🐻Sulit=14🐻

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya perlu beberapa malam lagi untuk kembali pulih. Bukan Ruminten namanya jika tidak keras kepala, semua nasehat dari Arlanta dibantah semua. Dia terus meyakinkannya jika dia sudah pulih seutuhnya. Tentu saja semua itu hanya bualan belaka, orang sehat macam apa yang masih terlihat pucat?

Arlanta khawatir, dia tidak ingin orang yang disayanginya jatuh sakit. Baru dua hari masuk sekolah tanpa Ruminten saja sudah membuatnya merasa hampa, setiap pulang pasti langsung mampir ke rumahnya dan bawain makanan.

"Lo serius besok mau masuk?" 

Ini sudah kali kesekian Arlanta menanyakan hal itu. Untuk kesekian kalinya juga Ruminten mengangguk dengan yakin. Guratan di dahi Arlanta semakin terlihat, kentara jika cowok itu tidak setuju dengan keputusan itu.

"Wajah lo masih pucat, nyet. Kalau lo pingsan yang repot juga gue."

"Oh, jadi lo repot?"

Mendengar nada ketus dari ucapan Ruminten membuatnya tertawa, dia suka memancing amarah Ruminten. Entah kenapa, dia suka mencari perkara dengannya.

"Bener, kan?"

Ruminten mengerucutkan bibirnya sembari memalingkan wajah dari Arlanta, dia kesal dianggap sebagai beban meskipun kenyataannya memang dia hanya menyusahkan orang saja. Beberapa malam ini Ruminten kesulitan tidur, bunyi barang jatuh dan perdebatan menghiasi malamnya yang dingin. Pertengkaran yang sudah lama tidak dia dengar sejak dia masih kecil. Sekarang hal itu kembali terulang.

"Lo kenapa?" tanya Arlanta kembali begitu tidak ada sahutan atau hujatan yang keluar dari bibir mungil Ruminten.

"Tahu ah, males gue."

"Ututu, jangan ngambek dong, cantik. Lo kenapa, sih ngebet banget mau masuk sekolah? Bukannya lo males dan nggak suka ya masuk sekolah?" ucap Arlanta sembari menatap lekat ke arah Ruminten. Orang yang ditatap malah tersenyum tersipu.

"Memang gue nggak suka sekolah, tapi ada lo di sana. Gue nggak akan bosan kalau ada lo di samping gue."

Arlanta terdiam, belum ada sahutan darinya. Matanya membesar, jantungnya berdegup kencang mendengar hal itu. Hanya dua kalimat, namun berhasil membuatnya salah tingkah.

"Lo serius apa bercanda, nyet?"

"Hm, jawab nggak ya?" goda balik Ruminten. Dua orang yang kompetitif, dia tidak terima jika kalah dari cowok itu meskipun hanya sebatas godaan.

"Ish, tahu ah. Lo mending belajar. Lo mau sekolah, kan?"

"Iya, gue mau sekolah. Lo ajarin gue, dong. Lo kan pintar. Orang pintar harus baik ke orang kayak gue."

"Kata siapa gue pintar?"

"Lo kan langganan jawab pertanyaannya guru-guru. Bagi-bagi kek kepintaran lo itu. Gue malu lama-lama nggak jawab pertanyaan guru."

"Iya. Ayo belajar. Lo harus jaga kesehatan, gue takut kalau lo sakit. Lo itu penting buat gue."

Hangat. Ruminten selalu suka dengan perhatian. Siapa yang tidak menyukai perhatian? Setiap perhatian yang didapatkannya selalu berhasil membuat dia jatuh semakin dalam pada perasaan yang disebutnya sebagai cinta. Ruminten sudah berjanji, apapun yang bisa dilakukannya untuk membuat Arlanta bahagia, akan dia lakukan.

"Lo juga jaga kesehatan. Kasihan, nanti yang ikut lomba siapa kalau lo sakit?"

Momen haru yang terbangun langsung hancur seketika oleh kalimat itu. Arlanta langsung bermuka masam dan melempar bantal yang ada di dekatnya.

"Lo udah sehat, sih ini. Lo bisa nyari perkara artinya lo sehat."

"Gue emang sehat, nyet. Lo aja yang bawel dari tadi."

"Oke, habisin dulu makanannya. Terus lo tidur. Besok lo bareng gue ke sekolah. Nggak ada acara begadang-begadang, ya. Imun lo nanti turun kalo begadang mulu."

Ruminten menautkan alisnya, menatap ke arah Arlanta heran.

"Teori dari mana, tuh?"

"Teori gue. Hebat, kan? Udah, ah. Tidur. Gue pulang. Awas lo nakal."

Perdebatan itu akhirnya berakhir dengan lemparan bantal dari Ruminten. Pertemuan yang membuat moodnya kembali baik. Bersama Arlanta memang obat yang dia butuhin, obat untuk buat dia bahagia lagi.

Kepala Ruminten masih pusing, untuk turun dari kasur saja membutuhkan perjuangan ekstra. Namun, Ruminten sudah bosan menatap tembok. Dia tidak mau menghabiskan hidupnya dengan monoton. Meskipun dia tidak bisa menjadi pacar Arlanta, setidaknya dia bisa berada di dekatnya hingga waktunya habis.

Entahlah, tidak ada yang tahu soal rahasia yang disimpan cewek itu. Namun, matanya terpancar kesedihan mendalam. Ruminten memegang surat hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Setiap perkataan dokter waktu itu masih terekam dengan jelas di ingatannya.

"Umur gue nggak akan lama. Maaf gue nggak sanggup bilang ke lo, Ar. Kalau lo sedih, gue ikut sedih. Gue nggak mau lo sedih. Lo harus bahagia," gumamnya pelan seraya menutup matanya perlahan. Efek kantuk dari obat yang diminumnya mulai menyerang, malam ini akhirnya dia bisa tidur.

Paginya Ruminten sudah dihiasi oleh pertengkaran lagi. Entah apa saja yang diributkan, namun hatinya selalu sakit mendengar perdebatan itu. Seperti sebelumnya, dia akan duduk di pinggir kasur dan memejamkan matanya seraya menarik napas dan menghembuskan kembali perlahan-lahan.

"Tenang. Cuman bentar doang, kok. Lo ngerti itu akan berlangsung singkat. Cuman pertengkaran biasa. Wajar."

Ucapan yang selalu diucapkannya untuk menguatkan dirinya dan mempertahankan pikiran positif dalam dirinya. Meskipun dia sudah gemetar dan pikirannya dipenuhi pikiran negatif, dia takut orang tuanya berpisah. Dia tidak mau keluarganya hancur. Tidak akan ada anak yang menginginkan hal itu, bukan?

Seperti sugesti yang diucapkannya tadi, sekarang dia tidak lagi mendengar perdebatan dari luar. Seulas senyum mulai terukir di wajahnya.

"Oke, sekarang siap-siap. Pasti Arlanta bawel bakal ngomel kalau gue lama."

Ruminten segera melesat ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Rambutnya sudah perlu pertolongan pertama yaitu keramas. Dua hari tidak keramas sudah cukup membuatnya ingin menarik rambutnya saking gatalnya.

Setelah itu, segera dia mengenakan seragam, jaket dan memoles wajah dengan make up tipis. Setidaknya dia ingin mulai terlihat cantik di hadapan Arlanta. Hal-hal yang jarang dilakukannya akan dilakukannya, selagi dia masih bisa.

"Oke, lo cakep juga," gumam Ruminten. Dia suka bermonolog, rasanya seperti punya teman. Yah, berbicara dengan diri sendiri merupakan kegiatan yang disukainya. Sebelum menemukan Arlanta, dia tidak punya teman. Dia cuman punya dirinya sendiri, karena lebih sering ditinggal sendirian oleh orang tuanya untuk bekerja.

Baru saja Ruminten keluar kamar dan menyantap roti selai cokelat, nada dering teleponnya mulai terdengar. ID callernya tertulis nama yang dinantikannya sedari tadi.

"Pagi."

"Pagi, nyet. Lo udah siap?"

"Udah, lo masuk aja nggak apa-apa. Gue lagi makan."

"Gue udah makan, kok. Oke gue tunggu di luar aja, deh."

Ruminten terdiam sebentar, pikirannya mulai berkelana. Dia mulai takut hal itu dilakukan cowok itu karena dia sungkan masuk ke rumahnya, secara mereka tetanggan, bisa saja pertengkaran tadi pagi terdengar olehnya.

"Lo kenapa diem?" tanya cowok itu lagi.

"Lagi menikmati roti," jawab Ruminten seadanya.

Cowok itu mulai tertawa, jawaban tidak terduga dari Ruminten selalu berhasil menjadi moodbosternya. Mereka saling membutuhkan untuk bahagia, saling mencari jika tidak menemukan satu sama lain. Saling menjaga selagi masih bisa, dan menyimpan rahasia karena tidak ingin melukai satu sama lain.

Jumkat: 1007

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro