18: Dimana hatimu?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebagian besar murid di kelas sudah kabur begitu pak Rudi keluar dari kelas. Wajah pria itu merengut, sepertinya dia masih kesal karena diperlakukan seperti itu oleh muridnya. Rubi berjalan mendekati Ruminten dan Arlanta.

"Rum, are you okay?" tanya Rubi sambil mengusap pelan kepala gadis itu.

Ruminten menatap lekat ke arah Rubi dan tersenyum tipis.

"I am okay."

Tidak berselang lama, datang seorang gadis cantik. Gadis itu langsung bergelayut manja di lengan Arlanta. Cowok itu tidak menolak, malah menepuk kepalanya dengan penuh kasih sayang.

Cukup lama Rubi dan Ruminten menatap kedua orang itu hingga akhirnya Arlanta menoleh ke arah mereka.

"Oh iya, kenalin dia Marinka."

Ruminten tersenyum, sementara Rubi dibuat speechless oleh tindakan Arlanta yang tidak masuk akal di pikirannya.

"Bukannya lo--"

"Eh, Rubi. Temenin gue ke kantin. Gue laper," ucap Ruminten. Dia tidak mau merusak momen diantara Arlanta dan Marinka. Dia tahu cowok itu masih menyukai Marinka.

Rubi masih tidak rela, tapi dia tidak bisa menepis lengan Ruminten begitu saja. Mustahil baginya untuk menyakiti orang yang disukainya. Entah kenapa, hal itu tidak berlaku bagi Arlanta.

Cukup lama mereka melangkah hingga sekarang mereka sudah cukup jauh dari kelas. Ruminten membawa Rubi menuju taman sekolah, tempatnya duduk dan menata pikiran.

"Dia siapa? Kenapa lo biarin pacar lo berduaan sama cewek gatel kayak tadi?" tanya Rubi langsung. Cowok itu tidak suka melihat orang yang disukainya tersakiti.

"Rubi, sini duduk dulu. Lo jangan berdiri mulu, ih," ucap Ruminten sambil menepuk tempat kosong disebelahnya.

Rubi mendengkus kasar dan duduk di sebelah Ruminten. 

"Udah, gue udah duduk. Sekarang jawab pertanyaan gue. Kenapa lo biarin Arlanta bajingan itu berduaan sama cewek tadi? Bukannya kalian pacaran?"

"Rubi lo nggak salah tadi. Arlanta memang asal bunyi doang. Nggak ada apa-apa diantara kami."

Rubi kembali dibuat speechless. Dia menatap ke arah gadis itu lekat-lekat.

"Tapi, kenapa gue lihat ada luka di mata lo? Lo kayak orang tersakiti, tahu. Gue bisa rasain itu."

Gadis itu terkejut, lalu dia tersenyum. "Lo benar. Rasanya sakit karena dia cinta pertama gue. Memang pernah ada kita, tapi semua sudah usai satu tahun yang lalu. Waktu itu lo masih sekolah di luar kota. Untung aja lo pindah ke sini, gue jadi nggak semenyedihkan itu."

"Lo pernah pacaran sama Arlanta?" tanya Rubi lagi. Dia masih tidak menyangka hal itu pernah terjadi.

"Benar. Tapi, dia mau jadi pacar gue pasti nggak tulus. Dia takut doang kayaknya."

"Maksud lo?"

Ruminten menatap lekat ke arah Rubi lalu tersenyum. "Mungkin dia takut nyakitin gue. Harusnya dia tolak juga nggak apa-apa. Gue bisa ngerti, yang penting gue udah ungkapin perasaan gue ke dia."

"Meskipun lo tahu bakal ngerasain sakit? Jadi, lo yang ungkapin perasaan duluan?"

"Iya, gue nggak tahu malu banget, ya? Padahal cewek tuh harusnya nunggu, bukan nyatain duluan."

Rubi langsung menggenggam erat jemari Ruminten.

"Lo jangan ngerendahin diri lo kayak gitu. Nggak ada yang salah siapa yang ungkapin duluan. Cewek juga berhak, kok."

"Lo nggak ilfeel sama gue?"

"Kenapa gue harus ilfeel sama lo?" tanya balik Rubi sambil menyelipkan helai rambut yang menutupi sebagian wajah gadis itu.

"Lo cantik, Rum. Arlanta pasti nyesel udah sia-siain bidadari kayak lo."

Gadis itu tertawa pelan. "Apaan, deh? Bidadari model apa yang badannya melar kayak gini?"

"Di mata gue, lo itu bidadari tidak bersayap. Lo cantik di mata gue. Sikap lo, cara lo bertutur kata, semuanya dari lo itu gue suka."

"Lo nggak usah muji-muji gue gitu. Nanti gue baper malah lo yang nyesel. Gue orangnya mudah baper, mending lo jauh-jauh dari gue."

Rubi menggeleng pelan. "Gue selalu nungguin lo, masa gue pergi gitu aja?"

"Maksud lo?"

Wajah Ruminten sudah memerah, dia tidak menyangka akan mendengar penuturan manis semacam itu dari seorang cowok. Dia kira dia tidak pantas menerima tutur kata seperti itu.

"Gue suka sama lo, Rum."

Mereka masih terdiam untuk beberapa saat, mata Ruminten sudah berkaca-kaca dibuatnya.

"Lo masih suka gue setelah tahu cerita gue? Lo tahu gue masih ada rasa ke Arlanta dan lo masih mau suka sama gue?"

"Iya, masih. Asalkan gue bisa dekat sama lo itu udah cukup buat gue. Eh, nggak deh. Asalkan lo bahagia, itu udah cukup buat gue."

Tangis Ruminten langsung pecah, dia tidak suka melihat Rubi menderita seperti itu. Dia pernah berada di posisi Rubi, dan dia tahu betapa sakitnya berada di posisi itu. Tangisnya semakin kencang setelah Rubi memeluknya, cowok itu dibuat kebingungan karena gadis itu langsung menangis.

"Gue salah ya, Rum? I am sorry. Don't cry, please."

"Lo nggak salah, Bi," balasnya sambil sesenggukan.

Rubi terus mengusap kepala Ruminten, berusaha supaya gadis itu tenang kembali.

"Lo bisa lupakan ucapan gue barusan. Anggap aja gue nggak bilang kalo gue suka sama lo--"

"Bi, lo nyesel udah bilang gitu?" tanya Ruminten dengan air mata yang masih mengalir.

"Eh? Nggak. Gue nggak pernah nyesel udah bilang kayak gitu."

"Lo nyesel udah suka sama gue?" 

"Gue nggak pernah nyesel suka sama lo," ucap Rubi gemas. Dia heran dengan tingkah gadis itu yang sulit ditebak.

Ruminten tersenyum lalu menggenggam erat jemari Rubi.

"Ayo pacaran."

Tangan Rubi langsung terasa dingin, wajahnya jadi pucat. Untuk beberapa saat cowok itu hanyut dalam lamunan.

"Lo nggak mau, Bi?"

"Mau. Tapi, lo serius?" Sebagian perasaannya mengatakan kalau Ruminten hanya mengulang kesalahan Arlanta. Menerima hanya karena kasihan. Rubi benci diterima karena kasihan. Namun, dia takut pertanyaannya hanya akan menyakiti gadis itu.

"Gue serius. Gue mau belajar mencintai lo."

"Gue bingung, Rum. Di satu sisi gue senang banget akhirnya gue bisa dapat kesempatan buat pacaran sama lo. Disisi lain gue takut kalau lo bakal bosan dan pergi ninggalin gue."

Ruminten tersenyum, melihat sisi menggemaskan Rubi yang jarang dilihatnya. Biasanya cowok itu gemar mencari perkara dengannya.

"Gue nggak akan janjiin apa-apa. Gue mau berproses sama lo, tumbuh bareng jadi pribadi yang lebih baik. Temanin gue ya, Bi."

"Oke, mari glow up bareng. Menurut gue lo udah sempurna, tahu."

"Tck, mana ada orang yang sempurna. Kesempurnaan itu cuman milik Tuhan."

"Iya gue juga ngerti. Cuman lo itu udah sempurna di mata gue. Jadi, lo jangan rendah diri gitu."

Ruminten diam untuk beberapa saat. "Gue bakal tetap insecure karena badan gue yang melar."

"Kalau gitu, lo mau olahraga bareng gue?"

Wajah Ruminten memerah. "Gu-gue malu."

"Oke-oke. Lo olahraga di rumah, deh. Nanti kalo mau ditemenin, lo bisa video call gue. Gue bakal nemanin lo, biar lo nggak tergoda sama kasur buat tidur."

Gadis itu mengangguk, menyetujui ide dari cowok itu.

"Oke, boleh juga. Nanti kalau gue udah berani, kita olahraga bareng."

"Siap, cantik."

Melihat hal di depan membuatnya jadi bahagia. Pemandangan dihadapannya semakin indah, langit yang cerah dan cowok tampan yang resmi menjadi pacarnya. Mungkin sudah tiba saatnya dia untuk dicintai.

Jumkat: 1016 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro