✨The one= 5✨

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Awal mula dari pengetahuan adalah rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu  itu tidak dilarang. Jadi, teruslah belajar."

-Ruminten-

Hari-hari Ruminten selalu membuatnya bahagia. Kehadiran Arlanta memberi kontribusi besar untuk dia. Mereka memang cuman teman. Mereka terlihat  cocok untuk berpacaran, mereka bahkan membuat warga sekolah iri  menatap mereka karena mereka tidak bisa sedekat itu dengan Arlanta.

Dulu Ruminten sering pesimis karena dia tidak secantik cewek lain, sampai sekarang pun masih sama. Hanya saja, intensitasnya mulai berkurang karena ulah dan tingkah ajaib Arlanta. Cowok yang terlihat dingin dan cuek, tetapi sangat menerima dirinya yang penuh kekurangan.

Mereka sudah berada di kelas dan mendengarkan pelajaran yang diberikan Pak Mardi, guru Fisika sekaligus wali kelas mereka. Dari kelas 10 mereka sudah satu kelas, sampai  nanti mereka tetap akan satu kelas karena mereka memilih jurusan IPA.

Ruminten bosan dan mengantuk. Cewek itu menguap beberapa kali lalu menopang dagunya menatap guru dan papan tulis itu bergantian. Lama-lama tulisan di papan tulis itu mulai buram. Air matanya sudah keluar dari pelupuk matanya, dia terus mengusap wajahnya supaya tetap terjaga. Bisa gawat kalau ketahuan gurunya jika dia tertidur.

"Hei. Lo ngantuk?" bisik Arlanta sambil menepuk bahu Ruminten pelan.

Butuh beberapa detik untuk membuat Ruminten sadar dia sedang diajak bicara oleh Arlanta. Kalau lagi ngantuk atau lapar, koneksi ke pikiran Ruminten cukup lama alias lemot. Namun, hal itu malah membuat Ruminten terlihat lucu.

"Gila, ngantuk gue. Gara-gara gue nonton sepak bola."

"Tumben lo mau nonton sepak bola?" 

"Semua berkat adik kampret gue, bisa-bisanya dia bilang ada cowok ganteng. Jadi, gue temenin dia biar bisa lihat cowok ganteng itu. Ternyata bohong doang dia."

Ekspresi Ruminten terlihat kesal dengan kerutan di dahinya. Ruminten masih kesal dengan tingkah laku adiknya. Hal yang cewek itu tidak tahu adalah mulai ada rasa aneh yang dirasakan cowok itu. Seakan-akan tidak suka melihat cewek itu berpaling dengan cowok lain, meskipun berpaling dengan pemain sepak bola sepertinya hal yang mustahil karena mereka tidak akan bertemu secara langsung. Semoga saja.

"Kenapa gantian lo yang ngelamun?" tanya Ruminten sambil menepuk pipi Arlanta pelan. Pipinya terlihat menggemaskan untuk dicubit hingga merah. Kulitnya berwarna kuning langsat, rambutnya yang selalu disisir rapi dan cowok itu selalu wangi. Dia benar-benar lebih memperhatikan dirinya sendiri dibandingkan Ruminten yang asal-asalan, yang penting sudah pakai seragam lalu langsung tancap gas ke sekolah sebelum terlambat. Dia tidak mau terkena hukuman. Sudah cukup pengalaman pahit sebelumnya yang berakhir di ruang UKS karena dia tidak bisa kena panas terlalu lama.

Arlanta meliriknya sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke arah papan tulis.

"Gue ikutan lapar, gara-gara lo."

Ruminten baru saja mau protes begitu ada penghapus yang melayang. Arlanta sudah melihat hal itu sebelumnya, langsung saja dia berdiri dan melindungi Ruminten dari serangan penghapus melayang itu.

Punggungnya menjadi tameng untuk melindungi cewek itu. Penghapus itu  mendarat dengan sempurna di punggung Arlanta.

Begitu penghapusnya terjatuh di lantai,  Arlanta kembali duduk di kursinya dan menatap ke depan seakan-akan tidak merasakan sakit. Dia mengabaikan tatapan terpana teman-teman di kelasnya. Terpana akan hadirnya cowok cuek dan dingin yang rela melindungi teman sebangkunya, Ruminten. Mereka tidak tahu kalau Ruminten lebih dari sekedar teman baginya.

"Bagus. Satu orang ngobrol terus, yang satu sok jadi pahlawan kesiangan. Kalian ini mau buat bapak marah terus? Paham artinya menghormati orang yang lebih tua?"

Ruminten menunduk, dia tidak menyangka malah dirinya yang membuat dia dan Arlanta terseret dalam masalah. Badannya gemetar, tetapi cowok itu menenangkan dia. Ruminten terpana melihat hal itu.

Badannya tegap, arah pandangnya masih menatap ke arah guru mereka, tetapi jemarinya memegang  jemari Ruminten dengan erat. Lambat laun, perasaan Ruminten mulai tenang lalu menatap ke arah guru mereka.

"Kalau orang nanya itu dijawab, bukannya malah dicuekin," ucap Pak Mardi lagi. Sepertinya dia sedang kesal sebelumnya, biasanya dia tidak marah. Namun, tidak seharusnya mereka mengobrol ketika pelajaran berlangsung.

"Maaf, Pak." Ruminten dan Arlanta mengucapkan kalimat itu bersama-sama. Tentu saja membuat satu kelas langsung heboh, bisa-bisanya mengucapkan kalimat juga bersama-sama. Ada yang memalingkan wajahnya ke arah lain, ada yang memutar matanya malas, ada juga yang menatap kedua insan itu dengan tatapan menggoda. Pasangan yang unik di kelas, sosok cowok yang langka karena dekat dan nyaman dengan cewek yang tubuhnya gemuk.

Mereka langsung diam begitu menyadari tatapan tajam dari Pak Mardi. Dia tidak suka kelas yang sulit diatur. Menurutnya anak-anak harus menerima didikan yang keras sejak kecil supaya  bisa jadi orang yang baik dan berguna di masa depan.

"Kalian saya hukum. Bersihkan toilet."

"T-tapi, Pak?"

"Kurang hukumannya? Mau lari keliling lapangan juga?"

"Tidak, Pak. Kami akan membersihkan toilet. Terima kasih, Pak." Arlanta yang merespon dan langsung berdiri seraya memegang jemari Ruminten. Mereka keluar dan segera pergi ke toilet. 

"Gila! Lo kok mau bersihin toilet? Gue ogah banget," gerutu Ruminten begitu mereka sudah di luar kelas. Kalau masih di dalam kelas tidak mungkin Ruminten bisa berkicau sebebas ini.

"Ya mau gimana lagi. Emang lo mau nambah hukuman? Gue nggak mau."

Ruminten tersenyum sebab Arlanta begitu menggemaskan. Apalagi hal yang dilakukannya tadi, melindunginya dan menenangkan dia yang tengah panik. Arlanta memang yang terbaik untuk Ruminten, semoga  selamanya seperti itu.

Begitu sampai di toilet, mereka langsung terpana. Mereka tadi sempat ke tempat penjaga sekolah hendak mencari peralatan untuk membersihkan toilet. Mereka sudah memegang peralatan untuk membersihkan toilet itu sambil terpana dengan pemandangan yang menakjubkan.

"Gila! Sampah bertebaran gini. Terus, ini apa?" ucap Ruminten seraya mendekat ke arah benda berwarna putih dan berbentuk bulat seperti lingkaran yang tergeletak di samping toilet.

Langsung saja dicegah oleh Arlanta, dia mencekal tangan Ruminten dengan erat.

"Udah, lo bersihin aja bagian dalam toilet. Eh, gue juga. Sampah-sampah itu gue aja yang ambil. Nggak usah dicariin lagi. Kepo amat."

"Kepo nggak dilarang, Ar."

"Jangan kepo. Nanti lo juga tahu itu apa, bukan sekarang."

Ruminten cemberut sembari memutar bola matanya. "Ih, ngatur-ngatur aja. Mata juga punya gue, suka-suka gue dong mau lihat atau nggak?" 

Arlanta tahu persis seberapa keras kepalanya Ruminten, dia hanya menghela napas sambil mengelus dadanya. Berusaha mengendalikan diri biar  tidak ikut terbawa emosi. Ruminten dan sifatnya memang dua hal yang menguji kesabarannya.

🦋

Jumlah kata: 1001

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro