Bab 4: Casting Pentas Inaugurasi (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Atmosfer ruang teater sesak dipenuhi kegugupan. Total, ada dua puluh anggota baru yang diterima oleh Teater PERKASA tahun ini, semuanya harus berakting dalam pementasan inaugurasi. 

"Karena ini tujuannya untuk menyambut kalian sebagai anggota resmi PERKASA," Arial menjelaskan, hampir tidak sabar, untuk kesekian kalinya hari itu pada anak-anak yang merengek untuk tidak ikut tampil di panggung.

"Tapi kita kan milih masuk Teater PERKASA buat jadi kru belakang panggung, kayak blackman atau sound dan lighting!" protes Michelle Princessa, yang setahu Elizabeth tidak pernah sekali pun mengangkat barang berat, atau menyalakan lampu sendiri, atau bisa membedakan genre musik sama sekali.

"Aku masuk PERKASA karena pengen jadi penulis naskah, bukan jadi aktor!" Miranda ikut-ikutan memprotes, mendukung Michelle.

"Semua orang tanpa terkecuali harus jadi aktor di PERKASA," tukas Arial. "Gue juga pertama masuk Teater PERKASA karena mau jadi sutradara, tapi gue juga harus jadi aktor dulu, kayak semua orang! Emang begini peraturannya dari abad lalu!"

Elizabeth tahu betul apa pertunjukan inaugurasi yang Arial maksud, di mana Arial menjadi aktor utamanya. Dia telah menonton video rekaman pertunjukan teater itu paling tidak tiga kali. Elizabeth tidak menyangka bahwa Arial tidak berencana menjadi aktor ketika bergabung dalam Teater PERKASA karena Arial brilian sebagai seorang karakter di panggung, dengan kepercayaan diri luar biasa membuat semua orang yang menontonnya melupakan bahwa dia sedang berakting.

"Nggak ada tapi-tapi, semua anggota baru harus jadi aktor! Ini peraturan bukan gue yang buat, emang dari sananya begini!"

"Kalo semuanya wajib, kok ini karakternya yang bisa kita pilih casting cuma ada sepuluh? Sisanya nggak dapet karakter dong?" Michelle masih lanjut mendebat.

"Kan naskah ini kita udah dari beberapa bulan yang lalu persiapinnya." Julian, salah satu anggota lama PERKASA, mencoba menengahi. "Kita kan nggak tahu berapa anak yang bakal join, berapa cewek berapa cowoknya, jadi kita baru bakal create karakternya berdasarkan kebutuhan. Jadi yang bakal casting sekarang ya cuma karakter-karakter utamanya, sisanya nanti kita bikin karakter sampingan."

"Tapi tenang, kalian semua bakal dapet peran dan dialog kok," Keshia menambahkan. "Gue bakal pastiin."

Sementara Julian dan Keshia sedang mencoba meyakinkan anak-anak itu, Arial berjalan mendekati Elizabeth yang sedang duduk bersandar di dinding. Mereka sedang diberikan setengah jam untuk menghafal dialog casting untuk tokoh yang mereka pilih. Taran sendiri sedang berjalan mondar-mandir di tengah ruangan, komat-kamit sibuk mencoba menghafal dialog untuk ayah angkat Timun Mas.

"Hai Elizabeth." Arial tersenyum, duduk di sebelahnya. "Udah tahu bakalan casting sebagai siapa?"

Elizabeth menunjuk pada dialog yang sedang dicermatinya:

Ibu Kandung Timun Mas

Timun Mas, kamu jadi anak gadis harus tahu diri, ya! Kita berdua sudah capek bekerja untuk membiayai kamu seumur hidupmu, sekarang kamu tidak mau membayar kami kembali hanya dengan menikah? Kita tidak menyuruhmu untuk bekerja di ladang, hanya untuk menjadi istri dari seorang putra pengusaha kaya raya! Kamu terjamin akan nyaman seumur hidupmu, dan kamu masih menolak? Ini kewajibanmu, Timun Mas! Jangan menjadi anak durhaka!

Alis Arial naik. "Itu pilihan yang ... intens," akhirnya dia memutuskan untuk berkata. "Lo suka jadi antagonis?"

Elizabeth mengangkat bahu. "Asal gue ada di panggung."

"Gue pikir lo suka teater?" tanya Arial ragu. 

"Emang suka!" Elizabeth mengangguk kuat-kuat, tidak ingin Arial berpikir bahwa dia tidak serius mengenai Teater PERKASA.

"Terus kenapa lo cuek banget bakal jadi siapa? Milih karakter asal aja gitu buat casting? Bukannya lo mestinya milih tokoh yang lo tau bakalan bisa maksimalin kemampuan lo?"

Spontan Elizabeth langsung melempar balik, "Siapa bilang gue nggak bisa maksimal sebagai Ibu Kandung Timun Mas?" Dua detik, dan dia langsung menyesalinya. Dia baru saja membantah Arial tepat di hadapan mukanya.

Semua orang yang mengenal Elizabeth tahu bahwa gadis berumur lima belas tahun itu mencintai dunia teater. Sehari-hari, Elizabeth tak bisa berhenti berbicara tentang berbagai pertunjukan yang pernah ditontonnya, orang-orang hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Elizabeth selalu memimpikan dirinya berada di panggung, memimpikan tirai-tirai merah dan lampu sorot putih. 

Namun, di bawah itu, kosong.

Elizabeth selalu mengatakan bahwa dia ingin menjadi bagian dari itu semua, kesibukan gladi sampai langit gelap dan gelegar tepuk tangan penonton ketika pertunjukan selesai. Tapi semua itu hanyalah perkataan, dan mimpi-mimpinya hanyalah angan.

Sekarang setelah semuanya nyata, Elizabeth tidak tahu harus berbuat apa.

Arial sudah tahu dia ingin mencoba menjadi sebuah sutradara ketika memasuki Teater PERKASA. Taran memberi tahu Elizabeth bahwa dia ingin mencoba menjadi aktor beberapa kali tapi juga pemegang sound untuk pertunjukan lainnya.

Elizabeth tidak tahu keinginannya sendiri.

"Emang gue salah?" Arial bertanya. "Cuma ya, waktu orientasi kemarin lo satu-satunya yang gue perhatiin nggak nahan tawa waktu kita-kita lagi sok misterius."

Elizabeth mengerutkan wajahnya.

"Nah iya kan, lo aja nggak sadar kalo cuma lo yang nganggep orientasi kemarin serius," kata Arial. "Gue nggak bakalan bantah kalo emang lo mau casting sebagai Ibu Kandung Timun Mas, ya mungkin emang lo nggak bertujuan jadi aktor di sini. Nggak apa-apa, emang nggak semua orang mau dan bisa jadi aktor. Teater kita juga nggak akan lengkap kalo kita cuma punya aktor. Tapi, gue nggak bisa bayangin lo bisa seantusias itu soal orientasi eskul tapi puas dengan peran pertama lo di inaugurasi sebagai karakter yang cuma muncul di dua scene."

"Terus menurut lo gue harus casting sebagai apa?"

Arial tidak menjawab untuk beberapa saat. "Lo bisa bagus sebagai Katerina," ucapnya kemudian, "tapi menurut gue pribadi lo bakalan bagus sebagai Timun Mas."

"Basically," tiba-tiba Taran menyela. "Lo mau bilang kalau Elizabeth, ekhem, punya main character energy?"

Elizabeth mendelik pada sahabatnya. Oke, mungkin Elizabeth sedikit naksir dengan Arial, tapi Taran juga tidak harus mencoba menginterpretasikan pep talk (?) Arial sebagai kakak kelas itu sedang mencoba memujinya, juga!

"Basically, iya," kata Arial mulus tanpa jeda, menengok ke atas pada Taran yang sedang berkacak pinggang. Arial tersenyum. "Lo setuju kan? Taran?"

"Kalo gue bilang nggak kan gue jadi orang jahat," dumel Taran, mengabaikan seluruhnya delikan Elizabeth. "Tapi emang vibes-nya Elizabeth itu kayak main character ya, spesifiknya karakter utama cerita horor paranormal gitu."

"Well, dari sudut pandang si Timun Mas itu sendiri, cerita hidupnya juga banyak berunsur horor," Arial membalas dengan ringan. "Bayangin, nemuin orang tuanya selama ini bukan orang tua kandungnya, lalu orang tua kandungnya ternyata mau memaksanya menikah dengan orang nggak dikenal."

"Iya! Terus ada santetnya si Katerina, jadi ada unsur paranormalnya juga!" Taran antusias membalas, duduk di sisi sebelah Elizabeth. 

"Gue nggak bisa mutusin lo lagi muji gue, jelekin gue, atau diss plot naskah Timun Mas," kata Elizabeth rendah di telinga sahabatnya, setengah panik karena Taran baru saja terang-terangan menyebutkan percakapan random mereka kemarin di depan Arial. 

Tapi Arial hanya tertawa kecil. "Santet. Bener juga ya, si Katerina emang tukang santet."

"Eh, itu emang dibolehin sekolah?"

"Jujur aja, kita nggak masukin naskah lengkap di proposal buat sekolah, karena ya emang belum jadi," kata Arial. "Sekolah udah lolosin naskah kita karena syarat dari mereka cuma suruh kita menampilkan cerita yang terinspirasi dari cerita rakyat, biar bisa dipakai buat promosi sekolah."

"Oh gitu," Taran mengangguk-angguk. Elizabeth tadi berpikir Taran mendekati mereka untuk mengganggu Elizabeth soal Arial, tapi sekarang Taran malah sibuk mengobrol sendiri dengan Arial.

"Tapi ya, santetnya buat tujuan baik juga, nggak sih? Biar si Timun Mas bisa bebas dari pemaksaan orang tuanya," Arial ikut mengangguk-angguk.

"Nah, kalo itu sih, kita pertama perlu bahas dulu moralitasnya. Agak kompleks ini, soalnya kita membahas penggunaan santet di orang baik dan orang jahat apa ada bedanya? Di kasus ini kita tahu bahwa orang tuanya Timun Mas emang jahat sedangkan si Timun Mas itu berhati emas, tapi kan untuk pesan moralnya susah diambil karena di kehidupan nyata kita susah tahu secara hitam putih orang itu baik atau jahat."

"Kenapa kita malah ngebahas santet?" Elizabeth menengok bolak-balik dua cowok yang sedang duduk di sebelahnya.

"Tapi yang penting di sini, menurut gue Elizabeth bakalan cocok jadi Timun Mas," kata Arial, kembali lagi pada topik pertama mereka.

"Same, same," Taran menyetujui. "Gue emang sering merasa kalo gue bikin Elizabeth nggak seneng, gue bakalan disantet."

"Lo orang jahat, pantes disantet," balas Elizabeth.

11 Agustus 2024
Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro