😷Tanya= 13😷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruminten membuka kedua kelopak matanya, mengerjapkan mata beberapa kali seraya menyesuaikan dengan cahaya di ruangan itu. Ruangan dengan nuansa merah muda, dia dapat merasakan empuknya kasur yang ditidurinya saat ini. Kali ini tidak sesuram kali pertama dia mendapatkan kesadarannya, tidak ada segerombolan cewek yang menatapnya dengan tatapan sinis penuh kebencian. Kali ini hanya ada satu orang yang dilihatnya, orang yang tengah menggenggam erat jemari tangannya seakan-akan tidak ingin dilepaskan lagi, mungkin saja begitu.

Cewek itu tersenyum, dia mengenal dengan baik siapa orang itu, orang yang bisa membuatnya nyaman. Namun, Ruminten kembali meragu akan perasaannya. Dia takut semakin dalam menyukai orang itu. Ruminten sudah terlampau sering disakiti oleh kisah percintaannya. Mungkin memang benar, tidak akan ada cowok yang menyukai cewek sepertinya. Ruminten tidak cantik, mungkin benar dia terlalu berekspektasi tinggi tanpa menyadari kenyataan.

"Hei, lo udah bangun?" gumam Arlanta pelan seraya mengelus punggung tangan Ruminten.

"Eh? I-iya." Dia terlalu dalam larut pada pikirannya hingga tidak menyadari cowok itu sudah menatapnya daritadi.

"Gimana keadaan lo? Kok bisa tumbang gini, sih?" Terlihat raut kesal bercampur khawatir dari wajah ovalnya itu. Mata mereka beradu tatap, lagi-lagi Ruminten larut dalam kekaguman. Wajah cowok itu begitu tampan, tidak ada jerawat di kulit wajahnya, alisnya yang tebal dan bulu mata yang lentik, belum lagi warna matanya yang berwarna cokelat semakin menambah kesempurnaan ketampanannya.

"Woy, malah bengong," tegur Arlanta lagi.

Jantung cewek itu berdegup semakin kencang, wajahnya memerah. Dia sadar sudah tertangkap basah bengong menatap wajahnya. Arlanta tersenyum melihat kepanikan yang terpancar dari gerak-gerik dan ekspresi wajah Ruminten, mereka sudah terlalu lama bersahabat, tentu saja Arlanta mengerti arti dari gerak-gerik itu. Dia paham apa yang dipikirkan cewek itu.

"Lo nanya apaan, dah? Berisik amat." Ruminten menutupi wajahnya dengan lengannya itu. Mau ditutupi seperti apapun, Arlanta juga sudah tahu. Cowok itu tersenyum lalu mendengkus pelan.

"Gue nanya, lo habis ngapain jadi bisa tumbang gini, nyet?"

"Gue habis ngeronda. Masuk angin, tumbang deh."

"Lah? Bukannya lo nggak berani keluar rumah kalau udah malam? Lo kira gue nggak tahu kalau lo semalam karaokean?"

"Eh? Kok lo tahu?" Ruminten langsung duduk dan menatap intens ke arah Arlanta.

"Apa yang gue nggak tahu tentang lo?" tanya balik Arlanta, senyumannya menambah kadar ketampanan cowok itu. Sekarang Ruminten semakin meleleh dalam pesona cowok itu. Dia gantengnya tidak manusiawi.

"Lo nggak ada niatan buatin gue bubur? Beliin gue makanan mungkin? Laper gue," ujar Ruminten lagi. Dia butuh waktu sendiri untuk menenangkan perasaannya. Perasaan yang dengan mudahnya diterbangkan begitu tinggi oleh cowok tampan itu.

"Oh, udah kok. Ada di dapur, bentar gue panasin dulu." Cowok itu langsung sigap berdiri dan keluar dari kamar. Ya, ini kamar Ruminten. Mereka sudah sering masuk ke kamar satu sama lain, orang tua mereka juga mengijinkan karena mereka sudah megenal satu sama lain. Kepercayaan yang diberikan untuk menjaga satu sama lain.

"Satu yang lo nggak tahu, Ar. Perasaan gue," gumam Ruminten dengan tatapan kosong. 

"Gue aja yang bego. Udah tahu lo banyak yang ngejar, masih aja nggak tahu diri suka sama lo. Gue yang salah." Cewek itu kembali tersenyum kecut, cepat atau lambat dia harus menghapus rasa suka itu atau dia akan tenggelam dalam kesesakan karena melihat orang yang disukainya bersama cewek lain.

Ruminten kembali merebahkan badannya ke kasur, menikmati kenyamanan yang dirasakannya saat ini. Dia selalu nyaman berada di rumah, apalagi berada di dekat Arlanta. Di mana saja dia berada, asal ada Arlanta disisinya maka tidak akan menjadi masalah sebab dia tahu Arlanta akan menjaganya.

"Cie yang lagi ngelamun," goda Arlanta begitu masuk ke dalam kamar dan mendapati cewek itu menatap ke kursi dengan tatapan kosong.

Beberapa detik sudah berlalu, tetapi Ruminten tidak kunjung merespon. Cowok itu terus melangkah dan menaruh nampan berisi mangkok bubur ke atas meja lalu jongkok serta menatap ke arah Ruminten.

Dia tersenyum pelan, mendekatkan diri dan meniup pelan ke arah Ruminten. Cara favorit untuk menyadarkan kembali Ruminten dari dunia lamunannya. Dia sudah terlampau nyaman dengan kekurangan Ruminten, menerima dan melengkapi serta membuat cewek itu nyaman adalah hal yang paling disukainya. Cewek itu segalanya baginya, orang yang menemaninya di masa kelamnya dulu.

"Ih!" pekik Ruminten keras. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum kembali menatap Arlanta. Mereka kembali beradu pandang, tidak ada yang mau mengalah. Arlanta mengira mereka tengah battle adu tatap-tatapan, sementara Ruminten kembali terpesona memandang wajah tampannya itu.

"Mata lo hebat bener. Nggak perih ya itu? Mata gue perih, weh."

"Hah? Mampus," ujar Ruminten pelan. Dia merutuki dirinya yang mudah sekali terpesona hingga kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat.

"Mampus-mampus apaan, sih? Tidur lagi, dah lo." Arlanta menepuk bantal sambil memandang ke arah cewek itu.

"Terus makanan gue gimana, nyet?"

"Oh iya, hampir gue makan. Lo sih kebanyakan adu bacot."

"Lo bukan gue. Gue mah baik gini, lo kebanyakan bacot."

"Udah, ah. Duduk yang manis, gue suapin."

Ruminten kembali panik, tetapi dia senang. Arlanta selalu bisa membuatnya tersipu malu, segala perhatiannya membuatnya merasa dia berharga dan pantas dicintai. Entahlah, mungkin perasaannya saja.

Tidak ada perlawanan dari Ruminten, tidak ada juga bacotan dari Arlanta. Mereka fokus menyuapi dan menerima suapan dengan baik dan tenang. Tidak lupa Arlanta mengambil tisu untuk mengelap sisa bubur di ujung bibir Ruminten. Setiap tindakan yang membuat wajahnya kembali memerah dan membuat badannya semakin kaku, pelakunya sudah pasti Arlanta.

"Lo mikir apa, sih? Tegang amat."

"Kalau gue bilang lagi mikirin lo, respon lo apa?" tanya balik Ruminten. Entah keberanian dari mana hingga dia mengucapkan hal itu.

"Serius? Ya bagus, dong."

"Bagus? Lo nggak risih sama pertanyaan gue?"

"Nggak tuh. Emang kenapa gue harus risih?" tanya balik Arlanta. Cowok itu nyaman berada bersama Ruminten. Dia nyaman mengurusi cewek ceroboh itu. Tidak ada yang salah juga karena dia tidak berhak mengatur apa yang dipikirkan orang lain, dia bukan Tuhan.

"Yah, gue kira lo risih. Oh iya, lo mau bantuin gue kurus, nggak?"

"Hah? Lo kesambet apaan?"

"Gue serius, nyet. Bantuin gue, dong," pinta Ruminten lagi.

"Tunggu deh, jangan bilang lo pingsan kayak gini karena lo nggak makan?"

Sekarang gantian Ruminten yang menatap heran ke arah Arlanta, cowok itu seperti cenayang saja.

"Kalau iya, emang kenapa?"

"Bego lo. Nggak gini caranya. Oke gue bantuin, awas lo sampe nggak makan lagi. Nggak gue rawat lagi kalo sakit."

Cewek itu tertawa keras, "Emang gue ada minta lo rawat gue?"

"Oh gitu cara mainnya. Awas lo rengek-rengek ke gue."

Ruminten kembali tertawa, tingkah cowok itu memang unik. Bersamanya dia menikmati setiap detik dalam hidupnya. 

Jumkat: 1000

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro