Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia bonekaku.

"Oi? Haruka?"

Aku terkesiap, mataku mengerjap beberapa kali. Langsung bersibobrok dengan mata Rei yang kini menatapku dengan tatapan ngeri. Setengah bingung, aku juga bertanya-tanya kenapa aku bisa terduduk di sini? Kepalaku tertoleh ke kanan dan kiri, mengira-ngira di mana kami berada sekarang. Kegelapan pekat nyaris menelan kami andai satu lampu meja kecil tidak menyala redup seperti sekarang ini. Ketika aku membaui aroma kertas, barulah aku sadar akan tempat yang kami jadikan tempat peristirahatan sementara.

Perpustakaan tua gedung sekolah lama.

Aku tersadar di detik selanjutnya. "A-apa dia masih mengejar kita?" tanyaku panik.

Rei menggelengkan kepalanya. "Sebelum kau goyah di tengah kejadian yang tadi itu, ya, dia masih mengejar kita. Tapi, begitu kau goyah di tengah pelarian dan terus-terusan batuk tanpa henti, barulah sosok aneh itu lenyap. Kupikir kau demam karena kau mulai meracau tidak jelas walaupun matamu terbuka." Kepalanya terteleng ke kanan. "Kau yakin kau baik-baik saja? Aku bisa mengantarmu ke kamar asrama kalau kau memang butuh istirahat," tanyanya pelan.

"Lebih baik terperangkap di sini daripada melihatmu tertangkap basah oleh Kepala Asrama akibat aksi heroikmu menyelamatkan siswi yang sedang demam," tolakku mentah-mentah. Spontan, tanganku menyentuh kening dan leher berulang kali. "Tapi, sungguh, aku tidak demam."

Rei menghela napas, tangannya menyingkirkan tanganku dari kening dan dia mengukur suhu tubuhku dengan tangannya sendiri. "Tadi itu panas sekali," gumamnya. "Nah, jadi, apa maksud dari 'Namida, ayo main!' yang sedari tadi kau ocehkan?"

"Apa?"

Rei bersedekap malas. "Kau meracau tadi."

"Oh." Aku bungkam sejenak. Mulai memutar otak agar aku tahu harus memulai dari mana. "Dia bonekaku." Aku tertunduk, memulai sesi penjelasan. "Kau masuk ke asrama ini lebih dulu daripada aku, jadi, kau pasti tahu apa yang pernah terjadi padaku, kan? Ya, ini tentang aku yang katanya 'gila', karena sebelum berangkat ke sini, pembantuku membakar bonekaku yang menjadi satu-satunya peninggalan dari ayah-ibuku. Dulu aku bermain petak umpet dengan bonekaku, tapi, dengan cara yang sudah dituliskan di dalam sebuah buku--bermain di rumah kosong sendirian, aneh, kan? Kau ingat saat aku bilang kalau aku memimpikannya belakangan ini? Kurasa, itu ada hubungannya dengan masa lalu. Karena waktu itu, ada seseorang yang datang menghampiriku di tengah permainan berlangsung. Aku nyaris mati di dalam lemari tua dan dia datang sehingga semua kegaiban itu lenyap."

Rei mengerutkan keningnya, masih menatapku dengan tatapan aneh.

"Dia anak yang baik, dan hebat. Padahal keningnya terluka cukup dalam, tapi dia tidak menangis sedikit pun." Senyumku mengembang dengan sendirinya. "Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan saat keningmu terluka?"

Rei mengedikkan kedua bahunya dengan acuh. "Mungkin berteriak dramatis terlebih dahulu?" Lantas terkekeh pelan.

"Setuju. Aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu," jawabku geli. Aku memalingkan wajah ke arah lain. "Jadi, kupikir, kalau aku ingin menyelesaikan semua ini dengan--"

"Memainkan permainannya lagi dengan benar hingga tuntas?" Rei memotong sekaligus menarik kesimpulan.

Aku menganggukkan kepala dengan yakin. "Aku yakin Namida menghantuiku karena masalah ketidakpuasan."

"Hitori Kakurenbo, ya?" Rei bergumam-gumam. Kakinya melangkah pelan ke arah tumpukan buku-buku usang yang terhampar ke mana-mana. "Setahuku, aku menemukan salah satu yang serupa di sini," katanya sambil mulai mencari-cari. Dia melirikku. "Kau diam saja di situ. Tidak usah ke mana-mana," titahnya.

Walaupun tidak ke mana-mana, aku tetap berdiri dan mulai mondar-mandir mencari buku yang dia maksud di antara lautan buku di sekitarku. Paling tidak aku ikut mencari di sekitar sini. Ini perpustakaan lama, tidak mungkin ada yang peduli lagi dengan isinya, kan?

Aku berjongkok dan merunduk rendah demi melihat tulisan tua di atas kertas lusuh. Salah satu kertas bertuliskan judul permainan yang terasa mistis berhasil mencuri perhatianku. Tepat pada bagian cara memainkan permainan itu.

"Haruka ketemu."

Aku terbelalak. Sekujur tubuhku menegang ketika suara itu kembali muncul tepat di depanku. Ketika aku mengangkat kepala, kakiku lemas seketika.

Siluet itu tidak lagi berbentuk boneka beruang yang lucu, sebagian besar kainnya robek pada bagian wajah dan memunculkan lapisan daging merah berselimutkan darah amis di dalam sana. Mata boneka itu membelalak, merah menyala, menyisakan mata kiri yang masih utuh sedangkan yang kanan sudah koyak. Seringai lebar itu terlampau lebar hingga aku yakin sebentar lagi kepala boneka itu akan robek total. Ujung mata pisaunya mengarah ke mata kananku. Bersiap mencungkil mataku kapanpun dia mau.

"Sekarang, Haruka yang jaga."

Mata pisau itu bergerak cepat, menusuk mata kananku dan seketika dunia rasanya berhenti bergerak, bersamaan dengan berhentinya detak jantungku karena aku terlalu terkejut hingga aku tidak bisa berteriak. Tubuhku bergetar hebat, aku kejang-kejang. Keringat dingin langsung membanjiri sekujur tubuhku tanpa ampun. Rasanya panas dingin.

"Setelah ini, bersembunyilah dengan benar. Seperti yang dulu kau lakukan."

Kepalaku terasa kosong. Boneka itu menghilang.

Satu hal yang pasti, itu ilusi.

Napasku tersengal-sengal. Aku menarik napas panjang berulang kali, berusaha memenuhi paru-paru dengan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku menggigil, kedinginan dan ketakutan. Aku ingin bebas, sungguh, aku ingin pergi dari tempat ini. Dan aku harus bersyukur karena guncangan pada kedua bahu memaksaku untuk membuka mata dan kembali ke dunia nyata.

"Sudah kubilang untuk diam di tempat!" Suara Rei masuk lewat telinga kananku lalu keluar lewat telinga kiri. Satu tangannya merangkul bahuku sedangkan yang satu lagi dengan agresif mengusap kening dan wajahku yang basah oleh keringat dingin. Setelah hening beberapa detik hingga aku mulai membuka mataku, Rei berkata pelan, "Kita kembali sekarang. Suhu tubuhmu terlalu tinggi."

Aku terdiam sejenak. "Tolong, biarkan aku menyelesaikan ini lebih dulu," pintaku.

Rei menggeleng tegas. "Kau benar-benar sudah tidak berdaya dan kau masih ingin melakukannya? Yang benar saja! Itu sama saja dengan bunuh diri!" bantahnya. "Tidak akan kubiarkan kau melakukannya. Memangnya sepenting ap--"

"Kalau urusanku sudah selesai dan ternyata aku memang tidak sadarkan diri, kau boleh membawaku ke ruang kesehatan utama," potongku cepat-cepat dengan suara rendah nyaris berupa bisikan. Sekali lagi, aku menarik napas panjang. "Kumohon, kita sudah nyaris mati di sini."

"Kau yang nyaris mati," ralat Rei dengan desahan berat pada ujung ucapannya. Matanya menatapku dari atas hingga bawah, dengan ragu dia mengatakan, "Sepuluh menit, cukup?"

"Cukup," jawabku tanpa basa-basi lagi. Kukepalkan kedua tangan dan mulai bangkit dengan mati-matian menahan getaran yang merambat hebat dari kakiku. Sebelum aku tumbang lagi, Rei buru-buru berdiri dan menarik tanganku agar aku tidak tumbang. "Terima kasih," ucapku pelan.

Rei mengatupkan rahangnya. "Kata kuncinya?"

"Ruangan tua, lemari reyot."

Aku berbalik, berjalan menuju pintu perpustakaan dan meraih kenop pintu. Ketika hendak membukanya, satu tangan besar mencengkeram tanganku yang lainnya. Aku terlonjak dalam diam, menoleh ke belakang dengan takut-takut. Takut bahwa bukan Rei yang melakukannya.

Aku terpaku saat melihat memang tangan itu yang melakukannya.

"Ruka-chan," Rei mengerutkan keningnya, matanya tampak berkabut, "waktu itu kau bilang namamu 'Ruka', kan?"

Aku terperangah, tangan yang tadinya memegang kenop pintu kini spontan bergerak mendekati kening laki-laki itu, kening yang tertutupi helaian potongan rambut berantakan. Rei tersentak namun tetap bergeming, membiarkanku meraba keningnya itu. Tanganku bergetar saat merasakan adanya bekas goresan itu. Aku menyingkap helaian rambutnya, kini memperlihatkan bekas goresan itu kepadaku. Dengan lembut, aku mengusapnya.

"Padahal aku mengharapkan pahlawan lain. Tapi ternyata memang kau, ya, anak laki-laki hebat yang salah dengar itu?" ucapku lirih. Kupaksakan seulas senyum di bibir, tawa getir lolos dari mulutku dengan mudahnya. "Seingatku, aku bilang, 'Namaku Haruka', bukan Ruka. Tapi, terima kasih, Rei."

* * *

Langkahku bergema di seluruh penjuru lorong gedung. Ruangan tua yang memiliki banyak lemari reyot hanyalah ruangan bekas klub desain. Seingatku, lokasi setiap ruangan di gedung sekolah lama tidak jauh berbeda dengan lokasi ruangan di gedung sekolah yang sekarang. Bedanya, lorong ini dipenuhi reruntuhan dan benda-benda usang tak berguna.

Angin malam kembali menyambutku dengan senang hati, membuat gerakan tanganku spontan merapatkan mantel dan menarik ristleting mantel hingga menutupi leher. Lorong-lorong terasa mati dan tua selama kegelapan malam masih terus menyelimuti. Suara dengingan tak diundang beberapa kali terdengar terbawa angin. Penerangan yang tersisa hanya beberapa lampu darurat yang bercahaya lemah, itu pun hanya satu atau dua yang benar-benar menyala. Bulan purnama di langit hanya memberi sedikit penerangan akibat terhalang awan tebal.

Bunyi desiran angin membuatku menghentikan langkah sebanyak beberapa kali. Merasa awas setiap melewati ruangan yang pintunya sedikit terbuka.

"Hai, gadis manis. Senang bertemu denganmu lagi." Suara pria tua bercampur anak kecil kembali bergema di sekitarku. "Apa kau siap untuk bermain petak umpet?"

"Tunjukkan di mana dirimu, makhluk rendahan," gumamku. "Aku tahu kau ada di sekitar sini, Namida. Tunjukkan dirimu."

"Namida sedang bersembunyi. lho! Hihihihihihi! Temukan aku, temukan aku ...."

"Tidak usah bernyanyi di saat seperti ini, boneka bodoh."

Angin malam berputar-putar dengan hebat. Pintu ruangan yang sedikit terbuka kini terbanting terbuka lalu kembali terbanting tertutup. Begitu terus berulang kali dengan ganasnya. "Hihihi! Kasar sekali! Haruka tidak pernah sekasar itu sebelumnya. Nah, karena Haruka sudah mengingat Namida, sekarang ayo kita bermain! Bersiap untuk menghitung, Haruka yang jaga, boneka sembunyi! Haruka yang jaga, boneka sembunyi! Haruka yang jaga, boneka sembunyi!"

Lampu-lampu di sekitar bergoyang hebat, lampu yang berada di atasku retak, pecah dalam ledakan, meredup, lalu padam. Aku merunduk, kulindungi kepalaku dengan kedua tangan. Pemandangan di sekitarku kini gelap total. Kakiku bergerak mundur dengan perlahan, kemudian terhenti ketika rasanya aku menginjak sesuatu di belakangku. Aku berbalik, namun hanya mendapati kegelapan.

Sedetik kemudian, lampu-lampu di sekitar langsung menyala dengan terang, membuatku spontan menundukkan kepala dan memejamkan mata rapat-rapat. Ketika aku membuka mata, boneka itu sudah ada di sana. Boneka yang tadi muncul mengejutkanku di perpustakaan kini tergeletak lemah di atas lantai yang dingin. Tidak ada luka menganga di wajahnya, matanya lengkap, dan tidak ada pisau berdarah di genggamannya.

Namun, pisau itu tergeletak di sampingnya.

Aku terdiam sejenak. Berusaha mengingat-ingat apa yang kukatakan saat memainkan permainan ini di masa lalu. "Aku menemukanmu," ucapku pelan, sembari mengangkat boneka itu. "Apa lagi yang harus kulakukan?" tanyaku dengan suara keras.

Suara berat bercampur lengkingan itu tertawa. "Lakukan saja." Suaranya muncul tidak jauh dariku, ketika aku menoleh, lantas menemukan sebuah bak wastafel tua tergenang air. Hanya baknya, tidak ada pipa ataupun sumber air dari sana. Air itu tergenang tanpa ada yang tahu penyebabnya.

Kuraih pisau yang tergeletak dengan tangan gemetar, antara takut dan ragu. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, aku mengeratkan genggamanku pada gagang pisau. Jantungku berdegup kencang. Tenggorokanku terasa kering dan keringat dingin mulai menjalar di punggungku lagi. Rasanya sesak, aku ingin melarikan diri dari tempat ini andai aku tidak ingat dengan misi utamaku. Selama mimpi buruk itu terus menghantuiku, tidak ada pilihan untukku selain menyelesaikan masalah ini sendiri.

Sekali lagi, aku menarik napas panjang sebelum memulai ritual. "Boneka yang jaga, Haruka sembunyi. Boneka yang jaga, Haruka sembunyi. Boneka yang jaga, Haruka sembunyi."

* * *

Kutahan napas di dalam lemari yang sudah reyot--lemari di lantai satu gedung sekolah lama menjadi incaran lokasi termudah agar aku bisa melarikan diri keluar gedung. Jantungku berdebar-debar karena takut hal yang sama di masa lalu akan terulang kembali. Lemari sempit dengan celah pada pintunya bukanlah lokasi yang bagus untuk bersembunyi. Aku pernah merasakan hal itu dan itu adalah tragedi paling mengerikan yang pernah ada. Aku takut Rei datang sebelum waktu permainan habis. Bila itu terjadi, maka hasil permainan bertaruh nyawa ini juga tidak akan berubah.

Sekarang, apa yang harus kulakukan?

Pcak. Pcak.

Aku membekap mulutku sendiri. Mulai merasakan atmosfer yang berbeda drastis dengan beberapa detik sebelumnya. Akhirnya, suara langkah kaki yang berat dan terdengar basah seperti habis berenang terdengar oleh telingaku. Namida telah datang. Aku benar-benar tidak tahu ini sebuah kemajuan atau justru sebuah kabar buruk. Satu hal yang pasti: aku takut.

Hal yang benar-benar kutakutkan terjadi, kertas-kertas penuh coret-coretan berwarna merah mulai berjatuhan dari atas langit-langit lemari. Aku ada di dalam lemari, dan ini sudah jelas hal gaib. Kukumpulkan kertas-kertas itu dan kulihat baik-baik coretannya. Berawal dari gambarku yang di atas kepalanya terdapat benang-benang merah yang ruwet, berubah menjadi gambar gumpalan asap merah, lalu gumpalan asapnya memunculkan sosok boneka beruang yang sama. Sosok boneka itu menjadi semakin jelas dan semakin jelas, sampai akhirnya kulihat gambar yang terakhir: boneka itu memegang pisau dapur yang kuletakkan bersamanya di bak wastafel itu, dengan seringai mengerikan di wajahnya, dan mata pisaunya mengarah tepat ke arah ubun-ubun kepalaku.

Aku tidak tahu yang mana yang lebih buruk antara yang ini dengan yang terjadi padaku di masa lalu.

Tes.

Basah dan gelap. Tetesan cairan yang kental dan dingin jatuh tepat di atas kertas yang terakhir. Kudongakkan kepalaku perlahan untuk melihat ke atas.

Namida dengan pisaunya yang sudah berkarat dan dihiasi darah segar berada tepat di atas langit-langit.

"Mitsuketa." Bisikan dari mulutnya membuat mataku membesar. Dia tidak membuka mulutnya, namun suara bisikan mautnya terdengar jelas di telingaku. Itu aneh dan ....

... benar-benar mengejutkanku.

BRAK!

Kudorong pintu lemari yang reyot itu sampai patah dari engselnya. Kejutan lain menungguku di luar lemari. Genangan darah di mana-mana, persis seperti yang kulihat di masa lalu namun kali ini lebih luas dan lebih banyak. Mual dan pusing. Itulah gejalaku yang utama saat melihat lantai yang awalnya bersih menjadi penuh dengan darah dan bau yang benar-benar menusuk hidung.

"Lucunya! Haruka ketemu lagi!"

Tanpa menoleh ke belakang lagi, aku berlari sekencang-kencangnya. Sampai aku mendengar langkah kaki dan mengira itu adalah langkah kaki Rei, namun nyatanya, yang kulihat saat aku memutar tubuhku adalah sosok hitam yang menyeret cangkul penuh darah. Saat aku hendak berlari lagi, jalan di depanku menjelma menjadi dinding tinggi dan akhirnya menjadi jalan buntu bagiku. Sosok hitam yang membawa cangkul berlumuran darah itu berhenti sejenak ketika melihatku bersandar di dinding yang ada tepat di belakangku.

Kukira dia akan menunjukkan sosok aslinya yang mungkin mengerikan di depan mataku. Ternyata, dia memanggul cangkulnya di pundak dan menunjuk sesuatu. Tepat ke arah di belakangku. Aku berbalik dan hanya bisa membuka mulut tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Sosok yang lebih mengerikan lagi sedang mengangkat cangkul berlumuran darahnya tinggi-tinggi.

Siapapun, tolong aku!

* * *

[TBC]

* * *

A/N:

Eh, ralat.

C/N:

"Hitungan ketiga sudah dimulai dan aku menemukanmu!" -Namida [Juli 2018]


(Masih) 9 Juli 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro