5. Mogok

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arin kini berada di supermarket, pulang sekolah tadi dirinya memang tidak ikut dengan ketiga sahabatnya untuk langsung pulang. Arin berniat untuk belanja bulanan karena stok bahan makanan sudah menipis, dan Razel sudah bilang padanya untuk segera berbelanja. Dengan mendorong troly Arin menyusuri bahan makanan mulai dari sayur, ikan, daging dan buah.

Memakan satu jam untuk berbelanja, akhirnya gadis itu menyelesaikan pekerjaannya. Ternyata belanja bulanan seperti ini membuatnya sedikit kelelahan, berniat untuk menepi disebuah cafe, tapi Vespa miliknya mendadak mati tiba-tiba.

"Damn it! Kenapa harus mogok disaat kayak gini!" Dengan kesal Arin menendang ban belakang motornya. Arin membuka tas mencari ponsel miliknya, kekesalannya semakin memuncak ketika dia melihat ponselnya mati disaat dia ingin menghubungi temannya.

"Argghhh! Gue harus gimana!?" Mau tak mau gadis itu harus mendorong Vespa sampai menemukan bengkel. Begitu sial hari ini, sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin peribahasa itu cocok untuk keadaan Arin saat ini. Motor Vespa yang berat ditambah belanjaan yang begitu banyak membuat gadis itu kelelahan saat mendorong motornya.

"Motor lo kenapa?" Motor ninja KLX hitam berhenti di sampinya, bersamaan dengan si pemilik yamg membuka helm full facenya dan mendekati gadis itu.

Arin menoleh, menatap pria itu, dia merasa familiar dengan pemilik suara itu.

"Perlu bantuan?" Arin masih diam, mengingat-ingat siapa gerangan pria yang saat ini tengah menawar bantuan padanya. Dia tidak bisa begitu saja menerima bantuan dari orang asing, disaat dia belum mengenal pria ini, tapi dia merasa familiar dengan wajah itu.

"Ko diem?" Merasa tak mendapati respon, pria itu melambaikan tangannya di depan wajah Arin.

"Enggak butuh bantuan?" Pria itu melipat tangannya di depan dada, sambil menatap intens pada Arin.

Arin menggeleng ragu. Dia ingin menerima bantuan pria itu tapi Arin takut. "Gue nggak percaya sama orang yang belum gue kenal!"

Pria di depannya terkekeh saat mendengar jawaban gadis di hadapannya, padahal seragam yang mereka pakai itu sama, tapi kenapa gadis ini tidak mengenalnya, apa dirinya kurang terkenal di mata gadis ini?

"Kalau mau kenalan bilang aja, nggak usah malu-malu!" Pria itu mengoda Arin. Tapi yang digoda wajahnya tetap lempeng. Tapi diam-diam
Arin mengumpat, siapa juga yang mau kenalan dengan pria itu, percaya diri sekali dia.

"Gue Arsen Mudhaffar Carim, lo cewek yang tadi baca novel di kantin, kan?" kata pria itu sambil mengulurkan tangannya, yang langsung memicu ingatan Arin.

Arin mengingatnya sekarang, pria ini adalah Arsen salah satu anggota dari Five AR.

Arin mengangguk, menerima uluran tangan pria itu. "Gue Arinda Faradilla Bilqis."

"Jadi mau di bantuin atau enggak?" Arsen menawarkan kembali.

"Tapi gue bawa banyak belanjaan!"

Atensinya Arsen jatuh pada tumpukan belanjaan di motor gadis itu. "Lo belanja sebanyak itu?" Menatap Arin dengan tak percaya.

"Belanja bulanan ya pasti banyaklah!"

Pria di hadapannya ini bawel sekali, seingatnya tadi di kantin Arsen tak banyak bicara.

"Yaudah, motor sama belanjaan lo biar asisten gue aja yang urus, sekarang lo pulang sama gue."

Tidak menolak, Arin pun mengiyakan. Dari pada dia harus mendorong motornya dan mencari bengkel, lebih baik dia pulang saja dengan pria ini.

Arsen mengulurkan tangan kirinya untuk membantu gadis itu naik ke atas motornya yang lumayan tinggi. "Pegangan nanti jatuh!" Kemudian Arsen tanpa rasa bersalah menarik kedua tangan Arin untuk memeluk pingganya.

Arin tersentak, tubuhnya tak bereaksi apapun. Mengapa jantungnya serasa berhenti berdetak?

"Gue-" ingin melepaskan tangannya yang melingkar di perut Arsen, namun pria itu menahannya.

"Gue enggak mau ya lo jatuh, terus nyalahin gue!"

Arin diam sambil sesekali melihat ke bawah. Motor ini memang tinggi, tapi dia tidak akan jatuh kalau pria itu mengendarai motornya secara hati-hati.

"Lo mau kita di sini sampai berapa lama?" Pria itu rupanya masih menanti Arin.

Menatap ke sekeliling terpaksa Arin mememluk Arsen, gerakan yang begitu ragu dan terasa canggung.

"Yang kenceng! Gue enggak bisa jamin kalau gue enggak bakalan ngebut!" Rupanya pria itu mencari kesempatan dalam kesempitan. Arin diam-diam kesal. Kembali terpaksa mengikuti kemauan pria itu.

Arin mengeratkan pelukannya, menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Arsen di balik helmnya tersenyum. Manis, batin Arsen.

Motor ninja milik Arsen mulai melaju, membelah jalanan, pria itu memacu motornya dengan kecepatan sedang, sesekali ia melirik ke arah spion dan menyadari bahwa gadis di belakangnya ini tertidur pulas, bibirnya sedikit berkedut menahan senyuman.

Arsen baru sadar kalau dirinya tak tau posisi rumah Arin, langit yang tadi hanya mendung kemudian mengeluar setetes air hujan. Arsen melirik lagi ke arah spion dan melihat wajah damai gadis itu yang sama sekali tak terusik. Tadinya Arsen ingin bertanya alamat rumah gadis ini, tapi ia urungkan karena Arin terlihat begitu nyaman dengan posisinya saat ini, Arsen berniat membawa gadis itu ke rumahnya terlebih dulu untuk berteduh. Motor ninja KLX itu terparkir di sebuah halaman rumah mewah.

"Arin, bangun." Arsen sedikit mengguncang lengan Arin untuk membangunkan gadis itu, karena gadis itu sepertinya sangat lelah hingga tak sadar tertidur selama perjalanan pulang.

"Eungh.." lenguhan kecil keluar dari mulut Arin, ia mengerjapkan matanya sebentar dan turun dari motor Arsen. Tapi seketika sadar saat dia menatap ke sekeliling rumah ini.
Tunggu, ini bukan mansionnya. Rumah siapa ini

"Ini rumah gue!" Menyadari kebingungan Arin, pria itu menjelaskan.

"Ko ke rumah Lo?"
Arsen menghela napas. "Selama di jalan lo tidur, gue gak tega mau bangunin lo, lagian tadi gerimis juga jadi mending sekarang neduh dulu di rumah gue," jelas Arsen.

Mau tak mau Arin mengekori Arsen yang masuk ke dalam rumahnya. Arin terkagum melihat desain rumah Arsen yang memakai ornamen khas negara timur tengah, dengan banyak kaligrafi yang menghiasi di setiap dinding.

"Assalamualaikum." Arsen mengucap salam saat masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam, tumben kamu baru pulang, Boy?"

Seorang pria berusia 40 tahun muncul dari ruang tengah, menghampiri Arsen.

Melihat pria paruh baya itu, Arsen mengulurkan tangannya, tak lupa mencium tangan pria yang ia panggil Daddy.

"Tadi ada urusan sebentar, Dad. Oh iya, kenalin ini temen Arsen." Arsen mengenalkan Arin pada daddy-nya

Dengan canggung Arin mencium tangan daddy Arsen, dengan perasaan gugup luar biasa, pasalnya wajah daddy Arsen terlihat garang.

"As-assalamua'laikum, Om, saya Arin teman sekolah Arsen."

Pria itu menatap Arin tanpa ekspresi, menelisik penampilan Arin dari atas kr bawah, sambil diam-diam menilai siapa gerangan gadis muda yang dibawa oleh putranya. Apakah ini pacarnya Arsen?

Sadar ditatap seperti itu, Arin merasa semakin gugup. Dia seperti tengah bertemu dengan orang tua kekasihnya?

"Gak perlu gugup Arin, saya Azzam Daddy-nya Arsen." Barulah daddy Arsen tersenyum.

Senyum Arin pun ikutan mengembang kala melihat daddy Arsen tersenyum padanya.

"Kamu perempuan pertama yang Arsen perkenalkan pada saya!" kata daddy Arsen blak-blakan. "Apa kamu pacarnya?"

Arsen menatap garang pada daddy-nya, saat mengerti kalau dirinya tengah digoda.

Arin menggeleng, tersenyum canggung. Ucapan daddy Arsen membuat wajahnya bersemu. "Saya cuma temannya, Om!"

"Sayang sekali, pertama kali bawa cewek ke rumah Om pikir kamu pacarnya." Daddy Arsen masih menggoda putranya, ia menatap sekilas pada Arsen yang saat ini tengah menahan malu.

"Jadi saya yang pertama?" Arin bertanya, memastikan pada daddy Arsen.

Daddy Arsen mengangguk dan tersenyum.

"Saya pikir anak Om playboy, yang suka gonta-ganti cewe!" Entah mendapati keberanian dari mana, Arin malah menimpali godaan daddy Arsen pada pria itu membuat bibir daddy Arsen berkedut.

"Satu aja enggak pernah dibawa ke rumah, gimana mau gonta-ganti!" Timpal daddy Arsen, dengan kekehannya.

"Daddy!" Arsen memperingati daddynya untuk berhenti.

"Arin, kamu jangan panggil saya om, panggil Daddy aja sama seperti Arsen," pinta daddy Arsen tiba-tiba.

Arin terpaku pada ucapan Azzam, sudah lama sekali Arin tak pernah menyebut kata kramat itu pada seorang yang ia rindukan untuk dia panggil sebagai daddy, papa, atau ayah. Rasanya sudah lima tahun, hatinya sedikit sesak saat daddy Arsen memintanya memanggil daddy. Dia merindukan panggilan itu, yang hanya bisa ia sebut dalam doanya. Tanpa sadar buliran kristal putih itu menetes. Membasahi pipi Arin. Dia tidak sadar telah menangis.

"Arin, are you okay?" Arsen bertanya khawatir, tidak mengerti mengapa gadis itu menangis.

Arin mengangguk, menghapus air matanya. "Maaf, aku cuma terlalu merindukan daddyku!"

Paham dengan kerindukan seorang anak pada orang tuanya, daddy Arsen langsung membawa Arin ke dalam pelukannya. Hangat, satu kata yang menggambarkan perasaan Arin saat ini. Dia seperti kembali merasakan pelukan seorang ayah yang sudah lama tidak ia rasakan, tanpa sadar ia membalas pelukan daddy Arsen..

"Maaf kalau ucapan Daddy mengingatkanmu sama orang tua kamu!"

#######

-To Be Continued-
Kemis, 09 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro