3. Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Masa lalu itu selalu tiba-tiba muncul tanpa diminta, ingin menghindar namun tak bisa, sebab ia membutuhkan kenangan itu, untuk mengobati rasa rindunya."

-Sandra Adiraja Genzi-

⚘⚘⚘

"Ka Rey, Sandra rindu sama Ka Rey!"

Sandra, menatap bingkai foto yang menampilkan sosok lelaki baik hati yang pernah berjasa dihidupnya selama ini. Mata gadis itu berkaca-kaca. "Ka Rey!" Dia mendekap foto itu dan setetes air mata mengalir yang perlahan-lahan alirannya seperti sungai, saat kenangan itu kembali muncul. Lima tahun lalu.

Rey, pria yang sudah dianggapnya sebagai kakak oleh Sandra tengah membereskan barang-barangnya, pria itu tampak tergesa-gesa. Raut wajahnya terlihat gusar, namun juga cemas. Sandra tak pernah tahu kalau malam itu, lelaki tersayangnya tengah menyembunyikan sesuatu dari mereka.

"Gue harus ngelakuin ini. Demi mereka!" gumam si pria dengan sorot mata tajam namun ekspresi tegas tampak menyorot di wajah pria bernama Rey.

Pria itu merasa gelisah dan kegelisahannya kian menjadi tatkala mendengar deringan dari ponsel miliknya. Mengintip layar ponselnya, dia mendapati nomor yang beberapa saat lalu menghubunginya, kembali menelpon. Dia belum ingin mengangkatnya. Namun, tiada lelah, orang di sana menggacaukan pikirannya, dengan terus mendial nomernya.

"Sial!" Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi, apa yang harus ia lakukan? Sementara pria itu belum tahu harus berbuat apa? Dengan kesal Rey menggeser tombol hijau, menerima panggilan itu.

"Kau harus cepat membawa mereka pergi dari sana, Rey!" Rey mengepalkan tangannya, saat mendengar perintah dari sebrang sana. Dia menarik napas berat, sepertinya pria itu harus bergerak cepat sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

"Aku harus membawa mereka ke mana?" Pertanyaan yang terlontar dari Rey membuat orang di sebrang sana mendengus.
Saat itu, ketika Ka Rey sedang cemas, Sandra dan keempat sahabatnya berada di kamar, tak tahu menahu kalau Ka Rey-nya tengah dilanda kekhawatiran yang besar karena memikirkan hidup mereka.

"Aku sudah menyiapkan tempat untuk kalian, sekarang bersiaplah! Sebentar lagi akan ada yang menjemputmu." Kembali memerintah dengan tidak sabaran, membuat Rey jengah.

Rey tak punya pilihan lain selain mengikuti perintah itu, terpaksa harus melakukannya. Rey kemudian bergegas merapikan beberapa koper dan barang yang harus dibawanya, tapi sebelum itu ia menaiki tangga dan menuju salah satu kamar yang berada di mansion ini.
Senyum Rey mengembang saat membuka pintu kamar itu. Hal yang tak Sandra sadari jika senyum Ka Rey-nya menyimpan sesuatu. Pria itu melihat Sandra dan keempat sahabatnya yang tengah bercanda ria di kamar yang terlihat berantakan dengan bungkus cemilan yang bertebaran di mana-mana, kasur yang bentuknya tak serapih pagi tadi. Malam hari, saat Sandra dan keempatnya berkumpul di kamar, mengerjakan PR, saling menjahili satu sama lain, dan bermain game. Mereka tampak bahagia, tanpa beban. Ekspresi kesal, tawa ceria, yang Ka Rey lihat. Saat itu Sandra masih terlalu kecil untuk mengetahui segalanya.

"Hallo adik-adiknya Ka Rey!" Ka Rey melangkah masuk ke kamarnya, wajah Ka Rey-nya terlihat seperti biasa, ceria tanpa beban.

"Ka Rey!" seru Sandra dan keempat sahabatnya serempak.

Ka Rey menggeleng saat melihat ekspresi ceria di wajah Sandra dan teman-temannya. Sandra dan keempat temannya terlihat senang melihat Rey memasuki kemar mereka.

"Ka Rey bantu aku mengerjakan PR!" Lisa membawa buku PRnya mendekati Rey.

"Ka Rey, Razel curang nih!" Sandra mengadu pada pria itu.

"Ka Rey aku juga, PR-ku belum selesai. Yang ini susah banget!" Arin ikutan membawa buku PRnya dan menunjukannya pada Ka Rey.

"Ka Rey ayo main game sama aku!" Disti yang paling santai, tak memikirkan PR-nya sama sekali, malah mengajaknya bermain game.

Kak Rey mengusap kepala Sandra dan kedua sahabatnya bergantian, saat dia, Razel dan Disti, mendekat pada Ka Rey.

"Enak aja kamu yang curang, San!" Razel membela diri, tak terima saat dikatakan curang oleh Sandra.

Sandra dan Razel sudah akan perang mulut, namun Ka Rey menengahi.
"Sudah dulu mainnya, ya, adik-adik! Lisa dan Arin, nanti Kakak bantuin kerjakan PR-nya, tapi enggak sekarang, ya!" ujar Rey pada Sandra dan keempat sahabatnya.

"Emangnya Ka Rey mau ngapain? Kenapa enggak sekarang aja main game sama mengerjakan PR-nya?" tanya Arin, karena tak biasanya Ka Rey menunda bermain dan mengerjakan PR bersama mereka.

"Iya Ka Rey! Sekarang aja, Ka Rey!" Sandra membujuk, tampak tidak sabaran.

Ka Rey tersenyum, yang tak Sandra pahami kalau senyum itu adalah senyum yang dipaksakan.

"Ka Rey mau pergi. Ikut Ka Rey mau nggak, adik-adik?" ajak Ka Rey malam itu, menjadi malam terakhir Sandra dan keempat sahabatnya tinggal di rumah lamanya.

"Mau, Ka Rey, mau!" Sandra tampak ceria saat mendengar Rey mau mengajaknya pergi. Yang ada dipikirinnya saat mendengar kata 'pergi' hanyalah jalan-jalan.

"Emangnya Ka Rey mau ngajak kita ke mana?" Disti yang paling kepo, dan selalu ingin tahu bertanya pada Ka Rey.

Ka Rey-nya tak langsung menjawab. Diam sambil menatap wajah mereka bergantian. "Ke tempat yang bisa bikin kalian senang!" ujarnya, ekspresi wajahnya terlihat meyakinkan. Sehingga Sandra dan keempat sahabatnya percaya.
"Tapi ke mana, Ka Rey?" Sandra bertanya saat Ka Rey mengiring mereka keluar kamar.

"Ka Rey mau ngajak kalian liburan!"
Mendengar Ka Rey akan mengajaknya liburan, Sandra dan keempat sahabatnya tentu saja senang. Mereka jarang pergi ke mana-mana, hanya menghabiskan waktu di rumah atau di sekolahan. Jadi sekalinya Ka Rey akan membawa mereka jalan-jalan, Sandra tentu merasa senang.

"Tapi Mami sama Daddy kita ikut, kan, Ka Rey?" Ka Rey menghentikan langkahnya, saat Sandra bertanya mengenai orang tua mereka, tubuh pria itu tampak kaku.

"Mami sama Daddy kalian akan menyusul nanti. Tapi, kalian janji dulu sama Ka Rey, kalau kalian enggak akan nakal di sana!"

"Yeayyy, iya Ka Rey, kita janji enggak akan nakal!" Sandra dan keempat sahabatnya berseru, terlihat antusias. Dan kelimanya memeluk Ka Rey.

Ka Rey pun dengan senang hati memeluk kelimanya. Meski kelimanya bukan adik pria itu. Namun, Ka Rey menyayangi mereka dengan tulus.
Ka Rey bukan kakak kandung mereka, pria itu hanya kaki tangan yang di percayakan oleh orangtua merekan untuk menjaga dan melindungi mereka. Orangtua mereka bersahabat, sehingga kedekatan mereka terjalan begitu saja. Sejak kecil sudah bersama, sekolah di tempat yang sama, les di tempat yang sama, dan menghabiskan waktu melakukan segala hal bersama, sehingga orangtua mereka memutuskan mengambil satu orang penjaga untuk melindungi mereka. Rey 'lah sosok itu. Sosok pelindung bagi mereka.

"Pokoknya kalian harus janji. Kalian enggak akan manja harus jadi anak yang baik. Cerdas, tangguh dan bertanggung jawab!" Pesan Ka Rey-nya pada Sandra dan keempat sahabatnya.

⚘⚘⚘

Razel membuka pintu kamar, melempar tas sekolahnya dan menghempaskan diri di tempat tidur.

"Cowok enggak tahu terima kasih, udah dibayarin, malah enggak tahu diri. Sombong banget lagi!" Razel mendesah kesal, mengacak-ngacak tempat tidur. Masih mengingat kejadian di mall tadi, menyesal ia membayari buku lelaki asing itu kalau tau sikapnya angkuh begitu. Tahu gitu, dia biarkan saja pria itu malu, karena tak bisa membayar buku-bukunya.

"Datang-datang bukannya ucap salam, malah marah-marah!" Sandra meletakan foto Ka Rey pada tempatnya, sisa sedih di wajahnya menghilang saat mendengar suara sahabatnya yang tampak menggerutu.

"Kesel banget gue, Sand!"

Kedua alis Sandra menyatu. "Ada apa masalah apa emangnya!" Mengapus wajahnya yang basah-sisa tangisnya karena merindukan sosok Ka Rey, Sandra memperhatikan Razel wajah cemberut sahabatnya.

Razel memiringkan kepala, memindai atensinya pada Sandra, dan keningnya mengerut. "Lo habis nangis, San? Kenapa lo?" tanyanya saat melihat wajah sembab Sandra.

"Gue enggak apa-apa, cuma lagi kangen sama Ka Rey!" jelasnya, ikutan bergabung di ranjang ia berbaring di samping Razel. "Lo kenapa?"

"Gue juga rindu sama Ka Rey!" Bukannya menjawab pertanyaan Sandra, Razel yang juga mengingat sosok Ka Rey, membuat wajahnya mendung.

"Lo kenapa?" ulang Sandra, tidak mau kembali bersedih karena mengingat Ka Rey-nya. Razel mendengus kesal.

"Huh..tadi gue ketemu cowok songong!" Alis Sandra semakin bertaut, cowok siapa yang di maksud Razel ini?

"Maksud Lo?"

Razel menghela nafas kasar,"tadi gue bayarin belanjaan buku cowok songong itu, katanya dompet dia ketinggalan, gue tolongin dong karena kasian. Eh, bukannya bilang makasih kek..apa kek, malah bilang kayak gini 'gue gak mau punya utang budi sama lo.' ngeselin banget 'kan!?" Bercerita kepada Sandra membuat Razel kembali mengingat wajah songong cowok itu, ingin sekali menonjok wajahnya yang sama sekali tak menampilkan penyesalan.

"Terus-terus?" tanya Sandra antusias.

"Gue kesal dong, akhirnya gue bilang gini ke dia 'benar ya kata pepatah, kata yang paling sulit diucapkan itu adalah maaf dan terimakasih' gue nggak salah, kan, ngomong kayak gitu?" Menahan tawa yang sejak tadi dpendam, akhirnya tawa Sandra meledak membuat Razel kebingungan.

"Lo kenapa ketawa?" Razel bertanya keheranan.

Sandra mengibas anak rambut yang menutupi wajahnya, sambil menahan tawa. "Lo serius ngomong sebijak itu sama orang? Sumpah, gue nggak nyangka, Zel."

Bugh..

Razel yang semakin kesal memukul Sandra menggunakan bantal, demi apapun sekarang Razel ingin memaki Sandra dengan umpatan kasar.

"Ampun..ampun, iya-iya maaf, Zel. Sewot amat sama gue!" Sandra sedikit menghindar dari sahabatnya itu.

"Lagian lo bikin mood gue ancur ajah!!"

Sandra akhirnya mengalah dan memeluk gadis itu, tangannya terulur mengusap punggung Razel. "Lo nggak salah ngomong kayak gitu, emang cowoknya ajah yang salah." Sandra tahu sifat Razel yang mudah sekali menangis, walau terkadang gadis itu selalu ingin terlihat kuat di depan banyak orang.

"RAZELLL!! YUHUUUUU!! PESANAN GUE MANA!?" Disti masuk ke kamar Razel dengan setengah berteriak, jangan lupakan pintu kamar yang di bukanya secara kasar. Suara Disti benar-benar merusak suasana haru antara Sandra dan Razel.

"Gak usah teriak bisa? Sakit kuping gue!" Menampilkan wajah tak berdosa, Disti berbaring di ranjang Razel dengan kaki yang diangkat satu. Dengan santainya Disti menyengir ke arah Razel.

"Nih, dua bungkus martabak manis berikut lima bungkus es dawet, pesanan para nyonya!" Menyerahkan kantong plastik berwarna hitam pada Disti, dengan senang hati Disti bangun dan mengambil pesanannya. Tadinya Razel akan mengambil gelas dan piring ke dapur, tapi Lisa dan Arin datang sekaligus membawa lima gelas kosong dan dua piring plastik.

"Mana es dawet gue? Seret nih tenggorokan dari tadi udah nunggu lama," Lisa duduk di lantai sambil membuka kantong plasti bersama Disti, kemudian menuangkan es dawet ke dalam gelas, juga menata martabak manis di atas piring.

"Yok makan!" seru Disti kegirangan, Sandra turun dari ranjang dan bergabung bersama ketiga sahabatnya, sedangkan Razel masih terdiam diatas kasur empuknya.

"Gak bosen apa dari tadi cemberut mulu?" Sindiran halus dari Lisa sama sekali tak di tanggapi oleh Razel.

"Sssttt, biarin ajah dia istirahat, jangan diganggu!" Lisa mendapat jitakan dari Sandra agar diam dan tak membuat mood Razel semakin memburuk. Razel sama sekali tak berselera untuk gabung makan cemilan bersama ke empat sahabatnya, gadis itu lebih memilih tidur sambil mengusap perut yang sejak tadi terasa nyeri. Ya, hari pertama haid memang selalu dismenore, ditambah hari ini sangat melelahkan, sudah dihukum dihari pertama masuk sekolah, terus bertemu dengan pemuda yang ia sebut dengan cowok songong. Ah, Razel berharap esok adalah hari yang menyenangkan dan tentunya tak bertemu lagi dengan si cowok songong itu, batinnya.

########

-To Be Continued-
Jum'at, 05 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro