Bab 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perjalanan pagi itu mereka lalui dengan berjalan kaki. Einstein terkadang terbang rendah, tetapi lebih sering hinggap di pundak Arabel. Mereka berusaha tidak terlihat mencolok meskipun itu hal yang sulit dilakukan.

Jalanan sepi tanpa ada manusia seorang pun. Saat ini mereka sedang berjalan menuju pusat kota. Keringat menitik di dahi Arabel. Iklim ekstrem akibat satelit pengendali cuaca yang rusak membuat cuaca berubah-ubah secara drastis. Setelah hujan badai, badai salju lalu hujan lagi, hari ini matahari bersinar terik.

Sepanjang perjalanan tidak terlihat lagi sisa salju atau air hujan yang menggenang. Akibat panas ini, pasokan air cadangan yang mereka bawa diberikan pada Einstein. Sementara yang lain cukup menelan pil air dan makanan.

"Aku membayangkan keluargaku menderita karena cuaca ini." Tiba-tiba saja Aleksei bersuara. Laki-laki itu sedang menudungkan wajah dengan tangan sambil menatap kejauhan. Rambut peraknya berkilau oleh cahaya matahari dan keringat.

"Kamu punya berapa saudara?" tanya Arabel.

Mereka berlari menuju deretan pohon yang berjajar di pinggir jalan untuk mengurangi panas. Menyusuri jalan di bawah pohon lebih mudah dan mereka juga bisa menghindari jalan sepenuhnya.

"Aku punya tiga saudara. Salah satunya perempuan. Dia anak yang berani sepertimu." Aleksei tersenyum tipis, mungkin membayangkan wajah saudara-saudaranya. Mendadak Aleksei mengeluarkan tabletnya, mengetik sesuatu dan muncul wajah-wajah yang mirip dengannya.

"Mereka tidak bisa kuhubungi sejak kemarin. Entah apa yang terjadi pada mereka." Kali ini nada suara Aleksei terdengar pahit.

Arabel menelan saliva, teringat bahwa dia juga tidak bisa menghubungi Biyan atau ayahnya. Jalanan yang sepi dengan cuaca yang terik, membuat suasana mereka ikut muram. Hanya Kaj yang terus berjalan tanpa suara di depan mereka.

"Omong-omong, burung kakatua itu pintar sekali. Selain alat bantu yang menstimulus supaya dia pintar berbicara, apa lagi yang kamu buat?" Aleksei menatap Einstein yang sedang terbang berputar. Burung itu langsung hinggap di bahu Aleksei saat mendengar pertanyaannya.

"Aku sudah pintar dari sananya. Ara hanya membuatkan alat yang membuat kepintaranku diketahui dunia," sahut Einstein sambil mengangguk-angguk dan terkekeh.

Lima menit berikutnya, Aleksei dan Einstein sibuk berbincang. Einstein memang senang mengobrol, apalagi kalau dia sudah merasa percaya pada manusia. Mungkin pengalaman bersama Aleksei dua hari ini sudah menumbuhkan kepercayaan.

Arabel tidak mengikuti percakapan antara Aleksei dan Einstein. Dia malah memerhatikan Kaj yang seperti terasing, berjalan seorang diri dan seolah ada dinding melingkupinya. Gadis itu mengejar Kaj dan menyentuh bahu laki-laki itu yang langsung terlonjak terkejut.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?" Arabel membuka pertanyaan.

"Nggak ada. Jangan khawatir. Sebentar lagi kita akan masuk ke ...." Ucapan Kaj terputus ketika terdengar gemuruh dan kilat. Awan hitam datang dengan cepat sementara udara semakin lembab dan pengap. Desau angin bertambah kencang.

"Gawat! Kita harus segera mencari tempat berlindung!" Kaj meminta mereka semua untuk berlari.

Mendengar perintah Kaj, Arabel tahu bahwa sesuatu yang buruk sedang mengintai mereka. Bukan dari humanoid melainkan dari alam. Radiasi matahari pasti telah menumbuhkan awan secara vertikal dan membuat awan cumulonimbus. Awan itu bisa membuat puting beliung dan menyapu segala hal dari tanah.

Sepertinya bukan hanya Kaj saja yang panik. Di kejauhan, pintu beberapa rumah terbuka. Penghuni rumah-rumah itu berlarian ke arah barat, berusaha mencapai pintu bunker. Sejak 10 tahun lalu, bunker-bunker dibangun di setiap area pemukiman agar para manusia bisa menyelamatkan diri jika terjadi kondisi darurat.

"Bunker! Kenapa aku bisa lupa?" Arabel memekik sambil terus berlari.

Jalanan yang tidak ada manusia, minimnya penduduk di pemukiman itu juga pasti banyak dari mereka yang sudah mengungsi ke bunker-bunker. Masalahnya bunker biasanya dijaga dan dibersihkan oleh humanoid rumah tangga.

"Kita nggak bisa ke sana!" Kaj menghentikan laju larinya.

Kecepatan angin semakin bertambah. Arabel bisa merasakan dinginnya udara saat ini. Aleksei sudah memasukkan Einstein ke dalam kantung baju bagian depan. Kepala kakatua itu bergoyang-goyang dengan gugup.

Lilitan angin tercipta perlahan. Sejenak Arabel lupa akan bahaya puting beliung. Dia terpukau oleh tarian alam mematikan yang ketika mencapai tanah, langsung melahap apa pun yang ada di daratan tanpa ampun.

"Lariii!" teriak Arabel ketika puting beliung yang tercipta mulai melahap rumah-rumah pemukiman. Terlihat dari jauh kilat cahaya dari petir yang menyambar dalam putting beliung.

"Jangan ke bunker!" Sekali lagi Kaj bersikeras. Dia menarik tangan Arabel dan memimpin mereka untuk berlari ke arah sebaliknya.

Ada sebuah menara pengawas di sisi yang berseberangan dengan bunker. Menara pengawas itu dulu digunakan penduduk untuk mengawasi perkebunan yang sekarang sudah tidak ada.

"Menara itu pasti disapu angin," ujar Aleksei. Laki-laki itu pasti punya stamina luar biasa sampai dia tidak terengah-engah saat berlari sampai sejauh ini. Sementara Arabel saja merasa jantungnya akan meledak karena dipompa oleh adrenalin.

"Setidaknya menara ini punya struktur bagian bawah yang menembus bebatuan. Biasanya ada sesuatu di bagian bawah," sahut Kaj.

Mereka sampai di kaki menara yang sudah tua dan lapuk. Sesuai dengan ucapan Kaj, bagian bawah menara ada pintu kecil yang mengarah ke ruang bawah tanah. Ruangan itu dulu digunakan untuk tempat penyimpanan barang-barang.

Kesiur angin dingin yang datang membuat Arabel menoleh. Dia ternganga saat melihat angin puting beliung mengerikan itu melahap pepohonan yang baru saja mereka lalui. Sementara Kaj dan Aleksei berusaha membuka gembok pintu ruang bawah tanah. Arabel menyodorkan belatinya untuk membantu kedua laki-laki itu merusak gembok.

"Cepatlah, Kaj, Aleksei!" seru Einstein ketakukan. Burung itu tidak suka angin dingin. Apalagi angin puting beliung mematikan.

"Sial!" umpat Aleksei. Wajahnya sudah pucat. Sementara gembok itu tetap bergeming.

"Siapa juga yang menggunakan gembok manual saat ini?" Kaj ikut-ikutan mengomel.

Angin puting beliung berbelok ke arah mereka. Einstein meratap sambil mengomeli Kaj dan Aleksei yang katanya lambat dalam merusak gembok tua.

"Tendang saja!" perintah Arabel tidak sabar.

Kaj dan Aleksei mulai menendangi pintu. Engsel pintu itu berderit saat kedua laki-laki itu menendang. Arabel berteriak karena angin puting beliung tinggal beberapa ratus meter dari mereka. Tepat saat teriakan Arabel mereda, Kaj dan Aleksei berhasil merusak pintu.

Aroma lembab menguar dari dalam ruang bawah tanah. Arabel bisa melihat ada buhul atau simpul tali-tali yang menggantung dari atap. Mungkin dulu digunakan untuk menyimpan hasil bumi dengan menggantungkannya di atap.

Tanpa sempat berpikir lebih lanjut, mereka bertiga masuk ke dalam ruangan lembab itu. Aleksei menemukan sebuah gelang besi yang entah digunakan sebagai apa, lalu mulai mengeluarkan tali dari tasnya.

"Buat apa?" tanya Arabel heran.

"Berjaga-jaga kalau menara di atas kita hancur terbawa angin." Laki-laki berambut perak itu mulai mengikat tali dan mengulurkannya pada Arabel serta Kaj. Mereka melilit tali ke lengan dan khusus untuk Einstein, Aleksei melilitkan tali pula di badannya.

Waktu seolah melambat ketika angin puting beliung datang. Gemeretak bangunan yang terbawa angin puting beliung terdengar kencang. Arabel mati-matian menjaga Einstein agar burung itu tidak terbawa angin.

Mendadak seluruh bagian atas menara tersapu angin. Mereka berada di tengah angin puting beliung sehingga tidak ada material yang menjatuhi mereka. Arabel bisa melihat petir menyambar, udara dingin bercampur air serasa membekukan tulang. Beruntung pakaian mereka bisa menyesuaikan suhu.

Pegangan Arabel nyaris mati rasa. Dia tidak tahu apakah masih tali yang dipegang atau benda lain. Teriakan kedua temannya pun terasa samar dikalahkan oleh bunyi guruh dan petir. Kaki mereka bertiga terangkat ke udara. Kali ini Arabel merasa tangannya akan lepas begitu saja. Selang beberapa menit kemudian, semua berlalu saat angin puting beliung berbelok arah.

Arabel terbanting ke tanah dengan keras. Dia langsung muntah-muntah dengan hebat. Sudut mata gadis itu juga melihat bahwa Kaj dan Aleksei mengalami hal yang sama dengannya. Setelah itu, mereka bertiga terduduk di cekungan tanah bekas ruang bawah tanah dengan langit di atas mereka.

"Ini pertama kalinya aku melihat mata badai," ucap Kaj lemas.

"Menurutmu aku sering mengalami ini?" balas Aleksei dengan nada tinggi. Pengalaman tadi memang bisa membuat orang kehilangan kesabaran.

"Semua barang-barang lengkap?" tanya Arabel mengabaikan nada suara Aleksei.

"Lengkap. Aku mengikat tas dengan tali ke tubuhku," ujar Kaj.

Mereka bertiga lalu terdiam. Angin kembali berkesiur, kali ini sepoi-sepoi. Awan hitam di langit perlahan menghilang. Udara terasa bersih dan segar. Samar-samar, Arabel malah mencium bau yang tidak mengenakkan terbawa angin sepoi.

"Kalian mencium bau itu?" Tanpa menunggu tanggapan, Arabel langsung berdiri lalu berjalan ke arah bunker. Masih ada beberapa bangunan yang tersisa separuh. Mereka mengendap-endap dari satu bangunan rusak ke bangunan rusak lainnya sampai cukup dekat dengan bunker.

Semakin mendekati bunker, bau itu semakin tajam terdengar. Mendadak ada desing pesawat jet mendekat dan mendarat dekat bunker. Mereka langsung merunduk dan diam tidak bergerak saat mendengar beberapa humanoid yang keluar dari bunker.

Humanoid itu menyeret beberapa manusia. Beberapa tidak sadarkan diri, lainnya lagi sadar tetapi terluka. Arabel paham bau menyengat apa yang menarik mereka ke sana. Bau anyir darah para manusia yang terluka.

Para manusia yang diseret oleh humanoid itu dimasukkan ke dalam pesawat jet lalu kembali mengudara beberapa menit kemudian. Mereka masih berdiam diri beberapa saat setelahnya sampai suasana dirasa aman, lalu bergerak ke arah bunker.

Terdengar suara erangan dari dalam bunker. Pasti masih ada manusia yang hidup. Arabel mengeluarkan senjatanya, begitu pun dengan Kaj dan Aleksei. Einstein bersembunyi di bagian rumah yang rusak dekat bunker. Mereka mengendap-endap memasuki bunker itu. Bersiap jika ada humanoid yang tersisa di sana. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro