🦋Why? = 6🦋

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue selalu di sini nungguin lo sadar seberapa sayangnya gue sama lo."

-Arlanta-

Sakit dan perih bercampur menjadi satu. Perih di pipi selepas tamparan yang diberikan oleh dua orang cewek di depan Ruminten. Wajahnya menjadi pucat, dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan penindasan kembali. 

Dulu memang pernah, namun berhenti semenjak Arlanta datang ke sisinya. Penindasan yang selalu dirasakan ketika Arlanta tidak ada disampingnya. Sekarang hal itu terulang kembali, cowok itu baru saja pergi tiga menit yang lalu karena dipanggil guru ke ruang guru. Tidak beberapa lama kemudian, ada yang menarik rambutnya dan mengajaknya ke belakang sekolah.

Ruminten cukup merinding, dia tidak pernah ke sana, cakupan wilayah yang dikunjunginya hanya sebatas kelas, kantin dan toilet. Dia terlalu mager untuk mengelilingi wilayah lainnya.

Matanya menatap ke sekelilingnya, dinding yang dipenuhi coretan dan gambar-gambar aneh, begitu banyak rumput dan semak-semak. Sampah juga bertebaran di tanah dan terlihat sekilas ada juga di selokan.

Sekedar untuk menelan ludah pun rasanya jadi susah. Rambutnya sudah tidak ditarik lagi. Namun, dia sudah duduk di atas tanah karena ulah cewek di depannya itu. Dia mengenakan seragam yang sama dengannya, namun Ruminten tidak mengenali wajahnya.

"Kenapa wajah lo gitu? Syok? Dasar cemen."

"Lo tahu kesalahan lo apa?" tanya cewek yang berambut pendek itu sambil memegang dagu Ruminten, mengarahkannya untuk menatap wajahnya.

"N-nggak, gue salah apa?" 

Ruminten menatap ke arah cewek berambut pendek dan cewek berambut panjang di sebelahnya bergantian, mereka menatapnya dengan garang. Perasaan takut yang sudah lama tidak dirasakannya, kini kembali menguasai relung hatinya.

"Pinter banget, sih. Sok polos, padahal lo cuman akting doang, kan?" tuduh cewek yang rambut panjang, dia mendekatkan wajahnya ke arah Ruminten lalu meludahinya tepat di wajahnya. Ruminten menutup matanya, dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.

"Sok paling menderita banget," ujar cewek berambut pendek dengan kesal, lalu dia menarik rambut Ruminten sekali lagi hingga perih menjalar ke sekujur kepalanya. Membuat Ruminten merinding dan mengepalkan tangannya untuk menahan rasa sakit itu.

Lalu, dia melepaskan tarikannya itu, membiarkan Ruminten jatuh tersungkur ke tanah. Belum selesai sampai di situ, dia kembali memegang dagu Ruminten biar menatap ke arahnya.

"Kesalahan lo itu deket sama Arlanta. Dia harusnya jadi pacarnya Gabriela. Lo tahu siapa Gabriela? Gabriela itu dia," ucapnya sambil menunjuk ke arah cewek berambut panjang itu.

"Inget baik-baik. Nama gue Audrey--"

Audrey berhenti berbicara tatkala melihat senyuman di wajah Ruminten. Hal yang jarang ditemui Audrey dan Gabriela ketika menindas orang lain.

"Lo kesambet?"

Ruminten terkekeh pelan, lalu menatap ke arah mereka berdua.

"Kalian sadar nggak? Ada satu hal penting yang kalian lewatkan."

Ruminten sengaja menggantungkan ucapannya. Lalu menatap ke manik mata mereka bergantian.

"Harusnya lo sadar diri, emang Arlanta mau sama kalian? Kepedean banget sih jadi orang. Udah gitu main nindas gini lagi. Pecundang."

Ruminten takut, sangat takut. Ini bagian dari eksperimennya, dia tidak mau ditindas dan menerima semua tindasan itu seperti dahulu.

Tidak lagi, dia mau berusaha melindungi dirinya sendiri. Sebab tidak semua orang bisa membantunya di saat genting seperti sekarang, satu-satunya yang bisa diandalkan hanya diri sendiri. Ini selayaknya misi bunuh diri, namun tidak ada salahnya dicoba. Semua kemungkinan tetap ada resikonya, baik menerima semua tindasan atau mencoba melawan.

Gabriela dan Audrey tersentak, mereka menggertakkan gigi. Wajah mereka sudah memerah, suasana semakin bertambah panas. 

"Lo bakal nyesel udah bilang kayak gitu, dasar cewek cupu."

"Dia cuman omong doang, Gab. Tenang, dia lupa sama daratan, lupa posisinya cuman dianggap teman."

Ruminten terkekeh lagi. "Memangnya siapa yang mau lebih dari teman?"

Gabriela dan Audrey terkejut. Tidak, tidak hanya mereka bertiga yang mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ruminten. Melainkan, Arlanta yang baru saja sampai di belakang sekolah, dia terkejut mendengar hal itu. Ada rasa perih yang menjalar. Namun, dia menggeleng keras dan segera mendekati mereka.

Arlanta langsung memeluk Ruminten erat. "Lo nggak apa-apa?" tanya cowok itu sambil melihat wajah Ruminten. Cewek itu hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. 

"Santai, gue cewek kuat. Mereka tuh, nindasin aku, Ar."

Mendengar itu langsung membuat Gabriela dan Audrey melotot ke arahnya. Mereka seperti tertangkap basah akan perilaku tidak pantasnya di hadapan orang yang penting. Arlanta itu penting bagi mereka bertiga.

Arlanta membantu Ruminten berdiri, lalu menatap ke arah Gabriela dan Audrey bergantian.

"Gab, kamu itu adik aku. Audrey juga, lo kan udah sering main sama gue dan Gabriela. Kenapa kalian kayak gini?"

"Ruminten duluan, kok. Tahu ah, males." Gabriela langsung pergi, dan Audrey menyusulnya.

Arlanta menggeleng heran, lalu membantu Ruminten berjalan. Cewek itu sedikit pusing sepertinya, dia memejamkan matanya beberapa kali.

"Lo pusing?"

"Lumayan sih. Dijambak nggak kira-kira kayak gitu. Sakit banget."

"Jadi, Gabriela itu adik lo? Kok gue baru tahu, ya?"

Arlanta tersenyum kikuk, sembari menggaruk lehernya. Kebiasaan ketika dia merasa tidak nyaman dengan topik yang dibahas, dan Ruminten tahu akan hal ini.

"Lo nggak nyaman gue nanya kayak gitu?" tebak Ruminten lagi.

Arlanta berhenti lalu menatap lekat ke arah cewek itu.

"Kadang, ada hal yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Yah, menurut gue ini nggak penting, jadi gue nggak ngabarin lo."

"Lagian lo bilang kita cuman teman, kan? Ya emang sih." Seusai berkata demikian, cowok itu langsung meninggalkan Ruminten yang masih mematung dan mencerna setiap kalimat yang diucapkan Arlanta.

"Ar! Lo nguping ya tadi?" 

Satu masalah kembali datang, cewek itu nggak mengira Arlanta akan mendengar ucapannya tadi. Padahal itu hanya asal sebut saja biar dua orang cewek tadi berhenti mengganggunya. Ternyata, bukan hanya mereka yang salah paham, tapi Arlanta juga. 

"Ih, dasar. Kalau ngambek nggak kira-kira ini anak," omel Ruminten. 

"Kan kita emang cuman teman, sih. Gue nggak salah, dong? Kenapa dia ngambek?" monolog Ruminten lagi. Dia tidak sadar kalau Arlanta melihatnya lebih dari sekedar teman sejak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya, tidak demikian dengan Ruminten. 

Akhirnya, dia memilih untuk pergi ke kantin dan membeli minuman kesukaannya. Minuman yang selalu berhasil membuat perasaannya jadi lebih baik, yaitu es teh manis!

"Masih ada waktu nih, mending gue ke kantin beli minum. Terus lanjut ke kelas deh, biar gue nggak kesal seharian gara-gara Arlanta kampret."

Ruminten lari dengan sekuat tenaga, beruntung tadi dia mengambil beberapa uang dan disimpan di sakunya. Dia tipe yang malas membawa dompetnya kemana-mana, takutnya dia menaruh sembarangan dan lupa. Bisa-bisa dia dipecat sebagai anak, karena di dalam dompet itu ada kartu pelajar. 

Tidak, bukan karena kartu pelajarnya. Namun, karena ini sudah kesekian kalinya dia ganti dompet sebab dompetnya yang sebelumnya hilang karena kecerobohannya sendiri. 

Begitu Ruminten hampir sampai di tempat yang dituju, ada sesuatu yang menabraknya. Membuat pandangannya jadi gelap dan semua terjadi begitu cepat.

🦋Bersambung🦋

Jumlah kata :1069

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro