Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebagian nafsu makanku serta sebagian besar semangat hidupku hilang setelah mendengar kenyataan bahwa suara misterius itu masih menghantuiku, bahkan ketika tadi siang aku sedang asyik mencuri lauk bekal Rei berkali-kali di atap gedung sekolah. Harus kuakui, sushi tuna itu sangat mendukung suasana buruk menjadi jauh lebih baik.

Namun sayangnya, satu fakta mengerikan selain suara seperti kaset rusak kembali muncul di depan mataku tepat setelah aku hendak kembali ke asrama setelah kelas musik malam.

Laki-laki yang membuatku harus menyalin ulang seluruh catatan jam pagi, kini benar-benar ada di atap gedung asrama perempuan. Sedang berkacak pinggang dan melihat-lihat pemandangan dengan santainya. Astaga, ini sudah pukul sepuluh malam. Dia terlihat bodoh dan ... mengerikan.

Dengan cepat aku melangkahkan kaki menuju gedung asrama yang mulai redup penerangannya, menaiki tangga dengan kecepatan tinggi dan berniat membanting pintu menuju atap hingga terbuka lebar. Tidak lagi peduli ketika beberapa lampu kamar di lorong yang kulewati kembali menyala akibat waspada dengan derap langkahku yang terburu-buru. Angin malam langsung menerpa kuciran tinggi yang kubuat. Dengan gerakan kilat aku segera merapatkan mantel yang kupakai. Angin ini terasa menyejukkan namun entah mengapa juga terasa buruk di saat yang bersamaan.

"Rei!" panggilku keras-keras. "Oi, di mana kau, makhluk rendahan?" Sekali lagi kupanggil dia untuk mengonfirmasi bahwa dia benar-benar ada di atas sini.

"Hai, gadis manis. Senang bertemu denganmu lagi."

Oh, tidak. Suara itu lagi.

"Apa kau siap untuk bermain petak umpet?"

Dengan gusar, aku berbalik cepat. Kedua tanganku spontan menguatkan cengkeraman pada mantel. Aku mundur teratur. Mencoba waspada tanpa harus membuat kakiku gemetar karena takut. Tiba-tiba, sebuah tangan besar membekap mulutku rapat-rapat. Aksi yang membuat reaksiku selanjutnya adalah berjengit kaget dan spontan menahan napas. Semua rasa takut yang sejak tadi berusaha kusembunyikan kini tumpah ruah dan semakin menjadi.

Tanpa kutolehkan kepala ke belakang, aku tahu orang yang membekapku kini mendekati telingaku kemudian berbisik rendah, "Kalau kau berteriak, aku bisa kena tangkap Kepala Asrama."

Tahan dulu. Tidak ada penjahat yang mengatakan hal seperti itu di adegan manapun.

Kutarik tangan besar itu agar lepas dari mulutku. "Rei, sejak kapan--?"

Rei memberi kode untuk diam lewat jari telunjuknya. "Belum lama. Kupikir aku bukan laki-laki sejati kalau aku tidak menerima ancamanmu tadi pagi," jawabnya sembari berbisik. Tanpa menungguku yang masih melongo, dia merogoh mantel hitamnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dari sana, lantas menyodorkannya padaku. "Sudah kusalin. Semoga itu cukup untuk bayaran catatan tadi pagi."

Dengan ragu, kuterima sodoran itu. "Omong-omong, apa kau mendengar suara aneh sedari tadi?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Suara aneh?" Rei membeo. Dia berpikir sejenak. "Hanya suara ancamanmu versi tadi pagi yang masih terngiang di kepalaku"--Rei menghindar ketika aku menamparnya dengan lembaran kertas yang ada di tanganku--"kecuali, kalau maksudmu adalah suara yang membuatmu menuduhku tadi pagi, nah, itu tidak kudengar sama sekali."

"Jawabanmu tidak memban--"

"Hai, gadis manis. Senang bertemu denganmu lagi." Suara berat itu kembali menggema di sekitar kami. Setelah hening dua detik, suara berat itu berubah total menjadi melengking tinggi dan terputus-putus seperti kaset rusak yang tersetel ulang terus-menerus. "Kau membawa temanmu yang lain? Kau tahu itu dilarang dalam permainan kita, kan? Peraturan adalah peraturan, Haruka. Tapi, mungkin bertambah satu pemain bukan masalah besar. Hai, gadis manis. Apa kau siap bermain petak umpet?"

Aku diam membatu. Suara itu terdengar terlampau dekat dari telingaku. Daun telingaku terasa geli hingga aku punya perasaan bahwa ada seseorang yang bersiap menggigit daun telingaku dan menariknya hingga putus.

"Kau tidak ingin menoleh ke belakangmu?"

Dengan tergagap, aku bertanya, "Kau yakin kau tidak mendengar suara itu?" Aku menggigit bibir bawah. Kutatap Rei penuh harap. Pertanyaan selanjutnya kulontarkan dengan suara terendah yang kumiliki. "Kau yakin hanya ada kita berdua di sini?"

"Suara apa?" tanya Rei dengan nada meninggi. "Aku tidak mendengar apa-apa selain--oh, tidak." Mulutnya yang terus mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat kudengar dengan baik langsung terkatup rapat dengan wajah menegang dalam hitungan detik. Rei mundur selangkah. "Haruka, katakan padaku bahwa yang kulihat hanyalah imajinasiku. Sekarang, jangan bergerak," desisnya. Dengan perlahan dia menjulurkan tangannya padaku. "Perlahan."

Aku mengerutkan kening, dengan ragu kuterima uluran tangannya, persis dengan kehati-hatian tinggi yang dia perintahkan padaku. Napasku tertahan dengan sendirinya. Angin malam semakin dingin dan setiap tiupannya berhasil membuat bulu kudukku meremang. Tanganku bergetar, masih terus berusaha mendapatkan uluran tangan Rei dengan ketakutan yang semakin menjadi. Sedikit lagi saja dan dia akan mendapatkan tanganku dengan mudah.

"Jangan." Angin di belakangku terasa membekukan tulang. "Jangan sentuh dia."

Tepat setelah angin di balik punggungku mengulang-ulang frasa itu sebanyak tiga kali hingga rasanya angin di sekitar kami mulai mengganas, Rei langsung menarik tanganku kuat-kuat sebelum bunyi tebasan kuat itu nyaris mengenai punggungku. Bunyi besi terdengar dari belakangku, dengan mantap menghantam atap asrama. Lembaran kertas salinan jatuh berhamburan ke atas atap--aku yakin beberapa lembarnya terkena tancapan benda tajam itu. Kuciran tinggi yang kubuat langsung terlepas akibat karet rambutnya putus setelah terkena sabetan mengerikan itu. Helaian rambut langsung menghujaniku tanpa aba-aba.

Tanpa menoleh ke belakang lagi, kami berlari menjauhi tempat itu dan bersiap melewati jalur ekstrem agar kami bisa lolos dari atap tanpa harus melewati asrama putri, yakni melewati jendela tua antar gedung yang terhubung dari asrama langsung ke gedung sekolah lama yang sudah tak terpakai.

"Jangan! Jangan bawa Haruka! Kau tidak boleh membawa Haruka dariku!" Suara mengerikan itu mengejar kami. Setiap kali aku hendak menoleh ke belakang, Rei pasti sudah keburu melarangku seolah-olah dia memiliki mata di belakang kepalanya. "Haruka, ayo bermain! Namida sudah menunggu Haruka sejak lama. Ayo kita main petak umpet!"

Aku menahan napas dengan mata terbelalak.

Namida?

* * *

"Ayah, apa aku boleh masuk?"

"Boleh, Sayang. Tapi jangan berantakan, ya?"

Senangnya hatiku diperbolehkan ayah untuk masuk ke ruangan perpustakaan pribadi rumah sendiri. Biasanya, ayah melarangku memasuki ruangan ini karena aku anak yang berantakan. Hebat, kan?

Kupeluk boneka pemberian ibu dua tahun yang lalu, sampai sekarang, aku belum punya ide untuk menamainya apa. Oh, ibu sudah menyaranku untuk menamainya Namida. Kupikir, itu aneh. Kenapa harus "Namida"? Memangnya boneka ini selalu menangis?

Menurutku, perpustakaan pribadi ini amat sangat luas! Padahal ayah sendiri yang bilang kalau perpustakaan pribadi itu tidak harus luas. Dengan hati berbunga-bunga, kutelusuri rak demi rak yang terisi penuh oleh buku-buku. Dari buku baru, sampai buku yang paling tua dan nyaris tinggal sampulnya saja.

"Wah, buku yang itu bagus! Aku suka warnanya!" gumamku dengan boneka masih di dalam pelukan. Dengan susah payah kuambil buku tebal bersampul merah-hitam itu dari rak buku paling atas. Dan yang membuatku tambah senang, ada gambar boneka-boneka yang mirip dengan boneka yang kupegang. Bahkan sama persis! Yah, walaupun banyak juga gambar boneka yang menyeramkan.

Saking senangnya mendapat buku bacaan yang menurutku sesuai keinginan, aku bahkan tidak sempat membaca judul bukunya. Yang kulihat hanya kata "permainan", dan aku sangat suka permainan yang menggunakan boneka. Mungkin saja ada cara bermain putri-putrian bersama boneka di sini. Tapi, kebanyakan setiap judul di halaman buku kulewati karena gambarnya tidak menarik minatku dan sedikit menyeramkan. Sampai aku menemukan sebuah gambar yang menarik nafsu bermainku. Gambar bonekaku! Gambar yang sama persis seperti bonekaku. Walau begitu, judul permainannya terdengar asing di telingaku.

Petak umpet sendirian? Sungguh, bagaimana caranya kalau bermain petak umpet tapi sendirian? Mungkinkah ini permainan petak umpet khusus anak perempuan yang tidak suka bermain ke luar rumah? Aku tidak tahu. Tapi, karena aku senang mendengar kalimatnya, jadi aku pun mulai membacanya.

"Wah, sepertinya seru," gumamku, tanpa sadar aku memeluk boneka itu erat-erat. "Tapi, buku ini bilang, kau harus ditusuk, Namida. Nanti kalau sakit, bagaimana?" Aku cemberut. Kasihan Namida. Ditusuk dengan benda tajam itu menyakitkan. Aku tahu rasanya.

Kutatap bonekaku itu lamat-lamat. Kedua mataku berbinar semangat. "Eh, tidak apa-apa? Sungguh?" Aku mengulang pertanyaanku dengan nada meninggi. Sekali lagi kutatap boneka itu lamat-lamat, dia tersenyum. Tulus namun kosong. "Wah! Namida baik sekali!"

Boneka beruang itu tergeletak di lantai, aku kembali tenggelam dalam buku.

"Nanti kita main, ya!"

Sayangnya, itu keputusan terburuk yang pernah ada. Aku benar-benar menyesali keputusanku yang sama sekali tidak tepat.

Inilah akibatnya.

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menangis ketakutan dan meringkuk di dalam lemari. Boneka itu kian menyeramkan saat aku memanggil ayah atau ibu, dia berteriak keras-keras dan terus menyerukan kata, "Mati! Mati!" Genangan darah di luar lemari menyuruhku untuk tetap diam di dalam sini. Gedoran di pintu lemari bertambah keras dan langkah berat kaki boneka beruang itu terdengar begitu jelas di telinga.

"Halo! Apa ada orang di sini? Apa kau bisa mendengarku?"

Suara seseorang yang tidak kukenal membuatku sedikit lega. Tapi, siapa yang memanggilku? Kuharap itu ayah atau ibu, atau mungkin Bibi Mizu juga tak apa.

"Jangan ganggu dia! Dia hanya boleh bermain denganku!"

Boneka beruang yang baik, tolong jangan ganggu aku lagi!

Langkah berat itu telah menjauh bersamaan dengan lengkingan amarah yang menakutkan, digantikan oleh suara langkah orang berlari menghampiriku sambil berteriak memanggil-manggil seolah seruan itu ditujukan padaku. Tapi ..., aku tidak tahu suara siapa itu. Kupikir itu adalah suara malaikat yang sudah siap membawaku pergi meninggalkan dunia ini, atau jangan-jangan, ayah dan ibu bersama polisi. Aku pernah mendengar suaranya, namun sayangnya, aku tidak tahu pemilik suaranya.

"Hei, kau baik-baik saja? Siapa namamu? Kenapa kau bisa di sini?"

Aku membuka kedua mata sebisaku. Redup, dan semuanya benar-benar tampak samar. Dia bukan polisi, ayah, ataupun ibu, ataupun Bibi Mizu yang belakangan ini menjambak rambutku setiap kali ayah dan ibu tidak ada di rumah.

Dia ... siapa?

"Kau masih hidup, kan? Siapa namamu? Cepat jawab!"

"... ruka," jawabku putus-putus.

Dia tersenyum. Berbaik hati menarik tanganku mendekatinya dan duduk dengan pelan.

Aku menggigil, antara kedinginan dan ketakutan.

Dia mengusap-usap punggungku. "Tenanglah, Ruka-chan. Polisi akan tiba sebentar lagi. Kau tahu? Tidak seharusnya perempuan ke rumah kosong malam-malam sendirian."

Tunggu dulu. Namaku Haruka, bukan Ruka!

Ah, sebentar. Ada goresan yang cukup dalam di dahinya. Aku terdiam menatap wajahnya. Tanpa sadar, aku menyentuh luka yang masih basah itu. Noda merah segera mengotori tanganku. "Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir, sekaligus takut.

Anak laki-laki itu meringis kesakitan lalu terkekeh. Hebatnya, dia tidak menangis sedikit pun. "Setidaknya aku tidak separah kau."

Aku terdiam. Butuh beberapa detik bagiku sebelum menjawab, "Terima kasih."

* * *

[TBC]

* * *

A/N:

Namida artinya air mata dalam bahasa Jepang. Itu alasan kenapa si heroine tadi ngomong begitu... (lihat bagian tulisan NAMIDA diberi tanda petik)

.

.

From one we go to two. And from two we go to three....

Semuanya siap? Hitungan ketiga dimulai!


9 Juli 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro