan akhirnya dia memahami maksud dari pernyataan gadis bergaun hitam tersebut. Sementara itu, wajah Astrid menunjukkan keterkejutan mendalam, menyadari bahwa masalah yang dihadapi sahabat pacarnya ternyata jauh lebih serius daripada sekadar pertengkaran biasa antar sahabat.

Melihat Agnes menangis di depannya, Filomela tanpa ragu berlari dan memeluk tubuh ramping gadis bergaun hitam itu. Meskipun Filomela tidak mengetahui secara langsung bagaimana rasanya menjadi transgender, ia bisa sangat memahami rasa sakit akibat pengucilan dan merasa tidak diterima di sekolah.

Menurut Filomela, tidak ada perbedaan antara lesbian atau transgender; keduanya adalah target kebencian yang sama dari banyak orang.

"Agnes," bisik Filomela di telinga Agnes saat ia masih memeluk tubuh gadis itu. "Aku mungkin bukan transgender, jadi aku ga tahu persis apa yang kamu alami, tapi aku tahu dan yakin bahwa selalu ada tempat untuk kamu di sekolah."

Suara Filomela bergetar saat ia membisikkan kata-kata tersebut, sehingga Astrid masih dapat mendengarnya dengan jelas. Perasaan itu membuat mata Si Ketua OSIS mulai berkaca-kaca, tersentuh oleh ucapan Filomela.

Entah kenapa, meskipun hanya sedikit, kata-kata Filomela berhasil meredakan rasa sakit yang menggerogoti hati dan pikiran Agnes, digantikan dengan kehangatan dan kesejukan yang sangat menenangkan.

Setelah melepaskan pelukan erat, Filomela menatap wajah Agnes dengan intens. "Jangan bilang gitu lagi, ya." bisik Filomela kepada Agnes, dengan bibirnya bergetar.

Berkat usaha Filomela, akhirnya Agnes melunak, tidak lagi sedingin dan seketus sebelumnya.

Kini, mereka bertiga duduk di atas rerumputan, memandangi danau di bawah langit malam gelap yang dipenuhi bintang-bintang.

"Jadi, kamu itu transgender ya?" Seperti biasa, rasa ingin tahu Astrid tak tertahan, membuat Agnes terkejut dengan pertanyaan blak-blakan yang dilontarkannya.

Menatap wajah Astrid, Agnes hanya menghela napas dan berkata, "Jadi, kamu itu pacarnya Filomela ya?"

Kini Astrid yang terkejut, karena pertanyaannya malah dibalas dengan pertanyaan lain oleh Agnes, membuat gadis berkuncir kuda itu merasa kikuk.

Menyaksikan interaksi lucu antara Astrid, pacar yang sangat dicintainya, dengan Agnes, sahabat yang sangat disayanginya, membuat Filomela jadi tertawa terbahak-bahak.

Agnes maupun Astrid tampak tidak mengerti kenapa Filomela jadi ketawa-ketiwi begitu.

Namun, tiba-tiba, tatapan Agnes kepada Filomela berubah menjadi sendu, "Filomela," kata Agnes kepada Filomela dengan nada yang sangat lembut. "maafin aku."

"Eh?" Tawa Filomela langsung terhenti begitu mendengar Agnes berkata demikian. "maaf buat apa?"

Astrid hanya terdiam, menyaksikan Agnes yang tampak akan menjawab pertanyaan Filomela.

"Waktu foto ciuman kamu terbongkar di kelas, semua orang tahu kamu lesbian dan ngucilin kamu, aku malah ikut-ikutan ngejauhin kamu," Tidak dapat menahan tangisnya, air mata kembali mengalir di kedua pipi Agnes. "harusnya sebagai sahabat, aku membela kamu, atau paling enggak, nemenin kamu. Tapi yang aku lakuin malah sebaliknya, makanya aku heran, kenapa kamu datang ke sini? Aku ini orang jahat, Filomela."

Mendengar hal itu, air mata juga mulai menetes di wajah Filomela. Sambil menggelengkan kepala, Filomela menjawab, "Aku juga gak paham kenapa aku begini, harusnya aku benci kamu kan?" lirih Filomela sambil terisak. "tapi ga tau kenapa, meskipun kamu ngejauhin aku, aku ga bisa benci kamu, soalnya aku ga bisa ngelupain semua perbuatan baik kamu saat kita masih jadi sahabat dekat."

Akhirnya, Filomela dan Agnes berpelukan lagi, kali ini lebih erat dari sebelumnya. Sementara itu, Astrid hanya tersenyum tipis menyaksikan momen tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro