10. Katakutan Lisa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lisa termenung di balkon kamarnya, memikirkan ucapan Ardan yang sukses memporak-porandakan hatinya. Gadis itu tak menampik bahwa dia merasa senang atas pernyataan Ardan yang terang-terangan ingin dekat bahkan sampai meminta izin untuk menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Tapi, ucapan Razel di hari pertama masuk sekolah membuat otaknya berputar seperti kaset rusak. Saat ini Lisa sedang membutuhkan saran. Apa yang harus dia lakukan? Dia merasa bingung.

Sejak pertama bertemu Ardan, Lisa memang sudah merasa kagum dengan lelaki itu. Dan sekarang, rasa kagum itu telah tumbuh ke perasaan lain sejak Ardan mengungkapkan perasaannya.

Pernyataan Ardan tak pernah Lisa duga sebelumnya. Lisa memang menyukai Ardan, tapi ia tidak pernah membayangkan kalau Ardan akan mengungkapkan itu dengan cepat.

Bingung, Lisa tidak tahu harus menjawab apa? Dia menggantungkan perasaan seseorang. Menerima Ardan, Lisa merasa takut, takut jika salah mengambil keputusan.

"Kenapa? Nggak enak banget tuh muka diliatnya." Kedatangan Arin yang tiba-tiba berdiri di sampingnya, menyadarkan pikiran Lisa.

Lisa menggeleng. "Nggak ada apa-apa."

"Biasanya kalau cewek bilang enggak ada apa-apa, itu kebalikannya!" Sindir Arin, seolah dia bukan cewek saja.

Lisa tidak menanggapi candaan Arin, dia memilih kembali merenung.

"Gue tahu pasti ada sesuatu. Nggak biasanya lo kayak gini." Arin merasa aneh dengan tingkah Lisa.

"Sebenarnya gue..." Lisa ingin bercerita, namun ia ragu.

Arin menyatukan alisnya, menanti Lisa bicara. "Kenapa?" Tuntut Arin saat melihat Lisa malah diam saja. "Aneh banget si, cerita aja dari pada ngunek dan numpuk di kepala."
Tak biasanya Lisa seaneh ini. Apa terjadi sesuatu dengan sahabatnya ini?

Lisa menatap Arin, terlihat berpikir sejenak. "Gue mau cerita soal Ardan." Akhirnya Lisa mengalah, dia merasa tidak tahan menyimpannya sendiri.

"Kenapa sama Ardan?"

"Menurut lo kalau seorang mengatakan ingin menjadi bagian terpenting dalam hidup kita, itu maksudnya apa?" Lisa bertanya meski sudah mengetahui jawabannya secara pasti, dia hanya ingin memastikan sekali lagi melalui pendapat temannya.

"Yang bilang begitu si Ardan?" Arin menyimpulkan, sebab tadi Lisa mengatakan sesuatu mengenai pria itu.

Lisa mengangguk pasti.

"Kesimpulannya dia nembak lo! Bodoh banget si lo, Sa. Enggak mungkin, kan, dia minta lo buat jadi saudaranya!" Arin melipat kedua tangannya, gemas dengan sikap Lisa yang seolah tidak percaya diri dengan apa yang dilakukan Ardan pada temannya. "Terus lo bilang apa ke si Ardan?" Arin penasaran. Apa mungkin Lisa dan Ardan sudah jadian?

Lisa menggeleng. "Gue enggak tahu!" Saat mengatakannya, wajah Lisa terlampau polos.

"Enggak tahu?" Arin mengulang kalimat Lisa. "Lo enggak tahu sama perasaan lo sendiri?"

Lisa mengagguk. Tapi sesaat kemudian menggeleng.

"Ini maksudnya gimana dah. Lo tahu atau enggak tahu? Gini aja, lo suka sama Ardan nggak?"

Tidak langsung mengiyakan, Lisa lama terdiam sebelum mengangguk.

"Nah, kan. Lo sendiri suka sama dia. Terus kenapa enggak langsung nerima dia aja?" Gemas Arin, mengacak rambut Lisa.

"Arin!" Lisa tampak kesal, ia membenahi tatanan rambutnya yang dirusak oleh Arin.

"Makanya jadi orang jangan plin plan gitu. Nanti kalau dia diambil orang baru tahu rasa!"

Wajah kesal Lisa langsung berubah murung. Pandangan gadis itu menatap awan hitam di atas balkon kamarnya. "Gua cuma lagi bingung, Rin."

"Apa yang membuat lo bingung? Lo enggak yakin sama dia?"

Lisa kembali mengangguk. "Mungkin, tapi dilain sisi gue juga merasa takut."

"Takut kenapa?"

"Gue takut, kalau suatu saat nanti gue akan kecewa. Gue belum terlalu mengenal dia, enggak menutup kemungkinan kalau hal-hal seperti itu akan terjadi!"

"Lo terlalu menyimpulkan sesuatu yang belum pasti terjadi, Sa. Kalau mau mengenal Ardan, lo bisa mencoba memulai hubungan yang lebih dekat dengan dia." Arin memberikan saran. "Nggak ada yang perlu lo takutkan di dunia ini, kalau lo yakin sama hati lo, lo pasti bisa merasakan apa yang hati lo inginkan." Arin menambahkan, gadis itu terdengar bijak jika sudah memberikan saran pada temannya.

"Tapi kalau gue udah terlanjur dekat sama dia. Dan berada dititik takut kehilangan dia, sedang gue tahu seorang bisa datang dan pergi begitu saja dikehidupan kita, entah mereka akan menetap lama atau sementara. Gue cuma enggak mau merasa ketergantungan dengan siapa pun. Karena saat gue udah merasakan itu, gue enggak bisa kalau harus kehilangan dan ditinggalkan!"

Sebab, kehilangan adalah hal yang paling Lisa takuti di dunia ini, mimpi buruk tentang kehilangan sangat tercetak jelas diingatannya. Lisa tak mau kalau pada akhirnya Ardan akan pergi juga meninggalkan Lisa disaat Lisa sudah menganggap pria itu berarti di kehidupannya.

"Sa, enggak ada manusia yang enggak takut dengan kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang paling penting dalam hidup kita, gue ngerti sama ketakutan yang lo rasakan, karena gue juga pernah merasakan hal yang sama," ujar Arin, lalu memberi jeda sejenak untuk mengambil napas. "Tapi, Sa, kalau lo terus sibuk dengan ketakutan lo, lo enggak akan bisa melanjutkan kehidupan lo dengan baik. Kita enggak pernah tahu apa yang Allah persiapkan untuk hidup kita ke depannya. Entah kebahagian seperti apa? Kalau lo memilih bertahan dengan rasa takut lo, lo enggak bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini lo impikan!" Arin menambahkan, membuat Lisa mencerna baik-baik setiap kata yang disampaikan oleh sahabatnya.

Arin benar? Tapi, yang menjadi permasalahannya, menjalaninya lebih sulit dari pada sekedar teori.

"Lo pikirkan baik-baik perkataan gue. Ini hidup lo, gue cuma bisa ngasih saran, selebihnya lo yang menjalani!"
Melihat Lisa masih saja diam, Arin melanjutkan perkataannya.

"Terus gue harus apa, Rin?"

"Ikutin kata hati lo! Kalau lo merasa Ardan orang yang tepat lo bisa mempercayakan hati lo sama dia. Tapi, kalau lo merasa bukan dia orangnya, lo bisa omongin baik-baik sama Ardan. Gue yakin dia pasti akan ngerti." Arin menepuk pelan bahu Lisa. Memberi dukungan penuh pada sahabatnya.

"Gue mau mencobanya. Tapi apa suatu saat nanti gue enggak akan dikecewakan?" Lisa berusaha menepis segala ketakutannya. Tapi bayangan kehilangan selalu saja muncul di benaknya. ada banyak jenis kehilangan di dunia ini. Entah kehilangan karena ditinggal pergi selama-lamanya, atau kehilangan karena dikecewakan oleh orang yang dicintai. Tapi apapun itu Lisa belum siap untuk merasakannya lagi. Sebab, tak menutup kemungkinan bahwa setiap hubungan dua orang manusia meski awalnya menyemai bibit bahagia, namun lambat tahun bibit kebahagiaan itu akan sirnah ketika orang yang membuatmu bahagia meletakan duri di dalam hubungan itu. Dikecewakan dengan orang ketiga, atau hal lain yang tidak sepemahaman yang akan memunculkan pertengkaran.

"Lo udah dewasa, sudah bisa memilah mana yang baik dan buruk buat lo." Arin tidak ingin terlalu banyak mendorong Lisa untuk menerima Ardan, karena sebenarnya Arin pun merasa ragu dengan Ardan. Entah keraguan dalam hal apa? Arin tak tahu. Tapi, Arin tak bisa mengatakan hal itu pada Lisa, ia tak ingin semakin mengacaukan pikiran Lisa tentang Ardan. Dia pikir Lisa sudah dewasa dan bisa mengatasinya sendiri.

"Sa, kalau pada akhirnya Ardan membuat lo kecewa, jangan pernah menyalahkan siapapun! Karena dalam hidup, bahagia dan kecewa selalu berdampingan satu sama lain. Hari ini boleh saja kita bahagia, tapi ingat jangan terlalu lupa daratan, karena esok hari kita enggak akan pernah tahu separah apa orang yang membuatmu bahagia melukaimu! Intinya, jatuh cinta lah secukupnya dan bahagialah seperlunya!"

Semua ucapan Arin membuat Lisa sedikit tenang. Gadis itu mengangguk, lalu tiba-tiba memeluk Arin, menyampaikan rasa terima kasih melalui pelukan itu.

***

Sandra mengerutkan dahi, melihat motor Arin yang sudah bertengger manis di depan mansion, seingatnya motor vespa Arin masih di bengkel, tapi kenapa pagi ini motor itu sudah terparkir di sini, Aneh.

"Rin, Arin." Sandra memanggil si pemilik motor vespa, namun yang dipanggil belum juga datang, saat Sandra akan kembali memanggil Arin, yang dipanggil datang dengan wajah lempeng tanpa ekspresinya. Selalu begitu. Sandra mendengus, apa Arin tidak memiliki ekspresi lain selain wajah datarnya.

"Gue belum tuli, enggak usah teriak-teriak!" kata gadis itu sambil meregangkan otot-otot di tubuhnya. Dia baru bangun, ingin ke dapur membuat sarapan, namun teriakan Sandra mengurungkan niatnya.

Mengabaikan peringatan Arin, Sandra tampak tak acuh. "Tuh motor lo. Lo bilang motor lo masih di bengkel, terus kenapa udah ada di situ aja?" Sandra heran. Kemarin Arin bilang motornya sedang di bengkel. Terus kenapa tahu-tahu sudah terparkir di garasi? Siapa yang membawanya? Arin tidak mungkin.

"Dianterin sama asistennya Arsen," kata Arin begitu santai, serasa di pantai.

Sandra menoleh cepat, menatap Arin saat mendengar ucapan sahabatnya. "Asistennya Arsen?"

Arin mengangguk, tak acuh.

"Jadi lo udah deket banget sama dia? Sampai asistennya aja yang nganterin motor lo!"

"Biasa aja!" Arin menjawab malas. "Bukan dia yang nganter, cuma asistennya, kenapa lo seheboh itu!" tambah Arin, lalu menatap motor vespanya sepintas.

"Bukan masalah siapa yang nganter. Yang gue mau tahu, lo udah sejauh mana sama Arsen?" Sandra tampak ingin tahu. Jika Arin sudah dekat dengan Arsen, itu adalah suatu kemajuan. Bagus sekali Arin mau berinteraksi dengan lawan jenisnya, dan lagi pria itu adalah Arsen, si kutu buku dan pemegang medali emas olimpiade matematika dan sains nasional, salah satu anggota five AR, dan cowok yang paling sulit didekati oleh perempuan, tapi cowok itu memilih membuka diri dengan Arin.

"Baru sampai dianter pulang, belum saling buka-bukaan!" Arin membalikan tubuh, melangkah masuk ke dalam. Sandra mengikutinya dengan raut jengah.

"Astaga, Arin, bukan itu maksud gue!" Dia menoyor kepala Arin.

Yang ditoyor wajahnya tetap lempeng. Sandra jadi gemas. "Maksud gue, udah sejauh apa kedekatan kalian?"

"Cuma teman, enggak usah mikir jauh-jauh!" Dia menjawab ketus, melangkah ke dapur Sandra masih saja mengikutinya, belum puas dengan jawaban Arin.

"Yakin lo!" Sandra memastikan.

"Enggak ada gunanya juga gue bohongin lo!" Dia membuka kulkas, sudah berkutat dengan sayuran dan bumbu dapur.

"Awas ya lo kalau sampai gue denger lo jadian sama tuh cowok, gue sorakin nanti!"

"Berisik, mandi lo sana!" usir Arin. Malas membahas masalah cowok dipagi-pagi buta seperti ini.

"Ish, dasar jutek." Sandra kesal, ia menghentakan kakinya. Bicara sama Arin kadang menguras emosi. Lebih baik dia mandi saja daripada kalah bicara dengan Arin.

#######

Selasa, 21 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro