19: Bintang Kehidupan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari itu Arlanta terlihat tidak seperti biasanya. Arlanta yang santai dan tenang. Sudah satu minggu dia bersikap seperti ini. Kegelisahan cowok itu menimbulkan tanda tanya di benak Ruminten.

Gadis itu menggaruk pelan rambutnya, matanya terus tertuju pada Arlanta. Gadis itu menggigit bibirnya, dia semakin penasaran dengan apa yang dipikirkan cowok itu. Hanya saja, dia takut untuk tahu faktanya. Dia takut tidak siap dengan jawaban yang akan didengarnya nanti jika dia mengutarakan pertanyaan.

Rubi baru sampai di kelas, matanya berbinar-binar begitu melihat Ruminten di kelas. Hari ini adalah pagi pertama yang dia jalani dengan status yang baru, sebagai pacar gadis pujaan hatinya. Ruminten dengan segala tindakannya selalu mampu menarik perhatian Rubi. Namun, ada yang dikhawatirkannya, Rubi ragu jika dia hanya dijadikan pelarian oleh gadis itu.

Memikirkan hal itu membuatnya tertegun, ada rasa perih yang menjalar di relung hatinya. Perasaan tidak rela bila perasaan Ruminten tidak seutuhnya diberikan untuknya.

Dia tidak suka berbagi dan dia tidak mau berbagi dengan orang lain, termasuk dengan sahabatnya sendiri. Semua ini membuatnya perang batin saja, antara logika dan perasaan saling beradu. Logikanya menyuruhnya untuk menanyakan keseriusan Ruminten, sementara perasaannya menyuruhnya untuk menemani Ruminten dan menutup telinga sejenak dari praduga yang ada.

Tatapannya berubah nanar ketika mengetahui siapa yang dipandang gadis itu, tatapan gadis itu tertuju pada Arlanta. Gadis itu bahkan tidak menyadari dia melambaikan tangan ke arahnya.

"Sebenarnya lo serius nggak sama gue, Rum?" gumam Rubi sembari mengepalkan tangannya erat. Ingin rasanya dia memukul dinding di dekatnya, melampiaskan rasa sakit yang dirasakannya, dia tidak hanya merasakan rasa sakit, tetapi kegelisahan dan kekhawatiran juga ikut bercampur. Rubi benci dengan dirinya yang lemah, tetapi dia tidak sanggup membuat gadis itu terluka oleh ucapannya.

Rubi menggeleng pelan lalu tersenyum tipis. "Kalau dia memang diciptakan buat gue, dia pasti akan kembali ke gue. Ngapain juga bingung, Bi? Kayak orang bego aja," ujarnya pelan. Ucapan yang diucapkannya untuk menenangkan dirinya sendiri, dia percaya kalau jodoh akan menemukan rumah untuk berpulang, termasuk Ruminten. Jika gadis itu memang untuknya, dia akan menemukan jalan pulang ke pelukannya.

"Mungkin gue harus bersabar sedikit lagi, bertahan sebentar lagi. Gue harus bisa tegar dan ada disaat Ruminten membutuhkan gue."

Cowok itu sudah yakin dengan segala tindakannya. Dia sadar tindakannya ini memiliki potensi untuk melukai diri sendiri. Dia paham, seharusnya dia cukup bersyukur karena Ruminten mau berpacaran dengannya. Sebuah doa yang diucapkannya setiap malam, meminta Tuhan membukakan pintu hati Ruminten untuknya, menyadarkan gadis itu jika ada dia yang menunggu gadis itu. Menantikan hari dimana mereka bisa merubah status menjadi sepasang kekasih. Akhirnya hal itu terwujud, seharusnya dia tidak lagi mempertanyakan hal itu. Rubi harus mensyukuri hal itu, bukankah dia yang menginginkan hubungan ini?

Entah kenapa mempertanyakan hal itu kembali mengundang luka di relung hatinya. Mempertanyakan kenapa masih ada rasa perih yang dirasakannya? Bukankah seharusnya dia berbahagia?

"Eh, Bi! Melamun bae, lo!" pekik Arlanta sambil menepuk pundak Rubi keras.

"Hah? Apaan, sih?"

"Idih, lo hampir nabrak itu kursi tahu! Lo kenapa, sih? Ini masih pagi, lo kenapa udah melamun?"

Rubi kembali terdiam, dia baru tersadar daritadi pikirannya melayang entah kemana sementara dia sudah melangkah ke kelas.

"Oh itu, gue mikirin hari ini ada pekerjaan rumah apa enggak," ujarnya sambil nyengir.

"Hah? Tumben amat lo jadi pikun? Biasanya lo udah kerjain tugas di hari yang sama saat tugasnya dikasih. Tenang aja, kalo lo lupa gue yakin lo pasti udah kerjain. Gue percaya sama lo."

"Oh gitu. Iya deh."

Jawaban yang kaku dari Rubi mengundang tanda tanya dari Arlanta, tetapi diurungkannya. Dia melihat Rubi memandang ke orang lain. Akhirnya dia mengikuti arah pandang cowok itu, dan dia mengerti siapa yang dipandang sahabatnya itu.

"Kenapa lo mandangin Ruminten kayak gitu? Lo berantem sama dia?"

Rubi tersenyum getir, dia memandang ke arah Arlanta lekat-lekat.

"Harusnya gue yang nanya ke lo."

Alis Arlanta terangkat sebelah, dia dibuat bingung oleh pertanyaan Rubi.

"Maksud lo apaan, sih? Ih, gue udah pusing nyariin cewek gue. Lo malah nambah-nambahin pikiran gue aja."

"Heran gue," ujarnya pelan. Rubi melanjutkan langkahnya ke arah Ruminten. Ekspresi di wajahnya terlihat tidak bersahabat. Dia memandang sinis ke arah gadis itu. Logikanya mengatakan tidak mungkin gadis itu tulus padanya dengan perilaku seperti itu. Pacar mana yang melihat ke arah cowok lain seperti itu? Tatapan intens, bahkan dia terlihat menyebalkan di mata Rubi sekarang.

Cowok itu menghela napas, berusaha mengatur perasaannya. Lalu, dia tersenyum dan mengetuk meja Ruminten pelan.

"Hei, earth calling Ruminten!" ujarnya keras.

"Hah! Apa?!" teriak Ruminten kaget. Gadis itu tidak sadar dia sudah terlalu lama dalam dunianya sendiri. Pikirannya dan perasaan yang menuntunnya untuk memikirkan segala hal secara bersamaan. Sekarang dia dibuat kaget karena Rubi sudah ada di sampingnya, entah sejak kapan.

"Lo sejak kapan ada disitu, Bi?"

"Sejak lo mandangin Arlanta?" tanya balik Rubi. Cowok itu tersenyum lalu mengelus puncak kepala Ruminten.

"Lo ada masalah apa? Apa yang lo pikirin sampai lo nggak sadar gue daritadi merhatiin lo?"

Rubi memilih duduk di kursi kosong yang terletak di sebelah Ruminten. Rubi terlihat tenang dari luar, padahal hatinya bergemuruh. Logika dan perasaannya kembali beradu. Cowok itu sudah pusing sekarang, padahal hari baru saja dimulai.

"G-gue lihat Arlanta kebingungan. Mungkin dia butuh bantuan kita, Bi."

Rubi tersenyum lebar, dia sudah menduga Ruminten memang memikirkan Arlanta. Rasanya dia semakin jatuh dalam rasa sakit hati.

"Kalo mau bantu itu berdiri dong, didekatin itu bocah. Bukan duduk doang kayak gini. Lo kira dia paranormal apa bisa baca isi hati lo?" canda Rubi lagi. Namun, Ruminten menyadari ada kekecewaan yang tersirat dari tatapan cowok itu.

"O-oke. Temenin, Bi."

Rubi mengangguk dan menggenggam erat jemari Ruminten. Mereka mendekati Arlanta yang masih memandang layar ponselnya dengan gelisah.

"Oit. Lo kenapa, Ar?"

"Gue baru tahu kalo Marinka sakit."

Binar di mata Ruminten langsung meredup. Nyeri menjalar di sekujur tubuhnya, hatinya terasa begitu sakit sekarang.

"O-oh, gitu. S-sakit apa?" tanya Ruminten lagi. Dia berusaha bersikap biasa saja, meskipun terasa sulit.

Arlanta bahkan tidak memalingkan wajahnya dari layar ponselnya, dia tersenyum tipis. Ruminten tahu senyuman itu tidak tulus, dia terpaksa tersenyum. Senyuman yang tidak Ruminten sukai, sebab gadis itu tahu cowok itu tengah bersedih.

"Gue juga nggak tahu. Gue nggak tahu," ucapnya sambil menatap manik mata Ruminten. Terpancar luka dari tatapan itu.

"Kenapa nggak tahu? Lo bisa nanya ke dia, bego. Gunanya ponsel buat apa kalo nggak buat komunikasi?" tanya Rubi gemas.

"Ya, gue udah nanya. Tapi, dia nggak mau jawab."

"Malinka, ya? Nama lengkapnya Malinka Raharjo?"

Kali ini Rubi dan Arlanta menatap ke arah Ruminten dengan intens.

"Lo lagi asal bunyi, ye?" tanya Rubi heran, sedangkan Arlanta terdiam sejenak.

"Lo tahu darimana nama lengkapnya?" desisnya pelan.

Ruminten tersenyum, "Dia saudara gue."

"Saudara? Saudara gimana maksud lo?" tanya Rubi lagi.

"Saudara tiri gue."

🐼

Jumlah kata: 1041

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro