Bab 6: Setelah Pengumuman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Udah pesen ojek, Ta?" Elizabeth bertanya sembari bersusah payah mencantolkan sebelah tali ranselnya lagi di pundaknya. Bulan pertama SMA dan bawaannya sudah sebanyak dan seberat ini, Elizabeth tak bisa membayangkan betapa banyaknya barang yang harus dibawanya setahun dari sekarang.

"Baru aja, masih lima menitan lagi sampenya. Mamamu udah deket?" Taran balas bertanya, mendongak sebentar pada Elizabeth setelah menekan sesuatu di layar ponselnya. Mereka sedang berjalan menuruni tangga, secara ruangan teater SMA Jelang Horizon terletak di lantai tiga. Ditambah lagi letaknya yang berada di ujung gedung paling pojok SMA Horizon, mereka perlu berjalan lumayan jauh ke gerbang utama sekolah.

"Katanya udah." Elizabeth mengecek notifikasinya.

"Gimana, udah lapor ke mamamu kalau kamu dapet peran utama di inaugurasi?" Taran mendorong pundak Elizabeth dengan pundaknya sendiri, ringan. 

Elizabeth tertawa. "Kayaknya mamaku nggak tahu, deh, inaugurasi itu apa."

"Tapi pentas Teater PERKASA, mah, tahu, kali. Keren kan, anak sulungnya bisa jadi aktor utama di pentas teater pertamanya."

"Nanti bakal kulaporin secara langsung." Elizabeth tersenyum kepada sahabatnya. "Lo kali yang bangga, bestie lo ini yang dapet peran utama di inaugurasi."

"Ya iyalah," Taran sok menyombong. "Apatah yang tak bisa Elizabeth Robin lakukan." Elizabeth melepaskan tawa lagi, hatinya melambung. Tatapan tinggi hati Taran melunak saat dia bertatapan mata lagi dengan Elizabeth. "Kan selalu kubilang juga apa, Bets. Lo bisa ngelakuin apa aja kalo lo mau."

Elizabeth mengangkat alisnya. "Mungkin masalahnya, gue seringnya nggak mau ya." Menyetir pembicaraan dari dirinya sendiri, Elizabeth bertanya, "Kalau lo gimana? Cie yang jadi ayah penyayangnya Timun Mas."

"Agak jauh gitu ya, castingnya jadi tunangannya Timun Mas, eh, malah dapet jadi bapaknya," Taran setengah mengomel.

"Auramu orang baik, kali, Ta," tawa Elizabeth. Dia bersyukur Taran tidak menjadi Alfredo, Elizabeth tidak berpikir dia akan bisa menahan tawanya jika berhadapan dengan Taran berakting sebagai anak orang kaya nan sotoy. "Dan masih terhitung tokoh utama, pula!"

"Orang baik sih orang baik, ini tapi bapak angkatnya Timun Mas lowkey tolol. Bisa aja kemakan lintah darat," Taran masih lanjut berlagak mengomel, tapi Elizabeth dapat melihat kalau sahabatnya sama sekali tidak keberatan dengan hasil casting yang didapatkannya. "Selamatin anak sih selamatin anak, tapi nggak sampe ngutang ke orang ga jelas juga."

"Iya deh," kata Elizabeth. "Oh iya! Lo berarti jadi bapak gue kan ceritanya?!"

"Angkat," Taran mengingatkan, waspada. "Kenapa ini?"

"Tapi kan bapak angkatnya Timun Mas mencintainya bagaikan Timun Mas adalah anak gadisnya sendiri, darah dagingnya sendiri," Elizabeth mengutip deskripsi Keshia. "Artinyaaaa ... Daddy Taran."

"EW." Taran sontak berhenti berjalan dan membuang muka ke samping, menunduk sambil mengeluarkan suara huek

"Daddy."

"Nggak! Nggak! Bets. Bets! Diem nggak!"

"Daddy Taran ...."

Bersusah payah membuka ponselnya karena Elizabeth yang sedang bergelantungan di salah satu sisi Taran, cekikikan, Taran menekan daftar kontaknya, "Nggak jadi, gue chat Arial bilangin gue jadi tukang bersih-bersih sekolahnya Timun Mas aja."

"Taraaan, nggak seru, ih." Elizabeth berupaya untuk mengambil ponsel itu dari tangan Taran, yang kukuh bersikeras meng-scroll kontaknya untuk mencari nama Arial. "Ga usah pura-pura deh, kontaknya Arial kan awalannya A ada di paling atas mestinya."

Mendorong tangan Elizabeth menjauh untuk mempertahankan ponselnya, Taran menjawab, "Nggak, soalnya nama kontak Arial di gue itu "Senior Terganteng, tapi Punyanya Elizabeth Robin"."

"Ta, woi!"

Suara klakson mobil memecah aksi setengah berjalan setengah saling mendorong mereka. Elizabeth dan Taran mendongak, mendapati mereka sudah berada di gerbang depan sekolah dan mobil keluarga Elizabeth sudah menunggu, dengan ibu Elizabeth berada di kursi sopir, mengangkat sebelah alisnya pada mereka. 

"Bye, Bets." Taran mendorongnya untuk terakhir kali ke arah mobil itu.

"Dah, Ta," Elizabeth membalas sebelum membuka pintu mobil.

"Bets," panggil Mama Elizabeth setelah mulai menyetir. "Kalau kamu mau bilang sesuatu sama Mama ...."

Elizabeth meringis. "Aku sama Taran nggak pacaran. Sumpah."

"Oke, tapi kalau kamu mau bilang sesuatu sama Mama, Mama nggak bakal marah."

"Kita beneran nggak pacaran, ya ampun, Ma."

"Oke, tapi kan kalau."

"Ma!" Percakapan ini sudah berulang-ulang sejak kira-kira setahun setelah Elizabeth mulai berteman dengan Taran. Elizabeth yakin kalau ibunya hanya menginginkan menantu yang suka matematika.

"Iya, iya." Hening sebentar. "Jadi ada apa di sekolah hari ini. Tadi pertemuan ekskur kan? Teater?"

"Iya," Elizabeth lebih kalem sebentar, "tadi pertemuan pertama setelah orientasi, kita mulai persiapan untuk pentas perdana angkatan ini nanti Desember."

"Ooh, kamu jadi apa? Sutradara?"

"Yang jadi sutradaranya guru pembimbingnya, Ma. Paling tinggi yang anak-anak bisa paling jadi asisten sutradara, atau nggak pimpinan produksi."

"Kalau pimpinan produksi sama sutradara bedanya apa, tuh?" 

Elizabeth menghela napas, mencari cara untuk menjelaskan ini dengan sederhana ke ibunya. "Sutradara itu yang mengatur aktor, cerita, sound sama lighting gitu, yang ditampilin di atas panggung. Kalau pimpinan produksi biasanya yang di luar itu, kayak ngatur perizinan gitu, terus jadi bos divisi-divisi sponsor, konsumsi, yang gitu lah."

"Oh yang gitu ya," Mama Elizabeth mengangguk-angguk. "Yang gitu, iya, Mama ngerti, yang gitu."

Elizabeth menghela napas lagi.

"Jadi kamu jadi apa? Pimpinan produksi?"

"Ma, aku anak baru," Elizabeth berkata dengan nada putus asa. "Zero experience. Produksinya hancur kalau aku yang mimpin."

"Nggak kali, kan katanya klub teater ini juga beberapa tahun mati kan? Nggak ada anggotanya? Berarti waktu baru dibangkitin lagi, semuanya anak baru dong, tapi nggak hancur toh produksinya?"

Ya karena itu dipegang sama Arial, Elizabeth ingin berkata, tapi tidak ingin ibunya bertanya siapa Arial. "Iyain. Aku jadi aktor, semua anak baru buat pementasan ini jadi aktor, bagian dari orientasi kita."

"Ooooh, keren. Kamu jadi siapa? Jahat baik? Tokoh utama kan? Ceritanya gimana?"

"Iya aku jadi tokoh utama." Elizabeth tersenyum mengingat pengumuman tadi. "Ceritanya Timun Mas, tapi diadaptasi jadi modern."

"Eeeh, keren, anak Mama jadi tokoh utama!" Mama Elizabeth tak bisa berhenti mencerocos untuk sesaat. "Jadi modern gimana Timun Mas-nya? Terasinya bukan jadi lautan api, tapi jadi firewall komputer, gitu?"

"Nggak gitu juga, Ma."

"Ya, kan, siapa tahu."

"Nggak kubilangin deh modern-nya jadi gimana, nanti Mama datang sendiri aja buat nonton waktu Desember, nanti bisa beli tiket, bakal ditayanginnya di auditorium sekolah kata ketuanya."

"Beli tiket? Orang tuamu sendiri kamu morotin, Bets?"

Elizabeth memilih tidak menjawab, menggeleng-geleng pun hanya dalam hati karena ibunya pasti akan mengomentari itu juga. 

Setelah beberapa saat, Mama Elizabeth akhirnya mengangkat suara.

"Tapi Mama bangga, loh, Bets," katanya. "Ini mimpi kamu masuk teater, kenapa Mama setuju kamu sekolah di Horizon walaupun jauh dari rumah. Mama bangga kamu bisa maju dalem teater ini."

"Iya, aku tahu." Elizabeth menyandarkan kepalanya, mengulum senyum. "Makasih, Ma."

Mereka tidak berbicara lagi sampai Mama Elizabeth mendadak berhenti di tempat fotokopian.

"Lah, mau ngapain, Ma?"

"Print naskahmu, lah. Dapet peran utama, banyak dong yang harus dihafal? Punya kertasnya, enak bisa dicoret-coret, di-highlight."

"Ya bener sih, tapi naskahnya aja belum selesai ditulis, Ma."

"Lah kamu gimana caranya bisa mendadak udah jadi Timun Mas aja kalau naskahnya belum jadi?"

"Kan dialog castingnya udah jadi duluan, Ma."

"Dialog casting itu apaan lagi?"

Elizabeth malas menjelaskan. "Ya, gitu, Ma."

"Kalian aneh ini, pentas bulan Desember kok sekarang belum juga naskahnya. Kalian bikin cerita Roro Jonggrang kali ya."

"Kok jadi Roro Jonggrang?"

"Kalian pikir bisa selesai semalem."

"Ya, nggak gitu, Ma. Ceritanya udah ada kok, outline-nya, cuma perlu disesuain pembagian karakternya aja."

"Ah, udah, Mama nggak ngerti. Asal kalian jangan mau dibantu jin aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro