Bab 7: Kelas Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Halo, Elizabeth. Silakan duduk."

"Halo, Bu. Terima kasih, Bu." Elizabeth menggeser kursi yang berhadapan dengan Bu Muti, wali kelasnya, dan meringis ketika mendengar suara mencicit geseran kaki kursi dengan lantai. Gadis itu duduk dengan kedua tangan di pangkuan, punggung tegak, dan kepala menghadap lurus ke depan. Matanya terasa kering, Elizabeth harus mengedip beberapa kali.

"Jadi. Kamu sudah hampir sebulan di Jelang Horizon," kata Bu Muti dengan cerah. "Bagaimana sejauh ini, Elizabeth?"

"Baik-baik saja semuanya, sejauh ini, Bu." Elizabeth tak bisa memutuskan apa tangan kanannya atau tangan kirinya yang seharusnya menumpuk tangan sebelahnya di pangkuannya. Ini sesuatu yang baru dialaminya, pertemuan pertamanya dengan wali kelasnya, hanya berdua. SMA Jelang Horizon menetapkan peran wali kelas secara lebih literal, mengharapkan hubungan yang lebih dekat dengan anak-anak perwalian mereka. Hari pertama mereka di sekolah, Bu Muti mengumumkan bahwa beliau akan berbicara dengan mereka satu-persatu, paling tidak dua kali per semester.

"Bagaimana dengan pelajaranmu? Lebih sulit dari semasa SMP?" 

"Iya, Bu." Sebenarnya tidak. Lain dengan Taran (atau harapan orang tuanya sendiri), kepedulian Elizabeth terhadap akademik hanya sebatas nilai pas-pasan agar tidak tinggal kelas. Tiga minggu ini, mereka baru mulai diberikan materi-materi baru yang masih ringan, tak ada yang perlu dipusingkan. "Sedikit lebih sulit, tidak ada masalah."

"Kalau guru-gurumu? Semua baik?" Bu Muti masih mendorong.

"Baik, Bu. Saya mengerti hampir semua yang diajarkan," Elizabeth menjawab dengan patuh, tahu untuk menjaga keseimbangan agar tidak terdengar congkak tapi tidak mengkhawatirkan bagi sang wali kelas. 

"Kalau ada masalah apa-apa, keluhan atau apa pun itu, kamu boleh bilang ke Ibu, oke?" Bu Muti tersenyum, menangkap bahwa Elizabeth tidak terlalu bersemangat soal sesi obrolan dengan wali kelas ini. 

"Oke, Bu."

"Bagaimana dengan teman-teman sekelasmu? Sudah menemukan teman dekat, belum?" Bu Muti belum berhenti dengan pertanyaan-pertanyaannya, rupanya. Elizabeth tadi berpikir wali kelasnya sudah menyerah.

"Ehm, belum ada yang sangat dekat, Bu, tapi saya sudah kenalan dengan semuanya." Elizabeth harus mengaku karena Bu Muti tentunya tahu soal apa yang terjadi di kelasnya. Setiap jam istirahat, Elizabeth tak pernah tinggal untuk mengobrol dengan teman-teman sekelasnya, selalu keluar untuk makan bersama Taran. Sahabatnya itu pun tak selalu dapat makan dengannya, Taran punya kesibukan lain, teman-teman lain. Jika itu terjadi, Elizabeth tidak memilih untuk kembali ke kelas, hanya mencari tempat yang agak sepi untuk makan sendirian. "Tapi saya punya teman lama di MIPA, Bu," Elizabeth melapor, secara seorang anak yang sama sekali tak punya teman tanpa ragu pastinya akan dijadikan objek kecemasan.

''Hm," Bu Muti mengiyakan. "Tapi ada baiknya punya teman dekat di kelas juga, lho, Elizabeth, yang sehari-hari ada di pelajaran-pelajaran yang sama denganmu."

"Iya, Bu." Sekali lagi, Elizabeth hanya menyetujui. Menjalin pertemanan dari nol ... sulit untuknya. Semua orang selalu kelihatan tahu apa yang harus mereka katakan, apa yang harus mereka lakukan untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Semuanya terasa lebih mudah ketika mereka datang terlebih dahulu padanya, seperti Arial, meskipun Elizabeth belum dapat menyebutnya sebagai teman.

"Kalau kegiatan ekstrakulikulermu? Kamu hanya ambil satu, bukan?" Masih ada saja pertanyaan Bu Muti. Mereka baru bersekolah tak sampai sebulan, seberapa banyak sih yang perlu seorang wali kelas tahu tentang siswa mereka?

"Iya, Bu, saya ambil Klub Teater PERKASA." Sudut mulut Elizabeth naik tanpa disadarinya saat menjawab. 

"Apa saja kegiatan kalian? Kalian mau ada pentas, dekat-dekat ini?" Bu Muti bertanya lagi, tampaknya menyadari Elizabeth mau berbicara lebih banyak tentang topik ini.

"Ada, Bu. Pentas inaugurasi Desember ini." Kali ini, Elizabeth membiarkan dirinya tersenyum. "Ibu nonton ya, nanti."

"Oooh, keren. Pentas apa?" Bu Muti membalas senyumannya.

"Ehm, ceritanya terinspirasi dari legenda Timun Mas, Bu, tapi adaptasi modernnya." Elizabeth meringis dalam hati saat harus menyebut cerita ciptaan Keshia itu sebagai adaptasi modern Timun Mas. Jika ada undang-undang soal penistaan cerita rakyat, Keshia hampir dapat dipastikan akan diseret ke meja hijau.

"Bagus, bagus! Nasionalisme memang tidak boleh dilupakan!" Bu Muti berseru dengan penuh semangat. "Kamu jadi siapa dalam pentasnya, Elizabeth?"

"Timun Mas, Bu." Elizabeth meringis betulan kali ini, malu karena bangga tapi juga karena dia punya perasaan bahwa Bu Muti akan kecewa setelah menonton pentas mereka yang tidak ada unsur nasionalis-nasionalisnya kecuali penempelan nama Timun Mas di tokoh utamanya.

"Timun Mas!" ulang Bu Muti. "Wah! Tokoh utama! Calon artis ternyata kamu, Elizabeth!"

"Hehe, nggak kali, Bu," sahut Elizabeth, tawanya terpaksa.

"Oke, oke, cukup untuk hari ini. Ingat, kamu boleh datang ke Ibu kapan pun kamu perlu bantuan apa pun, mau curhat doang juga boleh." Bu Muti akhirnya mendorong kursinya sendiri ke belakang, bangkit berdiri. "Ibu tunggu pentas teaternya, ya! Nanti Ibu pasti bakal tonton!"

"Iya, Ibu. Terima kasih, Bu Muti." Elizabeth bersyukur, buru-buru berdiri dan membungkuk kecil pada wali kelasnya sebelum dengan canggung beringsut-ingsut ke arah pintu, berupaya agar tidak terlihat terlalu bersemangat soal berhenti berbicara dengan wali kelasnya. 

Udara kebebasan!

Saat ini jam istirahat kedua. Bu Muti tadi memanggilnya ke salah satu ruangan tak terpakai yang tak jauh dari kelasnya sendiri. Pertemuan satu-persatu dengan semua siswa ini dilakukan Bu Muti setiap jam istirahat. Saat Elizabeth keluar, Bu Muti juga mengikuti di belakangnya, lalu melambai pada Elizabeth sembari berjalan ke arah ruang kelas 10 IPS 2 untuk mencari korban selanjutnya.

Elizabeth melipir ke area MIPA.

"Taran," dia mengerang, mengambil kursi kosong di depan meja sahabatnya dan mencengkeram kepalanya dengan dramatis. "Tolong."

Taran menelan makanannya yang ada di mulut. "Hmm?" tanyanya. "Tumben nggak langsung ke sini." Dia menyuap sesendok nasi lagi, sebelah tangannya yang satu lagi memegang buku matematika terbuka. 

"Baru one on one sama wali kelasku."

"Ah." Taran mengangguk-angguk. "Paling nggak udah selesai, kan?"

"Gue nggak suka ngomong sama guru!" Elizabeth hampir merengek. "Serem!"

"Itu jiwa bad boy lo nggak sih," Taran cuek, meletakkan sendoknya untuk mencoret-coret di buku. "Takut keciduk guru."

"Gue anak baek-baek." Elizabeth mengerang lagi sebelum akhirnya membuka kotak bekal yang dibawanya sedari tadi, sudah di tangannya ketika Bu Muti memanggilnya. "Nggak sebaek lo, sih. Ngapain belajar matematika? Emang udah mau ulangan lagi? Buset MIPA."

"Nggak, mau persiapan lomba, aja." Taran lanjut menyuap makanan setelah beberapa detik mencoret-coret.

"Hah, lomba apaan?"

"Balap karung. Ya lomba matematika, lah, dodol. Nanti bulan depan lombanya, gue jadi perwakilan sekolah, moga-moga nanti bisa lolos jadi perwakilan kabupaten terus provinsi, gitu."

"Ciyah, udah dipilih ikutan lomba aja." Elizabeth tersenyum, senang SMA mereka telah mengenali bakat Taran secepat ini. "Lombanya bulan depan sekarang udah kesetanan aja belajarnya."

"Karena nanti pulang sekolah gue mau ada lomba kecil-kecilan." Taran kini meletakkan bukunya dan sendoknya, akhirnya mendongak ke arah Elizabeth. "Oh iya, gue belum bilangin yang kemarin."

"Apaan?"

Taran menoleh, menatap sekelilingnya. Tidak terlalu banyak orang di kelasnya, kebanyakan sedang pergi ke kantin atau makan di tempat lain. "Yang dipilih untuk perwakilan kelas sepuluh itu antara gue atau Miranda."

"Oh?" Elizabeth mengingat perilaku Miranda kemarin saat pertemuan teater. "Oooooh."

"Nah, iya." Taran memutar bola matanya. "Long story short, gue yang akhirnya dipilih. Long story short lagi, Miranda berhasil meyakinkan guru-guru kita untuk mempertimbangkan lagi. Ya, hasilnya, nanti pulang sekolah kita bakal lomba berdua buat slot jadi perwakilan sekolah."

"Heh." Elizabeth langsung nyengir. "No question, lah, pemenangnya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro