11. Permintaan Kedua Àrion

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pria itu mengetuk-ngetuk jari telunjuk di atas meja, sesekali melirik jam tangan yang melingkar di lengan, sudah setengah jam menunggu, tapi seseorang yang ditunggu belum menunjukkan batang hidungnya. Saat minuman dark choco yang tadi ia pesan sudah hampir habis setengahnya. Pintu cafe baru terbuka, seorang gadis dengan berpakaian casual masuk menghampiri meja pria itu.

"Sorry, gue telat." Perempuan yang ditunggu langsung duduk di hadapannya, tanpa rasa bersalah karena sudah membuatnya menunggu.

Sedang Arion, pria itu sudah menatap jengkel pada Disti. Memandangnya dengan raut datar. Jujur saja, Arion sangat benci dengan orang yang tidak tepat waktu. "Gue paling nggak suka dibuat nunggu!" ketusnya dengan nada dingin. "Tapi buat lo pengecualian."

Disti menatap Arion dengan raut tak enak. "Ya, sorry. Kan gue juga enggak tahu kalau bakal terlambat gini. Jalanan macet!" Dia membuat alasan. Lalu gadis itu menaruh paperbag yang ia bawa ke atas meja. "Nih!" Mendorong paperbag itu ke arah Arion.

Kedua alis Arion berkerut, menatap paperbag pemberian Disti. "Ini apaan?" tanyanya pada Disti yang tengah meminum dark choco yang pesanan Arion.

"Buka aja!" kata Disti yang masih sibuk menyeruput minumannya. Haus sekali kelihatannya dia.

Arion langsung membuka paperbag itu. Lalu meneukan zebuah buku islami terdiri dari tata cara sholat, kitab fiqih dan 1 set baju muslim untuk laki-laki. "Ini buat apaan?" Dia tidak mengerti.

"Buat lo!" Disti mendorong gelasnya yang sudah kosong dan memandang pada pria yang saat ini tengah menatapnya tajam.

"Lo pikir gue nggak mampu beli ini?" Pria itu terlihat tersinggung, bukan senang dengan pemberian Disti.

Kali ini Disti yang mengerutkan dahinya, kenapa Arion terlihat marah? Apa yang salah? Dia tidak bermaksud membuat pria itu tersinggung.

"Gue tahu lo mampu beli, Rion." Menghela napas, Disti mencoba bersabar. "Gue enggak bermaksud bikin lo tersinggung, niat gue cuma mau bantu lo, untuk memudahkan lo belajar!"

Arion masih memandangnya tajam. "Lain kali kalau mau beliin gue sesuatu bilang! Biar kita pergi sama-sama!"

Entah apa maksud pria itu Disti tidak mengerti. Tapi, dari pada memperpanjang masalah lebih baik dia mengalah. Terpaksa Disti mengangguk, mengiyakan perkataan Arion.

Perlahan wajah Arion berubah melunak. "Lo inget permintaan kedua gue?" tanya pria itu, mengingatkan tentang permintaannya.

Disti mengangguk. "Lo minta diajarin sholat." Disti masih mengingat jelas, apa yang pria itu pinta. Awalnya dia merasa aneh dengan permintaan Arion. Sudah sebesar itu, apa pria itu masih perlu belajar salat, kemana saja dia selama ini?

Arion menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Dan gue perlu guru buat ngajarin gue salat!" Dia tatap Disti dengan intens.

Disti mengangguk, belum memahami maksud permintaan Arion. Yang dia pikir, Arion mungkin meminta dicarikan guru untuk belajar salat. Guru agama atau ustaz.

"Gue punya kenalan guru agama atau ustaz," ujar Disti, memberitahu.

Arion menggeleng. "Gue enggak mau," katanya langsung menolak.

"Enggak mau?" ulang Disti. "Kenapa? Lo bilang lo minta diajarin salat?" Disti tampak heran. Pria ini sulit dimengerti.

"Gue mau lo yang jadi guru gue," kata pria itu to the point.

"Hah? Gue?" Disti memastikan. Barangkali dia salah mendengar.

Arion mengangguk mantap. "Iya, lo. Lo yang ngajarin gue salat." Arion menegaskan kalimatnya.

"Tapi, gue juga masih belajar. Belum pantas kalau harus ngajarin lo." Disti menolak. Permintaan Arion tidak masuk akal. Dia bukan tidak bisa mengajari pria itu salat, hanya saja dia merasa tidak percaya diri.

"Enggak masalah, lebih mudah kalau kita belajar sama-sama." Tetap saja Arion menginginkan Disti.

Terpaksa Disti mengangguk, percuma saja kalau menolak, bukankah ini permintaan kedua Arion. Dia harus menyanggupinya karena jika tidak, sama saja dia melanggar janji.

***

"Bang, es krim nya dua ya. Coklat satu, vanila satu," ujar Razel pada si abang-abang penjual es krim.

Sambil menunggu pesanannya, Razel duduk di kursi taman yang tak jauh dari si abang penjual es krim. Suasana sore hari, duduk di taman sambil menikmati es krim ditambah dengan angin sepoi-sepoi. Kegiatan santai yang selalu Razel lakukan.

"Es krim-nya, Neng!" Si abang penjual es krim menyerah pesanan Razel.

Razel menerimannya sambil  memberikan selembar uang lima puluh ribuan. "Kembaliannya buat abang aja."

"Alhamdulillah, makasih ya, Neng, semoga eneng cepet dapet jodoh." Doa si abang esk krim yang membuat Razel terkekeh. Tapi, dalam hati ia mengaminkan, lalu gadis itu memilih duduk di dekat Playground anak-anak sambil menikmati dua cup es krim di tangannya.

Dua cup es krim itu habis dalam sekejap, Razel membuang cup bekas es krim ke tempat sampah, lalu kembali menikmati suasana taman. Banyak anak kecil yang tengah bermain di playground, senyum di bibir Razel terukir, senang sekali melihat anak-anak itu.

"Hiks-hiks.."

Saat tengah asik memperhatikan anak-anak itu, Razel mendengar suara tangis anak kecil, dia menoleh, mencari asal suara.

Lalu pandangannya menemukan sosok anak laki-laki tengah menangis di perosotan anak-anak. Wajah anak itu memerah dan hidungnya kembang kempis, seperti sudah lama menangis

"Hei, Sayang, kenapa menangis?" tanya Razel saat sudah di dekat anak kecil itu.

"Hiks, Abang ninggalin dedek," kata anak itu dengan logat anak kecil yang kental. Lucu sekali, ingin rasanya Razel membawa pulang anak itu.

"Emangnya abang-nya ade ke mana?" Razel mengusap kepala anak itu.

"Tadi Azka nunggu Abang beli jajan, tapi Abang nggak datang-datang." Bocah itu sesenggukan.

Kasihan sekali dia, Razel jadi merasa ibu. "Jadi nama kamu Azka?"

Bocah itu mengangguk. Razel mengusap kedua pipi bocah itu, menghapus air matanya. "Azka ikut Kakak mau? Kakak temenin Azka sampai abang Azka datang!" Razel merasa kasihan jika anak sekecil ini dibiarkan sendiri.

Wajah polos itu menatap Razel, menilai. Tampak terlihat berpikir sebelum mengangguk.

Razel membawa bocah itu ke dalam gendongannya, membawanya duduk di tempat tadi dirinya menikmati es krim. Lalu gadis itu terlihat memikirkan sesuatu, mengenai keberadaan abang dari bocah yang berada di pangkuannya. Jika diperkirakan bocah ini berusia tiga tahun, ke mana abangnya sampai tega meninggalkan adiknya sendirian?

"Azka!"

Dari arah belakang Razel mendengar seruan seseorang, disusul suara langkah kaki mendekat ke arahnya.

"Abang cariin kamu ke mana-mana. Kan, abang udah bilang, kamu... Razel!" Kalimat abang dari bocah kecil itu terhenti, berganti dengan raut terkejut.

"Arlan." Razel pun sama terkejutnya.

"Ko bisa sama Azka?" tanya Arlan setelah menetralkan raut terkejutnya.

"Tadi gue lagi duduk di sini, terus denger Azka nangis. Dia bilang abangnya nggak balik-balik, terus gue ajak aja ke sini buat nunggu abangnya. Jadi, Azka adik lo?" kata Razel memberitahu sekaligus bertanya.

Arlan mengangguk, bernapas lega. Bersyukur karena adiknya bersama orang yang tepat. Tadi dia mencari adiknya di tempat terakhir dia meninggalkan Azka, merasa takut karena tidak menemukan adiknya. Cemas dan khawatir merajai pikiran Arlan, namun saat menemukan adiknya tengah di pangku oleh seseorang, rasa khawatirnya sirnah begitu saja, berganti rasa syukur. Dan tak menyangka kalau yang tengah memangku adiknya adalah Razel.

"Makasih udah jagain adik gue," kata Arlan lengkap dengan senyumannya.

Razel mengangguk sekaligus tersenyum. "Lain kali jangan ninggalin adik lo sendirian, bahaya. Anak sekecil gini rawat diculik!" kata Razel yang dianggukin oleh Arlan.

Azka turun dari pangkuan Razel dan segera berhamburan ke arah Arlan, dengan sigap Arlan menggendong adiknya.

"Abang ke mana aja? Azka tunggu-tunggu Abang, Abang enggak datang-datang. Azka kirain Abang ninggalin Azka pulang!" kata bocah itu beruntun.

"Maafin ya, Dek, tadi jajanan yang adek minta ngantri, jadi abang lama." Arlan memberikan sebungkus plastik berisi makanan yang adiknya pinta. Lalu bergabung dengan Razel, duduk di samling gadis itu dengan Azka di pangkuannya.

"Untung ada kakak cantik, dede jadi enggak sendirian," kata Azka, sambil membuka bungkus yang diberikan Arlan.

Razel mengusap kepala Azka, tersenyum hangat. Mereka mengobrol beberapa kata, sebelum waktu semakin beranjak sore. Razel menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul 17.30 wib, sebentar lagi waktunya salat magrib.

"Udah sore, gue pulang duluan ya, Azka kakak pulang dulu ya!" Razel beranjak dari kursi taman, pamit pada Arlan dan Azka.

Namun belum gadis itu beranjak. Rengekan Azka menghentikan gerakan Razel. "Nggak boleh, Kakak cantik enggak boleh pulang!"

"Udah sore, Sayang, besok kita main lagi, ya."

"Enggak mau, Kakak cinta sama Azka aja. Ikut Azka pulang." Mungkin karena merasa nyaman dengan Razel, Azka tidak mau ditinggal oleh gadis itu. Anak kecil lebih peka. Mungkin tahu kalau Razel tulus dan baik, sehingga Azka mudah nyaman dengan gadis itu.

"Dek, udah sore. Kakak cantiknya harus pulang, besok Abang ajak Ade main sama Kakak cantik lagi, ya? Janji deh." Arlan sebisa mungkin membujuk adiknya. Namun Azka menggeleng, menolak perkataan abangnya.

"Kakak cantik ikut aja ke rumah dedek! Kita main di rumah dedek sama Bunda sama Ayah," pintanya dengan suara rengekan khas anak kecil. Kedua mata bocah itu sudah berkaca-kaca, siap menangis jika Razel menolak keinginannya.

Arlan yang tidak tega melihat adiknya menjadi serba salah. Dia menatap Razel, meminta bantuan gadis itu, untuk memberi pemgertian pada adiknya.

Razel sendiri bimbang, ia merasa tidak enak paxa orang tua Arlan jika ia ikut ke rumah Arlan, tapi melihat tatapan Azka yang terlihat akan menangis membuat Razel terpaksa mengangguk setuju. "Yaudah Kakak ikut ke rumah Azka!" kata Razel akhirnya.

"Serius, Zel? Lo mau ikut ke rumah gue?" Arlan memastikan.

Razel mengangguk. "Iya, yaudah yuk pulang, udah mau magrib," ajak Razel. Padahal ia tak enak jika magrib-magrib bertamu ke rumah orang.

Mereka beranjak dari kursi taman dengan Razel melangkah sambil menggendong Azka, sedang Arlan mengekori Razel di belakangnya. Diam-diam pria itu tersenyum melihat Azka yang mudah akrab dengan Razel, padahal biasanya Azka bukan orang yang mudah dekat dengan orang asing.

"Gue ngambil motor dulu di depan, lo sama Azka tunggu di sini aja!"

Membiarkan Arlan mengambil motornya, Razel dan Azka terlibat obrolan kecil, dengan Azka yang terus bertanya ini itu, sedang Razel hanya menimpali setiap pertanyaan Azka.

Tak lama, Arlan datang dengan motor ninja KLX-nya berhenti di depan Razel. "Adek, duduk di depan sama Abang ya?" kata Arlan, sebab biasanya Azka lebih suka duduk di belakang. Senang memeluk abangnya.

"Ngga mau! Dedek mau di belakang sama Kakak cantik." Bocah itu menolak.

"Kalau Ade di belakang nanti kakak cantiknya kesempitan." Arlan berusaha membujuk.

"Tapi Ade mau sama Kakak cantik." Azka tetap kekeh.

Razel menatap motor Arlan. "Gapapa Azka di belakang sama gue!" Dia paling tidak bisa menolak kemauan anak kecil.

"Beneran gapapa, Zel?" Arlan tak yakin.

Razel mengangguk. Tersenyum meyakinkan. "Yaudah yuk pulang!"
Kemudian gadis itu naik ke atas motor Arlan setelah mendudukan Azka di tengah lebih dulu. Sebelum menyalakan motornya, Arlan menarik kedua tangan Razel dan Azka untuk memeluk pinggangnya.

"Pegangan biar enggak jatuh," kata pria itu. Arlan mengedipkan mata pada Razel melalui kaca spion.

Razel yang salah tingkah mencubit perut Arlan. "Modus," cibir Razel, menggigit bibirnya menahan senyum.

########

Sabtu, 25 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro