Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hi, sweetie girl. Nice to meet you again.
Are you ready to play hide and seek?
"

* * *

Gelap dan kosong, hanya itu yang bisa kurasakan di dalam lemari pakaian yang sempit dan gelap. Juga rasa takut yang meledak-ledak di dalam dadaku. Aku tidak tahu apa penyebabnya, satu hal yang pasti, aku benar-benar ketakutan sekarang.

Napasku tertahan di tenggorokan selama beberapa detik lamanya. Selama suara langkah penuh ancaman itu terdengar, kukira aku akan terus menahan napasku. Bunyi tetesan air yang selalu kusukai kini menjadi hal yang paling kutakuti. Tubuhku bergetar, aku kedinginan dan ... ketakutan. Setiap kali aku mengembuskan napas, gumpalan asap hangat keluar dari mulutku dan itu membuatku semakin takut. Setiap kali napas hangat itu keluar, suara langkah berat penuh air itu berhenti seolah dapat mendengar embusan napasku. Suara besi beradu dengan besi membuatku semakin yakin bahwa makhluk itu benar-benar mengambil pisau dapur kesayangan ibu.

Kuperhatikan siluet pendek itu dari celah pintu lemari. Aku harus mengetahui paling tidak wajah dari siluet pendek hitam yang mengerikan itu.

"Di mana kau? Aku bisa mendengar deru napasmu, lho. Hihihi, apa kau ketakutan?"

Sekujur tubuhku bergetar, kubekap mulutku dengan satu tangan. Suara ancaman yang berat dan melengking itu, lagi-lagi menghantuiku. Dengan perlahan dan hati-hati, aku sedikit bergeser menjauhi celah pintu lemari. Berusaha mati-matian untuk tidak menimbulkan suara. Sedikit suara, maka aku akan mati.

Langkah berat siluet pendek itu kembali terhenti. Bisa kurasakan kini dia menyeringai lebar mengerikan ke arah pintu lemari. "Di dalam lemari, ya?"

Ya Tuhan!

Aku menyandarkan punggungku pada dinding lemari. Aku menundukkan kepala dan memejamkan mata rapat-rapat. Hawa dingin mengerikan kembali menjalar di seluruh sudut lemari. Gigiku nyaris bergemeletuk saking menggigilnya aku. Semua itu kutahan dalam bekapan tangan yang rasanya semakin mengencang setiap aku mendengar suara yang janggal di telingaku.

Dengan perlahan, aku kembali membuka mata sepenuhnya. Lalu terlonjak dalam diam dan membeku di tempat.

Siluet hitam pendek, mata merah membunuh, dan seringai lebar itu, menyambutku dengan uluran mata pisau penuh darah tepat di depan mulutku. Bersiap menusuk dan merobek apapun dariku dengan senang hati.

"Mitsuketa*."

* * *

Kubuka kedua kelopak mataku lebar-lebar secara paksa. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Napasku memburu hingga aku yakin orang-orang akan mengira aku baru saja mengikuti lomba maraton. Aku bergeming. Sekujur tubuhku mati rasa namun aku bisa merasakan kedua tanganku meremas sisi pembaringan kuat-kuat. Kepalaku mendadak pening dan rasanya seisi ruangan ini berputar-putar di luar kendali, telingaku berdenging-denging selama beberapa detik lamanya hingga akhirnya aku menutup kedua telinga akibat terganggu dengan dengingan itu.

Mimpi buruk.

Aku benci itu.

Semua orang di asrama ini tahu bahwa aku masuk ke wilayah ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Orang tuaku sering bepergian keluar kota sampai-sampai aku hampir lupa bagaimana wajah mereka, kemudian mereka dikabarkan meninggal tanpa sempat pulang untuk menyapaku. Pada akhirnya yang mereka lakukan hanyalah meninggalkan putri tunggalnya bersama seorang pembantu antagonis yang sikapnya 180 derajat menjadi lebih antagonis wataknya padaku. Satu-satunya yang tersisa untuk mengenang mereka hanyalah boneka beruang pemberian ibu. Tapi, benda itu pun sudah musnah dibakar pembantuku itu karena aku pernah "gila" akibat terlalu sering bermain dengan boneka itu.

Aslinya, tentu saja aku normal. Sepertinya boneka itu terlalu banyak menguras imajinasiku hingga meliar.

Aku kembali terlonjak ketika bunyi dering ponsel terdengar menggelegar sekalipun aku menyetel volume suara ponsel dengan tingkatan suara terkecil, atau mungkin kumatikan. Bantal menjadi korban selanjutnya setelah selimut karena aku tidak menemukan keberadaan ponselku. Ponsel itu bergetar, layarnya menampilkan notifikasi adanya panggilan masuk dari nama seorang pemuda yang kumiliki nomor ponselnya di kontak.

Rei Fukuyama, satu-satunya teman sepermainan yang kumiliki sampai saat ini.

Aku memutus sambungan tanpa kuangkat terlebih dahulu, karena aku yakin yang ingin dia sampaikan hanyalah, "Yo, pemalas, cepat bangun sebelum Egami-sensei memenuhi seisi papan tulis."

Dengan gaya malas-malasan, aku bangkit dari atas pembaringan dan mulai bersiap-siap untuk memasuki kelas pertama. Kurapikan kamarku seadanya, kemudian memakai sepatu dan berjalan keluar kamar sambil mengikat rambut secara asal-asalan--asalkan tidak menutupi leher, kupikir itu sudah bisa disebut sebagai kuciran. Tanpa adanya sarapan, tentu saja. Aku bangun terlambat dan akan semakin terlambat kalau aku menyempatkan diri untuk mengambil jatah makanan di ruang makan. Mungkin aku akan memberanikan diri untuk ke dapur nanti, hanya sebatas meminta dua lembar roti dan segelas susu kepada ibu kantin.

"Masih ada jatah sarapan untukmu, Haruka." Ibu kantin asrama menggelengkan kepalanya dengan prihatin ketika melihat nyaliku yang sungguhan meminta roti dan susu. "Aku bisa membungkusnya untuk bekal siangmu, kalau kau mau."

Tanpa mengatakan apa-apa, aku menanyakan menu lewat tatapan bertanya.

Ibu kantin mendesah melihat gelagatku. "Nasi kepal dengan ayam goreng atau sushi tuna gulung?" tawarnya.

Dengan dalih lebih memilih menu nomor dua, aku mengacungkan telunjuk dan jari tengahku seolah menunjukkan lambang peace, dan lagi-lagi ibu kantin mendesah melihat gelagatku yang masih enggan membuka mulut. Masih asyik mengunyah roti tawar dan susu. Entah membalas perbuatanku atau apa, ibu kantin mengacungkan kelima jarinya sebagai pertanda agar aku duduk diam menunggu.

Lima menit menunggu berarti menyisakan lima menit untuk perjalanan ke gedung sekolah, yah, bukan masalah. Aku bisa berlari lewat jalan pintas: atap.

Ibu kantin kembali muncul lima menit kemudian, disodorkannya padaku tempat makan langgananku sejak aku baru masuk ke asrama ini, yang kini sudah terisi penuh oleh makanan. Aku menerima sodoran tempat makan itu, berterima kasih singkat, lantas mulai berlari meninggalkan ruang makan.

Langkah ninjaku melambat ketika melihat orang yang tadi menghubungiku lewat telepon kini bersedekap dengan malas di ambang pintu kelas.

"Berantakan seperti biasanya," katanya setelah aku benar-benar sudah mengatur napas. "Mustahil kau bisa datang ke gedung sekolah dalam waktu lima menit. Kau pasti melewati 'jalan pintas' lagi, kan?" tanyanya kalem.

Aku mengangguk.

"Menyebrang dari atap gedung asrama ke atap gedung sekolah?"

Aku mengangguk lagi.

"Lain kali kau harus mengajakku pergi terlambat ke kelas pertama," ujarnya. Telunjuknya teracung ke arah kepalaku. "Rapikan rambutmu," titahnya seolah dia merasa bahwa dirinya adalah atasanku, "atau aku akan menyeretmu ke tempat para gadis modis agar mereka bisa merapikannya untukmu."

Sebelah alisku menaik. Aku keberatan dengan perintah itu, tentu saja. "Haruskah?"

Rei mengedikkan kedua bahunya dengan acuh. "Itu kalau kau sudah tidak keberatan lagi untuk berteman dengan gadis feminim di semua kelas."

Aku cemberut. "Omong-omong, Rei, mimpi buruk sialan itu kembali menghantuiku. Dan, lagi-lagi, aku tidak bisa melihat siapa anak laki-lakinya," laporku. "Menurutmu, siapa orang yang berhubungan dengan mimpi itu? Aku tidak merasa menarik seseorang yang kukenal ke dalam masa laluku."

"Tidak ada yang tahu. Dulu, aku hanya anak laki-laki berusia tujuh tahun yang sudah berbaik hati menemanimu sejak pertama kali kau datang ke asrama ini, sampai sekarang," jawab Rei setengah minat. "Kau harus mencari teman sesama gadis agar kau tidak terlanjur menyukaiku suatu saat nanti."

Tingkat kepercayaan diri yang mengerikan, gerutuku di dalam hati. Masih sambil cemberut, aku melepas kuciran kemudian mengikat ulang dengan kondisi yang jauh lebih baik--hingga tidak ada satu pun helaian rambut yang menjuntai. Baru selesai mengucir rambut dengan baik dan benar, Rei mengerutkan keningnya dan menatapku seakan-akan aku ini alien. Lalu, tanpa mengatakan permisi atau izin resmi yang sejenisnya, tangannya bergerak menarik helaian rambut tepat di sekitar telingaku, membuatnya menjuntai turun.

"Maaf, Haruka. Kalau tidak ada yang menjuntai, rasanya aku seperti melihat manekin." Begitulah alibinya.

Ketika bel berdentang dan jam pertama akhirnya dimulai, itu artinya misiku untuk menaklukkan rasa kantuk di mata pelajaran yang membosankan juga sudah dimulai. Selain itu, aku juga punya misi penting lainnya, yakni menjaga jarak dengan teman yang duduk di depanku.

Rei adalah satu-satunya makhluk berjenis kelamin laki-laki yang harus paling kuwaspadai. Dalam mimpiku, aku sempat beberapa kali dipertemukan dengan anak laki-laki yang postur tubuhnya mirip dengannya tapi sayangnya aku tidak melihat wajahnya secara persis. Satu hal yang pasti, aku berharap bahwa itu bukan seorang Rei Fukuyama. Lengah sedikit saja, maka sebuah kesialan akan menimpaku.

Sama seperti sekarang ini, di mana aku tengah terdiam mati kutu karena dia sudah berhasil memaksaku untuk menyalin catatan dari awal pelajaran. Dia telah membuat catatan berhargaku lenyap hanya karena terguyur air dari tempat minum yang dia bawa.

"Rei, akan kupastikan kau menyalin bagianku di atap gedung asrama putri nanti sore," desisku penuh ancaman.

Dia terkekeh pelan. "Kau yakin? Kau bahkan tidak berani mengetuk pintu kamarku di asrama. Padahal kamarku bukan di ujung lorong," selorohnya semena-mena. Dia sama sekali tidak menjawab perintahku, hanya mengedikkan kedua bahunya dengan acuh kemudian kembali fokus pada pekerjaannya sendiri.

Benar-benar tipe orang yang minta kuhajar.

"Haruka."

Aku mengangkat kepala, kembali menatap laki-laki itu dengan tatapan membunuh. "Apa?" sahutku ketus. Kulempar karet penghapusku tepat ke arah batok kepalanya. "Oi, sialan, apa maumu?"

Makhluk laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menolehkannya ke belakang dengan tatapan bertanya. "Aku tidak memanggilmu, asal kau tahu," katanya dengan enteng. Sebelah alisnya terangkat dengan jenaka. "Mungkin kau harus periksa telinga ke ruang kesehatan utama lain kali. Aku bisa menemanimu kapanpun." Lalu dia kembali menghadap ke depan.

"Humormu rendah," rutukku.

"Hai, gadis manis. Senang bertemu denganmu lagi."

Aku menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri berulang kali, mencari-cari asal suara berat dan melengking itu. Keningku berkerut waspada ketika tidak kutemukan siapapun yang memanggilku. Semua wajah sedang fokus dengan urusan mereka masing-masing. Siapa?

"Apa kau siap untuk bermain petak umpet?"

* * *

[TBC]

* * *

A/N:

*Artinya: "Aku menemukanmu"

Hitungan pertama sudah dimulai.

Bersiap untuk hitungan kedua, semuanya. //smirk


9 Juli 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro